KONTRIBUSI
DAN PERBANDINGAN PEMIKIRAN POLITIK OLEH PEMIKIR YUNANI-ROMAWI TERHADAP PEMIKIR
POLITIK BARAT ABAD PERTENGAHAN
![13125-logo-unila-warna.jpg](file:///C:%5CUsers%5CACER%5CAppData%5CLocal%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_image002.jpg)
ANANDA
PUTRI S (1216021006)
AIDILA
PUTRI YAZIR (1216021004)
ANGGUN
VERIANA A (1216021010)
ANDRI
JUNIANTO
ARDIKA
ARIO
AGUNG
KURNIAWAN
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN
ILMU PEMERINTAHAN UNIVERSITAS LAMPUNG
2013/2014
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1. Latar Belakang
1
1.2. Rumusan Masalah Penelitian
2
1.3. Tujuan Penelitian
2
BAB II TINJAUAN
PUSTAKA
3
2.1. Pengertian Kontribusi
3
2.2. Pengertian
Perbandingan
3
2.3. Pengertian Pemikiran
4
2.4. Pengertian Politik
4
2.5. Tinjauan
Peradaban Yunani-Romawi
5
2.5.1. Periode
Peradaban Yunani-Romawi
5
2.5.2. Pemerintahan
dan Hukum Yunani-Romawi dan filsufnya
6
2.6.Tinjauan
Pemikir
10
2.6.1. Pengertian
Pemikir
10
2.6.2. Pengertian
Barat dan Pemikir Politik Barat
10
2.7.Tinjauan Abad
Pertengahan
11
2.7.1. Dark
Ages (zaman kegelapan) pada Abad Pertengahan
11
BAB III METODE
PENELITIAN
14
3.1. Bentuk Penelitian
14
3.2. Tekhnik
Pengumpulan Data
14
3.3. Tekhnik Analisis Data
14
BAB IV PEMBAHASAN
16
4.1. Kontribusi Warisan Intelektual Peradaban
Yunani-Romawi
16
4.2. Teori-Teori Politik oleh Filsuf
Romawi-Yunani dengan Pemikir Politik Barat abad Pertengahan
18
4.2.1. Teori Politik Menurut Plato dan
Aristoteles
18
a.
Teori Negara, Hak
Milik, Demokrasi, dan Sistem Politik menurut Plato
18
b. Teori Negara, Hak
Milik, Demokrasi, dan Sistem Politik menurut Aristoteles
21
c. Kesimpulan Pemikiran
Plato dan Aristoteles
23
4.2.2. Teori Politik
menurut Pemikir Barat abad Pertengahan
25
a. Pemikiran Politik
John Locke
25
b. Pemikiran Politik Thomas
Hobbes
28
c. Pemikiran Politik
Montesquieu
31
c. Pemikiran Politik
J.J. Rousseau
33
4.3.
Kontribusi dan Perbandingan Pemikiran Politik antara Filsuf Yunani-Romawi
dengan Pemikir Politik Barat Abad Pertengahan
36
1. Tabel
mengenai Kontribusi Pandangan Politik Yunani dengan Politik Barat
36
2. Tabel
Perbedaan Pemikiraan Pandangan Politik Yunani dan Politik Barat
38
BAB V KESIMPULAN
39
DAFTAR PUSTAKA
39
DAFTAR PERTANYAAN
42
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Apakah teori
politik itu? Apakah yang dikerjakan para filsuf politik? Jawaban siginifikan
pertanyaan-pertanyaan ini telah diberikan oleh dua ahli terkemuka, Leo Strauss
dan Sheldon Wolin. Strauss, pencipta salah satu pendekatan sangat berpengaruh untuk
mempelajari teori, percaya bahwa tugas filosofi politik adalah untuk
mendapatkan kearifan tentang sifat-sifat manusia dan politik. Dengan demikian,
“mengerjakan” teori politik melipatkan pembelejaran untuk mem
baca karya-karya
klasik, agar orang dapat secara efektif membedakan antara apa yang semata-mata
opini dengan pengetahuan authentik.[1]
Dalam mata kuliah pemikiran politik barat kita akan membagi
pemikiran-pemikiran mereka dalam beberapa kategori sesuai dengan jaman, pola
pikir dan pemikiran yang ia hasilkan. Pemikiran yang mereka hasilkan pasti di
pengaruhi oleh kapan ia hidup dan kepada siapa ia berguru atau buku-buku siapa
yang ia baca. Pemikiran politik yang kita pelajari dalam mata kuliah pemikiran
politik barat di mulai dari para pemikir jaman Yunani Kuno (427 SM -347 SM)
yaitu pemikiran dari Plato dan Aristoteles. Mengapa kita memulainya dari
pemikiran Plato, padahal sebelum Plato ada banyak pemikir-pemikir lain yang
juga terkenal seperti Pythagoras, Heraklitus, Parmenides, Empedokles,
Anaxagoras, Protagoras dan juga Sokrates? Ini disebabkan karena
pemikiran-pemikiran politik sebelum Plato tidak dibukukan dalam sebuah buku dan
tersusun secara sistematis, sebenatnya pemikiran politik plato juga tidak
terbukukan secara sistematis, tetapi murid-muridnya Plato-lah yang membukukan
pemikiran politik Plato. Pada jaman Yunani kuno Plato dan Aristoteles
berpandangan bahwa sumber dari kekuasaan adalah ilmu pengetahuan, mereka juga
berasumsi bahwa Aristokrasi (the rule of the best) Pemerintah yang terbaik dan
ideal karena dipimpin oleh orang yang terbaik (kebaikan dan kebajikannya) .
Sebuah negara akan terbentuk dan dapat menjalankan pemerintahan dengan baik
jika dipimpin oleh seorang yang bijak (filsuf) dan filsuf itu dapat memerintah
dengan berpedoman pada kebajikan dan kebaikan (wisdom dan virtue).
Roger Ganuardy
menyatakan bahwa ada tiga peradaban yang mempunyai peranan penting terhadap
pembentukan tradisi keilmuan dan pemikiran politik Barat, yaitu Yunani-Romawi,
Judeo-Kristiani, dan Islam. Arnold Toynbee berpendapat bahwa peradaban Barat
dewasa ini lahir dari puing-puing kehancuran peradaban Yunani-Romawi. Peradaban
Barat merupakan kelahiran kembali peradaban Yunani-Romawi. “With disintegration, comes rebirth”. Sebelum sebuah kehancuran itu ,
manusia-manusia terkenal yang terlahir sebagai filsuf di masa Romawi Kuno,
seperti Plato, Socrates, dan Aristoteles memiliki pemikiran-pemikiran yang
abadi dan berpengaruh pada pemikir Politik Barat, Islam, Judeo-Kristiani, dan
terus diimplementasikan hingga sekarang. Sumbangan terbesar peradaban Romawi
kepada pemikir Barat, terutama di bidang pemkirian sistem hukum dan
lembaga-lembaga politik.
1.2.Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah yang diangkat oleh peneliti yaitu:
1. Apakah
kontribusi warisan intelektual oleh filsuf Romawi terhadap pemikir Barat?
2. Apakah
perbandingan pemikiran politik Filsuf Romawi seperti seperti Aristoteles dan
Plato, terhadap pemikir politik Barat abad pertengahan?
1.3.Tujuan
Penelitian
Adapun
tujuan penelitian dari masalah yang telah diteliti untuk diajukan oleh
peneliti, adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui kontribusi kontribusi warisan intelektual oleh filsuf Romawi
terhadap pemikir Barat
2. Untuk
mengetahui perbandingan pemikiran politik Filsuf Romawi seperti seperti
Aristoteles dan Plato, terhadap pemikir politik Barat abad pertengahan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada penelitian ini, diperlukan suatu
konsep berupa definisi atau batasan yang jelas agar tidak terjadi kerancuan
arti atau kesalahpahaman dalam menginterprestasikannya, sehingga konsep-konsep
atau istilah-istilah yang ada dapat dipergunakan secara operasional
2.1. Pengertian Kontribusi
Kontribusi berasal dari bahasa inggris
yaitu contribute, contribution, maknanya adalah keikutsertaan, keterlibatan,
melibatkan diri maupun sumbangan. Berarti dalam hal ini kontribusi dapat berupa
materi atau tindakan. Hal yang bersifat materi misalnya seorang individu
memberikan pinjaman terhadap pihak lain demi kebaikan bersama. Kontribusi dalam
pengertian sebagai tindakan yaitu berupa perilaku yang dilakukan oleh individu
yang kemudian memberikan dampak baik positif maupun negatif terhadap pihak
lain. Sebagai contoh, seseorang melakukan kerja bakti di daerah rumahnya demi
menciptakan suasana asri di daerah tempat ia tinggal sehingga memberikan dampak
positif bagi penduduk maupun pendatang. Dengan kontribusi berarti individu
tersebut juga berusaha meningkatkan efisisensi dan efektivitas hidupnya. Hal
ini dilakukan dengan cara menajamkan posisi perannya, sesuatu yang kemudian
mejadi bidang spesialis, agar lebih tepat sesuai dengan kompetensi. Kontribusi
dapat diberikan dalam berbagai bidang yaitu pemikiran, kepemimpinan,
profesionalisme, finansial, dan lainnya (Anne Ahira:2012).[2]
2.2.
Pengertian Perbandingan
Perbandingan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbedaan
(selisih)
kesamaan.
Perbandingan dapat pula diartikan sebagai mencari letak kesamaan dan perbedaan
suatu masalah. Dalam hal ini, perbandingan dilakukan untuk membandingkan
perbedaan pemikir politik klasik oleh para Filsuf Yunani-Romawi dengan hasil
pemikir politik Barat abad pertengahan
2.3.
Pengertian Pemikiran
Pemikiran adalah aktivitas yang dilakukan oleh manusia
hampir setiap masa. Pemikiran secara mudah boleh difahami sebagai apa saja yang
berlaku dalam kepala kita. Pemikiran ini
membantu individu menganalisis pernyataan dengan berhati-hati dan mencari bukti
yang sah sebelum membuat keputusan. Mengikut John
Barell(1991), pemikiran ialah proses mencari makna serta usaha mencapai
keputusan yang wajar.[3]
2.4.
Pengertian Politik
Menurut Ramlan Surbakti (1999 : 1)
bahwa definisi politik adalah interaksi antara pemerintah dan
masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang
mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah
tertentu.
Menurut Kartini Kartono (1996 : 64) bahwa politik dapat
diartikan sebagai aktivitas perilaku atau proses yang menggunakan kekuasaan
untuk menegakkan peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang sah berlaku
di tengah masyarakat.
Lantas, meminjam
istilah Politik menurut Andrew Heywood yaitu kegiatan suatu bangsa yang
bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen peraturan-peraturan
umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti tidak dapat terlepas dari gejala
komflik dan kerjasama. [4]
Politik
adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara
lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian
ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai
hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Teori politik merupakan kajian
mengenai konsep penentuan tujuan politik, bagaimana mencapai tujuan tersebut
serta segala konsekuensinya. Bahasan dalam Teori Politik antara lain adalah
filsafat politik, konsep tentang sistem politik, negara, masyarakat,
kedaulatan, kekuasaan, legitimasi, lembaga negara, perubahan sosial,
pembangunan politik, perbandingan politik, dsb.
Dengan demikian jelaslah bahwa
politik yang bersangkut paut dengan soal-soal negara dan pemerintah. Berbagai
aktifitas, perilaku, dan pemikiran tentang Negara, masyarakat, lingkup sosial,
dan pemerintahan termasuk di dalam lingkup bahasan politik.
2.5. Tinjauan Peradaban Yunani-Romawi
2.5.1. Periode Peradaban
Yunani-Romawi
Yunani merupakan salah satu pusat peradaban tertua di eropa. Yunani
terletak di sekitar Laut Tengah yang sangat strategis dalam pelayaran.Bangsa
Yunani terbentuk dari percampuran bangsa pendatang dari laut Kaspia dan dan
penduduk asli yang terdiri dari petani.
Secara umum perkembangan Yunani dapat
dibagi menjadi 4 periode, yaitu sebagai berikut :
1.
Fase pembentukan negara-negara kota
(Polis) yang berlangsung antara 1000-800 SM.
2.
Fase ekspansi negara-negara kota atau
fase kolonisasi polis-polis Yunani. Ekspansi polis-polis Yunani ke arah
barat sampai ke Italia Selatan, sedangkan ke arah Timur sampai ke Asia
Kecil (Troya)
3.
Masa kejayaan polis-polis Yunani
(600-400SM)
4.
Masa Keruntuhan Yunani (400-300 SM),
tetapi kebudayaan Yunani berkembang di luar daerah Yunani itu sendiri.[5]
Selama periode Kalsik
(Abad ke 5 S.M.), Yunani terdiri dari daerah-daerah bagian kecil dan besar
dalam bermacam-macam bentuk internasional (sederhana, federasi, federal,
konfederasi) dan bentuk-bentuk internal (kekerajaan, tirani, oligarkhi,
demokrasi konstitusional, dan lain-lain) yang paling terkenal ialah Athena,
diikuti oleh Sparta dan Thebes. Sebuah semangat kebebasan dan kasih yang
membara membuat bangsa Yunani dapat mengalahkan bangsa Persia, adikuasa pada
saat itu, didalam peperangan yang terkenal dalam sejarah kemanusiaan- Marathon,
Termopylae, Salamis dan Plataea.
Pada paruh kedua abad ke 4 S.M., banyak daerah-daerah bagian di Yunani membentuk sebuah Aliansi (CÅ“non of Corinth) yang dipimpin oleh Alexander Agung sebagai Presiden dan Panglima (Kaisar) dari Aliansi, Raja dari Macedonia (“Yunani takabara” dalam bahasa persia kuno) menyatakan perang dengan Persia, membebaskan saudara-saudara mereka yang terjajah, Ionian, dan menguasai daerah-daerah yang diketahui selanjutnya. Menghasilkan sebuah masyarakat yang berkebudayaan Yunani mulai dari India Utara sampai Laut Tengah barat dan dari Rusia Selatan sampai Sudan.
Pada paruh kedua abad ke 4 S.M., banyak daerah-daerah bagian di Yunani membentuk sebuah Aliansi (CÅ“non of Corinth) yang dipimpin oleh Alexander Agung sebagai Presiden dan Panglima (Kaisar) dari Aliansi, Raja dari Macedonia (“Yunani takabara” dalam bahasa persia kuno) menyatakan perang dengan Persia, membebaskan saudara-saudara mereka yang terjajah, Ionian, dan menguasai daerah-daerah yang diketahui selanjutnya. Menghasilkan sebuah masyarakat yang berkebudayaan Yunani mulai dari India Utara sampai Laut Tengah barat dan dari Rusia Selatan sampai Sudan.
Pada tahun 146 S.M.,
Aliansi diatas jatuh ke bangsa Romawi. Pada tahun 330, ibukota negara bagian
Romawi berdiri di daerah baru, Roma Baru atau Konstantinopel, sebuah bentuk
popular, sebuah nama untuk memperingati Kaisar Romawi, pada saat itu,
Konstantin Khloros (Konstantin Agung). Para ahli sejarah sejak abad ke 19 lebih
memilih, untuk alasan referensi, menamakan periode terakhir sebagai Bizantium
dengan tujuan untuk membedakan 2203 tahun wilayah Romawi menjadi dua periode.
Selama periode kedua dunia budaya Yunani klasik dari Yunani Kuno berubah
menjadi dunia modern masyarakat barat dan kristen. Kata Bizantium diambil dari
wilayah yang sudah ada sebelumnya (Bizantium, dengan Megara sebagai Metropolis)
dimana ibukota baru berada, Konstantinopel.
Setelah ibukota dan
wilayah jatuh ketangan Turki pada tahun 1453, bangsa Yunani berada dibawah kekuasaan
Ottoman hampir selama 400 tahun. Selama masa ini bahasa mereka, agama mereka
dan rasa identitas diri tetap kuat, yang menghasilkan banyak revolusi untuk
kemerdakaan meskipun gagal.
Pada tanggal 25 Maret
1821, bangsa Yunani memberontak kembali, kali ini berhasil, dan pada tahun
1828, mereka mendapatkan kemerdekaannya. Sebagai sebuah negara baru yang hanya
terdiri dari sebagian kecil dari negara modern mereka, perjuangan untuk
membebaskan seluruh daerah yang dihuni oleh bangsa Yunani berlanjut. Pada tahun
1864, kepulauan Ionian disatukan dengan Yunani; tahun 1881 sebagian dari Epirus
dan Thessaly. Crete, Kepulauan Aegean Timur dan Macedonian ditambahkan pada
tahun 1913 dan Thrace Barat tahun 1919. Setelah Perang Dunia II kepulauan
Dodecanese juga dikembalikan ke Yunani.
Saat ini, Yunani merupakan negara anggota Uni Eropa (1981) dan sistem moneter-keuangan-ekonomi Euro. [6]
Saat ini, Yunani merupakan negara anggota Uni Eropa (1981) dan sistem moneter-keuangan-ekonomi Euro. [6]
2.5.2.
Pemerintahan dan Hukum Yunani-Romawi serta Filsufnya
Antara
wilayah-wilayah di Yunani tersebut sulit untuk berhubungan yang disebabkan oleh
alam yang berbukit-bukit, sehingga jadilah kota-kota yang disebut Polis.
Ada dua polis yang terkenal :
Ada dua polis yang terkenal :
1.
Athena
Athena merupakan Polis yang menerapkan sistem Demokrasi. Sistem itu diperkenalkan oleh Solon (638 SM-559 SM). Dengan sistem itu, kekuasaan berada di tangan dewan rakyat. Pelaksanaan pemerintahan dilakukan oleh sembilan orang Archon yang setiap tahun diganti. Para Archon diawasi oleh Aeropagus (Mahkamah Agung) yang para anggotanya berasal dari mantan anggota Archon. Athena banyak menghasilkan para filosof yang pemikirannya sangat berpengaruh pada kehidupan manusia hingga dewasa ini. Para Filosof itu antara lain sebagai berikut :
Athena merupakan Polis yang menerapkan sistem Demokrasi. Sistem itu diperkenalkan oleh Solon (638 SM-559 SM). Dengan sistem itu, kekuasaan berada di tangan dewan rakyat. Pelaksanaan pemerintahan dilakukan oleh sembilan orang Archon yang setiap tahun diganti. Para Archon diawasi oleh Aeropagus (Mahkamah Agung) yang para anggotanya berasal dari mantan anggota Archon. Athena banyak menghasilkan para filosof yang pemikirannya sangat berpengaruh pada kehidupan manusia hingga dewasa ini. Para Filosof itu antara lain sebagai berikut :
a. Thales
Dia terkenal sebagai ahli
matematika dan astronomi. Thales dikenal dengan perhitungannya tentang gerhana,
menghitung ketinggian piramida dan menghitung bayangannya. Selain itu
Thales berpendapat bahwa bumi ini berasal dari air.
b. Anaximander
Dia berpendapat bahwa segala apa
yang ada di dunia ini berasal dari bahan tunggal yang bukan air. Selain
itu, Anaximander berpendapat bahwa bumi itu seperti silinder yang
mempunyai ukuran lebih kecil daripada matahari.
c. Anaximenes
Dia berpendapat bahwa bahan
pembentuk alam adalah udara.
d. Pytagoras
Dia terkenal sebagai ahli
matematika, dia percaya bahwa segala sesuatu itu pada aturannya menurut
bilangan tertentu. Sehubungan dengan hal itu, Pytagoras berpendapat bahwa
melalui pengetahuan tentang bilangan, kita akan memahami tentang
kenyataan.
e. Heraclitus
Dia adalah seorang filosof
mengembangkan pemikiran tentang logika.
f.
Parmenindes
Filosof ini mengemukakan pentingnya
logika dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
g. Hippocartus
Dia adalah seorang filosof yang
ahli dalam bidang kedokteran.
h. Socrates
Filosof ini mengajarkan kepada
murid-muridnya bahwa manusia dan lingkungannya merupakan subjek untuk
mendapatkan pengetahuan tentang kebenaran.
i.
Plato
Filosof ini berpendapat bahwa orang
bisa berperilaku baik jika ia telah mempunyai persepsi perilaku apa yang
disebut baik dan jahat. Plato juga berpendapat bahwa sumber kekuasaan
adalah pengetahuan.
j.
Aristoteles
Filosof ini mengembangkan ajaran
tentang politik dan etika. Menurut Aritoteles, pada dasarnya setiap
manusia memiliki hak yang sama yang harus diakui. Kebahagian menurut
Aristoteles adalah terpenuhinya semua kebutuhan kita. Di bidang logika,
Aristoteles mengembangkan silogisme.
2. Spartha
Pemerintahan Spartha didasari oleh pemerintahan yang bergaya
militeristik. Pola ini diperkenalkan oleh Lycurgus tahun 625 SM.
Pemerintahan dipegang oleh dua orang raja, sementara pelaksana tertinggi
dipegang oleh suatu dewan yang bernama Ephor yang terdiri dari lima orang.
Setiap Ephor memiliki dewan tua yang berusia lebih dari 60 tahun, yang
bertugas untuk mempersiapkan UU yang diajukan kepada dewan rakyat
(perwakilan dari semua warga kota). Para pemuda yang terseleksi secara
fisik dan mental, dijadikan tentara. Keberadaan polis-polis di Yunani
mengakibatkan mereka saling bersaing dalam memperebutkan hegemoni
kekuasaan atas wilayah Yunani. Sehingga tidaklah mengherankan apabila di
Yunani selalu terjadi peperangan di antara sesama polis-polis tersebut.
Tetapi, datang tentara Persia yang akan menginvasi daerah Yunani, maka
polis-polis yang ada di Yunani terutama Spharta dan Athena, bersatu untuk
menghadapi Persia tersebut. Pertempuran antara Yunani dan Persia terjadi
beberapa kali:
a.
Perang
Persia Yunani I (492 SM).
Peperangan antara Yunani dan Persia tidak terjadi karena armada tempur
Persia dihancurkan oleh badai dan terpaksa harus pulang kembali.
b.
Perang
Persia Yunani II (490 SM).
Pertempuran terjadi di Marathon, pertempuran itu berhasil dimenangkan oleh
bangsa Yunani. Para prajurit Yunani harus lari sepanjang 42 km antara Marathon
dan Athena dalam rangka berkonsolidasi dan meminta bantuan.
c.
Perang
Yunani dan Persia III.
Bangsa Persia datang kembali, dan pasukan Yunani menghadapinya di
Termopile. Persia dapat dipukul mundur, namun Raja Spartha terbunuh dalam
pertempuran itu.
Pada tahun 448 SM diadakan perdamaian antara Yunani dan
Persia. Dengan menangnya Yunani atas Persia, maka hal ini membuat
kemajuan, seperti pada kesenian dan ilmu pengetahuan serta adanya filosof –
filosof. Hal ini membuat Sparta iri sehingga terjadi perang Peloponessos
yang membuat Athena kalah sehingga membuat yunani terpecah – pecah. Dengan
lemahnya Yunani membuat mudahnya Yunani ditaklukkan oleh kerajaan Macedonia di bawah pimpinan Philupus pada 338
SM.
Perjuangan Philipus
untuk menguasai Persia diteruskan anaknya Iskandar Zulkarnaen (Alexander Agung
336 – 323 SM) dan ia berhasil menguasai Tunisia, Palestina< Mesir, dan di
Mesir mendirikan kota yang bernama Iskandariyah. Niatnya menguasai India tak
terkabul karena prajuritnya yang tidak mematuhi perintahnya.
Setelah Iskandar meninggal, maka kerajaannya terpisah –
pisah :
- Kerajaan Macedonia
- Kerajaan Syria (Jenderal Seuleueos)
- Kerajaan Mesir (Jenderal Ptelomeus)
Seperti sudah disinggung
pada uraian pemerintahan Yunani, ternyata polis Athena melahirkan banyak
ahli pikir yang mewariskan pengetahuannya bagi umat manusia. Tepatlah ungkapan
Socrates yang menyatakan : “Bila Anda ingin menemukan orang kuat
pergilah ke Sparta, tetapi bila Anda ingin menjumpai orang pintar dan
bijak, datanglah ke Athena”.
Ada tiga orang filsuf politik yang perlu mendapat perhatian khusus, yakni:
Ada tiga orang filsuf politik yang perlu mendapat perhatian khusus, yakni:
1.Socrates (469-399 SM)
Ajarannya tentang filsafat etika atau kesusilaan dengan logikasebagai dasar untuk membahasnya. Socrates mengajarkan agarmanusia dapat membedakan apa yang baik atau buruk, benar atausalah, adil atau tidak adil. Ajarannya ditujukan kepada anak mudayang diajaknya berdiskusi. Ia akhirnya di hukum mati dengan minumracun karena tuduhan telah merombak dasar-dasar etikamasyarakat Yunani kuno serta tidak percaya kepada dewa-dewa yang disembah masyarakat.
Ajarannya tentang filsafat etika atau kesusilaan dengan logikasebagai dasar untuk membahasnya. Socrates mengajarkan agarmanusia dapat membedakan apa yang baik atau buruk, benar atausalah, adil atau tidak adil. Ajarannya ditujukan kepada anak mudayang diajaknya berdiskusi. Ia akhirnya di hukum mati dengan minumracun karena tuduhan telah merombak dasar-dasar etikamasyarakat Yunani kuno serta tidak percaya kepada dewa-dewa yang disembah masyarakat.
2.Plato (427-347 SM)
Ajaran filsafatnya disebut filsafat idea. Ia menulis banyak buku,salah satunya berjudul Republica. Dalam buku tersebut diuraikantentang kebahagiaan hidup yang dapat dicapai bila manusia bekerjadengan wataknya dan wanita diangkat derajatnya. Plato jugamendirikan pusat pendidikan bernama Academica.
Ajaran filsafatnya disebut filsafat idea. Ia menulis banyak buku,salah satunya berjudul Republica. Dalam buku tersebut diuraikantentang kebahagiaan hidup yang dapat dicapai bila manusia bekerjadengan wataknya dan wanita diangkat derajatnya. Plato jugamendirikan pusat pendidikan bernama Academica.
3.Aristoteles (384-322 SM)
Ia adalah murid Plato, merupakan ahli di bidang biologi danketatanegaraan. Karyanya yang terkenal antara lain Klasifikasi Floradan Fauna di Kepulauan Aegeia. Di bidang ketatnegaraan, iaberpendapat bahwa sistem pemerintahan yang baik adalah republik.Pemerintahan yang baik mengutamakan kebahagiaan sebesar-besarnya untuk seluruh rakyat. Aristoteles adalah pendiri pusatpendidikan bernama Peripatetis. Salah seorang muridnya ialah Alexandar Agung, raja Macedonia. [7]
2.6. Tinjauan Pemikir Politik Barat
2.6.1.
Pengertian Pemikir
Pemikir,
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online ( http://kamusbahasaindonesia.org ), berarti orang cerdik pandai yg hasil
pemikirannya dapat dimanfaatkan orang lain, dapat juga disebut filsuf. Seorang
pemikir, biasanya memiliki bidang khusus yang menjadi titik tekannya dalam
berfikir, membuat hipotesa, hingga menghasilkan teori yang memiliki kebenaran
koheren, korespondensi, serta pragmatis, yang berhubungan dengan bidang yang
menjadi pusat pikirannya.
Setiap pemikir, biasanya dipengaruhi oleh para pemikir-pemikir lain yang
memiliki pemikiran yang menarik hingga perlu pengkajian lebih khusus. Hingga
pada akhirnya, setiap pemikir atau filsuf di dunia ini selalu dikaitkan dengan
teori-teori baik itu teori sosial atau teori non sosial (eksakta).
2.6.2. Pengertian Barat dan Pemikir Politk
Barat
Barat, menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia online, memiliki
banyak definisi, sesuai dengan konteks kalimat. Dalam hal ini, kami menggunakan
istilah Barat yang menuju pada arti orang, bangsa, negara
Eropa dan Amerika: bangsa --; kebudayaan. Peradaban Barat, kadang-kadang disamakan dengan Budaya Barat atau peradaban Eropa), mengacu pada budaya
yang berasal Eropa.
Para pemikir Politik Barat memiliki
pemikiran-pemikiran yang berpengaruh terhadap dunia. Tokoh tokoh pemikir Ilmu
Politik dari kalangan teoris klasik, modern maupun kontempoter antara lain
adalah: Aristoteles, Plato, Adam Smith, Cicero, Friedrich Engels, Immanuel
Kant, John Locke, Karl Marx, Lenin, Martin Luther, Max Weber, Nicolo
Machiavelli, Rousseau, Samuel P Huntington, Thomas Hobbes, Antonio Gramsci,
Harold Crouch, Douglas E Ramage. Beberapa tokoh pemikir dan penulis materi Ilmu
Politik dan Hubungan Internasional dari Indonesia adalah: Miriam Budiharjo,
Salim Said dan Ramlan Surbakti.
2.7. Tinjauan Abad Pertengahan
Abad pertengahan (Jerman:Mittelalter)
adalah sebuah masa yang terletak antara abad kuno dan abad modern. Merupakan
masa peralihan di mana gereja bersama dengan raja menguasai kehidupan
masyarakat Eropa secara ideologis.
Awal
abad pertengahan ditandai dengan jatuhnya kekaisaran Romawi dan kekaisaran
Jerman lama. Pada masa ini terjadi peristiwa Perang Salib yang berakhir dengan
pembagian terbaginya Yerusalem menjadi 3 wilayah: barat untuk Islam, timur
untuk Kristen dan selatan untuk Yahudi. Kesusastraan dipegang terutama oleh
golongan agama (Geistlichedichtung) dan bahasa yang digunakan adalah bahasa
Jerman tinggi kuno (Althochdeutsch). Masa ini disebut pula sebagai abad
kegelapan (Dark Ages).
Abad Pertengahan
adalah periode sejarah di Eropa sejak bersatunya kembali daerah bekas kekuasaan
Kekaisaran Romawi Barat di bawah prakarsa raja Charlemagne pada abad 5 hingga
munculnya monarkhi-monarkhi nasional, dimulainya penjelajahan samudra,
kebangkitan humanisme, serta Reformasi Protestan dengan dimulainya renaisans
pada tahun 1517Abad Pertengahan merupakan abad kebangkitan religi di Eropa.
Pada masa ini agama berkembang dan mempengaruhi hampir seluruh kegiatan
manusia, termasuk pemerintahan. Sebagai konsekuensinya, sains yang telah
berkembang di masa zaman klasik dipinggirkan dan dianggap lebih sebagai ilmu
sihir yang mengalihkan perhatian manusia dari ketuhanan.[8]
2.7.1. Dark Ages
(zaman kegelapan) pada Abad Pertengahan
Eropa dilanda Zaman Kelam (Dark Ages)
sebelum tiba Zaman Pembaharuan. Maksud “Zaman Kelam” ialah zaman masyarakat
Eropa menghadapi kemunduran intelek dan kelembapan ilmu pengetahuan. Menurut
Ensiklopedia Amerikana, tempoh zaman ini selama 600 tahun, dan bermula antara
zaman kejatuhan Kerajaan Rom dan berakhir dengan kebangkitan intelektual pada
abad ke-15 Masehi. “Gelap” juga bermaksud tiada prospek yang jelas bagi
masyarakat Eropa. Keadaan ini merupakan wujud tindakan dan cengkraman kuat
pihak berkuasa agama; Gereja Kristen yang sangat berpengaruh. Gereja serta para
pendeta mengawasi pemikiran masyarakat serta juga politik. Mereka berpendapat
hanya gereja saja yang layak untuk menentukan kehidupan, pemikiran, politik dan
ilmu pengetahuan. Akibatnya kaum cendekiawan yang terdiri daripada ahli-ahli
sains asa mereka ditekan dan dikawal ketat. Pemikiran mereka ditolak. siapa
yang mengeluarkan teori yang bertentangan dengan pandangan gereja akan
ditangkap dan didera malah ada yang dibunuh.
Pikiran ini, terimplementasi melalui teori
yang dikeluarkan oleh Thomas Aquinas (m 1274) seorang ahli falfasah yakni
“negara wajib tunduk kepada kehendak gereja”. St Augustine (m 430) sebelumnya
juga berpendirian demikian. Manakala Dante Alighieri (1265-1321) berpendapat kedua-dua
kuasa itu hendaklah masing-masing berdiri sendiri, dan mestilah bekerjasama
untuk mewujudkan kebajikan bagi manusia (Joseph H Lynch, 1992, 172-174).
Dalam paradigma abad pertengahan, dua
wilayah agama dan dunia terpisah total satu dengan yang lain sehingga tidak ada
peluang bagi ekspansi satu terhadap yang lain atau pembauran antar keduanya.
Seorang manusia kalau tidak ‘melangit’ haruslah ‘membumi’, atau kalau tidak
meyakini kekuasaan alam gaib terhadap segala urusan hidupnya, maka dia harus memutuskan
hubungan secara total dengan Tuhan dan roh-roh kudus, dan jika dia menghargai
jasmani dan urusan materinya maka dia bukan lagi seorang rohaniwan dan berarti
telah memutuskan hubungan dengan Tuhan. Kata Augustine “siapapun yang mahir
dalam kesenian, perang, dan filsafat adalah orang yang bejat dan sesat, karena
dia berasal dari kota setan dimana kebahagiaannya tak lebih dari sekadar topeng
yang menipu, dan keindahannya hanya merupakan wajah alam kubur”. Kota inilah
yang tidak diterima oleh Tuhan dan fitrah manusia. Karena orang yang sombong
dan angkuh adalah merupakan kepekatan hari dan orang yang memiliki pengetahuan
tentang segala yang harus diketahui oleh orang-orang terpuji. Dan ketika
melihat kota setan ini tenggelam ke dalam kesesatan dan kesombongannya, maka
semua sudut kegelapannya akan terlihat.
Konsep diatas, dipertegas oleh Fritjof
Capra (2004) yakni : “Para ilmuwan pada Abat Pertengahan, yang mencari-cari
tujuan dasar yang mendasari berbagai fenomena, menganggap pertanyaan-pertanyaan
yang berhubungan dengan Tuhan, roh manusia, dan etika, sebagai
pertanyaan-pertanyaan yang memiliki signifikansi tinggi, jadi ilmu didasarkan
atas penalaran keimanan”.
Dengan demikian, kerangka berpikir yang
dominan pada abad pertengahan dan tekanan kuat para elit gereja yang menganggap
dirinya pengawas tatanan yang menguasai dunia dan telah menginterogasi ideologi
para ilmuan dan menyeret mereka ke pengadilan serta menganggap kegiatan ilmiah
sebagai campurtangan setan, kemudian faktor-faktor lain yang berada di luar
pembahasan ini telah menjadi latar belakang munculnya Renaisans yang telah
melahirkan teriakan protes terhadap kondisi yang dominan pada abad pertengahan.
Abad Pertengahan berakhir pada abad ke-15 dan kemudian disusul dengan zaman Renaissance. Zaman Renaissance berlangsung pada akhir abad ke-15 dan 16. [9]
Abad Pertengahan berakhir pada abad ke-15 dan kemudian disusul dengan zaman Renaissance. Zaman Renaissance berlangsung pada akhir abad ke-15 dan 16. [9]
BAB III
METODE PENELITIAN
2.1.
Bentuk Penelitian
Bentuk
yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Sebagaimana dikatakan Nawawi (1990:64) bahwa metode deskriptif
memusatkan perhatian terhadap masalah-masalah atau fenomena yang ada pada saat
penelitian dilakukan atau bersifat aktual, kemudian menggambarkan fakta-fakta
tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interpretasi
rasional yang akurat.
Berdasarkan pemahaman di atas, penelitian
ini menggambarkan fakta-fakta dan menjelaskan keadaan dari objek penelitian
untuk mencoba menganalisa kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh.[10]
2.2. Teknik pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan
Teknik Pengumpulan Data Sekunder, yaitu melalui Studi Kepustakaan, yaitu dengan
mengumpulkan data dan informasi melalui literatur yang relevan dengan judul
penelitian seperti buku-buku, artikel dan makalah yang memiliki relevansi
dengan masalah yang diteliti.
2.3. Teknik Analisa Data
Sesuai dengan metode penelitian, teknik analisa data yang dipergunakan
dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik kualitatif. Menurut Farid (1997:
152) bahwa analisa kualitatif adalah analisa terhadap data yang diperoleh berdasarkan
kemampuan nalar peneliti dalam menghubung-hubungkan fakta dan informasi, data
dan informasi. Jadi teknik analisa data kualitatif yaitu dengan menyajikan
hasil wawancara, hasil kuesioner, observasi serta studi kepustakaan dan
dokumentasi dengan melakukan analisa terhadap masalah yang ditemukan di
lapangan. Sehingga diperoleh
gambaran yang jelas tentang objek yang diteliti dan menarik kesimpulan. [11]
Namun karena keterbatasan kesempatan, tekhnik, serta pengetahuan yang
kami miliki, maka kami memutuskan untuk melakukan studi kepustakaan hingga
memperoleh informasi melalui literatur yang relevan dengan judul penelitian
seperti buku-buku, artikel dan makalah yang memiliki relevansi dengan masalah
yang diteliti.
BAB
IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan
penjelasan sebelumnya di BAB I, dapat diidentifikasikan rumusan permasalahan
terhadap masalah yang akan diselesaikan, yaitu.
4.1.
Kontribusi
Warisan Intelektual Peradaban Yunani-Romawi
Barat berhutang
budi kepada peradaban Yunani-Romawi dalam hamper semua aspek peradaban dan tradisi keilmuannya:
seni, sains, filsafat, etika, politik, kedokteran, matematika, dan lain-lain. Pandangan
hidup Barat (western of life), dewasa
ini, pada satu sisi bisa dilihiat sebagai kelanjutan pandangan hidup
orang-orang Yunani; cita-cita kebebasan, optimisme, sekularisme, pengagungan
terhadap jasmani (individualism), dan akal (rasionalisme), serta pengultusan
pada individualism.[12] Demikian
pula tradisi keagamaan Barat yang kini memantulkan secara transparan tradisi
keagamaan Yunani Kuno yang memandang agama sepenuhnya bersifat duniawi,
praktis, mengabdi kepada kepentingan manusia (bukan Tuhan). Cara pandang yang
sangat pragmatis , empirisme, dan materialism itu telah demikian kuat dalam
rekonstruksi peradaban Barat. “Traumatis” akan peran agama (Paus dan Gereja)
yang mistikisme dan mitologis, mengakibatkan cara pandang kemajuan bangsa Eropa
di kemudian waktu lebih bertumpu pada filsafat Yunani, dengan menihilkan apa
yang disebut pentingnya peran spritualisme rohaniah dan Ketuhanan.
Tradisi keilmuan
Yunani-Romawi telah memberikan kepada Barat metode-metode eksperimental dan
spekulatif yang peranannya sangat fundamental dalam pengembangan pengetahuan.
Melalui karya-karya para sarjana dan filosof Yunani-Romawi, Barat mengenal
empirisme dan rasionalisme. Yunani yang mengajarkan pada Barat agar menempatkan
akal di atas segalanya, akal sebagai sumber kebenaran, dan lain-lain.
Dalam bidang filsafat
politik, para filosof Yunani seperti Plato dan Aristoteles mempengaruhi
pemikiran dan filsafat politik Barat sejak kelahirannya hingga perkembangan
dewasa ini. Jejak pengaruh Aristoteles, misalnya bisa dilacak dalam karya
Machiavelli (The Prince), gagasan
perlunya pemisahan kekuasaan oleh Montesquieu dalam L’esprit de lois (Semangat Hukum), teori Hegel tentang Konstitusi
Negara sebagai ekspresi kesadaran diri Negara, gagasan Marx tentang hubungan
antara ekonomi dan politik, dan lain-lain.
Bagi Alfred
North Whitehead, sejarah seluruh filsafat Barat hanyalah rangkaian dari footnote kedua pemikir Yunani itu, Plato
dan Aristoteles (D.D. Rapar 1993:30). Karya Aristoteles , khususnya Politics merupakan sumber inspiratif
bagi perumusan teoritis konsep bentuk-bentuk Negara, hakikat pemerintahan,
hukum-hukum yang mengontrol Negara, revolusi sosial, dan lain-lain. Di sisi
lain, warisan Yunani mempengaruhi secara substansial lahirnya perkembangan
gerakan intelektual seperti Renaisans dan reformasi. Peristiwa-peristiwa itu
merupakan tonggak-tonggak terpenting sejarah pemikiran Barat. Gagasan Barat
mengenai Negara, kekuasaan politik, keadilan, demokrasi, bisa dilacak dari
tradisi-tradisi politik Negara-negara kota Yunani yang dinamakan polis atau city state.[13]
Ada tiga bentuk pemikiran hukum Romawi yang mempengaruhi
pemikiran hukum Barat, yaitu Ius Civile,
Ius Gentium dan Ius Naturale. Ius
Civile adalah hukum sipil yang secara khusus diberlakukan untuk kalangan
sipil dan warga Negara Romawi, bukan warga Negara lain. Kedua, Ius Gentium yaitu hukum yang
diberlakukan untuk semua orang, terlepas apapun kewarganegaraannya. Ius Naturale adalah prinsip filsafat hukum
yang menganggap keadilan dan kebenaran selamanya sesuai dengan tuntutan
rasional dan hakikat alam. Dalam filsafat hukum ini, semua orang memiliki
kedudukan sama di mata hukum dan pemerintah (Negara) tidak berhak
mengintervensi hak-hak hukum tertentu. [14]
Dari segi pemikiran politik, Romawi membrikan pemahaman
kepada Barat tentang teori imperium. Teori imperium adalah teori
tentang kekuasaan dan otoritas negara dimana kedaulatan dan kekuasaan dianggap
sebagai bentuk pendelegasian kekuatan rakyat kepada penguasa negara. Maka,
menurut teori ini pada hakikatnya kedaulatan adalah milik rakyat. Penguasa
politik hanyalah lembaga yang dipercayakan untuk memegang (bukan menguasai dan
mendominasi) serta mempergunakan kedaulatan demi kebaikan seluruh rakyat. Penguasa
bertanggung jawab kepada seluruh rakyat, dan secara otomatis akan kehilangan
legitimasi seandainya praktik kekuasaanya menyalahi kehendak rakyat. Menurut
teori ini, rakyat memiliki hak-hak politik yang sama (equal rights) dan merupakan esensi tertinggi kedaulatan Negara.
Dalam kerangka
pemikiran inilah Romawi mengembangkan gagasan kontrak pemerintah (government contract) yang kemudian
dijadikan model teoritis bagi para pemikir politik Barat seperti, Locke,
Rousseau, Hobbes, dan lain-lain. Bagi perkembangan pemikiran dan teori politik
Barat, teori imperium juga menempati posisi sentral, sebab gagasan Barat
mengenai perlunya pemisahan entitas individu dan Negara, Negara dibutuhkan demi
eksistensi sosial, individu merupakan pusat perlindungan hukum dan perlindungan
sangat kuat dipengaruhi gagasan atau teori imperium Romawi itu. [15]
4.2. Teori-Teori Politik oleh Filsuf
Romawi-Yunani dengan Pemikir Politik Barat abad Pertengahan
Telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, bahwa
Yunani-Romawi memang memiliki kontribusi wawasan intelektual yang banyak bagi
dasar-dasar filsuf Barat. Namun seiring perkembangan zaman dan waktu,
hakikatnya seseorang dapat merubah bentuk pemikirannya sesuai dengan situasi
dan kondisi yang hadir di sekitarnya. Jadi, walaupun filsuf Barat memiliki
banyak landasan pemikiran yang bersumber dari pemikir filsuf Romawi, namun
keduanya tetap memiliki perbandingan yang bisa dijadikan bahan pembelajaran
oleh kita sebagai peserta akademik.
4.2.1. Teori Politik menurut Plato
dan Aristoteles
Pembahasan
akan penulis awali dengan memberikan hasil pemikiran Filsuf Romawi seperti
Plato dan Aristoteles. Namun, dikarenakan keterbatasan pengetahuan yang kami
miliki, maka penulis memberikan pembatasan-pembatasan atas pembahasan teori
politik.
a.
Teori Negara, Hak Milik, Demokrasi,
dan Sistem Politik menurut Plato
Negara ideal menurut Plato adalah city
state, negara yang tidak terlalu luas dan tidak terlalu kecil, negara luas akan
sulit untuk menjaganya, sementara negara yang terlalu kecil akan sulit untuk
dipertahankan karena mudah dikuasai.Menurut Plato negara ideal menganut
prinsip yang mementingkan kebajikan (virtue).
Kebajikan menurut Plato adalah pengetahuan. Apapun yang dilakukan atas nama
Negara harus dengan tujuan untuk mencapai kebajikan, atas dasar itulah kemudian
Plato memandang perlunya kehidupan bernegara. Tidak ada cara lain menurut Plato
untuk membanguan pengetahuan kecuali dengan lembaga-lembaga pendidikan,
inilah yang kemudian memotivasi Plato untuk mendirikan sekolah yang diberi
nama Academica yang diharapkan dapat
menjadi pabrik pembentukan dan penempa orang-orang yang dapat membawa perubahan
bagi Yunani.[16]
Plato menilai negara yang mengabaikan
prinsip kebajikan jauh dari negara yang di dambakan oleh manusia, sehinga negara
yang ideal menurut Plato adalah negara negara yang menjunjung kebajikan. Plato
mengambarkan seorang filsuf adalah dokter, filsuf meski mengetahui
penyakit-penyakit yang dialami oleh masyarakat, mampu mendiagnosa dan
mendeteksi sejak dini. Plato beranggapan munculnya negara adalah akibat
hubungan timbal balik dan rasa saling membutuhkan antar sesama manusia, manusia
juga dianugerahi bakat dan kemampuan yang tidak sama, pembagian kerja-kerja
sosial muncul akibat adanya perbedaan alami, masing-masing memiliki bakat
alamiah yang berbeda, perbedaan bakat dan kemampuan justru baik bagi kehidupan
masyarakat, karena menciptakan saling ketergantungan, setiap manusia tentu
tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara subsistensi, yang untuk memenuhi
kebutuhan tersebut membutuhkan orang lain, negara dalam hal ini berkewajiban
memperhatikan pertukaran timbal balik, dan berusaha agar kebutuhan masyarakat
terpenuhi.
Dalam konsep mengenai hak milik, menurut
plato, dapat dimasukkan kedalam konsep negara ideal yang juga didasarkan pada
prinsip-prinsip larangan atas kepemilikan pribadi, baik dalam bentuk uang atau
harta, keluarga, anak dan istri inilah yang disebut nihilism. Dengan adanya hak
atas kepemilikan menurut filsuf ini akan tercipta kecemburuan dan kesenjangan
sosial yang menyebabkan semua orang untuk menumpuk kekayaannya , yang
mengakibatkan kompetisi yang tidak sehat. Anak yang baru lahir tidak boleh diasuh
oleh ibu yang melahirkan tapi itu dipelihara oleh Negara, sehinga seorang anak
tidak tahu ibu dan bapaknya, diharapkan akan menjadi manusia yang unggul, yang
tidak terikat oleh ikatan keluarga dan hanya memiliki loyalitas mati terhadap
negara. Plato juga tidak memperkenankan lembaga perkawinan, tak seorang pun
yang dapat mengklaim istri mereka, istri hanya bisa menjadi hak kolektif,
hubungan seks yang dilakukan tidak boleh monogam melainkan poligami, Plato
melihat lembaga perkawinan membuat ketidaksamaan antara laki-laki dan
perempuan, yang lembaga perkawinan telah mengekang bakat alami manusia dan membuat
diskriminasi. [17]
Bagi Plato, kepentingan orang-orang harus
disesuaikan dengan kepentingan masyarakat. Dengan demikian, Plato lebih
cenderung untuk menciptakan adanya rasa kolektivisme, rasa bersama, daripada
penonjolan pribadi orang-perorang. Adanya hak milik akan mengurangi dedikasi
seseorang pada kewajiban sebagai anggota masyarakat. Ia berpandangan keperluan
jasmaniah seseorang akan dicukupi oleh Negara. (Deliar Noer, op.cit, hlm 11)[18]
Akan tetapi, menurut berbagai sumber,
penulis dapat menyimpulkan bahwa “komunisme” cara Plato ini terbatas hingga
kelas-kelas penguasa dan pembantu penguasa saja, sedangkan kelas pekerja
dibenarkan memilki hak milik dan berfamili; mereka pulalah yang menghidupi
kelas-kelas yang lain. Tugas mereka memang untuk menyelenggarakan produksi
perekonomian.
Pemikiran Plato yang anti individualism
yang telah merusak kehidupan sosial masyarakat Athena, manusia menjadi
individualism hanya mementingkan kebutuhan diri mereka sendiri dan mengabaikan
kepentingan orang lain. Padahal kehidupan bernegara menekankan petingnya saling
ketergantungan sesama warga negara.
Bicara mengenai sistem pemerintahan, ada
tuduhan bahwa Plato adalah pemikir yang anti demokrasi. Menurutnya dalam sistem
pemerintahan demokrasi, pada akhirnya akan melahirkan pemerintahan tirani.
Setiap orang akan memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja tanpa ada kontrol
ketat dari negara. Dalam negara demokrasi, kebebasan individual dan pluralisme
politik adalah dewa yang diagungkan. Semua warga negara memiliki kebebasan
mengekspresikan aspirasi dan idealisme politiknya tanpa merasa khawatir akan
intervensi negara terhadap kebebasannya itu. Dalam istilah Plato, demokrasi itu
penuh sesak dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara dan setiap orang dapat
berbuat sekehendak hatinya. Kekerasan dibenarkan atas nama kebebasan dan
persamaan hak. Penjungkirbalikan massal terhadap moralitas dan akal budi
dibenarkan dengan alasan kebebasan. [19]
Mengapa Plato menjadi anti demokrasi,
pemikiran Plato tidak terlepas dalam konteks sosio-hostoris kehancuran Athena.
Kehancuran Athena menurut Plato bukan hanya karena kekalahan Athena dalam
perang peloponesos. Kemenanagan Sparta atas Athena menunjukkan prinsip-prinsip
dari kenegaraan bersifat Aristokrat militeristik yang ternyata lebih unggul
dibandingakan dengan struktur kenegaraan Athena yang demokratis. Plato secara
vulgar mengalamatkan kekalahan Athena pada sistem pemerintahan demokratis, yang
menurutnya sistem ini tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat di bidang politik,
moral dan spiritual. Inilah yang melahirkan karya-karya Plato dalam judul
republik. Dalam buku ini Plato secara tegas menunjukkan simpati dan
kekagumannya kepada sistem kenegaraan otoriter Sparta dan antipatinya kepada
demokrasi. Plato menuduh kehancuran Athena disebabkan akibat demokrasi yang
lemah dan disintegrasi serta tidak stabil. Selain itu, Plato juga memiliki
latar belakang keluarga Aristokratik dari kedua pihak orang tuanya. Terakhir tetapi yang paling dominan dalam
menentukan sikapnya terhadap demokrasi adalah kematian guru yang sangat
dicintainya yakni: Socrates, yang dihukum mati oleh pemerintahan
demokratis.
Di Negara demokrasi setiap orang berhak
dan memiliki kebebasan dalam melakukan apa yang dikehendakinya, tanpa ada
kontrol yang ketat dari negara, karena adanya kebebasan setiap orang berhak
dalam mengkritik orang lain, terlepas apakah yang di kritik tersebut rakyat
atau negara. Bila kekuatan saling mengkritik tanpa adanya control pemerintah,
maka akan menimbulkan kekacauan sosial.
Terkait dengan sistem politik, Plato mengklasifikasikan
sistem politik menjadi tiga :
- Sistem politik monarki, yaitu pemerintahan yang dipegang oleh seseorang sebagai pemimpin tertinggi dan dijalankan untuk kebaikan bersama.
- Sistem politik aristokrasi, yaitu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok orang dan dijalankan untuk kebaikan bersama.
- Sistem politik demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang dipegang oleh rakyat yang mampu cakap dan diabdikan untuk kebaikan bersama. [20]
b.
Teori Negara, Hak Milik, Demokrasi,
dan Sistem Politik menurut Aristoteles
Aristoteles adalah murid Plato di akademi,
dikenal sebagai pemikir emperis-realis berbeda dengan Plato yang berfikir utopis
dan idealis. Bisa jadi pemikiran Aristoteles adalah bentuk protes terhadap
pemikiran dan gagasan Plato. Negara menurut Aristoteles diibaratkan dengan
tubuh manusia, negara lahir dalam bentuk yang sederhana kemudian berkembang
menjadi kuat dan sederhana, setelah itu hancur dan tenggelam dalam sejarah.
Negara terbentuk karena manusia yang membutuhkan Negara, manusia adalah makhluk
yang tidak bisa hidup tanpa orang lain, hubungan saling ketergantungan antara
individu dengan masyarakat.
Idealnya menurut
Aristoteles monarki sebagai negara ideal. Penulis mengidentifikasi, hal ini
disebabkan karena ia diperintah oleh seoarang filsuf, sebagai orang yang
pintar, arif dan bijaksana (politicos). Seorang filsuf diyakini sebagai manusia
sempurna yang tidak mungkin menyelewengkan kekuasaan dan kewenangannya.
Kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat. Tapi Aristoteles menyadari sistem monarki
nyaris tak mungkin ada dalam realitas, ia hanya gagasan yang lahir bersifat
normative yang sangat sukar diwujudkan dalam dunia emperis. Oleh karena itu
demokrasi adalah, menurut Aristoteles, dari tiga bentuk negara itu yang bisa
diwujudkan dalam kenyataan. Berbeda dengan Plato tidak bersifat realistik
ketimbang Aristoteles.
Negara
adalah bentuk akhir dari kumpulan manusia yang akhirnya adalah bentuk
tersempurna. Bentuk yang tersempurna tersebut adalah bentuk yang
sebenar-benarnya yang sesuai dengan fitrah atau tabiat dari diri manusia.
Sehingga Aristoteles menyatakan bahwa negara adalah untuk kesempurnaan hidup,
hidup yang benar.
Berdasarkan kenyataan ini Aristoteles
sendiri menyatakan manusia adalah mahluk politik (zoon politicon), artinya
masyarakat atan mahluk negara yang mencapai kesempurnaannya hanya dalam
masyarakat dan negara. Orang yang tidak memerlukan negara atau masyakat adalah
manusia yang hidup bukan menurut fitrah atau tabiatnya.
Perbedaan mengenai negara antara Plato dengan Aristoteles
lain misalnya adalah, Plato menganalogikan jiwa dengan negara sementara
Aristoteles menyatakan negara sebagai suatu bentuk kumpulan ataupun lanjutan
dari kumpulan-kumpulan yang telah ada dan berbentuk lebih kecil.
Larangan hak milik dan family oleh Plato
tidak terdapat dalam pandangan Aritoteles. Aristoteles malah memandang hal ini
menjadi hal yang penting dengan dua alasan, yaitu; pertama adanya hak milik
memungkinkan seseorang untuk lebih mencurahkan perhatian kepada masalah-masalah
umum, masalah yang mengenai masyarakat. Dengan adanyanya milik tersebut
memungkinkan seseorang untuk memiliki waktu senggang atau leisure. Aristoteles
memandang waktu senggang dalam pengertian serius bukan untuk bermain-main atau
melepaskan lelah. Hak milik bukanlah tujuan tetapi sebagai alat untuk bisa
mendukung waktu luang tersebut. Begitu seriusnya masalah waktu senggang ini
membuat Aristoteles berpendapat bahwa pekerja yang terpaksa mencari nafkah
sehari-hari tidak mungkin memberikan perhatian kepada masalah umum. Sehingga
golongan ini menurutnya tidak punya andil dalam negara. Alasan lain
Aristoteles membenarkan hak milik ialah dengan pengertian tentang kebahagiaan. Kebahagiaan
menurutnya hanyalah mungkin dengan adanya sumber-sumber harta atau kebendaan.
Aristoteles membagi fungsi-fungsi yang
terdapat dalam negara yaitu fungsi pembahasan, administrasi, dan pengadilan.
Sehingga unsur yang penting perlu diperhatikan dalam konstitusi yang ideal
adalah adanya hukum. Hukum harus diletakkan di atas segalanya. Konstitusi hanya
ada bila ada hukum, baik untuk demokrasi ataupun oligarkhi. Hukum di sini
adalah dalam artian ikatan moral atau kebajikan. Pemikiran Aristoteles mengenai
demokrasi diungkapkan dalam pandangannya mengenai warganegara. Menurutnya tidak
semua individu dikelompokkan ke dalam warganegara. Warganegara adalah individu
yang memiliki waktu untuk memperluas pengetahuan tentang urusan publik dan
mengupayakan kewajiban. Sebaliknya, individu yang secara alamiah merupakan
budak dan kelas produsen, petani tidak masuk kategori warganegara
Terkait dengan system
politik, Aristoteles mengklasifikasikannya menjadi tiga, yaitu :
o Monarki
(kerajaan), diperintah oleh seorang raja untuk kepentingan semua, tapi jika
sebaliknya dapat berpotensi tirani.
o Aristokrasi,
diperintah beberapa orang untuk kepentingan bersama, jika sebaliknya dapat
berpotensi oligarki, memperkaya sekelompok orang saja.
o Polity,
diperintah semua rakyat untuk kesejahteraan umum, jika sebaliknya, mayoritas
rakyat memerintah untuk kepentingan si miskin saja dapat menjadi demokrasi.
Sedangkan, menurut Aristoteles, sistem
politik terjelek adalah tirani dan demokrasi yang over. Baginya, tidak ada
sistem politik terbaik, maka diperlukan adanya konstitusi. Selain berpikiran
pentingnya suatu keadilan dalam suatu negara, Aristoteles juga berpikir bahwa
hukum yang dapat dipaksakan diperlukan untuk memupuk persahabatan. Negara
terbaik bagi Aristoteles adalah negara di mana tiap warganya sejauh mungkin
turut serta dalam kehidupan politik atau negara.[21]
c.
Kesimpulan
Pemikiran Plato dan Aristoteles
Penulis menganalisis, bahwa walaupun berasal dari
zaman yang hamper sama dan wilayah yang sama pula, pemikiran Plato dan
Aristoteles memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Pemikiran Aristoteles
banyak merupakan hasil koreksi dari pemikiran gurunya, Plato. Sebagai contoh
perbedaan pemikiran, yakni dalam hal sistem pemerintahan. Plato membenci
demokrasi karena dianggap sebagai akar dari kelahiran pemerintahan tirani.
Setiap orang akan memiliki kebebasan untuk melakukan apa saja tanpa ada kontrol
ketat dari Negara. Berbeda dengan Aristoteles yang walaupun menurutnya sistem
monarki adalah sistem pemerintahan yang ideal namun terlalu normative untuk
diterapkan, sehingga menurutnya demokrasi-lah sistem pemerintahan yang ideal
dan rasional untuk diterapkan. Begitupun dengan masalah hak milik. Plato tidak
menyetujui adanya hak milik. Menurutnya, hak milik menyebabkan adanya
kecemburuan dan kesenjangan sosial, sehingga membuat orang-orang berlomba untuk
menumpuk kekayaannya. Sedangkan Aristoteles mendukung pentingnya kehadiran hak
milik. Dengan adanya hak milik yang memungkinkan seseorang
untuk lebih mencurahkan perhatian kepada masalah-masalah umum, selain itu hak
milik juga berhubungan dengan pengertian tentang kebahagiaan. Kebahagiaan
seseorang, menurut Aristoteles, dapat diperoleh dari kepemilikan harta atau
benda. Terkait dalam sistem politik, tidak ada perbedaan pemikiran yang
bertolak belakang. Namun, dalam teori pembentukan Negara, Plato dan Aristoteles
memilki kesamaan, yakni Negara terbentuk karena adalanya kepentingan yang
berbeda antar manusia satu dan manusia lain, sehingga dibentuklah suatu Negara
agar kepentingan yang berlandaskan tujuan tersebut dapat dengan baik tercipta.
4.2.2. Teori Politik menurut
Pemikir Barat abad Pertengahan
Berdasarkan rumusan masalah yang menyatakan bahwa,
ada perbandingan antara teori politik filsuf Yunani-Romawi dengan pemikir
Barat, maka berikut adalah pembahasan mengenaik teori politik pemikir Barat
abad Pertengahan.
a. Pemikiran Politik Jhon Locke
Locke dilahirkan 29 Agustus 1632 di
Wrington, sebuah desa di Somerset Utara, Inggris Barat, dekat Bristol Inggris
dengan kehidupan di negeri ini masa itu tragis dan ironis, sebab Negara Eropa
abad XVII dilanda perang saudara dan perang agama kaum Katholik dan Protestan.
Ketika Locke berusia sepuluh tahun, adalah yerkadi peperangan antara kaum
Puritan dengan Raja Charles I. Konlik-konflik ini telah mengguncang jiwanya
serta mempengaruhi pemikirannya.
Dalam sejarah pemikiran Barat, Locke
adalah peletak dasar liberalism. Di Prancis, gagasan liberal Locke dipertahankan
oleh Voltaire melalui karyanya Letter Philosophique (surat-surat filsafat).
Gagasannya juga mempengaruhi pandangan Montesque, sedangkan di mata Hegel,
Marx, dan Rosseou, pandangan Locke menjadi perhatian pemeikiran dalam sikap
sangat kritis dan tajam. Sejumlah pandangan politiknya meliputi masalah supreme
power (kekuasaan politik), civil society (masyarakat sipil), property right (hak
pemilikan) serta religious tolerance (toleransi agama).
Filosofinya, bahwa kekuasaan merupakan
hasil perjanjian sosial dan tidak bersifat mutlak. Oleh sebab itu, kekuasaan
bukan berasal dari Tuhan dan tidak datang secara turun temurun, dan juga
kekuasaan bukan atas dasar teks kitab suci. Pembatasan kekuasaan menjadi sangat
penting, sebab kekuasaan dari kesepakatan warga dengan penguasa Negara yang
dipilihnya.
Locke berpendapat bahwa kekuasaan politik
adalah hak untuk membuat hukum. Hukum itu dibuat untuk mengatur dan melindungi
property demi tercapainya kebaikan bersama. Hukum memberikan ketentuan bahwa
“tidak seorang pun dibenarkan merusak orang lain dalam soal hidup matinya,
kesehatannya, kemerdekannya, ataupun miliknya.”
Hukum alam yang
paling fundamental adalah melindungi hidup. Kekerasan dan penaklukan haruslah
diganti dengan perjanjian dan persetujuan untuk membentuk sebuah kekuasaan
politis. Dengan demikian ada perbedaan antara kekuasaan politik dan kekuasaan
absolut yang cendrung menggunakan kekerasan. Locke membagi perkembangan masyarakat
menjadi tiga, yakni keadaan alamiah (the state of nature), keadaan perang (the
state of war), dan negara (commonwealth).[22]
Tahap pertama adalah
The State of Nature. Keadaan alamiah adalah tahap pertama dari perkembangan
masyarakat. Menurut Locke, keadaan alamiah sebuah masyarakat manusia adalah
situasi harmonis, di mana semua manusia memiliki kebebasan dan kesamaan hak
yang sama. Dalam konteks ini pula, Locke menentang praktek perbudakan. Baginya,
perbudakan tidak sesuai dengan prinsip civil society.Menurut Locke, civil
society diciptakan untuk melindungi property. Property artinya sesuatu yang
dimiliki oleh diri sendiri, termasuk kepemilikan atas tanah dan kebebasan untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
Dalam hal Negara, Locke tidak menuntut republik. Sebaliknya, Locke merasa bahwa kontrak yang sah dengan mudah bisa ada di antara warga negara dan monarki, oligarki atau beberapa bentuk campuran. Tahap kedua adalah keadaan perang. Locke menyebutkan bahwa ketika keadaan alamiah telah mengenal hubungan-hubungan sosial maka situasi harmoni mulai berubah. Penyebab utamanya adalah terciptanya uang. Dengan uang, manusia dapat mengumpulkan kekayaan secara berlebihan, sedangkan di dalam keadaan alamiah tidak ada perbedaan kekayaan yang mencolok karena setiap orang mengumpulkan secukupnya untuk konsumsi masing-masing.
Dalam hal Negara, Locke tidak menuntut republik. Sebaliknya, Locke merasa bahwa kontrak yang sah dengan mudah bisa ada di antara warga negara dan monarki, oligarki atau beberapa bentuk campuran. Tahap kedua adalah keadaan perang. Locke menyebutkan bahwa ketika keadaan alamiah telah mengenal hubungan-hubungan sosial maka situasi harmoni mulai berubah. Penyebab utamanya adalah terciptanya uang. Dengan uang, manusia dapat mengumpulkan kekayaan secara berlebihan, sedangkan di dalam keadaan alamiah tidak ada perbedaan kekayaan yang mencolok karena setiap orang mengumpulkan secukupnya untuk konsumsi masing-masing.
Ketidaksamaan harta kekayaan membuat
manusia mengenal status tuan-budak, majikan-pembantu, dan status-status yang
hierarkis lainnya. Untuk mempertahankan harta miliknya, manusia menjadi iri,
saling bermusuhan, dan bersaing. Masing-masing orang menjadi hakim dan
mempertahankan miliknya sendiri. Keadaan alamiah yang harmonis dan penuh damai
tersebut kemudian berubah menjadi keadaan perang yang ditandai dengan
permusuhan, kedengkian, kekerasan, dan saling menghancurkan. Situasi seperti
ini berpotensi memusnahkan kehidupan manusia jika tidak ada jalan keluar dari
keadaan perang.
Ketiga adalah Commonwealth. Locke menyatakan bahwa untuk menciptakan jalan keluar dari keadaan perang sambil menjamin milik pribadi, maka masyarakat sepakat untuk mengadakan “perjanjian asal” (kontrak sosial ala locke). Maka dalam perjanjian masyarakat Locke terdapat dua perjanjian, yaitu pactum unionis (perjanjian membentuk negara) dan pactum subjectionis (perjanjian penyerahan). Pada tahap pertama diadakan pactum unionis (perjanjian membentuk negara), yaitu perjanjian antarindividu untuk membentuk body politic, yaitu negara. Kemudian pada tahap kedua, para individu yang telah membentuk body politic tersebut bersama-sama menyerahkan hak untuk mempertahankan kehidupan dan hak untuk menghukum yang bersumber dari hukum alam. Perjanjian penyerahan ini disebut pactum subjectionis (perjanjian membentuk kesatuan, organisme, atau negara).
Untuk mencegah timbulnya negara absolut dan terjaminnya kehidupan civil society, Locke berbicara mengenai peran strategis konstitusi dalam membatasi kekuasaan negara yang dibayangkannya. Konstitusi ini mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai pembatasan prinsipil terhadap kekuasaan negara. Pembatasan kekuasaan, Menurut Locke, harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk: kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federative (federative power).[23]
Ketiga adalah Commonwealth. Locke menyatakan bahwa untuk menciptakan jalan keluar dari keadaan perang sambil menjamin milik pribadi, maka masyarakat sepakat untuk mengadakan “perjanjian asal” (kontrak sosial ala locke). Maka dalam perjanjian masyarakat Locke terdapat dua perjanjian, yaitu pactum unionis (perjanjian membentuk negara) dan pactum subjectionis (perjanjian penyerahan). Pada tahap pertama diadakan pactum unionis (perjanjian membentuk negara), yaitu perjanjian antarindividu untuk membentuk body politic, yaitu negara. Kemudian pada tahap kedua, para individu yang telah membentuk body politic tersebut bersama-sama menyerahkan hak untuk mempertahankan kehidupan dan hak untuk menghukum yang bersumber dari hukum alam. Perjanjian penyerahan ini disebut pactum subjectionis (perjanjian membentuk kesatuan, organisme, atau negara).
Untuk mencegah timbulnya negara absolut dan terjaminnya kehidupan civil society, Locke berbicara mengenai peran strategis konstitusi dalam membatasi kekuasaan negara yang dibayangkannya. Konstitusi ini mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai pembatasan prinsipil terhadap kekuasaan negara. Pembatasan kekuasaan, Menurut Locke, harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk: kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federative (federative power).[23]
Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang
membuat undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental lainnya.
Mesikipun mempunyai kekuasaan tertinggi, tetapi tidak boleh sewenang-wenang,
harus adil dan mengutamakan kepentingan umum, tidak boleh menyita milik orang
lain tanpa izin dari pemiliknya, dan tidak boleh memberikan hak legisliatif
yang dimilikinya kepada pihak lain. Dibentuk pula Kekuasaan eksekutif yang
terpisah dari kekuasaan legislative, adalah kekuasaan yang melaksanakan
undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan
legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan
dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian,
liga dan aliansi antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing. [24]
Sebagaimana disebut di atas, menurut
Locke, negara itu didirikan untuk melindungi hak milik pribadi.Negara didirikan
bukan untuk menciptakan kesamaan atau untuk mengotrol pertumbuhan milik pribadi
yang tidak seimbang, tetapi justru untuk tetap menjamin keutuhan milik pribadi
yang semakin berbeda-beda besarnya. Hak milik (property) yang dimaksud di
sini tidak hanya berupa tanah milik (estates), tetapi juga kehidupan (lives)
dan kebebasan (liberties). Locke menyebut hak-hak ini dengan istilah
inalienable rights (hak-hak yang tidak asing) dan negara justru didirikan
justru untuk melindungi hak-hak asasi tersebut.
b.
Pemikiran
Politik Thomas Hobbes
Thomas Hobbes adalah seorang pemikir
Inggris yang lahir di negeri ini. Di masanya, inggris sedang mengalami keadaan
perang saudara, terjadi ketakutan dan kekhawatiran yang merajalela. Kepala
pemerintahan di negeri ini pun mengalami pergantian. Ketidakstabilan politik
itu tentu juga telah mengilhami Hobbes untuk menulis dengan menarasikan
bagaimana pendiriannya terhadao kehidupan politik maupun keadaan masyarakat.
(Deliar Noer. 1999:103). Ia sebagai sosok filsuf yang tumbuh di bawah prahara
politik sosial pada masa itu, politik yang penuh anarkis di abad ke-17, adanya
perang dan konfrontasi baik karena agama, maupun perang sipil. Pemerintahannya
pun cenderung absolute. Hobbes pun menggambarkan
Negara Sebagai makhluk raksasa dan menakutkan yang melegitimasikan diri
semata-mata karena kemampuannya untuk mengancam. Hobbes tidak mau membenarkan
kesewenangan para raja, melainkan ia mau mendasarkan suatu kekuasaan negara
yang tidak tergoyahkan. Pendasaran itu dilakukan dengan secara konsisten
mendasarkan kekuasaan negara pada kemampuannya untuk mengancam para warga
Negara. Manusia dapat diatur more geometrico, secara mekanistik. Apalagi
organisasi masyarakat disusun sedemikian rupa hingga manusia merasa aman dan
bebas sejauh ia bergerak dalam batas-batas hukum, dan terancam mati sejauh
tidak, kehidupannya dapat terjamin berlangsung dengan teratur dan tentram.[25]
Pandangan inilah dasar filsafat negara Hobbes Negara itu benar-benar sang Leviathan, binatang purba itu yang mengarungi samudera raya dengan perkasa, tanpa menghiraukan siapapun. Kekuasaannya mutlak. “Siapa yang diserahi kekuasaan tertinggi, tidak terikat pada hukum negara (karena itu akan berarti bahwa ia berkewajiban terhadap dirinya sendiri) dan tidak memiliki kewajiban terhadap seorang warga negara. Hobbes juga menolak segala pembagian kekuasaan negara.[26]
Pandangan inilah dasar filsafat negara Hobbes Negara itu benar-benar sang Leviathan, binatang purba itu yang mengarungi samudera raya dengan perkasa, tanpa menghiraukan siapapun. Kekuasaannya mutlak. “Siapa yang diserahi kekuasaan tertinggi, tidak terikat pada hukum negara (karena itu akan berarti bahwa ia berkewajiban terhadap dirinya sendiri) dan tidak memiliki kewajiban terhadap seorang warga negara. Hobbes juga menolak segala pembagian kekuasaan negara.[26]
Negara itu buatan manusia,
karena hasil rekayasa manusia itu mirip dengan manusia:negara mempunyai
kehidupan dan kehendak sendiri. Ia memang dapat mati, artinya bubar. Tetapi
selama ia ada, ia seperti Tuhan, merupakan tuan atas hidup dan mati manusia, ia
berwenang untuk menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang adil
namanya dan apa yang tidak, dan terhadap siapapun negara tidak perlu memberikan
pertanggung jawaban. Menurut Hobbes, manusia tidaklah bersifat sosial. Manusia
hanya memiliki satu kecenderungan dalam dirinya, yaitu keinginan mempertahankan
diri. Karena kecenderungan ini, manusia bersikap memusuhi dan mencurigai setiap
manusia lain: homo homini lupus! (manusia adalah serigala bagi sesamanya).
Keadaan ini mendorong terjadinya "perang semua melawan semua" (bellum
omnium contra omnes)[27]
Inilah "keadaan alamiah" saat
belum terbentuknya negara. Akan tetapi, jika terus-menerus terjadi perang semua
melawan semua, tentu saja eksistensi manusia juga terancam. Untuk itu,
manusia-manusia mengadakan sebuah perjanjian bersama untuk mendirikan negara,
yang mengharuskan mereka untuk hidup dalam perdamaian dan ketertiban (kontrak
sosial ala hobbes). Menurut Hobbes, negara berkuasa secara mutlak dan berhak
menentukan nasib rakyatnya demi menjaga ketertiban dan perdamaian. Status
mutlak dimiliki negara sebab negara bukanlah rekan perjanjian, melainkan hasil
dari perjanjian antar-warga negara. Artinya, di dalam perjanjian membentuk
negara, setiap warga negara telah menyerahkan semua hak mereka kepada negara.
Akan tetapi, negara sama sekali tidak punya kewajiban apapun atas warganya,
termasuk kewajiban untuk bertanggung jawab pada rakyat. Negara berada di atas
seluruh warga Negara dan berkuasa secara mutlak
Penguasa dapat melakukan segala cara
termasuk kekerasan yang digunakan untuk menjaga ketentraman dan ketertiban yang
dikehendaki semula. Penguasa ini sendiri tidak mengikatkan dirinya pada
perjanjian tadi, artinya dia sendiri tidak menyerahkan apa-apa, oleh sebab itu
ia memang mempunyai kekuasaan yang tiada batas. Kekuasannya tidak dapat
diserahkan kepada pihak lain tanpa persetujuannya. Penguasa tidak dapat dituduh
telah melakukan pelanggaran. Penguasa adalah hakim, penentu hukum, satu-satunya
pembentuk undang-undang, hakim tertinggi pada perselisihan-perselisihan, punya
wewenang mutlak untuk memilih anggota pemerintah, penasihat, panglima-panglima,
dan semua pejabat dan menteri yang lain, dan untuk menentukan ganjara hukum,
penghormatan dan penghargaan.[28]
Kemudian penulis juga menilik bahwa Negara
menurut Hobbes juga berhak menuntut ketaatan mutlak warga negara kepada
hukum-hukum yang ada, serta menyediakan hukuman bagi yang melanggar, termasuk
hukuman mati. Dengan demikian, warga negara akan menekan hawa nafsu dan insting
untuk berperilaku destruktif. Selanjutnya, warga negara akan memilih untuk
patuh kepada hukum karena memiliki rasa takut dihukum mati.
Hilangnya kebebasan warga negara terhadap
negara adalah harga yang harus dibayar jika semua orang ingin hidup dalam
ketenteraman, keteraturan, dan kedamaian. Bagi Hobbes, ketentraman dan
keteraturan masyarakat adalah yang utama. Jikalau kekuasaan negara begitu
mutlak dan tidak dapat dituntut oleh warga negara, bukankah potensi
penyalahgunaan kekuasaan oleh negara menjadi amat besar? Untuk mencegah
terjadinya hal tersebut, Hobbes menyatakan dua hal. Yang Pertama, perlu ada
kesadaran dari pihak yang berkuasa mengenai konsep keadilan, sebab kelak
perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dalam pengadilan
terakhir. Dan yang kedua, jika negara mengancam kelangsungan hidup warga
negara, maka setiap warga negara yang memiliki rasa takut terhadap kematian
akan berbalik menghancurkan negara, sebelum negara menghancurkan mereka. Pada
situasi tersebut, masyarakat akan kembali ke "keadaan alamiah" untuk
selanjutnya membentuk negara yang lebih baik, dan seterusnya.
Kekuasaan itu memang mutlak bagi penguasa.
Namun demikian, Hobbes menegaskan bila terjadi tindakan dari penguasa yang
menyakiti jasmani, dengan cara melalui perintah penguasa kepada rakyat, maka
seseorang berhak menentang atau tidak mematuhi penguasa itu. Sebagaimana
diungkapkannya:
“Membunuh,
melukai, ataupun merusakkan dirinya sendiri; atau (memerintahkan) untuk tidak
mempertahankan diri bila diserang; atau (memerintahkan) untuk tidak memakan
makanan, tidak mempergunakan udara, obat, atau benda-benda lain yang ,au tidak
mau haris dimakan atau dipergunakannya agar dapat hidup.” (Thomas Hobbes,
Leviathan)[29]
Cara pandang Hobbes itu bermakna logika
bahwa ia menolak apa yang dikenal dengan sistem politik demokratis. Sistem
politik demokratis sangat menegakkan adanya pembagian kekuasaan, yang mengenal
adanya pemisahan kekuasaan. Bagi Hobbes, dengan adanya pembagian atau pemisahan
kekuasaan, Negara tidak akan solid, sebab terjadi penyebaran kekuasaan yang
dapat menimbulkan konflik kekuasaan.
Dengan demikian, memahami pandangan
Hobbes, kita dibawa pada suatu anggapan bahwa manusia itu lebih mengutamakan
kepentingan diri, menganl cara kekerasan sebagai jalan, tidak ubah seperti
hewan; hewan juga memiliki naluri hidup berkelompok (dalam konteks ini adalah
Negara), seperti singa, serigala, buaya, tetapi mereka buas dan hidup
didasarkan kepada kekuatan dan kekuasaan (dalam hal ini adalah hukum Negara
yang sifatnya memkasa).
c.
Pemikiran Montesquieu
Charles Louis de Secondant Baron de
Montesquieu adalah nama lengkap dari Mountesquieu, lahir di Bordeaux, Prancos,
1689. Di dunia Barat, Montesquieu dikenal tidak hanya sebagai seorang filsuf
politik, melainkan juga seorang sosiolog yang mendahului Auguste Comte dunia
Barat, sejarawan, sekaligus penulis novel. Gagasannya merefleksikan pemikiran
sistem sosial di mana sebuah sisrem sosial terdiri atas unit yang saling
tergantung, menyatu, dan berinteraksi.
Pengaruh pemikirannya dapat dilacak dalam
konstitusi maupun perumus konstitusi Amerika Serikat, George Washington dan
Thomas Jefferson, disebabkan oleh memiliki pengaruh yang besar kepada tokoh
pendiri negaea Amerika Serikat dalam menyusun konstitus di abad XVIII. Tiga
gagasannya mengenai pilar suprastruktur politik dalam kehidupan bernegara
sebagai sebuah model pembentukan sebuah Negara modern.
Tiga pilar suprastruktur, apabila
kekuasaan legislative dan eksekutif disatukan pada tangan yang sama, ataupun
pada badan penguasa yang sama tidaklah mungkin ada suatu kemerdekaan, tidak
juga dapat tegak kemerdekaan bila kekuasaan yudikatif tidak dipisahkan dengan
lembaga eksekutif dan legislative. Penggabungan tiga pilar suprastruktur hanya
memberikan penguasa Negara dengan pengelolaaan Negara sesuka hati, dan hakim
akan menjadi bagian yang turut membuat undang-undang. Apabila kekuasaan
mengadili digabungkan dengan pelaksanaan pemerintahan, maka yang terjadi adalah
kekerasn dan penindasan. Maka akan berakhir segala-galanya bila yang mengelola
adalah orang yang sama atau badan yang sama. (Deliar Noer, Ibid, hlm. 136).[30]
Sebab itu masing-masing pilar itu saling mengawasi serta menghambat kemungkinan
penyelewengan. Bagi Montesquieu, cara seperti ini tidak akan memacetkan kerja
pemerintahan, sebab kehidupan dan masalah manusia akan medesakkan ketiga
kekuasaan itu untuk bergerak.
Pembagian kekuasaan (distribution of power)
bukan berarti pemisahan kekuasaan (separation of power) secara mutlak, sebab
masih adanya saling pengaruh antara badan-badan yang mengendalikan
masing-masing pilar suprastruktur politik tersebut, namun dalam batasan-batasan
tertentu. Dengan demikian, pendekatan konstitusional demikian penting dalam
mengatur pemerintahan dalam pemikiran Montesquieu. Montesquieu memang adalah
seorang konstitusionalis. Di Inggris, pembagian kewenangan dalam legislative
adalah antara House of Common dan House of Lords
Legislative, kekuasaan ini harus terletak
pada seluruh rakyat, tetapi tidak mungkin terlaksana dalam wilayah yang luas
daerahnya, untuk Negara kecil pun pasti dihadapi pada berbagai persoalan. Oleh
sebab itu dibutuhkan wakil-wakil rakyat. Montesquieu merepresentasikan
keterwakilan itu tidak secara homogen, dalam artian perlu ada pengakuan antara
golongan bangsawan dan rakyat biasa. Rakyat dalam pengertian berdaulat yang
dimaksud oleh Montesquieu adalah berupa Dewan Rakyat, bukan orang-orang yang
mewakili rakyat. Dewan rakyat dalam pengertiannya semacam dewan yang terdapat
dalam zaman Yunani dan Romawi kuno. Berperan sebagai mediator rakyat dengan
penguasa, sebagai komunikator serta aggregator aspirasi dari kepentingan orang
banyak.
Terdapat perbedaan tipe pemerintahan menurut Montesquieu,
yaitu repubik, monarki, dan despotisme.“Republik”, dihubungkan erat dengan
demokrasi, rakyat berpegang pada kebajikan, dan baginya adalah kejujuran,
patriotisme, dan kecintaan terhadap persamaan. Rakyat memiliki kekuasaan
tertinggi, yakni demokrasi dalam demokrasi rakyat berdaulat dalam hal tertentu
dan merupakan kaula dalam hal tertentu. Dimata Montesquieu bentuk republik
merupakan yang terbaik, sebab rakyat pemegang kedaulatan tertinggi. “Monarki”,
pada tipe ini kehormatanlah yang jadi pegangan. Sedangkan ambisi memberikan
pengaruh terhadap semangat bagi pemerintah. Dalam monarki kekuasaan diperintah
beberapa orang aristokrasi. Model negara Montesquieu mengacu pada monarki yang
terdapat di Eropa, khususnya di Inggris dan Perancis. Rusaknya negara monarki
apabila kaum bangsawan sewenag-wenag melanggar hukum, prinsip-prinsip
kenegaraan dilanggar, melakukan perubahan-perubahan tradisi yang telah mapan,
penguasa memiliki egosentris yang demikian kuat menyamakan ibu kota
negaradengan negara, dan menyalahgunakan wewenang terhadap rasa cinta kepada
rakyat serta tidak percaya diri bahwa dirinya aman merupakan faktor lain yang
dapat menghancurkan monarki. “Despotisme”, masyarakat yang berdasar depotisme
akan melahirkan rasa takut, disebabkan gangguan dari si despot, yakni penguasa
yang sewenang-wenang. Namun, Montesquieu menolak adanya despotisme dalam trias
politikanya. Despoti merupakan bentuk negara terburuk. Sebuah negara yang
diperintah oleh satu orang yang menentukan segalanya sesuatu dengan atas dasar
kemauannya sendiri. Montesquieu memberi contoh sejumlah negara despotis yang
ada di Asia, seperti China, Jepang, dan India.[31]
d.
Pemikiran
Politik Jean-Jacques Rousseau
Jean-Jacques Rousseau adalah seorang
filosof dan penulis yang lahir di Jenewa, Swiss. Salah satu buah pikirannya
yang penting adalah tentang sifat alamiah manusia yang menurutnya baik dan
menginginkan kebahagiaan. Selain itu manusia juga tidak menyukai kekerasan
sebab tidak ada rasa benci dan dendam dalam diri.
Munculnya konflik terjadi apabila terjadi
kesenjangan derajat manusia baik karena perbedaan kepemilikan maupun kelas
sosial. Berbeda dengan Hobbes yang melihat konflik muncul karena memang watak
agresif yang dimiliki oleh manusia hingga muncul istilah manusia bisa menjadi
serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Ketika manusia itu berperan
secara pasif maka manusia bertindak secara individu. Tetapi ketika dia berperan
aktif, memenuhi kewajibannya serta mendapat hak-haknya secara penuh manusia itu
berdiri sebagai rakyat yang berdaulat. Ketika rakyat yang berdaulat itu saling
bersekutu dan membentuk suatu kelompok yang memiliki kesepakatan bersama maka
itu yang disebut dengan warga (citizen) sehingga ketika warga yang berdaulat
itu mereka tunduk dan patuh terhadap hokum Negara disebut sebagai kawula
(subjek).
Secara alamiah
manusia itu sebenarnya sama dan sederajat, dan tidak ada seorang pun yang
memiliki otoritas politik terhadap orang lain. Manusia itu merdeka dan bebas
menurut kehendaknya sendiri sehingga yang terjalin adalah hubungan kekuatan
bukan hubungan kekuasaan. Ketika beberapa orang berhasil mencapai tujuannya
serta memuaskan nafsu dan keinginan mereka sementara yang lain gagal itu bukan
menjadi masalah karena ketika terjadi perbedaan kekuatan, ketrampilan,
kepandaian merupakan unsur-unsur ketidaksederajatan alami, tidak mengurangi
unsur yang alami yaitu kebebasan. Jadi secara alami manusia bebas untuk memilih
nasibnya sendiri.
Secara politis masyarakat politik tidak bisa
dibentuk karena alasan kekuatan. Ketika munculnya Raja sebagai pemimpin
bukanlah orang yang paling kuat, tetapi tetapi dia berhak menggunakan kekuatan,
subjek (disini adalah warga) bukanlah pihak yang paling lemah, tetapi dia
adalah orang yang harus tunduk terhadap Raja. Kekuatan diartikan sebagai
kemampuan fisik, dan tidak berhubungan dengan hukum maka ketika semuanya
bergantung pada kekuatan bisa diartikan bahwa manusia masih dalam keadaan
alami. Rousseau juga menolak adanya kekerasan yang muncul di suatu negara. Hal
ini dikarenakan negara yang terbentuk berdasarkan kontrak sosial tidak mungkin
terdapat unsur paksaan karena suatu kontrak (perjanjian) hanya bisa terbentuk
berdasarkan persetujuan bukan dengan paksaan.[32]
Ketika munculnya kekuasaan karena adanya kekerasan maupun pakasaan bisa
dikatakan tidaklah kekuasaanya tidaklah sah.
Rousseau menulis : Man was born free and
he is everywhere in chains (Manusia dilahirkan bebas merdeka; tetapi di
mana-mana ia dalam kedaan terbelenggu). Ketika manusia yang secara alami dalam
kondisi bebas, mereka rela melakukan kontrak sosial dan rela menyerahkan
kebebasan yang dimiliki mereka untuk agar memperoleh apa yang dinamakan dengan
kedamaian dan keamanan. Maka diperlukan sebuah negara agar bisa
mengakomodasikan hal itu. Rakyat sendiri bertindak sebagai perumus hukum agar
tidak ada kerugian nantinya dan kebebasan yang dimiliki atas dirinya sendiri
juga tidaklah hilang. Oleh karena itu, rakyat pulalah mendapatkan kewajiban
untuk mematuhi aturan hukum yang berlaku, tetapi mereka juga memiliki hak agar
bisa duduk di lembaga legislatif agar mereka bisa menyuarakan aspirasi dan
gagasan mereka. [33]
Negara yang terbentuk atas kehendak
bersama merupakan kebaikan yang bersifat universal sehingga menampung setiap
aspirasi yang berasal dari rakyatnya. Sedangkan negara berkewajiban untuk
melindungi kekayaan atau harta yng dimiliki oleh warganya serta menjamin warga
negaranya agar mereka mendapatkan kebahagiaan serta mereka merasa aman. Hukum
yang pada dasarnya berasal dari aspirasi tiap warga negara maka harus
ditegakkan demi kepentingan rakyatnya. Pandangan Rousseau terhadap milik
pribadi (dan juga terhadap pelbagai pokok masalah) sering bertentangan satu
sama lain. Pernah dia menggambarkan hak milik pribadi itu merupakan "hak
yang paling suci dari semua hak penduduk." Tetapi, bisa juga dibilang
bahwa serangannya terhadap hak milik pribadi punya akibat lebih besar terhadap
sikap para pembacanya ketimbang komentar-komentarnya yang bernada memuji dan
menyanjung. Rousseau merupakan
salah satu dari penulis modern pertama yang punya arti penting melabrak habis
lembaga hak milik pribadi, karena itu dia bisa dianggap selaku pemula dari
faham sosialisme dan komunisme modern (sedikit kembali mengarah kepada
pemikiran Plato).
Bentuk Pemerintahan dalam definisi
rousseau adalah suatu badan perantara yang dibentuk antara warganegara dan
kedaulatan tertinggi demi terjalinnya komunikasi timbal balik. Pemerintahan
merupakan badan yang terdiri dari kalangan governours, prince atau magistrates
dan melaksanakan kewajiban hukum serta menjaga kebebasan sipil dan politik
rakyat. Dengan diselenggarakannya perjanjian masyarakat itu (kontrak sosial ala
Rousseau), berarti bahwa tiap-tiap orang melepaskan dan menyerahkan semua hak
nya kepada kesatuan yaitu masyarakat. Jadi sebagai akibat diselenggarakannya
perjanjian masyarakat ini adalah :
1. Terciptanya
kemauan umum, yaitu kesatuan dari kemauan orang-orang yang telah
menyelenggarakan perjanjian masyarakat, dan inilah yang bisa disebut sebuah
keadulatan.
2. Terbentuknya
masyarakat, yaitu kesatuan dari orang-orang yang menyelenggarakan perjanjian
masyarakat, masyarakat inilah yang mempunyai kemauan umum yaitu sebuah
kekuasaan tertinggi dan kedaulatan yang tidak bisa dilepaskan.
Jadi dengan diselenggarakannya perjanjian
masyarakat, terciptalah sebuah negara. Hal ini berarti telah terjadi suatu
peralihan dari keadaan alam bebas ke dalam keadaan bernegara. Karena adanya peralihan
ini, naluri manusia telah diganti dengan keadilan dan tindakan-tindakan yang
mengandung kesusilaan. Kemudian, sebagai pengganti dari kemerdekaan alamiah
serta kebebasan alamiah, manusia kini mendapatkan kemerdekaan yang telah
dibatasi dengan kemauan umum yang dimiliki oleh masyarakat sebagai kekuasaan
teringgi.
Menurut Rousseau, kekuasaan raja bersifat hanya sebuah pinjaman. Hal ini dikarenakan ketika individu-individu mengadakan perjanjian masyarakat, mereka tidak menyerahkan hak-hak dan kekuasaan seutuhnya kepada raja. Akan tetapi mereka menyerahkan sebuah kehendak dan kemauannya kepada masyarakat yang masyarakat ini sendiri merupakan sebuah kesatuan sendiri yang timbul karena perjanjian masyarakat. Rousseau menambahkan, masyarakat akan menyerahkan kekuasaan ke tangan penguasa, tetapi sebuah kedaulatan tidak dapat berpindah tangan atau diberikan kepada siapa pun termasuk penguasa. Jadi kedaulatan ini tetap dipegang masyarakat atau rakyat.
Menurut Rousseau, kekuasaan raja bersifat hanya sebuah pinjaman. Hal ini dikarenakan ketika individu-individu mengadakan perjanjian masyarakat, mereka tidak menyerahkan hak-hak dan kekuasaan seutuhnya kepada raja. Akan tetapi mereka menyerahkan sebuah kehendak dan kemauannya kepada masyarakat yang masyarakat ini sendiri merupakan sebuah kesatuan sendiri yang timbul karena perjanjian masyarakat. Rousseau menambahkan, masyarakat akan menyerahkan kekuasaan ke tangan penguasa, tetapi sebuah kedaulatan tidak dapat berpindah tangan atau diberikan kepada siapa pun termasuk penguasa. Jadi kedaulatan ini tetap dipegang masyarakat atau rakyat.
Sifat kekuasaan yang dimiliki penguasa
ini, hanya untuk melaksanakan kehendak umum dan penguasa hanya sebuah wakil
dari rakyat. Apabila seorang penguasa melakukan tindakan yang bertentangan dan
menyimpang dengan hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat, maka penguasa itu
dapat diganti dengan penguasa yang baru. Semua pendapat dan pemikiran yang
dikemukakan oleh Rousseau ini sebagai akibat dari keadaan Perancis pada masa
itu, dimana seorang raja mempunyai kekuasaan yang mutlak dan melakukan tindakan
yang sewenang-wenang kepada rakyat. [34]
4.3.
Kontribusi dan Perbandingan Pemikiran Politik antara Filsuf Yunani-Romawi
dengan Pemikir Politik Barat Abad Pertengahan
Pada subbab kali ini, penulis mencoba
untuk mengidentifikasi kontribusi dan perbandingan antara filsuf Yunani-Romawi dengan
Pemikir Politik Abad Pertengahan yang disajikan dalam bentuk tabel.
Tabel
mengenai Kontribusi Pandangan Politik Yunani dengan Politik Barat:
No
|
Aspek
|
Persamaan
|
Pemikiraan yuanani
|
Pemikiran barat
|
1
|
Demokrasi
|
Sama sama membenci sistem
demokrasi
|
Plato :
1.
karena kekalahan athena pada
sistem pemerintahan demokratis
2. Karena latar belakag keluarga aristrokat
3.
kematian Socrates oleh pemerintah demokratis
|
Hobbes :
karena demokrasi dianaggap sebagai bentuk pemerintahan yang tidak solid dan
karna adanya pembagian kekuasaan .
|
2
|
Sistem pemerintahan
|
Sama-sama menginginkan sistem pemerintahan yang otoriter
|
Plato :
menginginkan
sistem otoriter yang di anut oleh Sparta
agar tercipta bentuk Negara yang solid
|
Hobbes : menghendaki negara
berkuasa secara mutlak hingga tidak terdapat kekuatan lain
agar tercipta ketertiban dan kemanan
|
3
|
Hak milik
|
Sama-sama melindungi hak
milik pribadi
|
Aritoteles : adanya hak milik
memungkinkan seseorang untuk lebih mencurahkan perhatian kepada
masalah-masalah umum,masalah yang mengenai masyarakat.
|
Locke : negara didirikan
untuk melindungi hak milik pribadi untuk menjamin keutuhan milik pribadi yang
semakin berbeda-beda besarnya.
|
Sama-sama tidak mengakui hak
milik pribadi
|
Plato :
karena negara ideal menurut
plato di dasarkan pada prinsip-prinsip larangan atas kepemilikan pribadi baik
dalam bentuk uang atau harta,keluarga,anak dan istri yang di sebut dengan
nihilsm karna dapat tercipta kecemburuan dan kesenjangan sosial
|
Rousseau : melabrak habis
lembaga hak milikpribadi oleh
karena itu
dia bisa dianggap selaku
pemula dari faham sosialisme dan komunisme modern.
|
Tabel
PerbedaanPemikiraan pandangan Politik Yunani dan Politik Barat:
No
|
Aspek
|
Pemikiran Yunani
|
Pemikiran Barat
|
1
|
Perbudakan
|
Aritoteles : mendukung
perbudakan karena dianggap jalan dengan hukum alam.
|
John locke : menentang
peningkatan negara untuk menuju kondisi perbudakan karena perbudakan tidak
sesuai dengan prinsip civi society.
|
2
|
Terbentuknya suatu negara
|
Plato dan Aristoteles :
negara terbentuk karena adanya kepentingan yang berbeda antar manusia satu
dan manusia lain yang hakikatnya adalah makhluk sosial
|
Hobbes, Rosseau dan Locke :
menyatakan kontrak sosial atau perjanjian masyarakatlah yang paling ideal
dalam pembentuknya suatu negara
|
BAB
V
KESIMPULAN
Bangsa Romawi memang terkenal dengan
pengaruh-pengaruh pemikirannya oleh para filsafat-filsafat di zamannya.
Termasuk salah satunya yaitu pemikiran di bidang politik. Terdapat tiga masa
perkembangan teori politik, yaitu masa klasik yang dipelopori oleh
filsuf-filsuf Yunani-Romawi, masa pertengahan atau menuju modernitas, dan masa
pencerahan atau kontemporer. Dua masa terakhir banyak menelurkan
pemahaman-pemahama baru mengenai teori politik yang kebanyakan merupakan
pengembangan dari pembahasan lebih lanjut oleh para pelopor sebelumnya.
Setelah menuliskan makalah di atas, maka
kami dapat menyimpulkan bahwa keadaan lingkungan, factor keturunan, serta
factor lainnya dapat mempengaruhi pola pikir seseorang atau masyarakat pada
umumnya. Sebagai contoh, mayoritas pemikir politik abad pertengahan
menganjurkan pembentukan Negara melalui teori kontrak sosial atau perjanjian
masyarakat. Masayarakatlah yang memiliki andil dalam pemegangan kedaulatan.
Pemerintah hanya tinggal menjalankan perjanjian yang telah dimandatkan oleh
masyarakat. Pendapat penulis, pemikiran
ini dilahirkan karena keadaan politik dizamannya yang merupakan zaman
kegelapan. Keputusan pihak gereja adalah keputusan Negara. Segala macam paham,
tindakan, bentuk pikiran yang dirasa berbeda dari gereja maka harus
dimusnahkan. Masyarakat dalam hal ini tidak memiliki kontribusi penuh dalam
Negara. Berbeda dengan pemikir politik Yunani. Mereka berpendapat bahwa
terbentuknya Negara karena ada hubungan alamiah antar manusia yang tidak lain
adalah makhluk sosial. Mengenai
kontribusinya, di dalam merumuskan teori kontrak sosial, para filsuf
politik Barat tidak terlepas dari pengaruh kontribusi filsuf pada zaman
sebelumnya. Adalah teori imperium Romawi yang menjadi akar terbentuknya kontrak
sosial di Eropa. Jadi, walaupun para pemikir Barat memiliki bentuk pemikiran
berupa hasil kontribusi Filsuf Yunani-Romawi, namun pemikir Barat juga memiliki
bentuk pemikiran sendiri, yakni berupa hasil koreksi, penambahan, atau bahkan
protes dari pemikiran sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber
Buku:
·
Hertanto. 2006. Buku Ajar “Teori-Teori Politik Klasik dan Kontemporer”. Bandarlampung:
Penerbit Universitas Lampung
·
Losco, Joseph, Leonard Williams. 2005. Political Theory Kajian Klasik dan
Kontemporer Edisi kedua. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
·
Rousseau, Jacqueas Jean. 1947. The Social Contract. Hafner Publishing
Com, Penerbit Erlangga
·
Suhelmi,
Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
·
Syam,
firdaus.2007. Pemikiran politik barat
sejarah, filsafat, ideologi dan pengaruhnya terhadap dunia ke-3. Jakarta:
Bumi aksara.
Sumber
Makalah:
·
Makalah
milik Pangi Syarwi, seorang asisten Anggota DPD RI B-11 dan Peneliti Indonesian Progressive
Institute, yang berjudul “Negara Kota dalam Pemikiran Plato” yang
dipublikasikan di http://www.pangisyarwi.com/.
Tanggal akses 23 April 2013 (17.36)
Sumber Website:
Tanggal
akses 22 April 2013 (19.56)
Tanggal
akses: 22 April 2013 (16.04)
Tgl
akses 22 April 2013 (16.10)
·
Definisi Politik dalam Tinjauan Pustaka:
http://obrolanpolitik.blogspot.com/2013/01/pengertian-dan-definisi-politik-menurut.html
Tanggal
akses 22 April 2013 (16.28)
tanggal akses 23 April (14.13)
·
Ikhwan, Muhammad. Aristotle, Democratic Judgment and
The Middling Constitution. 2013 http://ikhti.blogspot.com/
tgl akses 23 April 2013 (17.27)
· Ikhwan, Muhammad. “Pemikiran Politik JHON LOCKE : Toleration and Government “. 2013. http://ikhti.blogspot.com/
Tgl
akses 23 April (17.46)
·
Ikhwan, Muhammad.
“PEMIKIRAN POLITIK THOMAS HOBBES :
The State Of Nature And The Basis Of Obligation.”
2013. http://ikhti.blogspot.com/
Tgl
akses 23 April 2013 (19.00)
Tgl
akses 23 April 2013 (19.17)
·
Kafrawi, Azmil. Makalah Peradaban Sejarah Yunani Kuno. 2013.
Tanggal
akses 22 April 2013 pukul 19.30
tanggal
akses 22 April 2013 pukul 19.00
·
Peradaban Yunani :http://whitneyvelyn.wordpress.com/2011/03/28/peradaban-sejarah-yunani-kuno-makalah-sejarah/
Tanggal
akses 22 April 2013 (16.46)
·
Sholikin, Ahmad . Teori Kontrak Sosial Thomas Hobbes Dan Teori Kontrak
Sosial John Locke. 2011 http://cakikin.blogspot.com
tanggal akses 22 April 2013 pukul 17.05
·
http://pendidikan4sejarah.blogspot.com/2012/11/peradaban-yunani-kuno.html tanggal akses 22
April 2013 (19.17)
[1]. Losco, Joseph,
Leonard Williams. 2005. Political Theory
Kajian Klasik dan Kontemporer Edisi kedua.
[2] Dikutip dari BAB
II Tinjauan Pustaka dari sumber http://eprints.uny.ac.id/8957/3/BAB%202-08502241019.pdf
[5]
Kafrawi, Azmil. Makalah Peradaban Sejarah
Yunani Kuno. 2013. http://bozzkaf.blogspot.com/2013/03/makalah-peradaban-sejarah-yunani-kuno.html
[6]
Dikutip dari http://whitneyvelyn.wordpress.com/2011/03/28/peradaban-sejarah-yunani-kuno-makalah-sejarah/
[9] Dikutip dari
Historia Magistra http://mustaqimzone.wordpress.com/2011/01/14/eropa-abad-pertengahan/
[16]
Ikhwan, Muhammad. Aristotle, Democratic Judgment and
The Middling Constitution. 2013 http://ikhti.blogspot.com/
[17]
Makalah Pangi Syarwi, “Negara Kota dalam Pemikiran Plato” dipublikasikan di http://www.pangisyarwi.com/
[18]
Syam, firdaus.2007. Pemikiran politik barat sejarah, filsafat,
ideologi dan pengaruhnya terhadap dunia ke-3.
[19]
Makalah Pangi Syarwi, “Negara Kota dalam Pemikiran Plato” dipublikasikan di http://www.pangisyarwi.com/
[20]
Makalah Pangi Syarwi, “Negara Kota dalam Pemikiran Plato” dipublikasikan di http://www.pangisyarwi.com/
[21]
Ikhwan, Muhammad. Aristotle, Democratic Judgment and
The Middling Constitution. 2013 http://ikhti.blogspot.com/
[22] Syam, firdaus.2007. Pemikiran
politik barat sejarah, filsafat, ideologi dan pengaruhnya terhadap dunia ke-3.
[23] Ikhwan, Muhammad. “Pemikiran Politik JHON LOCKE : Toleration and Government “. 2013. http://ikhti.blogspot.com/
[24]
Hertanto. 2006. Buku Ajar “Teori-Teori Politik Klasik dan Kontemporer”.
Bandarlampung: Penerbit Universitas Lampung
[25]
Syam, firdaus.2007. Pemikiran politik barat sejarah, filsafat,
ideologi dan pengaruhnya terhadap dunia ke-3.
[26] Ikhwan, Muhammad. PEMIKIRAN POLITIK THOMAS HOBBES : The State Of Nature And The Basis Of Obligation. 2013. http://ikhti.blogspot.com/
[27] Syam, firdaus.2007. Pemikiran
politik barat sejarah, filsafat, ideologi dan pengaruhnya terhadap dunia ke-3.
[28] Syam, firdaus.2007. Pemikiran
politik barat sejarah, filsafat, ideologi dan pengaruhnya terhadap dunia ke-3.
[29] Ikhwan, Muhammad. PEMIKIRAN POLITIK THOMAS HOBBES : The State Of Nature And The Basis Of Obligation. 2013. http://ikhti.blogspot.com/
[30] Syam, firdaus.2007. Pemikiran
politik barat sejarah, filsafat, ideologi dan pengaruhnya terhadap dunia ke-3.
[31] Syam, firdaus.2007. Pemikiran politik barat sejarah, filsafat,
ideologi dan pengaruhnya terhadap dunia ke-3.
[33]
Rousseau, Jacqueas Jean. 1947. The Social
Contract. Hafner Publishing Com,
Penerbit Erlangga
1 comments:
artikel yang menarik...jangan lupa mampir di blog sya ya..duniapendidikan33.blogspot.com
Posting Komentar