CHAPTER 1
“Boulevard of Broken Dreams”
“Bagaimana mungkin kamu hanya bisa
hidup dengan gitarmu ini?”
“Mungkin saja.”
“Ah,
kamu bercanda. Aku bisa memberikan tumpangan untukmu bernaung daripada harus
lontang-lantung nggak karuan seperti ini. Kamu kan anak gadis.”
“Jangan
khawatirkan aku.”
“Tentu
saja aku mengkhawatirkanmu, Rian! Aku tidak mungkin bisa melihat hidup
sahabatku hancur dan aku hanya diam saja. Ayolah, Rian. Beri aku kesempatan
untuk membantumu. Aku sudah lelah mengejar dan mencarimu kemana-mana.”
“Sana
pergi ke makam Nadia dan jangan ganggu aku.”
“Apa?
Jangan pernah sebut nama dia lagi! Kau tahu, setiap orang yang menyebut nama
Nadia, fikiranku segera melayang pada pembunuh bajingan yang tega membunuh
orang yang paling kucintai itu.”
“Kalau
begitu bunuh saja pembunuhnya.”
“Apa?
Bisa tidak kamu sedikit serius, hah? Kau tahu aku tidak akan mungkin melakukan
itu.”
“Yasudah,
Dilan. Aku pergi,” dia lalu bangkit dan berjalan membawa gitarnya.
“Rian!
Mau kemana? Aku masih bicara denganmu!!”
Masa bodoh.
“Jangan
berpura-pura tidak mendengarkan aku, Rian!”
Apa urusanmu?
“Kenapa
kamu berubah jadi sedingin ini?? Kemana Rian yang dulu, hah? Rian yang selalu
membawa aura kebahagiaan untuk orang-orang di sekelilingnya?? Aku merindukan
kamu yang dulu, Rian!!”
Ah, terserah.
...
Tidak
ada suara lagi? Baiklah. Dia pasti lelah.
Yang
Rian tahu sekarang adalah dia harus makan karena dia menderita kelaparan. Tapi sayang,
dia tidak punya uang. Mengamen? Bosan sekali Rian mendengarnya. Laki-laki
dengan wajah penuh bercak karena asap mobil itu selalu mengganggunya. Dia fikir
Rian wanita jalang? Tidak puaskah dia sudah jatuh miskin karena
kambing-kambingnya telah mati di tangannya? Ah, sial.
Matahari sore ini tampak indah
sekali. Warnanya merah seperti darah segar yang mencuat keluar saat Rian
menggergaji kepala tuan Hatachi Akira Hikaru, orang yang secara total menghabisi
nyawa seluruh keluargnya. Perlu kau tahu bahwa itu adalah kali pertama Rian
membunuh anak Adam dan sepertinya Rian suka perkerjaan barunya ini.
Rian mengambil posisi duduk di atas
papan dermaga kecil. Di sana ada tiang yang menjadi sandaran kapal nelayan
untuk mengikatkan tali kapalnya. Rian memeluk gitar kesayangannya dan jari-jarinya
mulai memposisikan pada setiap fret gitar.
Satu lagu favoritnya untuk sore ini, Green Day – Boulevard of Broken Dreams.
I walk a lonely road
The only one that I have ever known
Don't know where it goes
But it's only me, I walk alone
I walk this empty street
On the Boulevard of Broken Dreams
When the city sleeps
And I'm the only one and I walk alone
I walk alone
I walk alone
I walk alone
I walk a...
My shadow's the only one that walks beside me
My shallow heart's the only thing that's beating
Sometimes I wish someone out there will find me
'til then I walk alone
I'm walking down the line
That divides me somewhere in my mind
On the border line
Of the edge and where I walk alone
Read between the lines
What's fucked up when everything's alright
Check my vital signs
To know I'm still alive and I walk alone
I walk alone
I walk alone
The only one that I have ever known
Don't know where it goes
But it's only me, I walk alone
I walk this empty street
On the Boulevard of Broken Dreams
When the city sleeps
And I'm the only one and I walk alone
I walk alone
I walk alone
I walk alone
I walk a...
My shadow's the only one that walks beside me
My shallow heart's the only thing that's beating
Sometimes I wish someone out there will find me
'til then I walk alone
I'm walking down the line
That divides me somewhere in my mind
On the border line
Of the edge and where I walk alone
Read between the lines
What's fucked up when everything's alright
Check my vital signs
To know I'm still alive and I walk alone
I walk alone
I walk alone
Pukul setengah tujuh
malam. Apa yang harus aku lakukan?, fikirnya.
Bunuh orang saja!
CHAPTER 2
“Fake Glock”
Rian mengeluarkan pisau racun
miliknya. Pisau ini pisau warisan, peninggalan buyut dia yang masih percaya
akan mitos. Rian mengambilnya dari lemari baju ayahnya yang berada di rumah
neneknya sebagai bekal selanjutnya selain gitar ini. Dan kau harus tahu cara
kerja dari pisau keramat ini.
“Permisi, Pak? Bapak sedang apa
disini?” tanyanya pada seseorang yang gerak-geriknya mencurigakan. Dia sudah
siap memakai topeng untuk melancarkan aksinya. Mungkinkah dia maling? Pukul
tujuh malam?! Orang ini sudah gila!
“Ssssttt!
Diam atau akan kubunuh kau!” ancam Bapak berumur 40 tahunan itu sambil
menodongkan pistolnya. Hah! Dia fikir Rian bodoh? Glock palsu itu biasa kita lihat dijajakan di depan SD dan
anak-anak sering membelinya dengan harga delapan ribu rupiah. Rian menyeringai.
“Aku
takut mendengarnya.”
“Kalau
begitu pergilah! Jangan ganggu urusan orang!”
“Sebelumnya
mau lihat sesuatu, Pak?”
“Apa?”
“Ikut
aku.”
Rian
memancingnya ke tengah gelapnya kebun orang. Ada banyak pohon-pohon tinggi yang
bisa menyelamatkan dirinya dalam melancarkan aksi dia kali ini. Rian tidak
menengok kebelakang melainkan berjalan terus kedepan. Rian yakin pasti bapak
tidak tahu diri itu mengikutinya dan mulai berfikiran kotor karena melihat cara
jalan Rian yang sengaja dia buat-buat sedikit liar. Lihat saja.
“Hey,
Nona manis. Sudahlah jangan jauh-jauh. Di sini saja sudah cukup. Apa yang mau
kau tunjukkan padaku?”
“Aku
maunya lebih kedalam sedikit, Pak.”
“Ah,
baiklah. Kamu cantik sekali, Nona manis,” kata bapak itu dengan suara sok diberat-beratkan.
Sebenarnya
Rian mau bergerak lebih dekat dengan sungai agar dengan mudah mayatnya berenang
sampai kekuburan di ujung sungai itu, jadi Rian tidak perlu repot-repot
menyeret tubuh tua bangkainya ini. Deru suara bapak ini mulai gelisah, Rian
tidak tahu apa yang dia gelisahkan. Rian sama sekali tidak menengok kebelakang.
Membuatnya semakin dilanda rasa penasaran.
“Sampai.”
“Kau
mau kita bermain didekat sungai?”
Benar, kan? Dia sudah
gila.
“Main?
Oke, kalau Bapak menyebutnya dengan kata “main”.”
“Ah,
jangan panggil aku Bapak. Panggil aku Yanto saja. Aku masih muda, kok,” katanya
sambil diiringi cekikikan yang tertahan. Rian tidak bisa melihat wajahnya
dengan jelas dalam kegelapan seperti ini. Tapi Rian yakin dia sedang melototi
gerak-gerik tubuhnya yang sengaja dibuat eksotis.
Tertawalah sebelum kau
tidak bisa tertawa lagi.
Rian
mengambil posisi duduk di bawah pohon besar yang dia tidak tahu namanya.
“Kemari,
Pak. Lihat apa yang aku punya,” katanya lembut.
Rian
bisa merasakan langkah kaki bapak ini mendekat padnya. Tidak ada lagi yang
menyuruh, tangannya mulai menggapai wajah mulus Rian. Tidak main-main. Rian mengeluarkan
pisau racun ini lalu digoreskan sedikit di permukaan kulitnya yang sudah mulai
kisut. Dalam waktu kurang dari dua detik, dia sudah menjerit kesakitan,
merasakan perihnya sakaratul maut. Rian yakin racun yang sudah menjadi karat di
dalam pisau tua ini mulai menjaring sel-sel di dalam tubuhnya, membawa racun
tersebut ke jantung, otak, hati, paru-paru, dan dalam waktu kurang dari lima
menit Rian bisa pastikan tubuhnya sudah dingin tak bernyawa lagi.
“Aaagh!!
Apa yang kau l-lakk-ukan p-pp-adaku?” tanya bapak itu di sela-sela kematiannya.
“Membunuhmu.”
Bapak
itu semakin menjerit kesakitan dan mengumpat-umpat Rian yang menatap bapak itu
dengan pandangan menjijikan dengan kata-katanya yang kasar. Untung ini sudah
jauh dari pemukiman penduduk, jadi suaranya bisa sedikit teredam. Tapi Rian
jijik mendengarnya! Sial! Rian melihat jam di tangannya dan dia sudah merasakan
sakit selama empat menit. Ini tidak biasa! Racun itu biasanya mulai
mendinginkan tubuh seseorang dalam waktu sekitar tiga menit. Telat satu menit!
Akan aku percepat
prosesnya.
“Diam
dan jangan bergerak,” perintah Rian dengan suara yang datar padanya.
Rian
melapisi tangannya dengan sarung tangan pencuri miliknya dan memegang tangannya
yang mulai dingin itu dan menyayat kulitnya, lapis demi lapis. Pisau ini kurang
tajam, jadi bunyi kulit yang terkelupas hebat sampai bisa didengar sampai
sekitar dua meter jaraknya. Rian menikmati pekerjaan ini. Bapak ini semakin
menjerit tak karuan. Darah segar keluar dari tubuh yang baunya tidak sedap ini,
darah yang langsung membuat Rian semakin terangsang untuk menyayat kulitnya
lebih dalam lagi. Rian kemudian menusuk tangan bapak itu sampai terdengar bunyi
tulang yang retak dan pisau racun miliknya bisa menembus sisi lain dari
tangannya. Tidak diragukan lagi, Bapak itu sekarang sudah tidak lagi merasakan
perihnya disayat.
Ah, betapa baiknya
diriku.
Rian
kemudian menidurkan tubuh Bapak ini yang matanya melotot ke arahnya. Sangat
kesal melihatnya. Dia lebih baik tidak
mempunyai mata, fikirnya. Dengan mudah, Rian mengeluarkan kedua matanya
dengan cara mencoloknya dengan pisaunya dan yap! He has no eyes anymore. Dan dengan satu gerakan mudah seperti
layaknya pemain bola, Rian menendang tubuh si Yanto ini hingga dia masuk dan
mengambang di dalam sungai.
Dia
sudah meninggal.
Saatnya mencari uang
untuk makan malam!
CHAPTER 3
“Rian’s Life Story”
“Darimana kamu?”
“Mencari Rian, Ma.”
“Rian?
Gadis yang seperti orang psycho itu?
Dia tidak punya tempat tinggal, kau tahu kan? Dan kamu masih mau berteman
dengannya, Dilan? Kamu yakin?”
“Tentu
saja. Aku sangat mengenalnya dan dia tidak seperti yang kita lihat sekarang.
Dia juga bukan seorang yang gila atau apa. Memangnya Mama tau apa tentang
Rian?”
“Yang
Mama tau dia terlihat menyeramkan. Dari sudut matanya terlihat sekali kemarahan
yang tertahan dan dendam yang ingin segera memuncak. Mama takut anak laki-laki
mama menjadi korbannya.”
“Korban?
Maksud Mama apa?”
“Uhmm..
Mama juga tidak tahu pasti, Dilan. Yang jelas Mama takut sesuatu yang buruk
terjadi padamu.”
“Sudahlah,
Ma. Rian hanya butuh tempat untuk menceritakan keluh kesahnya dan aku sekarang
sedang mencoba memecahkan batu di hatinya yang semakin mengeras semenjak
tragedi yang menghabiskan seluruh nyawa keluarganya itu,” Dilan mengambil
segelas teh dan duduk di samping mamanya yang sedang memasak.
“Iya.
Mama sempat dengar tentang berita itu tapi belum jelas. Bisa kamu ceritakan
pada Mama tentang apa yang menimpa temanmu itu?”
“Mmmh..”
“Siapa
yang tidak tahu kalau keluarga Rianti Ananda Fichie adalah keluarga kaya. Mama
tahu, kan? Dan selalu ada saja yang tidak senang melihat kebahagiaan keluarga
Rian yang semakin hari semakin bersinar. Satu per satu penghianat berhasil ditumpas
oleh ayah Rian, Fabio Rodgres Fichie. Tapi mungkin memang sudah nasib atau
takdir, seorang Jepang yang bernama Hatachi.. uhmm, kalau tidak salah Hatachi
Akira Hikaru berhasil menembus benteng pertahanan Bapak Fabio dalam
mempertahankan laju bisnisnya. Fabio dituduh korupsi dana tender dari
kemenangan Bapak Fabio dalam usaha membangun real estate yang kalau tidak salah lokasinya sekitar lima kilometer
dari sini, Ma. Bisa Mama bayangkan, dana yang cair untuk pembangunan real
estate yang kelak mayoritas penghuninya adalah orang-orang bermata sipit yang
kerjaannya berbisnis sampai wafat adalah dana yang tidak sedikit dan angkanya
sangat fantastis, Ma. Dalam menjalankan usahanya sebagai seorang pemborong
besar, Bapak Fabio selalu berusaha untuk melakukannya dengan jujur. Dia tidak
mau dicap sebagai pembohong dan bukan
pemborong.”
“Kasihan
sekali. Lalu apa yang terjadi sampai keluarga mereka hancur lebur seperti ini?”
“Nah, tidak puas setelah berhasil menembus
benteng pertahanan Bapak Fabio, Hitachi dan dedengkot-nya
menggerogoti nyawa kehidupan keluarga Fabio dari dalam. Aku kurang begitu paham
mengenai alur ceritanya. Yang jelas pada suatu hari, rumah dan segala investasi
juga tabungan milik keluarga Fabio jatuh ke tangan Hitachi. Dengan tangan
dinginnya, Hitachi memerintahkan “orang-orangnya” untuk membakar rumah keluarga
Fabio. Satu yang mengerikan. Rian pernah cerita padaku sebelum sikapnya menjadi
sedingin ini, bahwa sebelum rumah itu dibakar, Fabio, istri Pak Fabio, adik
Rian, dan Rian diikat dan dipisahkan satu sama lain, tapi masih dalam satu
ruangan. Kalau tidak salah kejadiannya di dalam ruang tengah rumah mereka. Satu
per satu anggota keluarga dipotong rambutnya dengan pisau hingga ada yang
sampai kulit kepalanya terkelupas. Lalu setiap dari mereka disirami minyak
tanah dan siap untuk dibakar. Tapi, saat mau menyiram kearah Rian, minyak tanah
itu habis. Kemudian, Hitachi melemparkan puntung rokok yang apinya masih
menyala ke arah Fabio lalu pergi melarikan diri dengan penuh keyakinan kalau
keluarga Fabio akan mati semua.”
“Mereka
semua menjerit saat melihat sang kepala keluarga hangus dilalap api. Rian
sebagai anak pertama, tidak bisa tinggal diam melihat itu semua di depan
matanya. Terlebih saat melihat api mulai menjalar ke tubuh ibunya. Sekuat
tenaga, Rian berusaha melepaskan ikatan yang mengikat tangan dan kakinya dengan
kencang. Kuasa Tuhan, Rian berhasil. Tapi semua sudah terlambat, usaha Rian
melepaskan tali hanya sebagai selang waktu sambil melihat satu persatu anggota
keluarganya menjadi debu. Rian berlari keluar rumah dan menangis, menatap
terbakarnya seluruh kenangan yang pernah dia miliki selama enam belas tahun,” jelas
Dilan panjang lebar. Bahkan Mamanya sampai menghentikan aktifitas memasak untuk
mendengarkan Dilan bercerita.
“Ya,
Tuhan. Malangnya nasib anak itu. Lalu dia pergi dan tidak punya tempat tinggal
seperti sekarang ini?”
“Begitulah.
Dia segera berlari sejauh dua blok untuk mendatangi rumah neneknya. Dia ingin
menyelamatkan diri di sana. Tapi naas, yang dia lihat adalah api juga mulai
berkobar dari dalam rumah itu. Rian memberanikan diri masuk ke dalam untuk
melihat kondisi keluarganya yang ternyata sudah tidak ada di dalam rumah. Cukup
lama Rian di dalam. Entah apa yang dia cari. Saat dia keluar, wajahnya sudah
berpeluh keringat dan kehitaman karena asap tebal dari sumber api. Dia terlihat
mengantongi sesuatu. Aku tidak tahu itu apa. Aku tahu karena aku berada di sana
waktu itu, Ma. Aku sedang main sepeda di komplek itu.”
“Ya,
Tuhan. Kasihan sekali dia. Lantas kenapa kamu tidak membawanya kesini? Dia mungkin bisa tinggal bersama kita,”
tanya Mama.
“Sudah
berulang kali aku menawarkannya untuk tinggal, tapi dia tidak mau. Bahkan
sekarang dia semakin terlihat menakutkan semenjak kematian Nadia. Waktu itu
yang dia ambil dari rumah ini adalah gitarnya. Dia pernah menitipkan gitarnya
padaku. Setelah itu dia pergi lagi. Aku tidak tahu dia suka pergi kemana.”
“Nadia?
Nadia yang pacarmu itu, kan?”
“Iya,”
Dilan menunduk. Mungkin mengingat kejadian terbunuhnya sang pacar oleh pembunuh
yang tidak diketahui.
“Tapi,
Ma. Tuhan memang Maha Adil,” lanjutnya.
“Kenapa?”
“Hatachi
dan dedengkotnya akhirnya mati dalam keadaan mengenaskan. Mungkin dibunuh oleh
orang lain yang kesal dengan permainan bisnisnya. Permainan bisnis Hatachi
memang liar dan tidak beradab. Menurutku, sudah sepantasnya dia mendapatkan itu
semua.”
“Innalillahi..
mengerikan sekali kisah Rian,” kata Mama Dilan sambil mengelus dadanya.
“Iya,
Ma. Makanya aku iba terhadapnya. Aku mau dia melanjutkan sekolahnya dan bukan lontang-lantung seperti ini. Perpaduan
Yogyakarta dan Spanyol membuatnya jadi cantik. Dia bisa jadi model kalau dia
mau,” kata Dilan terlihat menyesal.
“Jangan
paksakan kehendak orang lain. Sudah cukup kita membujuknya. Apabila dia masih
keras kepala, yasudah biarkan saja. Kita tidak tahu bagaimana kehidupannya di
jalan. Ingat Dilan, secantik apapun dia, dia sudah menjadi anak jalanan dengan
kehidupan barunya yang liar. Mama tetap tidak suka kamu berteman dengannya.”
“Loh?
Aku hanya mencoba untuk mengembalikan kebahagiaannya!” otot Dilan.
“Tapi
tidak juga harus menganggu sekolahmu, kan? Kemarin kamu sampai berani bolos
sekola hanya karena ingin mencari Rian dan lihat apa yang kamu dapatkan. Dia
tidak peduli kehadiranmu! Oleh karena itu, jauhi dia!” tegas Mama.
Dilan
terdiam. Fikirannya tetap bertentangan dengan Mamanya.
Rian harus kembali
seperti dulu.
CHAPTER 4
“Misery
Business”
Rian berjalan dengan tenang setelah
berhasil menghabisi satu lagi kepala manusia. Dia merasa seperti habis
diberikan insulin atas penyakit yang dideritanya. Bajunya yang sedikit terkena
cipratan darah sang korban, dengan mudah bisa dia hilangkan. Ini hal mudah
untuknya. Setelah lapar batinnya terpenuhi, dia memutuskan untuk mencari uang
agar bisa memenuhi lapar di perutnya. Dia menuju sebuah cafẽ yang terdapat banyak anak seumuran dia di sana. Ngobrol,
makan, foto-foto, browsing
sepuas-puasnya, dan hanya untuk sekedar tertawa bersama. Rian menatap satu persatu dari mereka. Dulu, aku seperti mereka,ungkapnya dalam
hati. Rian tersenyum, walaupun tertahan. Dia merindukan kehidupannya dulu, yang
penuh dengan kegembiraan. Hitachi sialan
itu telah merebut semuanya. Terkutuklah kau!
Rian
tahu betul lagu apa yang biasa disukai anak muda seperti dia dan tamu-tamu cafẽ
itu. Dengan wajah tidak berdosa, dia menghampiri meja anak-anak belasan tahun
itu lalu mulai menyanyikan sebuah lagu. Kali ini dari miliknya Paramore yang
berjudul Misery Business. Dia berharap semua dari mereka dapat bergoyang
mendengarkan permainan gitarnya yang apik.
Dengan bermodalkan wajahnya yang
cantik saja sudah bisa menarik perhatian para pengunjung yang seumuran dengannya.
Ditambah pakaiannya yang sama sekali tidak terlihat seperti anak jalanan
apalagi seorang pembunuh.
Woop!
Bukan main. Semua orang di cafe itu bangun dari tempat duduknya dan mulai
bergoyang mengikuti irama lagu dan suara merdu oleh Rian. Dia tidak menyangka
banyak juga pemuda-pemudi di sini yang mengetahui salah satu lagu favoritnya.
Rian bisa tersenyum lebar saat banyak dari mereka ikut bernyanyi bersamanya.
Dia bekerja dengan baik, berhasil menyembunyikan “semuanya”.
Respon
yang lebih baik dan sampai membuat Rian sendiri merinding adalah saat mereka
semua menyanyikan bagian Chorus dari lagu ini. Lagu kebencian tentang
kemunafikan yang dikemas dalam cover keceriaan. Rian semakin bersemangat.
Sukses
besar! Rian bisa mendapatkan uang hampir seratus ribu rupiah hanya dalam satu
malam dia bernyanyi. Rian bisa merasakan nikmat dari hasil keringatnya sendiri
dan itu semua terasa lain dibandingkan dengan mengadahkan tangan selebar
mungkin di hadapan orang tua. Itu mustahil untuknya sekarang.
“Hey,
boleh aku tahu namamu?” tanya seorang laki-laki dengan rambut keriting berumur
sekitar delapan belas tahun. Sepertinya dia tertarik pada Rian.
“Maaf,”
Rian tidak berhenti melangkah pergi.
“Namaku
Deni. Aku hanya ingin berkenalan denganmu. Suara dan permainan gitarmu tadi
bagus sekali. Aku suka lagu yang kamu bawakan. Mungkin kamu bisa membawakan
lagu Paramore yang judulnya Playing God. Kalau tidak salah seperti ini...”
laki-laki itu mulai menyanyikan bait chorus pada lagu yang dia sebutkan tadi.
Aku tidak mendengarmu.
“...
nah kalau tidak salah seperti itu. Pasti bagus kalau kamu yang menyanyikan. Mau
tidak menyanyikan lagu itu untukku?”
“Tidak.
Terima kasih.”
“Ayolah,
sebentar saja. Kalau begitu, bagaimana kalau aku traktir kamu makan malam? Kamu
kelihatannya cinta musik. Kita bisa sharing
satu sama lain. Bahkan kalau kamu mau, kamu bisa bergabung di band-ku dan
aku bisa jadikan kamu vokalisnya. Bagaimana?”
Vokalis? Aku pernah
melakukannya dan itu buruk!
“Tidak.
Terima kasih.”
“C’mon,
baby girl. Aku suka melihat gayamu tadi. Jangan buat aku semakin penasaran
padamu.”
Dia memaksa.
Rian
tetap diam.
“Halo?
Apakah kamu mendengarku? Dingin sekali sikapmu. Tidak seperti saat bernyanyi
tadi.”
“Jangan
ikuti aku!” Rian sedikit menegaskan suaranya.
“Apa?!
Oke, tenang. Aku tidak akan memaksamu. Baiklah, aku pergi.”
Pengecut sekali dia.
Orang
yang menyebut dirinya bernama Deni tersebut akhirnya pergi. Hampir saja Deni
merasakan hangatnya racun liar dari dalam pisau milik Rian. Lagipula, Rian
tidak mau terlalu mengobral kekuatan pisaunya untuk hal ini. Dia tidak mau
polisi dengan mudah melacak jejaknya karena emosi Rian berhasil mengalahkannya.
Dia bukan pembunuh profesional, tapi dia tidak mau gegabah. Tapi, kalau saja
Deni tadi memaksa sekali lagi, niscaya besok pagi akan ada berita meninggalnya
seorang pemuda sehabis menggoda seorang gadis. Gadis itu bukan orang
sembarangan.
Namaku, Rian!
Ada
dua pilihan tempat makan untuknya sekarang. Di depan ada toko pizza, restaurant khusus bakso, dan nasi goreng
pinggir jalan. Coba tebak, Rian akan pilih yang mana.
“Tolong
nasi gorengnya satu porsi.”
“Ditunggu
ya, Neng.”
Satu-satunya
alasan Rian memilih membeli nasi goreng adalah, agar dia bisa lihat cara mereka
mencincang bumbu, bakso, dan bahan-bahan lain sampai halus-halus. Lihat, tangan
mereka lancar dan cepat sekali dalam melakukan eksekusi. Dengan gerakan yang
pasti dan cepat, tangan yang satu lagi menampung semua bahan-bahan yang sudah
dieksekusi tersebut kedalam satu wadah lain. Tidak ada satupun bahan yang
terjatuh. Kalau terjatuh, mereka akan rugi. Dalam sekian detik, semua sudah
dibinasakan dalam satu wadah besar, penggorengan. Tidak ada lagi yang nampak.
Semuanya sudah berbaur dengan nasi. Begitupun dengan talenan tempat sang ibu
mengeksekusi bahan-bahan. Rian lupa tangan yang mana yang digunakan, tapi
dengan cepat talenan itu bisa bersih seperti semula dan siap untuk
memotong-motong bahan yang lain lagi. Orang-orang kelaparan itu ingin semuanya
selesai dengan cepat dan mereka akan puas. Seusai mempersiapkan makanan untuk
tamu-tamunya, dia membersihkan segala sesuatunya dengan sempurna.
Ah, satu lagi pelajaran
baru.
“Ini,
nasi gorengnya,” kata ibu penjual nasi goreng kepada dua orang pelanggan yang
sepertinya habis dari pulang kerja.
Lihat,
tangan ibu itu kembali bergerak seperti mesin. Cepat dan tepat.
“Tadi
lihat tidak ada orang-orang berkerumun di dekat sungai?” tanya seseorang yang
baru saja mendapatkan pesanannya.
Kedengerannya menarik. Rian
memasang telinganya.
“Oh,
iya aku lihat! Ada mayat di sana. Tadi aku mendengar orang-orang yang
berkerumun di sana meneriakkan kalau bola mata mayat itu sudah tidak ada,” kata
temannya yang satu lagi.
Dasar tukang gossip.
“Ah,
yang benar? Gila! Kenapa mayat itu mati? Dibunuh atau ditabrak sapi?”
“Hahaha.
Gila kamu. Ya dibunuh, lah. Dasar pembunuh jahanam. Tega sekali dia menghabisi
nyawa orang. Dia fikir dia Tuhan?”
Sial!
“Benar
sekali! Mungkin dia saja dia orang gila yang kelaparan. Hahaha.”
Tertawalah sampai puas!
“Maaf,
tidak baik membicarakan orang lain. Kita kan
belum tahu pasti motif pembunuh itu. Kita tidak boleh menghakimi orang, kau
tahu,” kata ibu penjual nasi goreng menasihati.
Tuhan bersamamu, Bu.
Setelah
dinasihati, kedua orang itu terlihat berbisik-bisik. Entah apa yang dibicarakan
mereka. Yang jelas, bibir keduanya terlihat dibuat-buat. Sangat terlihat bahwa
mereka adalah wanita-wanita penggosip ulung. Bahkan Rian bisa bayangkan apa
saja yang biasa mereka lakukan pada waktu luang di kantornya.
“Ini,
nasi gorengnya.”
Rian
tersenyum ramah kepada ibu itu dan begitupun sebaliknya. Rian terlihat lahap
sekali menyantap makanan yang proses eksekusinya diperhatikan baik-baik sedari
tadi. Rian merasa semua yang dilakukan secara cepat dan tepat akan menghasilkan
sesuatu yang sempurnya. Buktinya? Nasi goreng ini!
“Ini,
Bu,” Rian membayar apa yang sudah dia pesan. Dia terlihat buru-buru, terlebih
saat dua orang tadi menyudahi makan malamnya.
“Tunggu
kembaliannya ya, Neng.”
“Ah,
tidak usah. Ambil untuk ibu semua. Terima kasih atas pelajarannya, Bu.”
“Loh?
T-tapi? Pelajaran apa, Neng?”
“Terima
kasih juga atas pembelaannya.”
“Apa?
Untuk apa, Neng?”
Rian
tetap melangkah pergi, bahkan cenderung mempercepat langkahnya. Dia tahu ibu
itu sedang bingung.
“Terima
kasih, Neng!” saut ibu itu dari belakang cukup kencang, berharap Rian
mendengarnya. Rian tersenyum dan tidak ada satupun yang mengetahui pergerakan
bibirnya kecuali dirinya.
Rian
semakin mempercepat langkahnya. Tidak berlari, tidak juga berjalan. Dia
terlihat berkeringat, seperti sedang dikejar anjing. Bahkan orang yang melihat
dia dengan cara berjalan seperti itu pun akan merasakan lelah. Nafasnya dan
detak jantungnya berderu seperti sedang lomba lari maraton, atau menunggu
detik-detik kelulusan. Matanya fokus kedepan, tidak dipincingkan kekanan atau
kekiri. Bagai elang yang siap menerkam pelikan.
“Hey!”
sapa Rian setelah menemui apa yang dia telah cari tepat di tempat yang dia
inginkan.
“Mau
apa?” tanya salah seorang dari mereka.
“Tadi
di tempat nasi goreng bicara tentang pembunuhan, ya?”
“Iya.
Memang kenapa?” tanya yang satu lagi.
Sok tomboy.
“Apa
yang kalian katakan tentang pembunuh itu?”
“Menurut
kami, dia kejam dan jahanam. Kau mau apa?”
Rian
mendekat.
“Apakah
ini yang kalian sebut kejam?”
Waktunya untuk
mempraktikan pelajaran.
Rian
menggores wajah perempuan yang menantangnya itu dengan pisau racunnya tanpa
memegang kulit mulus gadis itu.
“AAAGGH!
Kau apakan mukaku???” jerit perempuan itu histeris kesakitan sambil memegang
wajahnya yang segera bercucuran nanah busuk. Begitupun tangan yang digunakannya
untuk memegang wajahnya tadi. Dengan mudah racun itu berpindah sarang.
Dengan gerakan yang
pasti dan cepat, tangan yang satu lagi menampung semua bahan-bahan yang sudah
dieksekusi tersebut kedalam satu wadah lain. Tidak ada satupun bahan yang
terjatuh.
Hanya
dengan menggunakan satu tangan, dia berhasil menebas hidung mancung gadis itu.
Dashyat! Gadis itu merasakan rasa perih yang teramat dashyat! Tidak ada satu
potong hidungpun yang terjatuh ke tanah.
Dalam sekian detik,
semua sudah dibinasakan dalam satu wadah besar, penggorengan. Tidak ada lagi
yang nampak.
Dengan pisaunya, dia memaksa memasukkan potongan-potongan
hidung itu kedalam mulut gadis si empunya hidung.
“Ahmmmppphh!!”
gadis itu terlihat mau mengeluarkan seluruh isi perutnya saat.
“Telan.”
perintah Rian datar. Satu persatu sayatan hidung berhasil masuk kedalam perut
gadis malang itu.
“Ahmmmpppphh!!
Tt-olonghhh!” suaranya tertahan oleh pisau racun itu di ujung mulutnya. Tidak
sengaja, mata pisau Rian menusuk gusi gadis itu hingga berdarah.
“Ooops!
Itu faktor ketidaksengajaan.”
“S-siap-pa
k-kkamu??” tanya perempuan yang satunya dan bergerak mundur kebelakang setelah
melihat di depannya ada sesosok monster cantik. Rian menyeringai.
Namaku, Rian!
“Mau
tahu rasanya kejam?” Rian mendekati wajah gadis itu sampai keringat gadis itu
menempel di wajah Rian. Dipelototinya sampai gadis itu lemas karena takut.
Begitupun dengan
talenan tempat sang ibu mengeksekusi bahan-bahan. Rian lupa tangan yang mana
yang digunakan, tapi dengan cepat talenan itu bisa bersih seperti semula dan
siap untuk memotong-motong bahan yang lain lagi.
Dengan
gerak cekatan, dia membersihkan pisaunya dengan baju yang dimiliki korbannya. Rian
memotong jari manis yang dilingkari cincin dari tangan gadis itu. Dia lebih
suka cara yang ini dalam melepaskan cincin seseorang.
“Kau
gila! Psycho!!!” jerit gadis itu di sela-sela dia menahan rasa sakit di jarinya
yang sudah bercucuran darah.
Rian
menyeringai. Dia berniat memakaikan cincin itu pada jari yang lain.
“Jari
telunjuk?” Rian memasukkan cincin itu kedalam jari telunjuk gadis itu.
“Ah,
tidak cocok.” Rian segera memotong kembali jari telunjuk milik gadis
itu.
“AAGH!!”
Kembali dia memasukkan cincin kedalam jari yang lain lalu..
“AAGH!!
Please, stop! Help me..!!” Rian kembali memotong jari tengah yang dirasa kurang
cocok dipakaikan cincin. Beralih pada jari yang lain dan seperti biasa, setelah
dirasa tidak cocok, jari-jari itu kembali diputuskan dari uratnya.
“ARGGH! Tolong, maafkan aku! Sudah
cukup aku kehilangan temanku dan jari-jari tangan kananku! Jangan siksa aku
lebih dari ini!!!” erangnya kuat.
“Mati lebih baik.”
Rian menusukkan pisau miliknya
hingga masuk kedalam perut perempuan itu. dia menjerit kesakitan. Jeritan
terakhirnya.
Seusai mempersiapkan
makanan untuk tamu-tamunya, dia membersihkan segala sesuatunya dengan sempurna.
Siapa suruh kalian lari
kesini?, fikir Rian setelah melihat ada perahu nelayan bekas
yang terkapar. Kemudian, dia menyeret kedua mayat tersebut dengan cara menarik
bajunya dengan pisaunya yang sangat jauh dari kata tajam hingga sampai kedalam
perahu. Dia mendorong perahu itu sampai sedikit ketengah pantai. Hanyut dan ketika
sampai di tengah laut, kapal itu tenggelam. Kapal itu ternyata bocor. Mereka
akan dikira dimakan ikan buas.
Namaku, Rian!
CHAPTER 5
“No Voice To Be
Heard”
Setelah membunuh kedua penggosip
ulung itu, Rian kembali mengamen. Kali ini tidak pada suasana anak-anak muda
seusianya, melainkan suasana tahun 60’an.
Di tempat itu terdapat banyak sepasang suami dan istri sah, suami dan istri
simpanan, suami dan selingkuhan, suami dan istri sirih, suami dan istri juga
kerabatnya, yang kesemuanya rata-rata berumur tiga puluh ke atas. Manager kafe
itu masih muda, mungkin sekitar dua puluh tahunan. Tidak sembarang penyanyi
bisa masuk dan menghibur para tamunya, karena rata-rata pengunjung adalah dari
kalangan elite. Tapi, apa yang tidak
bisa dilakukan oleh gadis jagoan seperti Rian. Hanya dengan satu kedipan tanpa
harus menjadi perempuan murahan dia bisa menyulap sang manager meng-iyakan
kehadirannya untuk menghibur tamu-tamu di dalam.
Rian
melangkahkan kakinya masuk kedalam kafe dengan dominasi warna merah maroon itu.
Bapak-bapak berdasi dan ibu-ibu penuh gandulan di leher dan tangannya sangat
menikmati penganan yang disediakan. Dia jadi teringat akan ibu dan ayahnya.
Mereka dulu sering pergi ke kafe keluarga pada akhir minggu atau hari libur.
Sempat dilanda kebingungan atas lagu apa yang harus dia mainkan di dalam. Tapi
mungkin, lagu kesukaan ibunda Rian bisa menjadi sajian yang pantas.
“Lagu
ini mengingatkanku pada almarhum ibuku. Dia wanita hebat. Untuk semuanya, aku
tidak perlu belas kasihan. Hanya satu kali tepukan saja dan nyatakan kalau lagu
ini hebat dari hati Anda yang terdalam. Dari milik Jim Reeves, ‘He’ll Have to
Go’.”
Woop!
Semua orang bertepuk tangan saat Rian baru saja menyelesaikan kalimat
terakhirnya. Sambil bernyanyi dengan gitarnya, dia membayangkan wajah ibunya
yang sering mengajaknya berkaraoke lagu ini, dan ibunya juga sering
memperdengarkan Rian lagu ini saat Rian masih tertidur pulas di dalam gendongan
ibunya dulu. Dulu sekali, sebelum semuanya berubah.
“Lagi!
Lagi! Lagi! Lagi!” sorak semua pengunjung saat Rian menyelesaikan bait terakhir
lagu itu. Rian kemudian melirik si manager muda itu untuk meminta izin dan
manager menundukkan kepalanya pertanda setuju tanpa perlu Rian mengatakan
kalimat apapun.
“Victor
Wood, Take Good Care of Her”
Respon
yang sama, sangat baik. Semua orang bisa tersenyum. Kalau lagu ini, Rian ingat
akan ayahnya yang kurang suka dengan penyanyi asal Filiphina seperti Victor
Wood. Dia terkadang langsung masuk ke kamar saat ibu Rian memainkan lagu ini di
ruang tengah. Tidak ada yang marah. Ibu Rian sengaja meledek tuan Fabio saat
itu.
Sukses
besar. Dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah berhasil dia kantongi dalam waktu
semalam walaupun hanya membawakan dua buah lagu. Dengan uang itu, dia menuju ke
sebuah distro. Bujang-bujang sok keren di dalam toko itu menatap Rian dari atas
sampai kaki. Jelas saja, Rian cantik bukan buatan. Dengan tatapan pembunuh dan
tidak meladeni satu orang pun dari mereka, Rian melangkahkan kakinya dan
memilih-milih baju. Pukul sebelas malam dan kedatangan wanita cantik adalah
rejeki untuk mereka dan tidak ada yang menyuruh, fikiran mereka pasti kotor. Merasa
tidak diladeni, satu per satu dari mereka mulai mendekati Rian yang adalah
satu-satunya wanita di dalam.
Dekati aku adalah
kesiapan untuk mati.
Dengan
tangan berani, seseorang dengan tinggi sama dengan Rian mulai memainkan
tangannya dengan menyolek-nyolek pinggang Rian. Rian diam saja, mengatur nafas
agar mereka tidak mengetahi kalau darahnya sudah naik ke kepala. Menunggu saat
yang tepat untuk beraksi. Merasa tidak ada respon berarti dari Rian, pria itu
fikir Rian setuju atas perlakuannya?
Jangan harap!
Rian
menggeser baju pilihannya agak kedepan dan bergerak menuju belakang distro
tanpa berbicara apapun. Satu per satu mengikuti Rian dan berharap mendapatkan
“sesuatu” dari Rian.
Ya, kalian akan
mendapatkannya.
Rian
lalu duduk di lantai dengan kepala menunduk kebawah. Mereka semua pasti bingung
dengan apa yang Rian lakukan tapi sepertinya mereka tidak peduli. Nafsu mereka
sudah di ujung ubun-ubun dan orang yang tadi mencolek-colek Rian segera memeluk
Rian.
Salah.
Dia melakukan hal yang salah.
“AAGGH!!”
jerit pria itu ketika dari batas mata kaki ke bawah berhasil diputusi dengan
cepat oleh Rian dan pisaunya dan membuat dia jatuh tersungkur hingga kepalanya
membentur lemari. Naas, lemari itu bergoyang dan ternyata di atasnya ada pisau
buah dan apel yang sudah dikupas dan berubah menjadi sedikit oranye karena
terkena udara. Apel dan pisau itu ikut terjatuh menimpa laki-laki nakal itu. Dia
menjerit kesakitan saat didapati apel mendarat di dahinya. Tapi dia berhenti
menjerit saat pisau buah berhasil mendarat mulus tepat di tengah-tengah
lehernya saat dia mengadahkan kepalanya keatas.
Terima kasih pisau
manis.
“RIO!!!”
jerit histeris teman-temannya saat melihat orang yang dipanggil Rio itu mati
dengan mulut menganga.
“Lari!
Kita harus lari!!” ajak seseorang.
“Apa?
Bagaimana dengan Rio??”
“Biarkan
saja! Kita harus menghubungi polisi sekarang! Cepat!”
Tidak semudah itu.
Rian
bergerak sangat cepat seperti seorang ninja dan mencabik satu persatu dari
mereka dengan pisaunya. Cabikan yang cepat, tapi niscaya racunnya sudah meresap
hingga ke dalam sel-sel darah mereka. Kali ini Rian baru sadar, bahwa deteksi
polisi saat melihat luka atau goresan pada luka korban yang disebabkan pisau
milik Rian adalah hasil gigitan hewan. Itu dikarenakan pisau itu terbuat dari
tulang hewan buas yang dilumuri oleh darah anjing hutan juga bahan-bahan dari
tanaman liar di dalam hutan yang menyebabkannya menjadi sangat beracun. Jadi,
dia bisa bebas menghabisi satu persatu dari mereka tanpa takut dideteksi
polisi.
Mereka
menjerit kesakitan saat didapat dari sumber cabikan sudah keluar darah serta
nanah yang sangat menjijikan. Tapi yang jelas, Rian selalu kurang puas kalau
belum memotong atau membiarkan pisaunya tembus di dalam tubuh mereka. Rian
menusukkan pisaunya kedalam leher dua dari mereka, lalu satu orang lagi
mendapat giliran potongan tangan oleh Rian.
Satu, dua, tiga. Mereka
tidak lagi bernafas. Semua dilakukan dengan cepat dan tepat.
Juga
tanpa suara.
Dia
kemudian mengambil korek api dan membakar sambungan kabel di toko itu. Dalam hitungan
detik, toko itu terbakar. Rian segera mengambil baju yang tadi dia pilih lalu
berlari dan membawanya keluar. Satu menit kemudian, terdengar suara ledakan
besar dari dalam rumah.
Nice job, Rian.
Satu-satunya
alasan dia memilih baju itu karena baju itu bertuliskan “Don’t try to stop me from avenging this world! NO
VOICE TO BE HEARD!” yang tidak lain adalah potongan lirik lagu dari Bullet For
My Valentine yang berjudul Waking The Demon. Rian tersenyum menyeringai saat
mendapatkan baju itu. Kata-katanya seperti membangkitkan separuh setan dalam
tubuhnya yang dari tadi tertidur, memimpikan jika neraka berubah menjadi pantai
tropis dengan gadis-gadis cantik di dalamnya. Jelas tidak mungkin.
Rian
tidak tidur semalaman. Kakinya tidak lelah terus dan terus berjalan menyusuri
jalanan di pusat kota. Bisa saja dia menutup matanya untuk beristirahat
sejenak, tapi dia tidak bisa. Dia sengaja tidak tidur karena ingin membiarkan
warna hitam di bawah matanya semakin gelap dan merubah warna matanya menjadi
kemerahan. Semua bisa di dapat secara
alami tanpa perlu make-up, kawan. Sesekali dia melihat para penjaja malam
menari-nari bagaikan kupu-kupu untuk menarik perhatian lawan jenis agar bisa
mendapatkan madunya.
Rian
menyeringai.
CHAPTER 6
“Flashback”
“Nadia! Mau kemana?”
“Mau ke kantin. Kamu mau ikut,
Rian?”
“Mau!
Tunggu sebentar. Aku pakai sepatu dulu,” Rian memakai sepatunya dan
berlari-lari kecil menghampiri Nadia yang sudah berada di depannya terlebih
dahulu.
Keduanya
berbincang-bincang mengenai pelajaran yang baru saja dilewati. Perbincangan
standar, tidak ada yang istimewa. Sampai di kantin, mereka memesan makanan dan
duduk pada salah satu kursi di sana. Sudah seperti pasar ikan tempat ini.
Sangat ramai dipenuhi oleh orang-orang kelaparan.
“Hey,
Rian,” sapa seseorang. Dia Dilan.
“Hey,”
Rian tersenyum sumringah melihat siapa yang menyapanya. Dilan melakukan hal
yang sama.
“Hey,
Nad,” sapa Dilan ramah.
“Halo,
Dilan,” Nadia tersenyum. Dalam beberapa detik, keduanya saling beradu pandang.
Rian mulai mengerti arti pandangan itu. Pandangan yang selalu sama dari
hari-hari sebelumnya. Seketika, makanan yang di makanannya seolah berubah
menjadi bubur basi yang menghilangkan nafsu makannya. Dia menunduk.
Mereka bertiga berbincang-bincang
masalah guru baru yang sedikit menyebalkan. Perbincangan yang cukup santai tapi
menyenangkan. Nadia tampak begitu nyaman bercanda dengan Dilan di sampingnya.
Dia tidak lagi mempedulikan teman wanitanya yang dari tadi hanya memindahkan
nasi di piringnya dari sisi satu ke sisi yang lain. Begitupun es jeruk yang
dipesannya. Dengan sedotan ungu, perasan jeruk itu sudah berputar-putar karena
diaduk secara acak oleh Rian. Bahkan jika di dalamnya ada ikan, bisa dipastikan
ikan itu mati dalam sekejap.
“Oh, iya! Tadi aku disuruh kumpul di
ruang Osis. Rian, temenin ke ruang Osis, dong,” bujuk gadis itu pada temannya.
Masih
menganggapku ada, toh?
“Kamu sendiri aja gimana, Nad.
Makanannya Rian belum abis, tuh. Biarin dia habisin makanannya dulu,” kata
Dilan.
Kau membelaku? Syukurlah. Moodku sedang tidak enak.
Jangan harap mau menemani Nadia ke ruang Osis.
“Yaah.
Masa aku sendirian?” rengek gadis itu manja.
“Masa
anggota Osis tidak berani sendiri?” ejek Dilan.
“Ah,
kamu. Yasudah, deh. Tunggu aku di kelas, Rian,” kata Nadia lalu pergi.
Rian
selalu merasakan ini. Rasa yang lain setiap berdua saja dengan orang yang dari
awal dia ketahui bernama Dilan itu. Rasa itu seperti sedang berada di Whiteheaven
Beach, Australia dan merasakan indahnya pasir pantai terputih di dunia. Atau
mungkin hanya sekedar bermimpi untuk memeluk Eiffel dan berfoto tepat di bawah
kaki besarnya yang sama sekali tidak mau merunduk itu. Sombong sekali. Tapi
kharisma Eiffel selalu dikenang oleh setiap orang yang melihatnya walau Eiffel
tidak pernah melagukan satu bait pun puisi cinta. Begitulah Dilan.
Rian
selalu berusaha tenang tapi tidak bisa. Berulang kali dia menghembuskan nafas
panjang dengan maksud membuat dirinya lebih rileks, atau hanya sekedar menyedot
es jeruk di gelasnya yang dari tadi tak tersentuh. Dia selalu membuat
kesibukan-kesibukan sendiri saat berada di dekat Dilan. Mungkin pria itu tahu
kalau gadis berhidung mancung di sampingnya itu sedang gelisah. Satu buah
permen mungkin bisa memecah suasana.
“Mau?”
Dilan menawarkan.
“Terima
kasih,” Rian mengambilnya lalu tersenyum.
Dilan
sudah khatam sifat temannya yang moody
itu. Tidak jelas kapan Rian bisa bermood enak ataupun mood yang sebaliknya.
Semua berjalan begitu saja. Bayangkan, mereka sudah berteman sejak masih duduk
di kursi dengan cat warna-warni, TK nol besar sampai sekarang. Dilan berusaha
membuat mood Rian kembali berwarna-warni dan bukan hitam seperti ini. Pria
dengan tinggi 170cm itu membuat banyolan-banyolan konyol yang terkadang tidak
ditanggapi oleh Rian karena dia terlalu sibuk mengatasi rasa gugupnya pada
Dilan. Tapi, orang tua jaman dulu bilang kalau tertawa itu tidak boleh di
tahan. Berawal dari hanya tersenyum sedikit, mengeluarkan gigi dan sekedar
nyengir, sampai akhirnya Rian bisa tertawa lepas sampai merasakan sesuatu
mengganjal di perutnya. Rasa sakit yang biasa di derita orang-orang saat
tertawa berlebihan. Dilan selalu punya jurus ini dan selalu berhasil. Beberapa
kali Dilan menyuapi nasi yang tak tersentuh di piring Rian hingga akhirnya,
semuanya masuk kedalam perut gadis dengan berat badan 48kg dan tinggi 167cm
itu. Satu lagi keberhasilan dan kita harus angkat topi atas prestasinya itu.
“Kenapa?”
tanya Rian tiba-tiba setelah melihat rekannya terdiam tiba-tiba dan tidak
membuat suara aneh dari kerongkongannya lagi.
“Aku
sedang bingung.”
“Bingung
kenapa? Bingung karena hanya kamu yang bisa membuat suara seperti itu? hahaha.
Kau gila!”
“Haha.
Bukan.”
“Lalu?”
“Tapi
kamu harus janji kamu tidak akan kaget, ya?”
“Uh-huh.”
“Juga
tidak akan tertawa?”
“Yap.”
“Juga
tidak akan mengejek?”
“Oke.”
“Tidak
meludahiku seperti tadi?”
“Hahaha.
Itu tadi karena faktor X, Tuan.”
“Haha.
Semua orang juga tahu kalau kau itu gila, Rian. Hahaha.”
“Yang
mau kamu katakan itu?”
“Hah?
Bukan.”
“Lalu
apa?”
“Begini..”
Dilan menarik nafasnya panjang, mengumpulkan seluruh kata-kata yang mau dia
ucapkan dan itu jelas semakin membuat tumbuh suburnya rasa penasaran Rian.
Dilan merapatkan posisi duduknya ke dekat Rian dan berkata,
“Aku
mau nembak Nadia.”
DUAR!
Menara Eiffel yang tadi dibayangkan oleh Rian terasa mengkhianatinya. Menara
itu seolah ambruk tepat di atas kepala Rian yang sedari tadi sudah mendingin
karena Dilan. Begitupun Whiteheaven Beach juga berhasil menipu Rian dengan
pesonanya. Pasirnya berubah menjadi warna hitam kelam ternodai oleh
pengharapan-pengharapan kosong dari dalam hatinya. Semua berubah. Empat kata
yang membuat semuanya menjadi seonggok sampah tak berharga.
“Rian?”
Sunyi.
Maaf, Rian sedang sibuk meladeni pertempuran hebat di hatinya. Tidak ada satu
kata yang terucap dari bibirnya.
“Rian?”
panggil Dilan sekali lagi.
“Yasudah,
tembak saja. Dia juga terlihat suka padamu. Dia cantik dan terkenal. Itu pasti
yang menjadi salah satu pertimbangan kamu memilihnya, kan? Dia pasti
menerimamu. Beri aku hukuman sula bila itu tidak terjadi.”
“Apa?
Tidak sampai membuatmu menjadi sate mayat juga, Rian.”
“Lalu
apa? Percaya padaku dia pasti akan menerimamu.”
“Kau
begitu yakin.”
“Sangat.”
“Baiklah.
Aku mungkin akan melakukannya sore ini. Kamu mau ikut?”
Apa? Aku ikut denganmu
sama saja dengan aku mengubur diriku hidup-hidup.
“Tidak
bisa. Kursus mobilku dimulai sore ini,” Rian jelas berbohong akan ucapannya.
“Aku
ingin kamu menyemangatiku, Rian,” rengeknya.
“Maaf.
Aku pergi.”
Rian
kemudian bangkit dari tempat duduknya, bejalan cepat menuju kelasnya dan tidak
mempedulikan pertanyaan orang-orang yang melihat wajahnya sudah merah padam.
Kelas kesenian sebentar lagi dimulai, kelas kesukaannya. Tapi dia tidak lagi peduli
dengan tangga nada do re mi itu. Dia segera mengambil tas ranselnya,
memakainya, lalu pulang. Tentu saja gerbang tidak ada yang terbuka saat itu
karena masih jam kegiatan belajar mengajar. Tapi memanjat tembok adalah cara
pelarian yang paling ampuh.
Air
mata mulai turun dan membasahi pipinya. Dia merasa tertipu. Tertipu atas semua
perlakuan yang telah Dilan berikan untuknya. Dilan seolah menjadi pangeran yang
membawakan obor untuknya saat dia tersesat dalam kegelapan. Di dalam kegelapan,
Dilan menghibur Rian sampai dia merasa tidak sendiri. Atau mungkin sebagai
pelengkap kebahagiaan yang sudah dia dapatkan dalam rumahnya. Tapi sekarang,
obor itu seolah dilemparkan Dilan dengan sengaja ke arah Rian dan dia terbakar
karenanya. Menyakitkan.
Rian
berjalan tidak tentu arah. Mungkin mengejar trotoar. Mengejar trotoar? Jalanan yang semakin memimpinnya pada arah yang
tidak tentu, berputar atau berputar terbalik? Sama saja. Terus berjalan
mengejar trotoar sampai waktunya habis menghirup asap debu jalan yang liar.
Hatinya hancur saat mendengar pengakuan tidak berdosa dari bibir seseorang yang
selalu menyuapinya dengan madu.
Pukul
empat sore tepatnya. Rian memutuskan untuk melihat seniman jalanan
mengekspresikan diri mereka pada tembok-tembok kosong di sudut kota dengan
menyemprotkan cairan berwarna-warni dan sim salambim, dalam sekejap jadilah
sebuah gambar ekspresi diri yang menakjubkan. Mereka menyebutnya, grafiti. Rian
duduk pada salah satu sisi sambil meminum es teh botol yang tadi dibelinya
untuk sekedar mendinginkan otaknya yang memanas.
Di
lokal yang sama, Rian melihat Dilan sedang duduk di atas motornya sejauh sepuluh
meter dari tempatnya saat itu. Rian menyembunyikan dirinya di balik kerumunan
orang, tapi matanya terus mengawasi apa yang selanjutnya akan dilakukan Dilan
di sana. Mungkin sekitar lima menit kemudian, Nadia datang dengan terburu-buru
menghampiri Dilan. Laki-laki itu memang sangat pintar memperlakukan wanita.
Dilan tau Nadia lelah karena seharian berkutat dalam sibuknya kegiatan Osis,
dia segera menyodorkan es teh botol untuk Nadia. Sama seperti yang sedang ada
di dalam genggaman Rian. Rian yang melihat adegan permulaan itu segera membuang
es tehnya. Menjijikan.
Dilan
kemudian turun dari motor dan mengajak Nadia duduk pada sebuah batu yang cukup
besar, batu prasasti. Ada tanda tangan gubernur dan wakilnya di sana. Beberapa
lama mereka berbincang-bincang, lalu Dilan menyodorkan sebatang coklat dan
bunga untuk Nadia. Kembali, otak Rian mulai mendidih melihatnya.
Tidak
tahu apa yang di katakan mereka selanjutnya, tapi Rian dengan jelas melihat
Nadia menerima kedua benda penuh simbol keromantisan murahan sambil tersenyum.
Lalu keduanya berpelukan.
Inikah akhirnya? Akhir
dari sebelas tahun menanti? Luar biasa, kau Dilan.
Benar
adanya kalau Rian tidak sanggup lagi melihat adegan picisan itu. Sahabatnya dan
orang yang dicintainya bersatu dalam hubungan berpacaran. Murahan sekali.
Tidakkah Nadia pahami kalau Rian memiliki rasa itu jauh lebih lama dari
miliknya? Tidakkah Dilan menyadari kalau Rian selalu menganggapnya sebagai
kharisma Eiffel yang tidak tertandingi? Dingin.
Rian
tidak bisa berhenti memikirkan hal itu dari hari ke hari. Bahkan hari-harinya
di sekolah semakin buruk kala melihat pasangan baru, Nadia dan Dilan berduaan
di kantin atau duduk di depan kelas memadu kasih. Mereka berdua sama sekali
melupakan Rian. Rian yang selalu menjadi teman untuk tertawa bersama kini dihempaskan
sejauh-jauhnya. Munafik.
Dua
bulan setelah hari bahagia mereka berdua, keluarga Rian yang kembali direnggut
kebahagiaannya. Hatachi sukses merebut. Rian sangat hancur. Dia tidak bisa lagi
mengontrol hati dan fikirannya. Akal sehatnya ikut terbakar di dalam kepulan
asap atas konsep kematian ayah, ibu, dan adiknya.
Hatachi dan Nadia harus
mendapatkan akibatnya!
Dendam
itu dimulai.
Tanpa modal apa-apa, Rian berhasil
masuk ke dalam ruang kerja Hatachi. Saat itu, pria bermata sipit itu sedang
mabuk karena minum arak bersama dua orang wanita di kanan dan kirinya. Rian
tidak peduli atas apa yang ada di dekatnya. Dia berhasil mendapatkan gergaji
mesin di lantai bawah rumah sekaligus kantor Hatachi dan segera melakukannya.
Kepala Hatachi putus dan membuat kedua wanita itu kaget bukan main. Mereka
berlari tapi naas, baju mereka tersangkut pada ujung tangga dan membuat mereka
jatuh terpeleset hingga ke lantai bawah, menyebabkan pecahnya pembuluh darah di
kepala mereka dan itulah ajal mereka.
Begitupun Nadia. Sampai saat ini
tidak ada yang mengetahui siapa pembunuh Nadia. Dia ditemukan di dalam
kamarnya, memeluk boneka pemberian Dilan dengan mulut berbusa. Rian
melakukannnya dengan baik. Nadia adalah satu-satunya korban Rian yang mati
dengan anggota tubuh tetap utuh. Dia masih mengingat masa-masa indah mereka
menjalin persahabatan dan itu berhasil mengalahkan emosinya untuk
memotong-motong tubuh Nadia. Rian memasukkan cairan obat nyamuk ke dalam mulut
Nadia. Saat dia yakin Nadia sudah mati, Rian segera kabur lewat jendela. Dalam
melakukan aksinya, Rian menyarungi tangannya dengan potongan kain milik
ayahnya. Kalaupun polisi berhasil mendapatkan sidik jari dari tubuh Nadia,
sidik jari yang mereka dapatkan adalah sidik jari ayah Rian yang sudah menjadi
abu. Percuma saja polisi mencari siapa pemilik sidik jari itu. Pekerjaan yang
sia-sia bukan?
Sampai racun pada pisau
ini habis, aku tidak akan berhenti membunuh. Membunuh mereka yang telah
menghancurkan hidup dan harapanku, atau hanya mencoba melakukan perlawanan atau
hanya ingin mencoba-coba, atau apapun yang ingin kubunuh. Dan kau tahu kapan
racun ini habis? Adalah angka yang tidak bisa di sebutkan, kawan.
CHAPTER 7
“Drowning Lessons”
La
Calle Assesino dalam bahasa Spanyol atau dalam bahasa Indonesia disebut
Pembunuh Jalanan adalah predikat yang sangat pantas menempel di belakang nama
Rian. Rian “La Calle Assesino” adalah
bukan pembunuh bayaran yang bekerja untuk agen profesional dengan bayaran
selangit ataupun pembunuh yang di karenakan doktrin-doktrin untuk membunuh
orang-orang tertentu. Dia bisa mendapatkan uang dengan menjual suaranya kepada
orang lain. Tapi membunuh adalah soal harga yang tidak bisa di tawar-tawar.
Membunuh membuatnya semakin terasa hidup walaupun dia tidak meminum darah
korban agar tetap awet muda. Hanya sebuah kegilaan yang nyata.
“Tolong! Jangan rampas dompetku!
Tolong!!” seorang ibu muda berteriak. Seorang perampok murahan sepertinya ingin
merampas dompetnya. Rian memperhatikannya dari kejauhan. Tidak ada satupun
orang yang menggerakkan hatinya untuk menolong ibu muda itu. Ah, pembunuh juga punya hati, kawan.
Rian berjalan cepat ke dekat ibu
tersebut. Cepat sekali. Rian tidak suka pergerakannya di sebut dengan berlari.
Tidakkah kau sadar kalau berlari adalah pekerjaan yang dibuat dengan kesadaran
penuh dan membuat detak jantungmu berdetak lebih cepat dari sebelumnya? Dan
tahu dampak selanjutnya? Kau akan lelah. Dan Rian benci kata kelelahan.
Gitar
yang menjadi pegangannya setiap hari menjadi alat untuk memukul tangan lelaki
kasar itu hingga tangannya berdarah. Kuat sekali Rian. Di tengah-tengah
kesakitan yang dirasakan lelaki itu, dengan gerak cepat, ibu muda itu mengambil
dompetnya lalu berlari pergi. Ibu yang beradab, tidak lupa dia berucap terima
kasih pada Rian.
“Kurang
ajar! Kau fikir kau siapa?? Mau adu otot??” tantang laki-laki itu pada Rian.
Dia hanya tersenyum sinis lalu meninggalkan lelaki itu tanpa sepatah katapun keluar
dari bibirnya yang selalu mengobral senyum mengerikan dengan luka menganga pada
tangan musuhnya. Kenang-kenangan yang manis.
“Hey!
Jangan jadi pahlawan kesiangan! Aku tantang kau anak ingusan!!” teriak
laki-laki itu setelah melihat tidak ada perlawanan pasti dari Rian.
Silahkan saja.
Rian
menghentikan langkah kakinya dan membalikkan tubuhnya. Tatapannya sangat
menantang laki-laki itu agar dia melakukan apa yang dia inginkan. Memang kodrat
alam yang menakdirkan kalau laki-laki memiliki jiwa penantang dan penakhluk
yang tinggi, oleh sebabnya dia segera maju menuju Rian yang sama sekali tidak
bergerak dari tempatnya. Ternyata dia tidak menuju Rian, melainkan menuju mobilnya.
Terdengar suara tarikan pedal gas yang kencnag dari dalam mobil itu. Kali ini,
Rian bisa baca situasi. Dia tahu dirinya akan kalah apabila sang musuh
menggunakan alat lain yang jauh lebih besar dari apa yang dia punya.
Dia
segera mengambil langkah seribu menuju mobil yang ada di sebrang jalan dan
meninggalkan gitarnya tepat di bawah pohon. Dengan batu besar, dia memecahkan
kaca mobil lalu membuka pintu mobil dari dalam dengan tekhnik pencurian dasar
yang dia pelajari saat menonton film. Berhasil. Tapi Rian menghadapi kesulitan
saat ingin menghidupkan mobil. Dia belum punya trik khusus dalam hal ini. Alarm
mobil yang sedari tadi menyala membuat sang pemilik berlari keluar ingin
memberikan umpatan-umpatannya pada Rian yang ingin mencuri mobilnya. Melihat
hal ini, Rian bergerak keluar lalu merampas kunci mobil yang ada pada genggaman
si pemilik. Keadaan cukup sepi saat itu, sangat memudahkan Rian dalam mencuri
mobil tanpa takut di kejar oleh massa.
Rian
menghidupkan mesin mobil lalu segera membanting stir hingga memutar balik lalu
menginjak pedal gas sekencang mungkin tanpa takut nyawanya terancam. Untung dia
sudah lulus kursus mobil dulu. Mobil itu segera berlari bagai angin mengejar
laki-laki yang tangannya berhasil sobek karena hantaman gitar Rian tadi. Rian
percaya, laki-laki itu tidak akan bertahan lama di dalam mobil dengan kondisi
tangan bercucuran darah seperti itu.
Ini
bukanlah ajang balapan atau sedang syuting film Fast and Furious. Si perampok
terlihat sangat menikmati pengejaran Rian di belakangnya tanpa ingin menyerah
sedikitpun. Rian bosan terlalu lama di dalam mobil curiannya yang ternyata bau
daging basi. Gadis itu memutuskan menginjak pedal gas lebih dalam, memotong
dari arah kiri mobil perampok dengan sangat terburu-buru hingga si perampok
kewalahan dan susah mengendalikan kontrol stir. Rian lalu memotong jalannya
mobil itu dengan maksud agar mobil itu berhenti. Tapi tidak bisa. Posisi mobil
Rian berada tepat di hadapan mobil perampok dengan posisi horizontal. Apabila
dari atas, hubungan kedua mobil tersebut menjadi seperti bentuk huruf T. Mobil
perampok melaju kencang dan semakin kencang di luar kendali dengan posisi
menabrak mobil Rian dan mendorongnya. Rian sangat sulit dalam mengontrol
stirnya. Di depan jalan ada jurang dalam dan naas, mobil mereka berdua terjun
bebas masuk ke dalam air sungai di dalam jurang.
Rian
dan perampok segera meloncat keluar dari dalam mobil dan ikut tercebur ke dalam
aliran sungai. Rian sama sekali tidak berharap dia mati saat itu. Sama sekali
tidak. Malah rasanya dia ingin sekali menelan kepala perampok itu hidup-hidup
karena sudah membuatnya bertindak sejauh ini dan hampir memakan nyawanya
sendiri.
Dia meminta lebih
rupanya.
Mereka
berdua tercebur ke dalam sungai yang alirannya cukup tenang saat itu. Rian sama
sekali tidak mau berlama-lama. Dinginnya air ternyata tidak cukup kuat untuk mendinginkan
kepala Rian. Wajahnya memerah. Dia segera berenang di dalam air, bergerak cepat
terselubung bagai hiu yang ingin menerkam mangsanya. Dari bawah air dia sudah dapatkan keberadaan
perampok itu. Dia yakin tidak ada orang lain lagi di aliran sungai ini maksimal
sejauh lima puluh meter kecuali mereka berdua.
Dengan
tangan berdarah dinginnya, dia memegang satu kaki dari laki-laki itu dan
menariknya kebawah menuju dasar sungai dan memelintirnya. Suara tulang yang
patah pasti akan terdengar jelas kalau di daratan. Si perampok bergerak kuat melakukan
penolakan. Dengan kakinya yang satu lagi, dia berusaha untuk menginjak kepala
Rian agar Rian tidak bisa mengambil nafas ke atas dan akhirnya mati. Rian
sendiri yang sudah hampir kehabisan
nafas tentu tidak akan membiarkan kepalanya terus diinjak. Dia mengeluarkan
pisau racunnya dan menusuk bagian paha dari laki-laki itu dengan sekuat
tenaganya dan sedalam-dalamnya. Darah segar deras keluar dari dalam tubuhnya,
seperti berusaha mengalahkan warna bening air ini.
Laki-laki
itu merasakan sakit yang luar biasa. Rian sigap mengambil kesempatan ini. Dia
mendorong tubuhnya keatas untuk mengambil nafas sekaligus melesakkan kepala
perampok ke dasar air kemudian menendang perut si perampok sekuat tenaganya
sampai darah juga butiran-butiran sisa makanan keluar dari mulut busuknya.
Tidak puas, Rian mencekik leher perampok itu. Tapi sepertinya dia mulai
kehilangan tenaganya sehingga tidak cukup kuat mencekik perampok. Dengan
pisaunya, dia mengiris lapisan kulit kepala perampok dan menariknya hingga
lepas, seperti seorang wanita yang melepaskan wax dari kakinya. Dia melakukannnya beberapa kali sampai tulang
tengkorak dari bapak itu sedikit terlihat. Rian tahu dengan keadaan seperti
ini, perampok sudah tidak akan lagi bisa bertahan hidup. Rian segera berenang
menuju daratan, ingin menyaksikan detik-detik kematian korban barunya. Hanya
mukjizat yang bisa membiarkan laki-laki itu hidup.
Dia
sudah bisa merebahkan tubuhnya di atas tanah di darat tapi masih dalam keadaan
tengkurap. Tiba-tiba dia merasakan kakinya kembali di tarik ke dalam air. Dia
membalikkan posisi tubuhnya dan melihat mukjizat itu benar-benar datang.
Laki-laki
itu masih hidup.
Refleks,
dia menendang dada si perampok agar dia kembali merasakan sakitnya sakratul
maut di dalam air. Rian menarik kakinya dan bangun mengangkat tubuhnya di
daratan. Dia berdiri dengan gagah. Dia sudah siap melihat pemandangan lain kalau
mukjizat itu datang sekali lagi.
Semua
terjadi sangat cepat. Dengan darah yang bercucuran dari kepala hingga kaki,
laki-laki itu masih kuat mengumpukan sisa-sisa tenaganya untuk bangkit melawan
anak ingusan yang tadi dibicarakannya. Dengan pandangan yang sedikit kabur, dia
melihat ke arah Rian yang sudah berdiri dengan gagah di depan matanya. Rian
sendiri kaget karena seharusnya bapak itu sudah mengambang di dalam air. Dia
ingin lihat apalagi yang bisa di lakukan si perampok di daratan.
“Kk-kamu
kah gadis d-dd-dengan pisau it-ttu?” dia berbicara di sela-sela nafasnya yang
sudah ingin habis.
“Dan
kau harusnya sudah mati.”
“Akhirnya
aku menemukanmu. Lihat w-wajahku dan cobalah mengenaliku.”
Mendengar
hal itu, Rian kembali membongkar seluruh memori ingatan di kepalanya, bergerak
mundur kepada seluruh peristiwa yang menimpanya selama ini, membuka dan
membacanya satu persatu dan Rian semakin merasakan perih yang luar biasa di
kepala dan di hatinya. Gambaran-gambaran itu bergerak mundur hingga sampai pada
tragedi Hatachi dirumah Rian. Dia melihat, ada salah satu orang Hatachi yang
ikut menghabisi nyawa keluarganya dengan api, menandakan mereka adalah
orang-orang pengecut. Dan sepertinya orang itu telah berhadapan dengan malaikat
pencabut nyawa sekarang.
“ARGGGH!”
Rian bergerak maju dengan teriakan yang menyeramkan ingin kembali membunuh
bapak itu dengan pisaunya. Teriakan penuh luka dan amarah dari dalam hatinya
ketika berhasil mengingat siapakah orang sekarat di hadapannya itu. Rian tidak
langsung memotong anggota tubuh perampok yang lain dulu, melainkan menarik
kerah baju perampok dan menatap lekat-lekat mata si perampok dari jarak hanya
lima centimeter dengan pandangan mengerikan. Matanya melotot dengan bibir
pucat. Semua orang pasti bisa melihat urat-urat matanya yang memerah karena
kemarahannya.
“Hmm..”
laki-laki sialan itu tersenyum sinis.
“Kelak
akan datang seseorang yang nanti membunuhmu, Rian. Seseorang yang akan
membalaskan lagi dendam Tuan Hatachi yang terhormat padamu. Kesetiaan kami
tidak tergambarkan dengan apapun pada kemurahan hati Tuan Hatachi. Tidak akan
habis sisa hidupmu membunuh dan kelak kau akan dibunuh olehnya. Carilah dia
atau dia yang akan menghampirimu dan mengadu kekuatan pisaumu itu dengan
miliknya,” lanjut laki-laki itu. Empat kalimat penuh makna yang membuatnya
bertahan lebih dari lima menit, tepatnya lima menit lebih tujuh belas detik.
Tanpa
suara dan tidak menunggu apapun, Rian menancapkan pisaunya tepat di tengah bola
mata si perampok. Darah muncrat keluar membasahi wajahnya yang penuh dengan
urat-urat kemarahan. Laki-laki itu terdiam, tidak bisa lagi melakukan
perlawanan. Rian melepaskan pegangannya pada kerah perampok dan membiarkannya
terperosot kembali masuk ke dalam air dan kembali berdiri.
Pisau ini siap beradu
dengan apapun milikmu. Datang saja padaku, kawan.
CHAPTER 8
“Go Alone”
Desir angin yang keras tapi membawa
kesejukan alami ini perlahan mulai mengeringkan pakaian Rian yang sedari tadi
menempel di tubuhnya. Dia masih mengingat setiap detik yang baru saja dia
lewati. Untuk pertama kalinya dia mencuri mobil dan menggunakannya untuk mengejar
lalu membunuh seseorang dan dia fikir itu mengasyikkan. Sempat terlintas di
benaknya mungkin dia bisa berubah menjadi pembajak mobil lalu bertanding saling
adu kekuatan dalam menginjak pedal gas untuk merebutkan harga diri dan tentu
saja uang seperti yang dimainkan Mark Sinclair Vincent atau orang-orang lebih
banyak mengenalnya dengan sebutan Vin Diesel dalam film kebut-kebutannya. Atau dia bisa menjadi street dancer dan
mengadu gerak lentur tubuhnya yang jago breakdance
dengan orang-orang yang kebanyakan bergender laki-laki lalu bertaruh dan mendapatkan
uang. Dia juga mungkin bisa kembali lagi menjadi anak band dengan kehidupan
glamour diluar tetapi membosankan didalam. Dalam hal ini, dia lebih suka
mengunggulkan kualitas dirinya sendiri daripada harus berkelompok seperti
band-band umumnya. Terdengar sangat menggairahkan. Rian yang membayangkannya
sendirian saja sampai tersenyum sendiri. Tapi bukan itu. Bagaimanapun juga dia
harus membalaskan dendam yang mengepul di dalam jiwanya kepada orang-orang yang
telah memasukkan kotoran kedalam hatinya hingga dia tidak lagi bisa menghirup
udara bersih yang penuh akan kedamaian. Sekalipun kotoran itu dimasukkan
kedalam kotak yang terbuat dari emas dan dihiasi dengan batu jamrud di sana-sini,
tapi kotoran akan selamanya tetap disebut kotoran dan itu menyakitkan.
Bukan Rian namanya kalau tidak bisa
memahami dirinya sendiri. Dibalik kekuatannya menujah dan mengiris-iris anggota
tubuh seseorang, dia tetaplah gadis enam belas tahun yang butuh akan
warna-warni kehidupan remaja. Dia baru saja merasakan jatuh cinta pada
seseorang yang selalu memberikan tetes-tetes harapan di tengah kehausannya akan
rasa ingin menikmati indahnya berpacaran. Tapi angin meniup tetesan-tetesan itu
jauh dan semakin menjauh dari dirinya dan membawanya pada gadis lain dan mereka
bahagia. Itu sama sekali tidak membuat Rian ikhlas. Jiwanya semakin terkikis,
rapuh, juga sensitif. Tidak ada lagi yang peduli akan kehadirannya di dunia
ini. Buat apa dia hidup kalau tidak lagi bersekolah? Buat apa dia hidup kalau
tidak lagi bisa mendapatkan belaian sayang dari ibunya? Buat apa dia hidup
kalau dia tidak bisa merasakan nikmatnya menjalin cinta semasa sekolah? Baginya
itu bukan lagi khayalan yang patut difikirkan setiap detik. Tidak lagi. Dia
sudah mengubur semua mimpi itu dan menjadikannya sumber bahan bakar untuk
membuatnya semakin meledak dalam bara kemarahan.
Kesukaannya
mencintai band-band beraliran kasar dan keras semakin berdampak positif
untuknya akhir-akhir ini. Lagu-lagu mereka yang penuh dengan intrik, konflik,
kemarahan, percobaan bunuh diri, kematian, kedengkian, kekasaran, terkaman,
dunia hitam, gemerlap malam, pembalasan dendam, perkelahian, penderitaan,
kekejian, sex, pemberontakan, dan teriakan di sana-sini dengan hentakan pedal
drum dan suara melodi gitar dengan distorsi yang cepat secepat waktu yang telah
kita lewati di dunia ini tidak jarang membuatnya tersenyum dalam kegelapan dan
kesendirian.
Dia
juga seorang manusia. Dia juga seorang gadis. Dia juga punya hati dan perasaan.
Rasa rindu yang memuncak akan kehadiran ayahnya yang selalu mengajaknya bermain
catur di malam hari, ibunya yang tidak pernah selesai mengolah makanan biasa
menjadi makanan luar biasa yang membuat perutnya selalu merasa di penuhi
imajinasi makanan-makanan enak, adiknya yang tidak pernah bosan berbuat ulah
saat mereka berdua berada di dalam kamar dan ibunya lah yang selalu jadi
pemenang dalam setiap perkelahian mereka, membuatnya selalu menangis di malam
hari sampai dia tidak bisa mengeluarkan air matanya lagi. Gitar itu
satu-satunya saksi bisu kekerasan kehidupan Rian yang tidak pernah lepas dari
kematian dan mencabut nyawa seseorang dengan paksa. Bahkan, saat Rian hampir
kehilangan gitarnya oleh seorang anak punk yang tidak tahu diri, Rian rela melepas
salah satu senar gitarnya untuk memutuskan telinga anak punk itu dengan cara
menggandulkannya pada permukaan telinga bagian atas dan menariknya kebawah
dengan sekuat tenaga hingga anak punk itu tidak lagi bisa merasakan kehadiran
telinga kirinya. Dia tidak mau kehilangan alat musik petik itu.
Rian
berada sendirian di atas bukit malam itu. Dari tempatnya duduk, dia bisa
melihat kebawah, ketempat aliran sungai dimana tadi dia mendapatkan pesan
singkat akan kehadiran seseorang yang nanti akan membunuhnya lebih kejam juga,
bahwa ada banyak polisi yang sedang melakukan olah TKP atas kematian si
perampok itu juga kedua mobil yang kami bawa lari. Pita kuning menjadi pagar
baru di sekitar sungai. Banyak lampu dan kamera-kamera pemburu berita terhandal
yang menyoroti lokasi kejadian. Rian merasa sekarang dia adalah buronan baru
polisi. Sidik jarinya sudah pasti ada pada mobil dan tubuh si mayat. Motif
pembunuhan yang sama juga dengan korban-korban sebelumnya akan menjadi salah
satu pertimbangan polisi mencari keberadaan Rian. Tapi Rian tidak dan tidak
akan pernah takut.
Tiba-tiba
dia teringat akan perampok dan ucapannya. Ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang
bergumul di kepalanya. Pertama, bagaimana bisa seorang anak buah paling setia
dari orang hebat dan kaya raya sekelas Hatachi bisa berubah profesi menjadi
seorang perampok dengan mobil Chevrolet keluaran tahun ’99 dan yang di rampok
dia adalah hanya sebuah dompet dari ibu muda yang sepertinya bukan orang kaya? Target
macam apa yang dia pilih? Kalau dia adalah perampok hebat, kenapa dia tidak
merampok toko emas atau bank? Lalu yang kedua, siapa kiranya seseorang yang
tadi disebutnya akan kembali membalaskan dendam Hatachi dan membunuh Rian?
Sehebat apakah orang itu sampai berani mengatakan kalau dia akan membunuh Rian?
Pembunuh terlatihkah dia? Dan yang ketiga adalah, kenapa Dilan bisa tahu
keberadaan dirinya disini dan mengacaukan segala pemikiran-pemikiran Rian malam
saat ini dengan rasa perhatiannya yang bodoh dan sangat munafik?
“Hey,
sedang apa kamu sendirian di atas bukit? Malam-malam begini lagi,” dia
terdengar sok perhatian dan membuat Rian ingin meludah di wajahnya. Rian diam
saja.
“Halo,
Rian cantik? Bicara, dong. Kamu lagi ngeliatin apa, sih?” tanya Dilan sekali
lagi. Matanya bergerak ke depan, mencari apa kiranya yang menjadi pusat
perhatian Rian hingga gadis itu menelantarkan perhatian yang sudah di berikan
Dilan.
“Eh,
Rian. Itu dibawah ada apa, sih? Kok rame banget,” Dilan berharap pertanyaannya
kali ini bisa menjadi satu potong kata yang keluar dari bibir Rian. Nihil. Rian
tidak menjawab apapun.
“Setahuku
tadi itu ada pembunuhan, ya? Benar tidak?” bodoh. Dia sudah tahu apa yang
terjadi tetapi masih bertanya dengan Rian yang sangat malas meladeni
pertanyaan-pertanyaannya yang sudah semakin menjengkelkan.
“Rian,
please. Bicaralah. Aku kangen sama
kamu dan tawamu. Aku kangen sama suara kamu. Aku kangen sama saat-saat kita
main scooter bersama. Kamu dulu ceria banget tapi kenapa sekarang berubah? Aku
kangen dengan bagaimana caramu saat menyuapi aku kentang goreng waktu aku
terbaring di rumah sakit. Kamu kesal karena aku tidak mau makan lalu melesakkan
semua kentang goreng itu kemulutku, kan? Kemudian aku menyerah dan memintamu
untuk menyuapiku pelan-pelan dan berjanji agar aku menghabisi makanan itu. Kamu
ingat kan, Rian? Ayolah, aku minta padamu jangan jadikan aku sebagai
pelampiasan amarahmu pada Hatchi bodoh itu. Aku sangat peduli padamu, Rian. Aku
bersungguh-sungguh,” Dilan terdengar hampir putus asa atas semua yang telah dia
lakukan pada Rian tapi Rian tetap tidak peduli. Dia merasa itu semua hanya tipu
muslihat Dilan agar dia bisa kembali menerbangkannya setinggi langit, kemudian
menggantungkannya dengan harapan-harapan klise dan dramatis beraroma sampah,
dan terakhir menjatuhkannya kebawah dengan mata terpejam hingga Rian jatuh
kedalam jurang kecemburuan.
“Ah!
Aku bawakan kamu ini. Sate padang! Ini sate yang aku beli di tempat datuk,
kesukaanmu. Sekarang dia sudah banyak penggemarnya. Tempatnya jadi ramai sekali
hingga aku berusaha keras untuk mendapatkan giliran pertama untuk dilayaninya. Ayo,
kita makan sate ini bersama-sama. Kamu belum makan, kan?” Rian tetap diam.
“Rian!
Lihat aku!” Dilan memegang kedua bahu temannya yang sedang diambang keputus
asaan dan membalikkan tubuhnya agar menghadap ke arahnya. Benar, Rian menghadap
kearahnya. Tapi matanya melihat kelangit yang penuh dengan bintang. Tidak
menatap Dilan sama sekali.
“Rian!
Tatap mataku! Tolong!” pinta Dilan sekali lagi. Woop! Rian menuruti perintahnya.
“Rian,
kamu tahu aku sangat peduli padamu. Aku lelah mencarimu..”
“Kalau
begitu jangan cari aku,” Rian segera memotong pembicaraannya.
“Apa?
Aku peduli padamu! Aku rela sampai bolos sekolah hanya untuk..”
“Jangan
bolos sekolah,” potongnya lagi.
“Aku
sayang padamu, Rian. Kamu adalah sahabat terbaikku dan aku tidak mau kehilangan
kamu! Mereka telah berkata kalau kau gila, liar, tidak waras..”
“Memang
benar.”
“Ya,
tapi aku tidak pernah peduli akan semua itu. Aku yakin kamu masih bisa
tersenyum dan ceria seperti dulu. Aku bakan berkata pada mereka bahwa mereka
bisa ambil uang jajanku setiap hari apabila kamu terbukti tidak bisa seperti
dulu lagi dan..”
“Jangan
lakukan.”
“Apa?
Bisa untuk tidak memotong kata-kataku, tidak??”
“Tidak.
Pergi dan jangan ganggu aku,” jawabnya dingin.
“Kamu
kenapa, sih?? Salah aku apa padamu?? Katakan!”
Rian
tidak mungkin mengatakan yang sesungguhnya. Dia tidak mungkin mengaku kalau dia
cemburu atas hubungan Dilan dan Nadia. Dia tidak mungkin mengatakan kalau dia
mencintai Dilan lebih dari rasa sayang untuk seorang sahabat. Rian tidak mau
meludahi wajahnya sendiri. Rian tetap diam dan Dilan tetap terus menunggu.
Tiba-tiba, suara dering handphone Dilan berbunyi.
“What's happening to
me? I'm dying from the inside body hurts too much to feel..”
“Halo,
Ma?” Dilan menjawab panggilan dari hpnya.
“Kamu dimana?”
“Di
rumah teman, Ma. Kenapa?” Dilan berbohong.
“Kamu pasti habis
mencari Rian lagi. Ya, kan?”
“Memang
siapa yang mencari Rian, Ma? Nggak, kok.”
“Jangan bohong.”
“Bener,
Ma. Ya, ampun! Sekarang baru jam delapan malam dan aku anak laki-laki. Mama
ngapain telepon-telepon aku?”
“Jangan mengganti
pembicaraan! Pokoknya, kamu harus pulang sekarang. Mama tidak butuh alasan
apapun karena Mama tahu kamu pasti kembali mencari gadis jalanan itu.”
“Nggak,
Ma. Aku nggak nyari Rian lagi..”
Tidak
ada suara.
“Halo, Ma?” Dilan mematikan hpnya setelah
dirasa tidak ada suara lagi dari seberang teleponnya.
“Pulanglah,”
kata Rian.
“Aku
mau pulang bersamamu.”
Rian
tidak menjawab lagi dan bangkit melangkah pergi membawa gitarnya.
“Baiklah,
Rian. Aku tidak akan pernah menyuruhmu kembali. Tapi ingatlah, aku selalu ada
untuk membantumu. Ini memang terdengar menjijikan tapi aku bersungguh-sungguh.
Aku merindukan kamu, sekarang ataupun nanti. Aku bisa garansikan ini padamu,”
kata Dilan dan kembali tidak digubris oleh Rian.
“Makanlah
sate padang ini. Aku tahu kamu lapar,” lanjut Dilan. Rian yang sangat sensitif
merasa harga dirinya terinjak-injak oleh perkataan Dilan lalu bergerak
mendekati Dilan, merampas bungkus sate padang itu, lalu melemparkannya jatuh ke
bawah bukit. Rian tidak butuh makan. Sama sekali.
“Pergi,”
kata Rian dengan mata melotot kepada Dilan. Dilan kembali menatap mata Rian
dalam beberapa saat, kemudian menaiki sepeda motornya lalu pergi.
CHAPTER 9
“Interlude”
What kind of men you are? Is it
possible for me to get yours? What yours? What is in me? What yours? Don’t you
think you are too hot to melt my cold heart? Melt and turn to the water, absorb
beneath the skin inside and it will never see. You throw me high, hang me up,
then pull me down. What the hell just wrong with you? You get my fu*ked up of
these eight months long and finally tear it into the small pieces? The land is
waiting for you to come, the sky don’t ever let you down. But the deepest heart
of me prefer to you to come to an empty land and burry yourself alive.
Goodbye, sweetheart. You jumped
into life and touched the bottom.
CHAPTER 10
“Boiling Inside”
Menyakitkan sekali tidak di
pedulikan dengan seseorang yang telah di pedulikannya sampai rela mengorbankan
apapun, kecuali nyawanya. Jangankan tersenyum, mendengarnya berbicara saja
sudah merupakan anugerah. Dia sampai rela berbohong dengan mamanya agar dia
bisa bertemu mantan sahabatnya yang ternyata sudah berubah menjadi seorang
pembunuh berdarah dingin. Dilan masih tidak percaya atas apa yang baru saja
terjadi padanya. Mimpinya untuk kembali bisa menjalin keakraban dengan Rian perlahan
tapi pasti mulai pecah dan debu kian menerbangkan setiap kepingan pecahan itu. Rian
benar-benar berubah. Untuk menemukan Rian yang ternyata sedang menikmati
pemandangan mayat yang baru beberapa jam yang lalu terbunuh di atas bukit adalah
hal sulit. Siapa yang bisa menyangka Rian bisa berkelana sejauh lebih dari lima
puluh kilometer dari bekas bangkai rumahnya dan sampai di atas bukit.
Saat
sedang di sekolah, Dilan melihat bola voli yang sudah tidak terisi dengan angin
dan terdapat lubang di sisi atas dan bawah tergeletak menyedihkan di gudang
dekat wc sekolahnya. Dia mengambil bangkai bola itu dan mengamatinya. Dia
seperti melihat mundur kejadian yang menimpa bola malang itu.
Semua
terjadi saat kelas XI IPA 3 dan XI IPS 1 saling adu skill dan harga diri di tengah lapangan bola voli. Waktu itu adalah
pertandingan voli antar kelas dengan pemain yang seluruhnya adalah perempuan.
Mereka semua adalah gadis-gadis bersemangat dengan tinggi tubuh lebih dari
160cm. Terbalut kaos tim berwarna biru tua dengan garis putih di beberapa
bagian untuk kelas XI IPS 1 yang tidak lain adalah kelas Rian juga Dilan, dan
kaos tim berwarna merah maroon untuk
kelas XI IPA 3, dan kesemuanya menyeragamkan rambut yaitu terikat satu. Setelah
kalah telak 25-7 atas kemenangan tim XI IPS 1 dalam pertandingan voli
laki-laki, tim dari kelas XI IPA 3 merasa haus akan kemenangan mereka pada
pertandingan khusus perempuan yang kembali harus melawan kelas Rian. Walaupun
ini semua terasa tidak pantas karena tim laki-laki menaruh beban kekalahannya
pada tim perempuan, tapi inilah yang terjadi. Latihan keras setiap hari sudah
dilakukan dari tim XI IPA 3. Tim lawan pun tidak mau begitu saja melepaskan
kemenangannya. Bahkan kali ini, tim dari kelas XI IPS 1 benar-benar bersemangat
untuk menggempur setiap pertahanan tim lawan dengan smash mereka yang terkenal gahar.
Pada
babak pertama, kemenangan diraih oleh tim XI IPS 1. Walaupun tidak ikut
bermain, Rian adalah salah satu gadis yang paling berpengaruh dalam
menyemangati dan memberi doping jiwa
untuk teman-teman sekelasnya. Rian jugalah yang mencarikan pelatih untuk tim
kelasnya agar kembali meraih kemenangan. Perayaan kemenangan yang terlalu awal
pada babak pertama membuat tim XI IPS 1 harus menerima kekalahan mereka dengan
poin 23-25. Tapi semua bintang kembali berpihak pada XI IPS 1 pada babak kedua.
Skor sementara dari kedua tim adalah 25-20 untuk kemenangan XI IPS 1. Babak
ketiga dijalankan karena kedua tim sama-sama mendapatkan kemenangan.
Babak
inilah babak terpanas. Kedua tim saling gempur membobol pertahanan lawan. Salah
satu gadis yang paling diandalkan dari kelas XI IPS 1 adalah Kiki yang
merupakan seorang kapten. Perannya dalam pertandingan voli bagaikan tembok yang
tidak bisa ditembus. Smash yang
diarahkan padanya selalu bisa dikembalikkan dengan sempurna dan tanpa cacat
juga kesalahan sama sekali. Semakin gencar serangan musuh kearahnya, semakin
frustasi juga para penyerangnya. Itu sebabnya dia selalu menjadi incaran musuh sejak
babak pertama tetapi selalu meleset.
Menit
ke tiga puluh, tim XI IPS 1 meminta time
out untuk mengganti pemain. Kali ini giliran Dilla yang masuk, dengan kata
lain mengeluarkan Debby yang merupakan pemain andalan daripada Kiki sendiri.
Kiki merasa kemampuan Debby dalam memblock serangan musuh adalah hampir
sempurna. Debby keluar karena kakinya terkilir. Tim dari kelas XI IPA 3 merasa
satu orang yang dikhawatirkan mereka telah pergi. Kali ini, serangan demi
serangan di arahkan ke Kiki dan membuat gadis itu tampak kewalahan. Suara Rian
sampai habis dalam menyemangati Kiki yang memang sudah terlihat kelelahan. Melihat
keadaan Kiki yang semangatnya nampak menurun, Meida dari kelas XI IPA 3 sengaja
mengarahkan bolanya dan jatuh tepat di hidung Kiki. Kontan Kiki segera jatuh
pingsan dan hidungnya mengeluarkan darah.
“Curang!!”
Masing-masing
suporter dari kedua kelas tampak ingin menyerbu satu sama lain. Kelas XI IPS 1
tidak terima atas jatuhnya sang kapten di lapangan yang mereka anggap karena
faktor kecurangan. Kelas XI IPA 3 sendiri merasa mereka tidak melakukan apapun
apalagi disebut curang. Sempat terjadi hubungan sengit antara kedua kelas beda
jurusan ini selama sekitar satu bulan setelah pertandingan.
Lucunya,
Rian yang saat itu benar-benar gadis konyol berjalan ketengah lapangan
sendirian lalu merebut bola voli tersebut dari tangan Erinda dan menusuknya
dengan kayu yang diambilnya dari belakang sekolah hingga bola tersebut pecah
dan mengeluarkan letupan bunyi yang cukup keras. Orang-orang yang mendengar
suara letusan bola itu segera melihat ke sumber bunyi dan memandang Rian dengan
wajah keheranan. Bola tersebut dijadikan sate oleh Rian dan wajahnya
benar-benar terlihat tidak bersalah waktu itu. Dia justru tertawa lepas saat
berhasil meletupkan bola dan sukses mengambil alih perhatian suporter dari
masing-masing kelas agar tidak lagi melancarkan serangannya, walaupun berakhir
dengan jidat berlipat-lipat karena melihat ulah Rian yang tidak diduga itu.
Rian meneriaki nama Dilan agar bergabung bersamanya di tengah lapangan untuk
merayakan pecahnya bola tersebut. Dilan yang memiliki kejiwaan sama konyolnya
dengan Rian dengan senang hati bergabung ketengah lapangan dan tertawa
terbahak-bahak hanya karena melihat bola yang sudah tidak bernyawa itu.
Dilan
mengingat jelas setiap gambaran-gambaran yang didapatnya dari dalam memori
terdalam di kepalanya dan menjadikannya sebuah kekuatan baru untuk mencari Rian
yang sudah dirasuki setan sekarang ini. Ke segala penjuru pusat perbelanjaan
sudah Dilan datangi tapi dia tidak menemukan apapun. Pada malam hari sekitar
pukul tujuh, dia memutuskan untuk ke sebuah tempat yang dia sebut dengan private place miliknya tepat di dekat
sungai dimana matinya anak buah Hatachi tadi siang hanya untuk sekedar mencuci
otak. Tapi yang dia lihat adalah sekelompok polisi yang sedang olah TKP atas
kejadian mengerikan itu. Dia kemudian berjalan keatas bukit yang tidak seberapa
tinggi dari dekat sungai dengan membawa sate padang yang memang khusus dia beli
untuk Rian apabila dia bertemu dengannya. Malam itu dia sudah menyerah dan
memutuskan untuk memakan makanan yang dia pegang sendirian. Tapi ternyata, dia
menemukan Rian yang seharian dicarinya. Harapannya adalah bisa tertawa bersama
mengingat tragedi bola voli beberapa bulan lalu. Tragis, apa yang dia harapkannya
tidak bahkan sama sekali tidak dia dapatkan. Rian jauh berubah dari yang dia
kira.
Dalam
perjalanannya menuju rumah, dia mengingat setiap kata dan tatapan menjijikkan
dari Rian saat di bukit dan beberapa waktu yang lalu kepadanya, membuatnya
semakin melipat gandakan rasa sakit hatinya. Dia adalah laki-laki yang juga
mempunyai harga diri dan tidak mau terus-terusan merelakan kepalanya
terinjak-injak oleh wanita. Tapi dia akan tetap terus mencari Rian dan
membiarkannya kembali menghilang lalu mencarinya lagi dan kembali menemukannya
dengan cara yang lain, cara yang lebih bisa menghargai harga dirinya sendiri.
“Darimana
saja?”
“Rumah
teman, Ma.”
“Jangan
bohong pada mama, Lan.”
“Aduh,
terserah mama mau percaya atau tidak. Kepalaku pusing. Aku mau tidur,” Dilan
bergerak masuk kedalam kamarnya.
“Jangan
berulah seperti papamu.”
“Apa?
Jangan sama-samakan aku dengan dia, Ma!”
“Bagaimana
tidak sama, kau kan anaknya. Makan dulu, mama sudah goreng udang untuk kamu.”
“Aku
tidak lapar.”
“Kalau
sakit urus diri kamu sendiri, ya? Mau?”
“Mama,
please. Aku belum lapar. Sekarang aku
mau mandi dan istirahat sebentar. Kepalaku pusing. Nanti juga aku akan makan
sambil nonton film. Tenang saja, Ma,”
“Terserah.”
Dilan
masuk kedalam kamarnya yang dipenuhi dengan poster Bullet For My Valentine dan
menutup pintunya. Dia benar-benar merasakan sakit dikepalanya. Sakit karena
pemikiran yang terlalu keras atas apa yang menimpa sahabatnya dan secara tidak
langsung berimbas kepadanya. Tidak ada lagi yang bisa dijadikannya sebagai
tempat menuangkan pemikiran. Tidak ada juga yang mengirimkan pesan di hpnya
dengan berkata “sayang, kamu kenapa?”
atau dari seorang sahabat dan berkata “whazzup,
my big bro? ceritakan pada temanmu ini lalu kembalilah mabuk bersama.
Hahahaha!”. Mereka semua sudah meninggal. Terlebih Rian. Jiwanya yang
meninggal. Mamanya terkadang hanya menambah buruk keadaan. Dia benar-benar
tidak bisa berbagi kisah dengan ibunya itu.
Kamar
mandi dengan air hangat adalah tempat ternyaman lain didalam rumahnya. Dilan membiarkan
hangatnya air melelehkan pemikiran dia yang begitu keras seharian penuh dari
ujung kepala hingga kaki. Pelajaran disekolah, mengurus teman-teman yang
bertengkar dikelas, melihat ulah-ulah gadis yang selalu mencari perhatian
padanya, pekerjaan rumah, mamanya, Nadia, dan Rian. Semua memenuhi setiap sel
di otaknya hingga dia tidak mampu berfikir jernih. Ini mungkin akan jadi malam
terlama untuknya berdiam diri di kamar mandi. Dia ingin saat keluar dari
ruangan lembab itu, masalah hidupnya sudah pergi terbawa arus air dan
menghilang.
Tiga
puluh menit, Dilan keluar dari kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk yang
melilit tubuhnya dari bagian perut kebawah. Dilan memang merasa sedikit rileks
sehabis berendam. Sempat hilang pemikiran akan Rian dan yang lainnya dalam
beberapa menit, membuatnya kembali bisa tersenyum sedikit.
Kakinya
berjalan menuju lemari pakaian untuk mengambil baju. Tapi kemudian matanya bergerak
mengarah pada sebuah gambar di meja komputer yang berada di sebelah lemari
bajunya. Gambar itu tersenyum hangat padanya, tapi dimatanya mengisyaratkan
kepedihan akan pahitnya diracuni. Gambar itu seakan berkata “hilangkan lipatan-lipatan suntuk diwajahmu
itu. gantengnya jadi hilang, kau tahu?”. Sesekali juga berkata “peluk aku. aku rindu padamu. pandang mataku
dan tersenyumlah. ceritakan semuanya padaku, sayang. ayo, bergeraklah. aku
menunggumu.”
Dilan
mengabulkan permintaan gambar itu lalu memandangnya. Ada gambar dirinya juga di
sana. Semua terasa hangat dan indah waktu itu. Tidak ada kegalauan atau apapun
yang bisa semakin memperburuk kondisinya. Gambar itu, kemudian dipeluknya dan
Dilan berkata,
“Kamu
harus tahu kalau aku kangen kamu, Nadia. Kamu juga harus tahu semenjak
kepergian kamu, aku merasa dunia ini berputar terbalik hingga semuanya hancur
berantakan. Rian juga pergi meninggalkan aku dan kamu harus lihat aku sekarang,
aku terpuruk. Dunia tidak lagi berpihak padaku. Semua gemerlap kebahagiaan itu
berbalik mengkhianatiku. Aku menangis, Nad. Kamu pasti tidak tahu, kan? Aku
lelah mencari Rian dan saat aku bertemu dengannya, dia seolah ingin menikamku
hidup-hidup dari belakang. Mama tidak bisa membantu. Papa apalagi. Dia
sepertinya sudah merasa bahagia dengan wanita pujaannya. Aku baru tahu rasanya
menjadi anak dari keluarga broken home.
Dan kamu! Kamu pergi tanpa mencium keningku dulu, Nad! Setiap melihat semua
kenangan kita berdua, rasanya aku ingin sekali mengetahui monster macam apa
yang tega membunuh gadis cantik sepertimu dan membunuhnya juga! Aku ingin
sekali membunuhnya, Nad! Dia adalah salah satu orang yang menghancurkan
kehidupanku, kau tahu! Kalau saja kamu masih hidup, kita pasti bisa mencari
Rian berdua dan membujuknya agar kembali ke kehidupannya yang dulu dan kita
bisa bersenang-senang bersama lagi. Tapi apa yang aku dapatkan sekarang?? Maaf,
aku belum mengunjungi makammu. Aku tidak kuat melihat namamu tergores di atas
batu itu dengan umurmu yang masih sangat muda. Aku mencintaimu, Nadia. Aku ingin
sekali membunuhnya, Nad! Orang yang membunuhmu. Aku ingin sekali membunuhnya!
Dan jangan pernah larang aku, Nadia.”
Dilan
mendekap gambar itu erat. Air matanya mengalir tanpa ada yang menyuruh. Air
mata adalah ungkapan emosi terbaik dari diri seorang manusia, terlebih
seseorang yang sedan rapuh seperti Dilan.
Menangislah,
karena kita diciptakan sebagai manusia dan bukan seorang Superman atau Wonder
Woman.
CHAPTER 11
“Knockin’ on
Heaven’s Door”
Semalaman, dengan bermodal sikap
ramahnya yang sangat dibuat-buat, dia bisa mendapatkan tumpangan tidur dirumah
seorang ibu tua yang pekerjaannya sebagai penggarap kebun jagung orang. Ibu tua
itu menganggap Rian adalah gadis spesial. Bagaimana tidak, jarang sekali ada
gadis cantik yang mau menginap dan tidur didalam gubuk derita dengan seoorang
ibu tua yang tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menutup matanya. Selama
semalam, ibu itu memperlakukan Rian seperti tuan puteri. Rian hanya bisa
tersenyum mendapatkan perlakuan itu. Satu hal yang bisa dilakukan Rian agar ibu
itu terhibur adalah bernyanyi walau tanpa gitarnya. Dia lupa membawa kembali
gitar yang ditinggalkannya di bawah pohon tempat dia mencuri mobil untuk
mengejar perampok kelas teri itu. Tapi Rian sangat bersyukur karena ibu itu
bisa tersenyum mendengar suara merdu yang jarang sekali dia dengar. Rian baru
tahu kalau ternyata sang ibu tua mengidap penyakit TBC kronis dan paru-paru
basah akibat selalu tidur tanpa alas kasur di atas ubin. Ibu itu menyimpan
sendiri penyakitnya selama lebih dari tiga belas tahun. Gadis enam belas tahun
itu iba padanya.
Tepat
pukul satu malam, Rian sama sekali belum menutup matanya. Fikirannya masih
dipenuhi tentang penderitaan yang di alami ibu yang tidur disampingnya itu.
Sesekali Rian memandangi setiap garis kerutan di wajah tua berumur delapan
puluh tujuh tahun itu dan mata yang sudah tidak bisa mengeluarkan air mata
akibat beban hidup dan penderitaan yang dia tanggung sendiri setiap harinya. Tubuhnya
yang tua dan rapuh seakan sudah tidak sanggup lagi untuk menahan beban dunia
yang digendong sendiri olehnya. Rian sangat bangga bisa berbaring disamping
seorang wanita tua yang masih kuat menahan penyakit dan tetap semangat bekerja
walaupun sudah tidak pantas lagi untuk berlama-lama dibawah terik matahari yang
semakin menghanguskan kulitnya. Diumurnya yang sudah renta ini, dia seharusnya
sudah beristirahat dengan tenang dirumah dan tidak perlu lagi memikirkan
hal-hal yang akan menambah tingkat kritis akan penyakitnya. Perlahan, Rian
mendekatkan wajahnya dengan wajah ibu tua itu dan membiarkan bibirnya yang
dingin mencium kening si ibu tua. Beberapa detik, Rian seperti benar-benar bisa
membaca kalau apa yang dideritanya selama ini tidak sebanding dengan yang ibu
itu rasakan. Rian benar-benar tidak tega apabila membiarkan ibu tua itu kembali
menggendong dunia yang berdosa ini di esok pagi. Dengan kesadaran penuh, Rian
melepaskan ciumannya lalu menancapkan pisaunya pada bagian perut bawah sebelah
kanan ibu itu. Mata sang ibu sempat terbelalak kaget dan menatap ke arah Rian
dengan pandangan menakutkan. Kemudian, mata itu kembali tertutup dan sesaat
kemudian, Rian bisa melihat air mata jatuh melewati pipi dengan permukaan kulit
yang kering itu. Rian tersenyum melihatnya. Racun pisau Rian dengan cepat
mengalahkan segala macam virus penyakit yang diderita ibu tua dalam waktu
sedetik dan melepaskan segala beban hidupnya.
Sudah waktunya, Bu, ucap Rian dalam hati. Baru setelah tubuh ibu tua itu
mendingin, Rian bisa menutup matanya dan tertidur pulas disamping seorang mayat
hingga keesokan paginya.
Sebelum
dia melangkahkan kakinya keluar di pagi hari, Rian memandikan tubuh renta ibu,
memberishkan bekas aliran darah yang mengucur saat pisaunya menancap di
perutnya, dan memakaikan dia pakaian
terbaik yang ada di dalam lemari ibu itu. Setelah itu, Rian membaringkan tubuh
ringan itu di atas dipan, lalu diselimuti. Rian kembali mencium keningnya yang
sudah benar-benar dingin dan pergi keluar.
Kehangatan
terik matahari memang tidak ada yang bisa menandingi. Angin yang berhembus
semakin mendinginkan otak pembunuh Rian. Dia dengan rambutnya yang tergerai
bebas merebahkan dirinya ditengah padang rumput kecil di atas bukit dan membiarkan seluruh tubuhnya terbakar oleh
hangatnya matahari di pagi hari. Hangat tersebut dijadikannya sebagai tambahan
bahan bakar untuk memperkuat tenaganya hari ini. Dia tidak punya uang untuk
makan, dan dia sedang malas mengamen di jalan atau di kafe. Tapi, apabila Rian
tak melakukan tugasnya, dia tidak akan pernah bisa makan.
“Permisi,
Neng. Sedang apa disini?” suara lembut dan sopan dari seorang bapak berumur sekitar
empat puluh tahunan membangunkan Rian dari angan-angannya untuk bisa terbang ke
atas langit tadi. Tubuh sang bapak menghalangi sinar matahari yang ingin
membakar tubuh Rian hingga Rian sempat merasa sedikit kesal karenanya.
“Berbaring,”
jawab Rian singkat.
“Iya,
Bapak tahu. Masa anak gadis tiduran di atas rumput seperti ini? Rumput ini kan
untuk makan kambing dan sapi, dan bukan untuk dipakai tidur, Neng.”
“Saya
menyukainya, Pak.”
Dahi
bapak itu mengerut melihat apa yang ada didepan matanya.
“Rumahmu
dimana, Neng?” tanya bapak itu lagi. Rian diam, tidak menjawabnya. Dia sudah
menebak jika dia menjawab pertanyaan bapak itu, akan berbuntut
pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa menguak kembali masalah hidupnya.
“Uhmm..
maaf. Kalau begitu saya pergi dulu. Permisi.”
“Eh,
Pak!” Rian bangun dari tidurnya dan memanggil kembali si bapak.
“Ada
apa, Neng?”
“Kenal
pemilik rumah itu?” Rian menunjuk kearah gubuk yang semalam ditempatinya.
“Oh,
iya. Saya tahu dia. Dia Mak Nani. Sudah tua sekali. Memang kenapa, Neng?”
“Tadi
saya haus. Saya mau minta minum di rumah itu, tetapi tidak ada yang membukakan
pintunya, jadi saya terpaksa minum air sungai dibawah. Mungkin bapak bisa
melihat keadaan Mak Nani didalam.”
“Mungkin
dia sedang pergi ke kebun jagung. Nanti juga kembali.”
“Tapi
tadi saya melihat dia baru masuk kedalam rumah sehabis mengambil air di sumur
depan rumahnya,” Rian benar-benar berupaya untuk membuat bapak itu melihat
keadaan Mak Nani didalam gubuknya yang sudah mau roboh itu.
“Benarkah?
Apa dia sakit? Kalau begitu tunggu disini, Neng. Saya mau kerumahnya dulu.
Permisi.”
Berhasil.
Rian berhasil membuat bapak berbaju partai itu menuju kerumah Mak Nani. Rian
khawatir mayatnya akan terbengkalai begitu saja apabila tidak ada yang
mengetahui kematiannya. Dia tahu akan jarang sekali orang lewat di depan
rumahnya. Melihat laki-laki bertahi lalat di pipi itu menuju rumah Mak Nani,
Rian segera pergi dari tempatnya, berjalan cepat dan turun dari bukit. Dia
rindu dengan gitarnya dan ingin mencarinya.
“Ya
ampun, Gusti! Mak Nani!” jerit bapak itu setelah melihat keadaan Mak Nani.
“Neng!
Neng gelis! Neng! .. Loh? Kemana Neng gelis tadi??”
CHAPTER 12
“Natural Born
Killer”
Berjalan sejauh seratus meter lebih
untuk bisa sampai kelokasi awal dia mencuri mobil pertama kalinya sendirian
tanpa gitar dan alunan musik yang bisa dia mainkan saat merasa bosan di jalan
sudah membuatnya cukup stres. Tiang papan marka jalan berwarna kuning dan
bergambar jalanan berliku patah dan terjatuh tidak pada posisinya semula. Lalu
trotoar yang dibuat untuk membatasi jalan terlihat rusak dan gompel dibeberapa
bagian. Ada lagi goresan yang cukup dalam pada beberapa batang pohon karena
tergores dengan kaca spion mobil. Semua itu dihasilkan dari kejadian hari
kemarin, pertandingan balap Rian yang pertama. Rasanya ingin sekali
mengabadikan semua sisa-sisa bekas perbuatannya yang liar ataupun wajah
korbannya dengan berbagai macam ekspresi menjelang kematian mereka dengan
kamera. Tapi Rian sekarang tidak punya apa-apa. Hanya lensa di matanya yang
bisa mengabadikan itu semua, menjadikannya sebuah gambaran untuk masa depan.
Dalam prinsipnya, setiap korban harus memiliki mimik wajah yang berbeda setelah
ditujah atau dipotong-potong anggota tubuhnya oleh Rian. Dia menyebutnya, seni
membunuh.
Rambutnya
yang panjang sebahu sudah benar-benar tidak terkontrol. Angin sepanjang jalan
dari bukit hingga tempat dia berdiri dilokasi kejadian sudah meluluh-lantakkan
tatanan rambutnya yang memang tidak pernah ditata. Di tempat itu, cukup ramai
dengan muda-mudi yang menikmati hari liburnya. Ada juga seorang laki-laki
berumur sekitar dua puluh tahunan, keturunan China, dengan rambut belah
pinggir, berkaca mata, kemeja abu-abu dan celana panjang duduk sendirian dengan
pandangan kosong kedepan. Sesekali dia membetulkan posisi kaca matanya yang
selalu melorot. Sedang apa dia? Habis putus cinta atau tokonya habis dirampok?
Tampak frustasi sekali dia.
Omong-omong, hari minggu-kah ini? Rian bahkan
tidak bisa lagi membaca hari. Sampai sekarang, dia juga tidak tahu tempat macam
apa itu. Kalau seseorang menyebutnya taman adalah salah, karena tidak ada
tanaman-tanaman dengan tatanan yang indah di sana. Kalau ada yang menyebutnya
pasar juga salah, karena yang berdagang di sana hanya penjual burger, es krim,
juga balon. Lalu kalau mau disebut dengan perumahan juga salah. Yang jelas,
tempatnya menarik dan menyuguhkan ketenangan jiwa. Oleh sebab itu banyak yang
berkunjung kesana dan dijadikan tempat untuk bersantai.
Rian
mencari gitarnya di sana. Waktu itu dia meletakkannya begitu saja dibawah
pohon. Dia tidak ingin gitarnya rusak kalau harus ikut lari bersamanya mengejar
perampok. Terbukti kan, mereka semua masuk kedalam sungai. Apa jadinya kalau
gitar itu ikut tenggelam. Dia kan tidak bisa berenang.
Lima
menit, sepuluh menit, lima belas, dua puluh, dua puluh lima, tiga puluh, tiga
puluh lima menit sudah Rian berputar-putar kesekeliling lokasi itu tapi tidak
menemukan keberadaan gitarnya. Dia sempat kesal dan ingin membunuh semua orang di
sana. Tangannya terasa panas. Seandainya dia bisa mengeluarkan api dari
tangannya, pasti sudah terbakar tempat itu. Atau dengan lidah api seperti
seekor naga dalam cerita dongeng bodoh. Lelah, dia mengambil posisi duduk
dibawah pohon tempat dia meletakkan gitarnya. Didepannya ada gerobak tukang
balon yang ramai diserbu pembeli yang kebanyakan anak-anak. Plastik terisi angin saja rebutan. Sekali tusuk, dia akan pecah. Anak-anak
bodoh, fikirnya.
Diseberang
jalan ada sekelompok orang dengan baju mayoritas berwarna hitam, duduk di atas
motor dengan asap mengepul dari tempat mereka. Bujang-bujang penghisap tembakau
sepertinya sedang mangkal atau ingin memalaki orang-orang, Rian juga kurang paham.
Dia ingat, dulu dia pernah masuk kedalam lingkaran itu. Tapi bukan menjadi
seorang penadah atau preman. Kecintaannya akan band hardcore yang mengundangnya. Rian mengamati mereka semua dengan
mata bulatnya dari tempat duduknya. Dia melihat ada beberapa orang yang
wajahnya pernah mampir di otak Rian dan dia mengingatnya. Yang membuat Rian
semakin tertarik adalah salah satu dari mereka memeluk gitar Rian dan
memainkannya dengan nada-nada yang random.
Kalau bukan karena gitarnya, dia tidak akan mungkin memberanikan diri melangkah
menuju kelompok pemuja tanduk-tanduk metal tersebut. Saat melihat Rian mulai
mendekati mereka, laki-laki itu sudah lagi tidak terlihat seperti laki-laki.
Bibir mereka bergerak-gerak seperti mendiskusikan sesuatu akan Rian, terlihat
seperti perempuan penggosip ulung yang kulitnya pernah menyentuh pisau Rian. Bloody moron!
“Gitar,”
pinta Rian sambil menadahkan tangannya.
“Rian?!
Ini beneran lo, Yan?” kata salah seorang dari mereka.
“Lo
kenal dia?” tanya satu lagi. Rambutnya keriting. Rian pernah bertemu dengannya.
“Iya,
lah! Dia gitaris hebat, nih! Kerjaannya niru
permainannya Herman Lee atau M Tuck. Apa kabar, Rian? Inget gua, kan?”
“Gitar,”
pinta Rian lagi.
“Woop!
Gahar banget! Kemana aja, lo?”
“Oh,
jadi nama kamu Rian. Seperti nama laki-laki, ya? Inget aku, kan? Deni. Waktu
itu kamu nggak mau aku ajak kenalan saat di kafe.”
“Gitar!”
“Gitar
apaan, sih? Gitar ini punya lo?”
“Gitar!”
“Ya
Tuhan, Rian. Duduk dulu kenapa, sih? Kita ngobrol-ngobrol dulu. Lo nggak inget
sama gua?”
“Tara.
Sekarang, berikan gitarnya!” Rian mulai memanas.
“Nah!
Untung lo masih inget. Den, lo kenal dia juga?” orang yang namanya Tara dengan
logat bicara sok ibu kota itu terlihat semakin mengulur-ngulur waktu. Rasanya
Rian ingin memasukkan muntahnya kedalam mulutnya yang selalu banyak bicara itu.
“Iya.
Waktu itu di kafe dia nyanyi lagu Paramore. Suaranya bagus! Aku suka denger
suaranya.”
“Benar
begitu, Rian? Coba sekarang gua pengen denger lo nyanyi lagi. Mungkin aja bisa
gua jadiin lo vokalis lagi. Mau?”
“Gitar!!”
“Woop!
Oke oke, ini gitar lo. Kenapa lo jadi berubah gini, sih?” Tara memberikan gitar
Rian kepada pemiliknya yang otaknya sendiri sudah mendidih. Rian diam. Tidak
menjawab apapun lalu pergi meninggalkan mereka semua setelah mendapatkan apa
yang diinginkannya.
Baru
sekitar lima puluh meter Rian berjalan, suara deru sepeda motor terdengar dari
kejauhan seperti seolah ingin menerkam Rian. Dia menoleh kebelakang dan melihat
Tara dan yang lain bergerak menuju kearahnya seolah mereka adalah geng motor
yang ditakuti. Rian takut? Jangan harap.
“Hey,
Rian! Gua tau lo lagi butuh duit karena sekarang lo udah nggak punya
siapa-siapa lagi, kan? Mending sekarang lo ikut gua. Kita bisa bersenang-senang
tanpa perlu kecapekan ngamen sana-sani. Lo tau kan apa yang gua maksud?
Hahaha,” kata Tara diiringi dengan tawa iblisnya yang semakin mengantarnya
menuju kematian.
“Sangat
paham.”
Rian
memberi hantaman keras pada salah seorang dari mereka hingga dia terjatuh dari
motornya. Dengan sigap, Rian segera menaiki motor yang menganggur itu dan
membawanya pergi dengan gitar yang digantung di punggungnya. Dia bisa saja
menghantam Tara dengan satu kali hantaman tepat di rahangnya dan pasti Tara
sudah tidak bisa lagi merasakan segarnya udara pagi. Tapi, dia masih ingin
melihat sekuat apa Tara bisa mendiktatktor atas kemauannya pada Rian. Sudah
cukup selama bermain bersama dulu, Tara sering memaksa Rian untuk latihan band
dan menonton konser metal tanpa peduli dengan waktu belajar Rian di sekolah.
Dia selalu bertindak semena-mena terhadap siapapun. Tapi tidak kali ini.
Rian
memacu kencang motornya dengan kecepatan penuh tanpa peduli apakah dia atau
orang lain yang akan mati dijalanan. Benar saja, satu orang anak berbaju
sekolah dasar tidak berdosa ingin menyebrang jalan terhempas jauh karena
terserempet oleh Rian. Emosinya mengalahkan rasa sosialnya. Sama sekali dia
tidak mempedulikan anak itu. Satu pertanyaan lagi, ini benar hari Minggu atau
tidak? Kalau hari Minggu, mana mungkin ada anak sekolah berkeliaran memakai
baju sekolah? Nasib sial memang tidak bisa diprediksi.
Gadis
itu tahu tempat yang tepat untuk menghabisi mereka semua, terutama Tara. Sebuah
rumah tua besar yang setengah jadi menjadi pilihannya. Di tempat ini, Tara
pernah hampir mati karena over dosis. Tapi kakaknya segera datang dan dia
berhasil diselamatkan. Dan kali ini, tidak akan ada yang bisa menyelamatkannya
sekalipun jin yang bersarang di dalam kepalanya.
“Rianku
yang cantik! Kamu mau apakan kami semua disini, hah? Aku menunggumu Rian! Hahaha,”
Tara terlihat seperti orang mabuk dan Rian iba terhadapnya. Menjijikkan sekali
mendengar tawa iblisnya. Tertawalah,
sebelum kamu ditertawakan.
Rian
turun dari motornya dan berjalan masuk kedalam rumah tua tanpa takut sama
sekali. Dia menaruh gitarnya dan disandarkan pada sisi tembok dan duduk
didekatnya sambil menundukkan kepala. Persis seperti sesaat sebelum dia
menghabisi seluruh penjaga distro dan membakarnya. Tara pasti akan mati
penasaran melihat apa yang Rian lakukan.
“Gua
hanya ingin denger suara lo lagi, Yan. Kalau bisa sih denger permainan gitar lo
itu. Nggak ada cewe yang punya skill gitar
diatas standar seperti lo. Tapi sekarang, lo malah ngajak gua kesini, tempat
gua sekarat. Lo mau apain gua terserah, deh. Hahaha.”
“Ra,
Rian kenapa? Kepalanya menunduk begitu.”
“Dia
lagi nunggu gua, Den. Lihat saja.” Dengan gagahnya, Tara menghampiri Rian dan
.. show time!
Rian
menendang dengan penuh kekuatan pada salah satu bagian tervital dari laki-laki
hingga Tara jatuh tersungkur. Salah seorang teman dari Tara berlari menghampiri
Rian ingin menghajarnya. Rian sudah bisa membaca geraknya lalu segera menebas
kepala musuhnya dengan sangat cepat. Darah muncrat mencuat mengenai wajah Rian
diselingin suara kepala yang bergelinding lepas dari tubuhnya. Rian
membersihkan darah yang menjijikan itu dari wajahnya. Satu.
Tara
masih terkapar tidak bisa bangun, merasakan sakit yang teramat pada bagian
bawah perutnya. Setelah melihat adegan potong kepala yang merupakan pemanasan
tadi, tidak ada salah seorang pun dari mereka yang berani maju menghajar Rian. Kaki
mereka bergerak mundur untuk kabur dan kemungkinan besar akan lapor polisi.
Rian benci pemikiran itu. Dia segera menghampiri Deni yang wajahnya penuh
dengan keringat ketakutan tapi matanya menandakan kemarahan atas kematian
temannya.
“Apa?”
tanya Rian basa-basi.
Tendangan
lingkarnya berhasil membuat pecah kepala Deni hingga dia tampak hilang
keseimbangan. Satu lagi serangan salah seorang dari mereka mengarah kepadanya dan
berhasil di tangkisnya dengan menusuk leher orang itu hingga membuat dia muntah
darah dan nanah hingga jatuh. Dua.
Deni
bergerak berusaha melawan walaupun mentalnya sudah terkikis atas pemandangan
yang baru saja dilihatnya dengan mengajak Rian bergulat. Deni bergerak memeluk
Rian dan bersiap untuk membantingnya. Rian tahu dia tidak pandai dalam hal ini.
Satu kali gerakan ringan, Rian berhasil menancapkan pisaunya ke punggung
belakang Deni lalu merobek kulit punggung jdan membuatnya melepaskan pelukan
pada Rian dan tertidur pulas. Kurang puas, Rian meloncat dan mendaratkan
loncatannya pada perut Deni yang sudah meregang nyawa tersebut. Tiga.
Satu
lagi. Rian tidak tahu apakah Tara pura-pura mati atau sudah mati. Dari tadi dia
hanya tertidur tanpa ada perlawanan. Rian bergerak mendekatinya lalu merasakan
denyut nadi di lehernya. Dasar licik. Cara murahan dilakukan Tara dengan
mencekik leher Rian tiba-tiba dan mendorongnya menempel di tembok, berharap
Rian tidak bisa melakukan apapun. Pengecut.
Rian
mulai terbatuk-batuk dan lemas karena cekikan tangan besar Tara yang menguasai
lehernya. Tara memperlihatkan wajah menantangnya dan memainkan lidahnya seperti
ayam sekarat. Yang didapatkannya, air liur keluar dari mulut Rian dan mengalir
tepat di atas hidungnya dan Tara refleks melepaskan salah satu tangannya dari
leher Rian untuk membersihkan liur di wajahnya. Rian mengambil kesempatan ini. Dengan
sisa tenaga yang dia punya, Tara kembali meraskan tendangan Rian pada dadanya
dan dia terjatuh. Rian menduduki tubuh Tara lalu berkata, “Bagaimana rasanya,
laki-laki tangguh?”
“F*ck
you!” giliran Tara meludah tepat di wajah Rian. Sepertinya dia ingin menyudahi
semua dengan segera. Rian membersihkan liur menjijikkan itu lalu menarik
pisaunya dan menusuknya tepat di dalam rongga mulut Tara saat dia membuka
mulutnya. Dia hanya bisa menjerit kurang dari sedetik dan mati dengan mata
terbelalak. Empat.
Baju baru, fikir
Rian. Dia mengambil jaket yang di pakai Tara lalu memakainya. Sepatu Deni juga
diambil oleh Rian dan dia semakin terlihat menakutkan. Saat dia keluar membawa
gitarnya, ada banyak pilihan motor yang bisa dia gunakan. Dia memutuskan untuk
mengambil motor Tara lalu membawanya pergi.
Sekarat adalah awal
dari kematian, Ra.
CHAPTER 13
“An Epic of Time
Wasted”
Seperti hidup kembali. Rian memacu
kencang laju sepeda motor hasil rampasannya. Untuk saat ini, dia ingin
bersenang-senang dulu hingga motor ini sudah tidak menanggapi keinginannya
lagi. Rian membawa lari motor itu hingga keluar kota X, dia rasa. Karena, dia
hanya berjalan lurus tanpa berbelok satu kalipun. Motor ini membuat Rian
semakin lama ingin merusaknya. Dia bisa mencium aroma tubuh Tara dari jaket
yang dikenakannya itu. Tubuh itu dulu pernah memboncengnya di motor ini lalu
mengajaknya keliling kota. Tubuh itu juga dulu pernah mengisyaratkan
ketertarikan yang berbeda terhadap Rian. Mungkin rasa suka. Tara pernah
berulang kali menyatakan cintanya kepada Rian tapi Rian sama sekali tidak
pernah mengiyakannya. Cintanya hanya untuk Dilan, cinta pertamanya. Semua
gambaran-gambaran itu berlalu lalang didalam mata Rian hingga membuatnya kesal
dan ingin membunuh seseorang lagi.
Uang
senilai Rp 3.890.000,- dia dapatkan dari saku jaket Tara sebenarnya bisa saja
dia gunakan untuk keperluannya beberapa hari atau habis dalam satu hari ini. Sulit
memang membaca jalan fikirnya, bahkan dia pun tidak bisa membaca akal sehatnya.
Dengan kesadaran yang penuh, dia memberhentikan motornya tepat di atas jembatan
jalan yang dia yakin ada manusia tinggal dibawah jembatan ini. Rian menaburkan
uang dengan pecahan lima puluh ribuan itu dari atas dan dalam sesaat, terdengar
suara ramai dari bawah – terutama suara anak-anak – seolah mereka melihat
adanya hujan uang dan ribut memanggil kawan-kawannya untuk menampung seluruhnya
dengan pakaian yang mereka pakai. Mereka berlari sedikit kedepan lalu mendongak
keatas, ingin melihat siapa dermawan yang menaburkan uang itu. Rian berdiri
agak sedikit menjauh supaya tidak terlihat. Dia tidak mau menjadi dermawan
kesiangan. Biarkanlah anak-anak dan warga di kolong jembatan itu menikmati uang
tersebut tanpa perlu tahu siapa yang memberinya. Anggap saja itu pemberian
Tuhan. Suara itu semakin dan semakin ramai saja. Banyak orang yang berebut
mendapatkan separuh atau semua dari hasil uang yang terbang itu. Kali ini bukan
hanya anak-anak, melainkan bapak-bapak dan ibu-ibu. Setelah uangnya sudah
habis, suara-suara itu mengatakan satu kata yang sama, terima kasih. Rian
tersenyum ramah dan hanya dirinya sendirilah yang tahu kalau dia tersenyum. “Dengan
senang hati,” kata Rian pelan dari atas.
Hujan
uang telah berhenti dan mungkin ini anugerah lain, hujan air menyusul dari
langit setelah kemarau panjang yang membuat semua orang gusar akan kekeringan
yang mereka alami. Air itu turun pelan-pelan dan kemudian berubah menjadi
serangan-serangan yang menyejukkan. Rian bisa mencium aroma debu dan tanah yang
tersiram air hujan atau aroma khas saat hujan turun. Rian selalu suka aroma
tersebut. Menyegarkan. Tanah, rumput, sawah, bunga-bunga, hewan, manusia, semua
bersyukur karenanya. Hujan yang penuh berkah dan menjadi penantian panjang
selama tiga bulan terakhir akhirnya datang. Serangan-serangan air yang semakin
banyak menyerang kepala Rian, membuatnya sedikit pusing. Dia menaiki motornya
dan memutuskan untuk berteduh.
Jalan setapak yang sedikit menurun
berhasil dilalui Rian dan motor barunya. Dihadapannya, sebuah pemandangan yang
sangat bertolak belakang dengan kehidupan manusia di atasnya. Sebuah ironi di tengah
gemerlap malam. Ironi yang menjadi potret kelayakan bernaung sebagai salah satu
dari tiga kebutuhan hidup manusia. Ironi yang menjadi ciri khas di berbagai
negara miskin dan berkembang. Kisah yang semakin terkikis kepeduliannya oleh arus
gelombang globalisasi yang dashyat dan diterpa oleh angin individualisme budaya
barat. Dampak buruk dari kecenderungan apatis terhadap paradigma sosial
disekitar. Satu lagi kebenaran yang menjadi sulit untuk dipastikan
kebenarannya. Dia baru mengerti mungkin ini yang disebut paradoks.
Para
manula tidur diatas kardus yang sudah sangat tipis, bahkan lebih tipis dari air
dan langsung berhadapan dengan tanah yang basah dan lembab. Bagaimana mungkin
mereka bisa sembuh dari penyakit yang dideritanya? Anak-anak bermain
parasut-parasutan dari plastik dan dengan ujung yang dilengkapi dengan pemberat,
dilemparkannya keatas dan turun kebawah. Saat perjalanan turun itulah anak-anak
bersorak kegirangan. Ibu-ibu menggendong bayi mereka yang sepertinya kekurangan
asupan ASI. Ada yang sedang mengangkat pakaian yang mereka jemur sedari tadi
karena hujan yang datang tiba-tiba. Para ayah sibuk memisahkan hasil memulung mereka
selama setengah hari ini. Keringat di kering kulitnya deras sekali, berbaur
dengan air hujan yang tak mau kalah mengguyur kerut wajah mereka. Sedangkan
kehidupan di atas, mobil-mobil bermerek nomor satu bertenaga kuda mondar-mandir
dengah gagahnya. Motor-motor secepat jaguar berlarian memburu waktu. Wajah mereka
tertutup oleh kaca yang seolah menggambarkan tertutupnya kepribadian mereka
yang tidak mau memandang kesana-kesini kecuali kedepan dan sesekali melihat
spion takut akan tercabutnya nyawa ditengah jalan. Ya. Inilah pemandangan kontras
di tempat Rian berteduh. Mereka menyebutnya, kolong jembatan.
Rian
menyesal kenapa dia hanya bisa membagikan uang senilai Rp 3.890.000,- sedangkan
dia bisa memberi mereka semua lebih saat kehidupannya masih diatas rata-rata. Rian
mungkin salah satu dari mereka yang berada di atas, dengan sikap apatisnya yang
menjadi tamong kehidupan. Mereka bilang, apatis berarti tidak mau tahu dan suka
mencampuri urusan orang lain. Tapi ketika ditanya berita selebriti, mereka yang
bisa menjawab lebih dahulu dan sangat lancar bahkan lebih lancar dari saat
pengambilan nilai presentasi makalah disekolah. Rian sendiri baru sadar akan
sikap buruknya itu, lebih buruk daripada membunuh. Membunuh banyak orang dengan
sikap apatis level tinggi dengan berpura-pura tutup mata dan telinga akan
penderitaan orang lain, itukah yang disebut makhluk sosial?
“Bagaimana
bisa terbang kalau parasutnya berlubang?” tanya Rian setelah menghampiri
seorang anak berwajah murung karena parasutnya tidak bisa terbang.
“Lalu
bagaimana?” tanya anak itu.
“Harus
dibuat lagi yang baru.”
“Bisa
ditambal saja, tidak?”
“Tidak
bisa. Ini plastik, bukan ban motor. Kalau kamu mau, aku bisa buatkan kamu yang
lebih bagus dari temanmu yang lain,” tawar Rian.
“Benarkah?”
mata anak itu seolah berkata akan sebuah harapan.
“Iya.
Aku minta plastik lagi. Ada?”
“Tentu
saja. Di sana ada banyak plastik menganggur. Tunggu sebentar ya, Kak.”
Di sana? Dimana?
Rian
menatap anak itu berlari-lari kecil menuju tumpukan sampah basah karena air
hujan yang berada sekitar tiga meter dari tempat tinggalnya. Ya, Tuhan. Disaat
semua anak-anak ibu kota membeli mainan plastik berwarna disertai baterai dan
roda di toko mainan yang nyaman dan full
AC, tapi tidak dengan anak-anak disini. Orang-orang bilang, hidup itu
adalah pilihan. Tapi bagi mereka, hidup itu tidak ada pilihan. Mereka
ditempatkan pada satu pilihan dan diharuskan untuk menerimanya, sepahit apapun
itu. Membongkar tumpukan sampah untuk mencari material mainan mereka sendiri
adalah satu-satunya cara agar mereka bisa tersenyum.
“Ini,
kak. Plastiknya yang besar biar parasutnya juga besar dan bagus,” anak itu
kembali dan memberikan plastik hitam bermotif cipratan air becek dengan
bersemangat. Rian menerimanya dan tersenyum.
“Lihat
ini.”
Rian
mengeluarkan pisau andalannya dari saku celana lalu memotong plastik sehingga
berbentuk lingkaran yang ukurannnya hanya dikira-kirakan saja olehnya. Kemudian,
dia memberi lubang-lubang kecil disekeliling lingkaran plastik lalu memasukkan
benang kedalamnya satu per satu. Setelah semua benang masuk, Rian merapikannya
kemudian mengikatnya pada satu bagian. Terakhir, tali itu diikatkan pada beban.
Kali ini yang dia gunakan ada potongan kayu kecil.
“Selesai.
Coba kamu terbangkan,” Rian menyodorkan hasil karyanya. Anak itu menuruti apa
yang diperintahkan Rian dan melemparkannya ke atas. Woop! Parasut terbang cukup
tinggi dan jatuh perlahan kebawah dengan parasut terbuka lebar.
“Hebaat!!
Ini lebih bagus dari punya teman-temanku! Terima kasih, Kakak!”
“Sama-sama,”
Rian tersenyum. Sama sekali tidak terlihat seperti pembunuh.
“Kakak
baik sekali, seperti Tuhan yang tadi baru saja menghujani kami dengan uang,”
kata anak itu lugu.
“Benarkah?
Mana mungkin Tuhan menurunkan hujan uang,” uji Rian pada anak itu.
“Iya,
kah? Kalau bukan Tuhan siapa lagi? Mana ada orang lain yang mau peduli dengan
kami disini. Apalagi bapak-bapak berpakaian setengah polisi yang suka menculik
pengemis dan pengamen kedalam mobilnya. Mereka jahat, Kak,”
Rian
paham. Yang dimaksud mereka adalah SATPOL PP yang memang tugasnya seperti itu. Hanya
saja pemikiran anak ini terlalu banyak diterpa ketidak adilan hidup. Seharian
penuh Rian menjelaskan kepadanya mengenai ini semua dia juga tidak akan bisa
mengerti. Faktanya yang akan terus dia terima adalah, perut lapar yang menjadi
rasa rutinan atau aroma sampah yang berubah menjadi aroma ayam goreng di KFC. Jadi
percuma saja. Rian cukup tersenyum menanggapi fikiran lugu bocah itu.
Teman-teman
dari anak itu segera berlarian mendekati anak dengan parasut barunya seperti
binatang terbang kecil yang berkerubun mendekati cahaya lampu. Mereka berebutan
ingin melihat parasut yang memang lebih baik daripada punya mereka. Masing-masing
mulai berebutan ingin minta dibuatkan karya yang sama dari tangan dingin Rian. Rian
menurutinya.
Sembilan
parasut telah berhasil diselesaikan oleh Rian. Parasut-parasut terbang dan
jatuh kembali ditengah air hujan yang sudah mulai mereda. Rian merasa berhasil
menjadi seperti hujan yang keberadaannya dibutuhkan oleh seluruh makhluk di
atas bumi, membawa kehangatan diantara dinginnya tubuh mayat yang
bergelimpangan hasil tujaman pisau Rian. Akhirnya, untuk pertama kali pisau itu
bisa membawa kebahagiaan.
Rian
pamit pulang setelah dilihat hujan sudah mulai reda dan kehangatan kembali
menyelimuti kolong jembatan. Senyum simpul kebahagiaan diberikannya sejak tadi
dia menapakkan kakinya di tempat ini.
“Kak,
pisaunya ketinggalan!”
“Jangan
pegang pisau itu! Biar aku saja yang mengambilnya!” seru Rian dari atas
motornya. Ini bahaya kalau sampai pisaunya tertinggal. Itu sama saja dia memasukkan
king cobra di dalam kasur bayi. Anak itu menuruti apa yang diperintahkan. Rian
turun dari motornya lalu mengambil pisaunya.
“Rani
pernah lihat pisau seperti ini juga, Kak. Mirip sekali.”
“Dimana???”
tanya Rian kaget dan membuat anak itu sedikit ketakutan.
“D-dd-disitu,
di atas batu. Tapi waktu itu sudah ada yang mengambilnya.”
“Katakan!”
“Kakak
membuatku takut,” anak itu mengernyitkan dahinya. Rian benar-benar ingin
mengetahui apakah benar ada pisau yang sama dengan yang dimilikinya atau hanya akal-akalan
anak ini saja. Selain itu, dia tidak mau membuang-buang waktu.
“Maaf.
Coba katakan siapa yang mengambil pisau itu,” Rian mengecilkan suaranya.
“Dia
menutup kepalanya dengan jaket yang bertopi itu. Aku suka jaketnya. Ada tulisan
China yang besar dibelakangnya.”
“Tulisan
China?? Tulisan Jepang mungkin?”
“Engg..
aku kurang tahu.”
“Kamu
bisa membacanya?”
“Hahaha.
Kakak menghina aku, ya? Membaca tulisan biasa saja aku tidak bisa. Bahkan aku
tidak tahu warna tiang itu. Teman-teman katakan itu berwarna biru. Tapi
menurutku itu hijau. Hahaha.”
Ya, Tuhan. Dia buta
aksara dan buta warna. Pertanyaan bodoh macam apa ini? tulisan Jepang dan
Mandarin saja dia tidak bisa membedakannya.
“Baiklah.
Terima kasih. Aku pamit dulu. Permisi.”
Tangan-tangan
kecil itu melambai-lambai melepas kepergian Rian.
CHAPTER 14
“Breathless”
Muak
sudah!
Jarum
merah yang ada di dalam kaca speedometer motornya
kini sudah menunjuk kepada huruf “E”. Apakah itu berarti “End”? Sial! Kenapa bensinnya harus habis saat
di tengah jalan? Kalau saja racun pada pisaunya bisa menembus kedalam besi
metal ini, sudah dilakukannya sejak tadi. Sekarang apa? Aku mendorong motor di tengah jalan raya seperti ayah yang menggendong
anaknya saat menonton pawai di pameran padahal dia punya kaki. Membuang-buang
waktu, tidak efisien! Melakukan pekerjaan cuma-cuma. Potong saja kakinya kalau
tidak digunakan! Sama seperti motor ini, sampai ujung jalan sana jangan harap
dia mempunyai roda lagi, umpat Rian dalam hati.
Bukan
tidak mungkin Rian mendapatkan panggilan-panggilan tidak menyenangkan saat
mendorong motornya oleh orang-orang yang kebanyakan laki-laki. Rian menyebut
dirinya sendiri sebagai korban dari kekejaman benda mati padanya. Bayangkan,
ada gadis cantik berhidung runcing berjalan sendiran, kelelahan mendorong motor
sejauh satu kilometer lebih di tengah jalan raya. Tidak di pungkiri banyak
sekali orang-orang yang menawarkan jasanya yang kesiangan untuk membantu Rian.
Di pinggir jalan tadi dia menemukan SPBU yang bisa dia masuki, mengisinya
dengan bensin, lalu kembali bergumul dengan bebek bermesin itu. Atau tukang
tambal ban yang menyediakan bensin eceran. Tapi anak ini benar-benar tidak
butuh mereka semua. Dia membiarkan emosi dan amarahnya memasuki level siaga dengan
mati-matian mendorong motor sampai ketempat yang dia inginkan agar dia bisa
meluapkannya dengan baik saat mengeksekusi motor busuk itu.
Sampai!
Rian
mendapatkan dirinya sudah berpeluh keringat dan benar-benar kelelahan. Ingat, Rian
benci sekali kata-kata itu. Dia memang tidak berlari, tapi melakukan pekerjaan
yang sengaja memancing emosinya. Dia sudah berada di areal persawahan yang
cukup sepi. Keindahan pemandangan padi menguning sama sekali tidak dia
hiraukan. Bahkan Rian mungkin tidak menyadari kalau awan dan langit di atasnya yang
berwarna oranye khas sore hari sangat indah. Semakin oranye warna langit itu,
semakin membakar emosi di dirinya. Dia mendorong motornya sampai ke tengah
kebun orang yang banyak pohon bambu di sana.
“Kau
tahu akan aku apakan dirimu?” tanya Rian pada motornya seolah-olah motor itu
bisa berbicara.
“Tidak?
Baiklah. Kau telah membuatku kelelahan dan kau akan dapat akibatnya!”
Rian
menemukan arit dan golok dari salah satu gubuk di pinggir sawah. Dia mengambilnya
untuk menyakiti benda bergerak itu. Rian berimajinasi seolah-olah dihadapannya
adalah Hatachi dengan wajah menantang maut dan meledek kepadanya. Rian
mengangkat arit tinggi-tinggi lalu menancapkannya tepat pada kaca speedometer motor diiringi suara erangan
emosi Rian yang tertahan. Suara kaca pecah terdengar cukup keras kemudian. Setelah
pecah Rian mencongkel jarum yang seolah tersenyum kepadanya –padahal yang dia
tunjukkan adalah huruf “E” – dengan penuh emosi. Dapat! Dia mengambil jarum itu
lalu dipatah-patahkannya hingga sedikit hampir menyerupai debu berwarna merah.
Sekarang apa lagi?
Golok
menjadi senjatanya sekarang. Golok di tancapkan pada kursi motor dan kursi itu
kini telah menghadapi saat-saat pencabikkan. Mengangkat golok itu tinggi-tinggi
lalu menancapkannya, menarik paksa hingga kain pembungkus kursi motor itu robek
seolah berteriak “jangan lanjutkan!” tapi
Rian tidak peduli. Kegiatan itu dilakukannya berulang-ulang hingga kursi itu
menjumpai ajalnya.
Rian
masih asyik mencabik-cabik motor itu ketika suara seorang pria mengejutkannya.
“Hey!
Sedang apa kau disitu?”
Rian
menoleh kebelakang, tidak menanggapi, lalu melanjutkan pekerjaannya. Suara
langkah kaki yang semakin mendekat pada dirinya mulai membuatnya waspada. Tutup
matamu karena bisa jadi golok itu menancap di kepala orang asing yang menegur
Rian tadi.
“Rian?”,
tanya laki-laki empat puluh tahunan itu pada dirinya setelah menepuk pundak
Rian.
“Pak
Afif?”
“Iya.
Kamu ingat saya? Ayahnya Dilan.”
“Ingat.”
“Mmm..
sudah lama sekali kita tidak bertemu. Apa yang sedang kamu lakukan disini?”
Rian
belum menjawab, mata Pak Afif sudah berkeliaran mencari tahu apa yang terjadi
di depannya sekarang. Motor dengan kaca speedometer
yang pecah, kursi yang sudah tidak karuan, knalpot yang sudah setengah
terlepas dari tempatnya, kondisi motor yang sudah tergores-gores, dan kaca
spion yang pecah. Di hadapannnya seorang gadis mencengkram golok dengan kuat
sampai urat-urat tangannya terlihat seperti elang yang mencengkram burung
pelikan di kakinya, keringat berucucuran seperti habis mengaduk semen, dan
tangan yang sedikit berdarah karena tergores arit. Bisa dijamin Pak Afif sudah
mempunyai jawaban pertanyaannya sendiri yang mungkin sempat di tolak alat
berfikirnya tanpa perlu Rian menjawabnya.
“K-kamu
mengahancurkan motor ini??” tanya Pak Afif keheranan setelah mendapatkan hipotesisnya
sendiri.
“Apa
yang Anda lihat itulah yang terjadi.”
“Sedari
tadi saya perhatikan kamu. Kamu menancapkan golok-golok itu seperi seorang
pembunuh. Dan ternyata yang kamu bunuh adalah sebuah motor???”
“Ya.”
“Kau
gila, Rian! Jangan sampai anak saya berteman denganmu! Dia salah mempunyai
teman sepertimu!”
Pak
Afif nampak terburu-buru mengambil handphone dari saku celananya. Kemudian, dia
mengabadikan gambar diri Rian yang masih mencengkram golok dan motor hasil
cabikannya dalam kamera handphone miliknya. Rian “masih” diam dengan mata
melotot ke arah Pak Afif. Setelah puas
jepret sana-sini, Pak Afif memijit-mijit tombol dari handphonenya lalu
mengarahkan benda itu ketelinganya, ingin menghubungi seseorang.
“Halo,
Dilan?”, kata Pak Afif kepada orang yang diseberang teleponnya sesaat kemudian.
Dia menghubungi Dilan. Kemungkinan besar dia akan mengadu pada Dilan seperti
anak kecil yang baru melihat pertandingan adu ayam. Kampungan! Rian bisa membaca situasi. Dia segera merampas handphone
Pak Afif dan melemparkannya dengan keras ke atas batu. Handphone itu pecah.
“Apa-apaan
kamu??! Kau harus membayar atas semua ini!!” Pak Afif menunding-nunding Rian
dengan jari telunjuknya. Rian tidak menjawab apa-apa. Kalau saja dia seorang
vampire atau kanibal, pastilah ayah Dilan itu akan jadi santapan supper yang lezat. Benar saja, Pak Afif
berlari dengan dengkul gemetaran keluar dari hutan bambu.
Mau lapor polisi?
Rian
sudah cukup lelah. Untuk kali ini dia memang tidak konsisten akan prinsipnya
untuk tidak berlari. Tapi semuanya sudah kepalang tanggung. Rian mengambil palu
dari tas kerja ayah Dilan yang tadi di tinggal dekat pecahan handphonenya, lalu
berlari secepat mungkin mengejar si pemilik palu. Urat-urat kemarahan sudah
keluar menggarisi wajah putihnya yang sekarang memerah. Darahnya sudah naik ke
kepala. Dia naik pitam.
Dapat kau!
Perempuan
itu menarik kerah baju bagian belakang Pak Afif hingga dia hampir tersungkur
jatuh. Dengan palu miliknya sendiri, Pak Afif merasakan hantaman luar biasa
tepat di kepalanya. Palu berhasil menancap di kepala Pak Afif. Darah kental
mendesak keluar dari tengkorak kepalanya.
“AAAARGGH!”
jerit Pak Afif sangat kencang.
“DIAM!”
bentak Rian. Satu kali lagi pukulan kencang dengan benda yang sama pada
punggung belakang laki-laki itu hingga dia terjatuh mencium tanah.
“K-kkamu!
A-aku haramkan k-kau m-menyentuh keluargaku! Terutama Dilan!” kata Pak Afif di
tengah-tengah suaranya yang terbata-bata.
“Selamat
tinggal.”
Lagi,
pisau itu menancap pada leher korbannya. Dalam hitungan detik, mata Pak Afif
sudah terbelalak ke atas, menantikan malaikat maut mencabut nyawanya. Rian
membiarkan tubuh Pak Afif tergeletak di atas tumpukkan daun-daun kering dengan kepala
yang berdarah-darah. Palu yang dia pakai kemudian dibawanya pergi keluar dari
tempat itu walau tanpa motornya.
Aku sudah lama menunggu
saat-saat ini, Pak. Kau memang sudah keterlaluan. Meninggalkan anak istrimu
demi seorang wanita lain yang lebih rendah dari wanita jalang sekalipun. Kau
tidak tahu bagaimana perjuangan Ibu Adilla merawat dan membesarkan Dilan sendirian.
Kau tidak tahu, kan? Dan sekarang, beraninya kau mengambil diagnosa kesiangan
atas secuil kegiatan yang aku perbuat disini dan melakukan percobaan untuk
mengadukan semuanya kepada Dilan! Palu milikmu menikam dirimu sendiri, Tuan.
CHAPTER 15
“Immortality”
“Senin,
13 Februari 2010 sore ditemukan lagi sesosok mayat yang diketahui bernama Afif
Aryana umur empat puluh tahun, tewas mengenaskan di dalam hutan bambu di kota Y
dengan luka parah di kepala dan di
punggung belakang. Polisi menduga korban dibunuh dengan cara dipukul dengan
benda keras pada bagian-bagian tersebut. Sedangkan luka pada leher korban sama
dengan luka pada korban-korban pembunuhan yang sedang marak beberapa waktu
terakhir. Masyarakat setempat menduga luka tersebut disebabkan karena gigitan
hewan buas. Polisi dan tim forensik sendiri telah bekerja sama untuk memecahkan
bersumber dari apakah luka yang langka tersebut. Luka yang sama juga ditemukan
pada beberapa korban sebelumnya yang tewas mengenaskan dengan anggota tubuh
setengah termutilasi. Polisi juga belum tahu apakah motif dari pembunuhan yang
menewaskan seorang ayah yang meninggalkan satu orang istri dan dua orang anak ini.
Korban sendiri sebenarnya tinggal di kota X dan sedang bertugas merancang
konstruksi gedung walikota yang baru di kota Y. Demikian Headline News kali
ini. Kami akan kembali dalam satu jam mendatang.”
Isak
tangis seorang istri, mantan istri, dan seorang anak laki-laki yang baru saja
dewasa pada tanggal 12 Februari kemarin menyusul setelah reporter Headline News
di televisi menyudahi laporannya. Mereka semua berada dalam satu ruangan pada
satu rumah menghasilkan aura kesedihan yang mendalam pada keluarga pincang ini.
Ayah, suami, dan mantan suami mereka telah pergi untuk selama-lamanya
meninggalkan segala urusan yang masih tertinggal di dunia ini. Sama sekali
tidak tergambarkan aura sakit hati atas bercerainya Ibu Adilla dan Pak Afif
dikarenakan dugaan orang ketiga, Ibu Fadhilla yang sekarang telah menghasilkan
sepasang anak kembar. Dua nama yang hampir sama dengan jarak umur yang cukup
jauh. Dilan memeluk mamanya erat. Rasa sakit hati itu luntur dalam sekejap
ketika melihat tubuh tulang punggung mereka dulu sudah dingin berlumuran darah
yang membeku di layar televisi mereka yang sedikit di blur. Rasa sakit hati itu kini digantikan dengan rasa dendam
kepalangan yang tidak akan pernah luntur kepada siapapun yang membunuh Pak Afif.
Dilan sendiri baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas tanggal 12
Februarinya.
Monster
macam apa yang tega membunuh seorang tulang punggung dari keluarga baru dengan
dua orang anak kembar yang lucu-lucu yang baru saja masuk sekolah dasar? Bahkan
lelaki itu belum sempat mengucapkan kalimat “Selamat ulang tahun, Dilan”. Ya.
Monster itu adalah: Rian.
“Bagaimana
aku bisa menghidupi kedua anakku ini, Mbak Adilla. Aku tidak punya siapa-siapa
lagi!” ibu Fadhilla menangis meraung-raung dalam pelukan ibu Adilla yang memang
benar-benar menunjukkan bahwa dia lah yang paling tegar dalam semua ini.
“Kau
tahu apa yang aku lakukan saat Afif menceraikanku?”
“Apa?”
“Aku
rela mencuci baju tetangga demi menghidupi Dilan. Aku rela membuat makanan
untuk dititipkan ke koperasi sekolahnya. Aku rela meminjam uang pada tetangga
untuk membeli baju sekolah Dilan kemarin. Apapun aku lakukan untuk anakku, kau
tahu. Dan sekarang itu terjadi padamu. Kau masih cantik dan muda. Ku dengar kau
lulusan tata boga di SMK. Kau juga buka usaha catering, kan? Pinjamlah uang di bank untuk tambahan modal dan
memperbesar usahamu. Kalau kurang, kau bisa gunakan warisan yang aku yakin pasti
sudah ditinggalkan Afif jauh-jauh hari,” Ibu Adilla memberi masukan kepada Fadhilla
yang semakin terlihat murung di setiap menitnya. Matanya menerawang luas
kedepan seolah-olah dia bisa melihat apa yang akan terjadi padanya dan kedua
buah hatinya setelah kepergian mendadak suami tercintanya.
“Tapi,
bagaimana mungkin aku bisa bertahan dalam kepincangan ini? Aku benar-benar
mencintai Mas Afif dan aku tidak siap menghadapi semua ini. Bagaimana aku
menjelaskan pada Zionell dan Zeon? Bagaimana aku tahan menghadapi kondisi masyarakat
sekitar sendirian, Mbak? Membayangkannya saja sudah mau pingsan rasanya. Aku
tidak sanggup, Mbak!” wajah ibu Fadhilla memerah karena tangisnya yang sudah
tidak bisa dibendung lagi. Anak-anaknya sedang tertidur di kursi tamu. Wajahnya
mereka benar-benar tampak tidak berdosa. Ibu Fadhilla tidak kuat menatap
tatapan lugu nan polos dari anak-anaknya. Di sana ada mata ayahnya, Afif
Aryana.
“Hubungi
aku kapan pun kau membutuhkanku,” jawab Ibu Adilla datar. Tidak tampak lagi air
matanya jatuh dari balik kacamatanya. Dia kemudian memeluk Ibu Fadhilla,
menenangkannya. Tidak tampak raut wajah orang yang sedang berseteru dalam waktu
tujuh tahun lamanya.
“Aku
heran, kenapa satu per satu orang-orang yang aku cintai pergi begitu saja. Dan
satu hal yang sama, mereka semua di bunuh! Nadia, ayah, lalu siapa lagi nanti??
Aku yakin dia adalah orang yang sama, Ma. Pembunuh mereka semua adalah satu
orang!”
“Sudahlah,
Dilan. Siapapun yang membunuh mereka semua pasti tidak suka dengan apa yang
kita miliki. Ambil sisi positifnya saja, waspada. Kamu tahu siapa yang mama
curigai?”
“Siapa,
Ma?”
“Temanmu
itu, Rian.”
“Apa?
Tidak mungkin, Ma! Aku kenal betul dengannya! Dia tidak mungkin melakukan
hal-hal di luar batas nalar seperti ini. Apalagi Nadia dan ayah. Mereka berdua
menyayangi Rian, Ma!”
“Bisa
tidak kamu dengar mama dulu!” bentak Ibu Adilla pada anaknya. Dia melepaskan
pelukannya dari Ibu Fadhilla. Dilan terdiam.
“Rian memang dekat dengan keluarga kita sejak
dulu. Mama mengenal baik ibu dan ayahnya. Keluarga mereka yang membantu
mencarikan rumah ini untuk tempat kita tinggal. Mama ingat, Rian juga pernah
menolong mama yang hampir kerampokan saat berada di pasar. Tapi itu dulu,
sebelum keluarganya hancur seperti saat ini. Kamu harus buka matamu, Nak.
Tidakkah kamu melihat ada yang lain dari dirinya yang membuat orang-orang di
sekitarnya merasa berada di dekat malaikat pencabut nyawa?”
“Mama
pernah melihatnya saat dia sudah seperti ini?”
“Iya.
Mama melihatnya saat di taman di jalan Merpati 4. Dia duduk sendirian di bawah
pohon menatap anak-anak yang sedang membeli balon dengan pandangan menyeramkan.
Dia mungkin berfikir anak-anak itu bodoh karena menghabiskan uang jajan mereka
sia-sia untuk membeli sesuatu yang akan hancur kurang dari 24 jam. Mama bisa
lihat itu semua. Bawah matanya yang sudah sedikit menghitam benar-benar
menandakan dirinya jarang tidur dan tidak terurus lagi. Dia gila, Dilan. Kau
harus menjauhinya!”
“Apa?
Tidak akan, Ma. Malah aku berencana untuk mengajaknya membantuku mencari siapa
pembunuh ayah. Aku ingin sekali menelan hidup-hidup pembunuh itu, Ma! Dengan basic Rian yang sering “berkelana”,
pasti bisa dengan mudah mendapatkan informasi darinya.”
“Kamu
tidak salah bicara, Nak? Kamu tahu, kamu harta mama satu-satunya. Mama tidak
mau kehilangan kamu! Mama bisa lebih depresi dari Fadhilla kalau kamu sampai
kenapa-kenapa, Dilan!”
“Mama,
please. Lihat diriku! Aku sudah tujuh
belas tahun! Aku sudah bisa membaca situasi, baik atau buruk, berbahaya atau
tidak. Jangan mentang-mentang aku anak satu-satunya dan mama terus
memperlakukan aku seperti anak SMP!”
“Terserah
kamu, Dilan! Terserah!”
“Memang
semua terserah padaku, Ma. Aku mau pergi dulu, mencari Rian dan mengeluarkan
muntahku tepat di atas kepala pembunuh sialan itu!”
Ibu Fadhilla sendiri masih belum
berhenti menangis. Dia bergerak menuju tas dekat anaknya yang tertidur lalu
mengambil sebuah foto di dalamnya. Ada dia, suaminya, dan kedua anaknya yang
masih bayi. Mereka semua berpose di atas tempat tidur dengan dominasi warna
putih yang hangat dan bersih. Foto itu selalu dibawa kemanapun dia pergi. Dia
sangat mencintai suaminya, apapun yang terjadi. Kisah cinta mereka cukup rumit.
Walaupun harus merebut suami orang, tapi Fadhilla bahagia dengan keluarga kecil
barunya. Tapi sekarang semua sudah pincang. Bagaimana mungkin seorang anak
kecil berhasil naik sepeda roda dua karena dua roda tambahan di kanan dan
kirinya masuk kedalam air comberan? Akan sulit pada permulaan. Terjatuh dan
kemudian bangkit adalah hal biasa. Tapi nanti, dia akan berhasil melewati jalan
yang menanjak atau berbelok dengan hanya menggunakan sepeda roda dua. Begitulah
kehidupan Ibu Fadhilla sekarang. Dia tetap harus hidup dan memeluk hangat
anak-anaknya walaupun tidak ada sosok Afif Aryana lagi di sampingnya.
Rian sendiri tidak menyesalkan
perbuatannya mencabut paksa nyawa ayah mantan sahabatnya, Dilan. Dia rasa itu
harga yang pantas untuk membalas yang telah Dilan perbuat padanya, membuka
semua pintu harapan lalu menutupnya dengan membanting pintu itu dengan kasar
hingga Rian kaget dan terjatuh. Dan saat Rian terjatuh, mereka semua malah asik
berdansa dan tertawa di atas tubuh Rian.
Satu per satu akan mendapatkan
balasan mereka. Rian nampaknya tidak sabar akan balasan yang diberikan Tuhan
untuk orang-orang yang telah jahat padanya. Dia ingin melakukan pembalasan itu
sendiri.
Dengan tangan dinginnya ..
CHAPTER 16
“Monster”
Dia
terbangun dari tidurnya, semua telah hilang
Dia
menyakiti wajahnya sendiri, dia tidak bermimpi
Mereka
tahu? Tidak. Mereka hanya berpura-pura mengerti
Mereka
tidak tahu? Tidak. Mereka hanya menerka-nerka
Mengertilah,
karena suatu saat akan terjadi gilirannya
Mungkin
dirimu, temanmu, atau ibumu
Dia
terseok-seok ..
Tanah
merasakan hangat air matanya
Dia
manusia, sobat. Dia bukan monster
Dia
menyakiti wajahnya sekali lagi,
Benar..
dia tidak bermimpi
Tuhan
ingkar janji! Tuhan pembohong!
Tuhan
tidak lagi ada di hatinya
Gelap
Dia
bukan monster,
Jangan
takut padanya, jangan coba menghindar
Dia
butuh satu lagi kasih sayang
Bukan
hanya angin lembut yang membawa lari angan-angan
Dia
butuh satu lagi kaca untuknya bercermin
Karena
yang sebelumnya tertelan oleh seorang wanita kantoran
Dia
butuh satu lagi kaca untuknya bercermin
Terakhir
dia melihat wajahnya di dalam air dan itu buruk
Bagaimana
tampilan mahkota panjang di kepalanya sekarang?
Kakinya
bergetar di siang hari
Menjual
suara tidak selalu seperti menjemur pakaian
Dia
takut .. dia butuh ayahnya
Bagaimana
mungkin monster takut?
Jelas
saja mungkin! Karena dia bukanlah monster
Kakinya panas
Aspal
jalanan keras panas tidak lagi dirasakan
Berjalan
hingga menemukan titik terakhir
Titik
terakhir untuk mengadu pisaunya
Berlian..
CHAPTER 17
“Japanese Question”
Rian merasa atas
“pencapaian-pencapaian” yang di lakukannya selama ini membuat dirinya masuk
dalam daftar buronan polisi. Dia tidak bisa lagi terus-terusan mengumbar
identitasnya dengan menumpang untuk tidur semalam kerumah orang lain. Apa lagi
kota Y yang saat ini jadi tempat persinggahannya merupakan kawasan yang masih
lekat sisi kedaerahannya. Mereka mudah sekali terpropokasi atas hal-hal baru
dan terdengar jahat bahkan nilai kebenaran di kepala mereka mungkin hanya baru
berkisar 30%. Untuk malam yang hujannya deras ini, dia memutuskan untuk tidur
di dalam salah satu gardu kecil yang ada di pinggir pasar.
Rian
kelaparan. Dia dan gitarnya sedang benar-benar malas bernyanyi di sini. Itu
juga bisa membuat identitasnya semakin terkuak. Dia tidak ingin dipenjara
sekarang. Masih ada beberapa orang yang menjadi targetnya dan bertambah satu
lagi. Mungkin orang lain yang mendengarkan anak di bawah kolong jembatan itu
merasa dia bergurau tentang apa yang dilihatnya mengenai seseorang yang
berjaket, tapi Rian tidak. Ada suatu dorongan yang di dalam dirinya yang
membuat dia memasukkan orang misterius itu ke dalam salah satu daftar targetnya.
Tapi sungguh. Demi apapun Rian tidak ingin masuk penjara. Dia merasa lebih baik
mati dengan pisaunya sendiri daripada harus tidur di balik jeruji besi dan
menyaksikan berbagai kecurangan yang dilakukan aparat.
Dia
tidur dengan posisi kepala menengadah ke atas, menatap langit-langit gardu yang
terbuat dari seng dan mengeluarkan bunyi yang luar biasa berisik karena ditimpa
air hujan. Kali ini, dia benar-benar merasa kesepian. Selama ini dia
bersembunyi di balik dingin sikapnya kepada semua orang. Dia butuh seseorang
yang bisa memeluknya saat dia terluka. Dia butuh seseorang yang memang dia
inginkan dengan kasih sayang tulus, bukan hanya sekedar formalitas. Dia memang
pembunuh. Tapi lihatlah, dia masih enam belas tahun. Bahkan sekolah SMA saja
belum lulus.
Rian
menutup matanya. Dia belum tidur. Dia ingin mengonsentrasikan fikirannya untuk
mundur ke waktu dimana dia masih bahagia bersama keluarganya di rumah. Dia
rindu ayah, ibu, dan adiknya. Dia ingin memunculkan gambar-gambar wajah mereka
semua yang sudah meninggal di dalam matanya.
“Riaaan! Ayo turun,
Nak. Sudah jam setengah tujuh. Nanti kamu terlambat ke sekolah.”
“Sebentar, Bu. Aku
belum sisiran. Sisir aku lagi di pakai sama Sarah. Saraaah! Buruan! Nanti kita
telat!”
“Sabar dong, Kak.
Rambutku kusut banget!”
“Makanya kalau pakai
shampoo yang bersih.”
“Mercy, kamu pakai
sisirmu sendiri, dong. Kasian, Kak Riannya belum sisiran. Ibu pusing mendengar
kalian berantem terus setiap pagi” Pak Fabio lewat sambil tersenyum melihat
keadaan keluarganya setiap pagi begini.
“Sisir aku hilang, Bu.
Nggak tahu dimana.”
“Hilang apanya? Ini
sisir kamu, Mer! Memang kamunya saja yang malas mencari dan mau enaknya saja
pakai sisir aku!”
“Yasudah, terserah. Pokoknya
lima menit lagi Ibu tunggu. Ayah kalian juga mau berangkat kerja.”
“Iya, Bu!”
Setiap
pagi selalu begitu. Rian dan adiknya, Mercy selalu rebutan barang padahal Mercy
sudah memiliki barang miliknya sendiri. Rian tersenyum sendiri mengingat wajah
adiknya yang panik saat barangnya menghilang. Tapi di balik semua barang yang
menjadi rebutan, mereka selalu tertawa saat salah seorang dari mereka
menunjukkan ekspresi panik yang unik.
Rian
mulai merasakan panas di dalam matanya. Dia masih rindu yang lain. Dia rindu
ayahnya. Fikirannya dikonsentrasikan dan dapatlah dia gambaran-gambaran ingatan
tentang dia dan ayahnya.
“Aku tidak suka
menunggu, Yah.”
“Sabar, sayang. Lihat kesenangan dan kepuasan
yang kita dapatkan saat kita selesai bersusah payah dari usaha yang kita
perbuat.”
“Tapi lama, Yah.”
“Ilmuwan saja 99%
hidupnya adalah kegagalan dan mereka terus bersabar. Jadi kamu harus sabar dan
diam.”
“Kenapa harus diam?”
“Ya nanti ikannya tidak
mau mendekat kail Ayah kalau kamu berisik terus.”
“Di laut seperti ini
ikannya pasti susah, Yah.”
“Tidak. Disini ikannya
malah banyak. Tunggu saja sebentar lagi.”
Sesaat kemudian ..
“Woow! Lihat, pancingan
Ayah bergerak-gerak. Pasti dapat ikan!!”
“Benarkah, Yah??”
“Iya! Ambil jaring di
sana, Nak!”
“Ini, Yah. Ayo, aku
siap membantu Ayah.”
“Lihatlah aksi Ayahmu
menarik ikan dari kehidupan licinnya di dalam air, Rian. Jangan kedipkan
matamua sedikitpun! Hahaha.”
“Hahaha. Iya, Yah. Ayo
mana ikannya?”
“Dapat.. ayo dapat!
Sebentar lagi, sayang. Yeaah! Wohoo! Kita dapat! Kita dapat, Rian!”
“Dapat apa, Yah? Sepatu
boot? Mana ikannya?”
“Ikan apa? Memangnya
kita kesini mau cari ikan? Ini sepatu boot Ayah yang waktu itu hilang.”
“Apa?? Ayah licik!”
“Hahaha. Hanya
bercanda, Nak. Tentu saja kita kesini mencari ikan. Tadi hanya permainan Ayah
saja. Bagaimana rasanya?”
“Rasa apa?”
“Perasaan yang kamu rasakan
saat mengetahui kail Ayah sudah tercaplok oleh ikan.”
“Senang sekali! Tapi
Ayah membohongiku.”
“Maaf. Ayah tidak
bermaksud begitu. Ayah hanya ingin membantu kamu keluar dari kebosanan dan
merasakan kesenangan dan kepuasan yang kita dapatkan saat kita selesai bersusah
payah dari usaha yang kita perbuat. Seperti yang Ayah katakan tadi. Dan benar
rasa itu menggembirakan, bukan?”
“Iya.”
“Nah! Kalau begitu
semangat! Ayah tidak ingin melihat kamu loyo lagi. Coba kamu ambil softdrink
dalam cool box disitu. Minumlah, dan kamu akan merasa lebih baik lalu lanjutkan
sampai kita dapat ikan besar. Setuju????”
“Setuju, Yah!!
Semangat!!”
Panas
pada matanya pada akhirnya berujung dengan menetesnya air mata di kulit pipinya
yang dingin. Dia masih tetap memejamkan mata dan menekannya agar semua air
matanya bisa keluar. Nafasnya mulai sesak karena menahan tangis. Dadanya
naik-turun menahan sesak tangis dan emosinya yang mulai memuncak. Dia mulai
mengeluarkan suaranya, suara isak tangis dari mulutnya. Lama kelamaan suara itu
makin kencang dengan air mata yang tidak kalah deras dari hujan di malam itu.
“AAAAARRRGGH!!!!”
jeritnya sekuat tenaga, meluapkan segala emosi yang terpendam selama ini
disertai air mata yang membuatnya semakin terisak-isak. Suara derasnya hujan
sangat bisa menyamarkan suara jeritan hatinya yang terdalam. Membunuh memang
membuatnya senang dan lega, terlebih apabila mereka adalah orang-orang yang
berperan dalam adegan penghancuran keluarganya. Tapi itu hanya sementara. Wajah
ayah dan ibunya tidak pernah sedetikpun hilang dari ingatannya. Semua bagai bulan
yang selalu bersama bumi kemana pun bumi berputar. Ada kalanya dimana cahaya
itu nampak, dan saat lelah dia akan menghilang, lalu kemudian tampak lagi untuk
menyinari separuh malam.
Rian
bangun dari posisi tidurnya dan duduk di tepi gardu dengan wajah menunduk. Dia
memeluk kedua kakinya dan menyandarkan kepala pada dengkulnya.
“Aku
lelah, Ma. Aku benar-benar lelah! Aku butuh tempat tinggal, aku butuh semua
yang dulu kita pernah punya, Ma. Aku hanya bisa menghibur diriku sendiri dengan
gitar dan pisau ini. Aku rindu masa-masa sekolah!! Aku bahkan selalu iri saat
mereka membawa tas keluar dari gerbang dan bersalaman kepada kedua orang tua
mereka yang menjemput mereka pulang, atau makan bakso dan jajanan di depan
sekolah. Aku rindu semuanya, Ma!!!”, ungkapnya yang sangat menyedihkan. Siapapun
yang berada di dekatnya pasti akan merasa iba padanya. Percayalah.
“Kembalikan
Ayah kepadaku!! Kembalikan mereka semua!! Tunjukkanlah Kuasa-Mu yang selama ini
mereka semua agung-agungkan kepada-Mu!! Aku tidak peduli dengan semua ini, aku
tidak peduli lagi dengan dosa! Persetan!! Aku butuh keluargaku saja. Hanya
itu!!”
“Kalau
kau hanya peduli dengan umat-Mu yang taat berarti Kau adalah Tuhan yang suka
pilih kasih! Sebenarnya yang gila disini siapa, aku atau Dia??! Memang aku
sudah gila! Terserah dengan semuanya! Terseraah!!”
Rian
kembali menangis semalaman penuh itu. Hanya itu yang bisa dia lakukan, dan
hanya dia jugalah yang tahu kalau dirinya menangis. Dia mulai merasa tidak bisa
membuka matanya karena bengkak. Air mata membuatnya semakin terlihat lemah. Saat
itu dia benar-benar tidak peduli dengan kata-kata lemah. Dia benar-benar
sendiri di tempat itu dan dia yakin. Bahkan preman pasar kelas tongkol atau hiu
sekalipun tidak akan berani keluar di tengah hujan deras dengan petir yang
berlarian kesana-kesini mewarnai malam itu. Hujan deras dan malam yang semakin
gelap membuat dirinya tidak nyata ditelan kegelapan hingga dia bisa meluapkan
seluruh emosinya.
“Siapa
itu??” tanya Rian tiba-tiba setelah dia melihat sekelibat orang dari kegelapan
di sebelah kananya. Dia tahu benar-benar ada seseorang di dekatnya. Naluri
tajam pembunuhnya segera dia pasang.
Tidak
ada jawaban. Rian menghapus air matanya dan mulai beraksi. Tidak beranjak dari
dalam gardunya, dia memincingkan mata dan menajamkan pendengaran untuk
merasakan segala kemungkinan yang akan terjadi.
“Kreeekk!”
bunyi suara anyaman bambu yang melapisi papan sebagai alas tempat duduknya
berbunyi tepat dibawahnya. Dari bunyi itu, terdengar seperti ada seseorang yang
mengerik papan-papan itu dengan besi.
Rian
yakin ada lebih dari dia di dalam tempat itu. Dia segera menengok ke kolong gardu
dengan gerakan cepat dan tiba-tiba. Dia tidak mendapatkan siapapun. Jangan coba lari dariku! ungkapnya dalam
hati. Sesaat kemudian dia bisa mendengar – walaupun dengan sangat samar-samar –
suara langkah kaki setengah berlari yang semakin menjauh dari sumber suara
pertama yang tadi didengarnya. Rian bisa melihat jubah hitam yang
melambai-lambai tertiup angin dan ditimpa air hujan perlahan kian menjauh
bersamaan dengan suara langkah kaki itu. Dia menajamkan pandanga matanya, dia
dapat melihat tulisan “ 忠誠の誓い” karena warna
tulisan yang kontras dengan warna jubahnya yaitu berwarna putih dengan ukuran
tulisan yang cukup besar. Rian memang pernah belajar bahasa Jepang sedikit saat
di SMA-nya dulu walaupun tidak terlalu cakap. Remidi selalu didapatkannya. Tulisan
itu dibaca chūsei no
chikai yang artinya adalah : ikrar kesetiaan
atau sumpah setia.
Dia kemudian tertidur lagi.
Siapa dia?
CHAPTER 18
“Here I Come”
“Heh, gembel! Bangun!! Ini bukan
lapak buat tidur!! Banguuun!!”
“Hoaaam..”
“Heh!
Kamu mau saya panggilin SATPOL PP biar dibawa ke Dinas Sosial mau??
Cantik-cantik ngegembel. Ayo, banguun! Ganggu usaha orang dagang saja, kamu!”
Rian
setengah membuka matanya. Sesosok bertubuh kurus dengan urat-urat wajah yang
sudah sekitar hampir setengah abad berseragam hijau dilengkapi atributnya
berupa topi juga pentungan, dan berpura-pura seperti orang yang paling berkuasa
di pasar ini. Dari bajunya, Rian bisa tahu nama orang itu adalah Jupri Supardi.
Rian fikir sebentar lagi pentungan itu
akan masuk ke dalam perutnya karena telah berlaku kasar terhadapnya.
“Heh,
bocah! Ayo buka matamu! Lihat, ini sudah siang. Orang-orang merasa terganggu
melihat gelandangan tidur disini.”
Gelandangan?!
Gadis
itu membuka matanya. Benar. Kondisi pasar sudah ramai walaupun masih sekitar
pukul lima pagi saat itu. Para pedagang tradisional sibuk mempersiapkan
dagangan mereka di lapaknya masing-masing. Ternyata, gardu yang digunakannya
untuk tidur sebenarnya bukan gardu, melainkan salah satu lapak berdangang.
Seseorang dengan kaca mata dan kumis berdiri di samping Jupri dengan karung
penuh sayuran di sekitarnya. Mungkin dia pedagang yang punya lapak itu. Tatapan
membunuh pada mata bengkaknya terarah kepada Supardi. Orang itu mulai terlihat
ketakutan karena tidak tahu apa maksud dari tatapan itu. Rian ingin sekali menerkam
dia dengan cakar-cakarnya. Dia punya akal. Rian melihat pada saku baju Jupri
ada handphone murahan yang sudah barang pasti dia dapat dengan cara yang sulit
karena harus bekerja keras. Mungkin handphone itu cukup berharga untuknya. Rian
menemukan cara yang dia rasa bisa mengalihkan perhatian orang ini dan
mendapatkan apa yang dia inginkan.
“Makanya,
jadi anak jangan suka melawan orang tua. Jadi begini kan akibatnya. Kamu kabur
dari rumah dan menjadi gelandangan karena tidak ada uang... (bla bla bla)” Rian
tidak memperdulikan omongan dari mulut beraroma rokok yang semuanya adalah
salah.
Sok tahu sekali dia
tentang hidupku.
Dia
merapikan bajunya yang sedikit kusut lalu menggantung gitar pada punggungnya.
Dia ingin cepat pergi dari tempat itu. Kemudian dengan gerakan cepat seperti
sudah terlatih, Rian mengambil paksa handphone dan dompet dari saku baju Jupri dan
segera berlari secepat mungkin.
“Jambret!!!”
Semua
orang sibuk mengambil alih sebagai pahlawan dan berebut untuk mendapatkan
kembali handphone Jupri. Rian berlari sangat kencang di sela-sela lapak pasar
sampai dia menemukan jalan keluar. Dia bisa saja langsung menuju jalan raya.
Tapi dia ingin mengambil alih perhatian semua orang dulu.
Ini keren!
Rian
terus berlari membawa kedua barang itu dengan kecepatan penuh. Sambil berlari,
dia membuka dompet Jupri dan melihat identitasnya. Dia tertawa-tawa di
tengah-tengah semakin banyak orang yang memburunya karena melihat foto Jupri
yang seperti orang menggigil dan darah rendah karena kurang tidur. Garis-garis
di wajahnya seolah menandakan tentang hutang yang sangat banyak pada Pak RT
atau utang di warung. Jauh benar dengan gayanya yang tadi sok jagoan di depan
Rian. Sementara di belakangnya, massa semakin banyak yang mengejarnya. Dia
sedikit kewalahan tapi tetap tidak menyerah.
Kakinya
semakin dan semakin cepat, deru nafasnya semakin terengah-engah, dia terlihat
seperti bukan manusia. Rian melesat cepat di tengah perkampungan yang lumayan
sempit. Mungkin dia tersesat, tapi dia tidak peduli. Wajahnya sama sekali tidak
mengisyaratkan kalau dia tersesat. Rian menuju suatu tempat. Tempat itu cukup
jauh dari pasar. Tempat itu masih terdapat garis kuning yang hanya dimiliki
polisi. Sayangnya, tidak ada satu orang pun polisi di sana. Mungkin benda
kuning yang melintang itu hanya formalitas saja. Dan di tempat itu pernah mati
seorang ayah yang memiliki dua orang anak kembarnya.
“Waduh,
Jupri. Saya capek mengejar si jambret tadi. Larinya kencang sekali. Saya bahkan
bingung dia itu manusia atau ninja!”
“Iya
benar, Pri. Memang berapa sih harga handphone-mu itu? Sudah butut juga, kan?
“Hey!
itu kado dari bapak saya! Tau kamu!”
“Yasudahlah,
Pri. Ikhlaskan saja. Nanti juga kau akan dapat yang lebih baik.”
“Betul
itu!”
“Lalu
bagaimana dengan uang di dompet saya??”
“Memang
berapa uangmu?”
“Tiga
ratus ribu.”
“Ah,
ikhlaskan saja, Pri. Cuman segitu saja.”
“Tapi
itu uangnya untuk bayar hutang di warung, Mat!”
“Warung
Atu Nani? Bilang saja kau baru saja dapat musibah. Beres, kan?”
“Iya,
Pri. Yasudahlah, saya mau kembali ke dagangan saya dulu.”
“Saya
juga, Pri.”
Satu
per satu massa berkurang. Kebanyakan dari mereka adalah pedagang di pasar
tradisional tadi. Ada juga orang-orang kampung yang lokasi rumah mereka
dilewati Rian dan mendengar amukan massa lalu ikut membantu Jupri mengejar
Rian.
Jupri
sendiri masih penasaran dengan gadis yang dengan beraninya menjambret dompet
serta handphonenya. Dia masih menunggu dan memutar-mutari kebun dengan harapan
bisa bertemu dengan anak itu. Sesekali dia menengadahkan kepalanya ke atas, siapa
tau Rian bersembunyi di atas pohon. Jupri benar-benar tidak mau menyerah
sebelum bertarung. Mental satpam yang cukup berani. Tapi bagaimana kalau dia
tahu Rian adalah pembunuh?
“Sendirian?”
Rian keluar dari persembunyiannya. Dia malas berlama-lama. Seperti di sinetron
saja fikirnya.
“Kembalikan
dompet dan hp saya atau kamu tak
laporkan ke polisi!”
“Coba
saja.”
“Kamu
menantang saya? Berani taruhan apa kamu, hah?”
“Nyawamu.”
Rian
langsung bergerak mendekati Jupri. Tangannya ingin menggapai kerah baju Jupri
tapi dengan mudah ditangkis oleh pria itu. Hebat
juga dia. Mereka berdua sempat adu fisik, saling tangkis, saling tonjok,
saling tendang satu sama lain. Tidak ada satu pun yang mau mengalah sekalipun
keringat sudah membasahi setiap sela di tubuh mereka. Dari serangan-serangan
yang dilancarkan oleh Jupri, dia bisa melihat kalau orang itu pasti jago di
bidang karate. Semua jurus yang dia keluarkan adalah jurus karate. Sedangkan
Rian jauh lebih hebat darinya. Selain membunuh, Rian dulu pernah belajar taekwondo
dan karate dalam satu semester. Ayahnya lebih suka Rian ikut boxing, jadi dia ikuti ketiganya. Dan
kali ini, dia menunjukkan segala kemampuan yang dia punya hingga sempat membuat
Jupri jatuh terhuyung.
“Saya
pernah punya lawan tanding sepertimu. Jadi saya tidak boleh kalah!”
“Takdir
berkata lain, Pak.”
Rian
mengalihkan perhatian Jupri dengan tangannya yang diletakkan pada pundak Jupri.
Sesaat setelah pandangan Jupri terarah pada tangan di sampingnya, pisau Rian
sudah siap menancapkan ujungnya pada lapisan perutnya yang kurus. Tapi
tiba-tiba, terdengar bunyi letupan yang cukup besar dari sebuah pistol dan
orang yang siap mati di tangannya langsung tergeletak lemas di atas tanah
dengan darah segar mengalir dari dalam kepalanya. Rian yang melihat targetnya
mati di tangan orang lain dan bukan dengan tangan dinginnya segera naik pitam. Dia
seperti baru saja kehilangan ayam goreng yang tinggal sepotong di saat dia
sedang kelaparan.
“Siapa
itu???”
Seorang
berjubah hitam yang sama dengan yang dia lihat di pasar tadi malam masih
memegang pistol yang asapnya masih mengepul. Tembakan itu cukup keras. Orang
itu menampakkan separuh tubuhnya dari balik pohon. Dia mengenakan tutup kepala
seperti pada film Scream tapi tidak dengan topengnya, sedikit mirip Dementor
pada serial Harry Potter. Rian bisa
melihat siapapun orang di balik topi yang menutup separuh wajahnya, bahwa dia
tersenyum bangga seperti habis mengalahkan orang lain. Senyumnya sinis.
“Berterima
kasihlah,” suaranya terdengar seperti suara monster atau robot yang ada pada
film Transformer. Rian yakin suara itu datang dari effect di dalam jubah panjangnya.
“Untuk
apa?”
“Aku
telah membantumu, bukan?”
“Siapa
yang menyuruhmu?”
“Kamu
tidak lihat aku menawarkan diri?”
“Siapa
yang menyuruhmu?”
“Apa
kau bodoh?”
“Pertanyaan
macam apa itu?”
“Tanyakan
pada dirimu kenapa kau selalu balik bertanya?”
“Katakan
siapa dirimu!”
“Kita
saudara, Rian.”
“Darimana
kau tahu namaku?”
“Karena
kita saudara. Kau pasti mengingatku, bukan?”
“Aku
tidak punya saudara.”
“Berhentilah
untuk berpura-pura menyendiri dan sok misterius. Kau memiliki orang lain yang
peduli denganmu tapi kau tidak memperdulikannya. Kelak mereka mungkin akan bisa
membantumu dalam keadaan genting.”
“Apa
maksudmu?”
“Bodoh.
Kurasa sudah cukup jelas bagimu untuk tahu. Aku disini bahkan terkesan seperti
malaikat penyampai wahyu dari Tuhan untuk makhluk tidak berhati sepertimu.”
“Kau
yang membunuhnya, jadi kau yang tidak berhati.”
“Seperti
anak kecil yang mencuci tangan karena habis menangisi anak perempuan, ya? Kau
tidak pantas di sebut sebagai pembunuh profesional, Rian. Lihat dirimu, kacau!
Sama seperi ayah dan ibumu.”
“Kau
dalam masalah!!!”
“Apa?
Kita akan berada dalam masalah yang sesungguhnya nanti, Rian. Akan datang waktu
yang tepat. Sekarang, kembalilah ke kota X dengan motor itu. Disini sudah tidak
aman lagi. Dan ingat, kalau motornya mati isilah bensinnya. Kau tidak perlu
bertindak bodoh dengan menggergaji motor hingga menjadi serbuk besi.”
“Apa?”
Dia
menghilang. Manusia dengan topeng itu pergi secepat angin. Kalimat-kalimatnya sama
sekali tidak seperti kalimat penutup dalam surat lamaran kerja atau surat resmi
lain. Dia meninggalkan motor bebek seperti milik Rian dulu di tempat dia
berdiri tadi. Rian melihat motor itu dengan mata berbinar-binar. Tidak dapat
dia pungkiri kalau dia rindu motornya itu. Tak lama kemudian, suara sirine dari
mobil polisi terdengar dari kejauhan dan mulai mendekat.
“Disini,
Pak! Jupri tadi berlari kesini mengejar jambretnya. Lalu tidak tahu dia kemana
lagi,” seorang pria yang tadi izin untuk menunggui dagangannya kembali lagi ke
lokasi dimana dia dan Jupri mengucapkan kalimat-kalimat terkahir padanya.
“Lihat,
ada mayat di sana!”
“Gusti
Allah! Jupri meninggal!!!”
“Menurutmu,
siapa pelakunya?”
“Aku
tidak tahu. Tidak ada siapa-siapa disini sekarang.”
“Yang
jadi pertanyaan sekarang, bagaimana caraku memberitahu anak istrinya dirumah
tentang hal ini?”
CHAPTER
19
“Waking
The Demon”
Helpless!
My eyes are bleeding from the fear that inside
You sealed your demise when you took what was mine!
Don’t try to stop me from avenging this world!
No voice to be heard
Waking the demon! Where’d you run to?
Waking in shadows! Watch the blood flow!
There’s not much longer so don’t try to hide
Your bodies weakening walk to the light
Those painful times so alone, so ashamed
I’m not coming back, there’s nothing to gain!
Caution!
There’s just no limit from the boundaries you push
I’ve warned you but still you just f#ck with my mind
There’s no escape from this rage that I feel,
Nothing is real
Breathe for me,
Don’t wake me from this slumber
Stay with me,
Possession taking over
Bullet For My Valentine
– Waking The Demon
CHAPTER 20
“Artwork”
Pribahasa kuno mengatakan “lebih
baik tinggal di gubuk sendiri daripada di istana orang” dan itu benar untuk
Rian, walaupun nilai kebenarannya hanya 70%. Sisanya, tetap saja keyakinan akan
nama dan identitasnya sudah masuk ke dalam salah satu daftar nama buronan
polisi. Perjalanan yang memakan waktu satu jam berhasil ditempuh dan Rian
berhasil sampai dengan selamat di kota X, tempat tinggalnya.
Semuanya
berlangsung begitu saja. Dia bahkan hampir tidak mempedulikan orang-orang di
sekitarnya yang mengira dia gila. Bagaimana tidak, rambutnya sangat
acak-acakkan karena terhempas angin di jalan. Rian tidak memakai helm. Lalu
kulit wajahnya yang kusam dan kotor membuatnya semakin terlihat menyedihkan. Baju
yang dikenakannya sudah robek di beberapa bagian tetapi dia sama sekali tidak
peduli.
Rian
mendaratkan bebeknya di tempat dia dimana hampir ingin bunuh diri karena
melihat orang yang dicintainya menyatakan cinta pada sahabatnya. Walaupun
tempat itu memberikan satu kenangan terpahit, tetapi dia cenderung lebih sering
menyuguhkan ketenangan jiwa dengan segala aktifitas di dalamnya. Di sana, Rian
langsung memesan satu porsi batagor goreng lengkap dengan es kacang merahnya.
Itu adalah penganan murah meriah dan ternikmat yang dapat mengalahkan rasa sepaket
Shabu, makanan Jepang yang sering dipesannya dulu.
Dia
sama sekali tidak memperdulikan segala macam tatapan dan omongan orang-orang
yang mulai membicarakan dirinya sejak pertama kali kakinya menapak di tempat
itu. Satu yang dia fokuskan, pemandangan dari musisi jalanan yang sedang
melukis jalan. Mungkin mereka telah dapat izin dari pemerintah kota makanya
berani untuk melakukan seni coret-mencoret aspal tersebut. Rian pernah lihat
yang semacam itu saat dia dulu browsing mengenai lukisan 3D di atas jalan raya.
Seingatnya, gambar yang dia lihat dulu adalah hasil karya musisi di Rusia.
Bagus sekali! Mereka semua tampak nyata dan berongga. Ada gambar yang selalu
membuatnya terkesan adalah, jalan raya yang dilukis seolah pecah dan terbelah
dua. Di dalamnya terdapat air mengalir deras seolah samudra luas. Disisi kanan
dan kirinya tergambarkan batu-batu yang pecah dan ada warna seperti lahar magma
dari dalam perut bumi yang mendesak keluar. Luar biasa! Dan sekarang, artwork di hadapannya sedang
menggores-goreskan kuas cat mereka di atas jalan. Rian yakin, walaupun hasil
akhir tidak akan sebaik yang mereka harapkan, tapi setidaknya kota kelahirannya
itu, selain melahirkan seorang pembunuh, juga melahirkan banyak pekerja seni
bertangan kuas yang siap melukis dunia dengan imajinasinya.
Sepertinya
untuk menuju proses finishing dari
karya tersebut akan memakan waktu sedikit lebih lama lagi. Tapi setidaknya,
Rian sudah bisa menebak karya apa yang akan mereka hasilkan. Yaitu, seorang
dewi Persia bernama Zenon. Dia adalah penari terbaik di zamannya. Pada gambar
itu, Zenon terlihat sedang melakukan tari perut dan banyak serangga juga hewan
amfibi yang keluar dari dalam tanah menonton pertunjukkan Zenon sambil minum
kopi, teh, bahkan alkohol. Di situlah letak keindahan tiga dimensi dari karya
para artwork kali ini.
Tepat
di depan toko peralatan olahraga yang sudah bangkrut di seberang jalan pada
lokasi yang sama, ada seseorang yang mendorong Rian untuk menghampirinya.
Walaupun terdengar menjijikkan dan terkesan seperti menjilat ludah sendiri,
tapi Rian merasa permintaan maaf adalah kata-kata terindah yang bisa dia
katakan kepadanya. Anak itu duduk sendirian, merasakan angin sore meniup
ubun-ubun kepalanya yang masih sedikit berasap karena kemarahan, dendam, emosi,
dan kelelahan yang tertahan telah membakar kepalanya habis-habisan.
“Sendirian?”
Anak
itu mendongakkan kepalanya, melihat siapa yang menegurnya. Setelah tersadar
atas apa yang dilihatnya, dia terkejut dan sontak melompat bangun.
“Rian!
Aku mencarimu!” dia bangun dan langsung memeluk tubuh Rian yang semakin kurus
dan tidak terawat. Rian sangat kaget atas perlakuan yang dianggap sebagai
jawaban atas pertanyaan sederhananya tadi. Laki-laki itu mulai menangis di
pelukan Rian. Mungkin, inilah saatnya.
“Kenapa?”
tanya Rian. Gadis itu sama sekali tidak membalas pelukan orang yang sedang
terisak-isak di samping telinganya. Tidak ada jawaban. Rian tidak mau mengulang
pertanyaannya. Fikirnya, itu semua hanya membuang-buang energinya saja. Dia
hanya bisa menunggu sampai seseorang melepaskan pelukan itu dari tubuhnya.
Karena lama-lama, tubuh anak itu semakin terasa berat saja.
“Ayahku,”
dia melepaskan pelukannya. Akhirnya.
“Kenapa
dia?”
“Dia
meninggal dunia,” tangisnya terasa ingin meledak tapi sebisa mungkin dia harus
menahannya.
“Pak
Afif Aryana, bukan?”
“Benar.
Memang kau kira aku punya ayah berapa?”
“Aku
turut berduka cita.”
Dilan
terdiam sesaat, masih berkutat atas sesuatu di dalam tengkorak kepalanya. Tidak
ada aba-aba apapun, mereka berdua duduk di teras toko mati itu.
“Dia
dibunuh.”
“Oleh?”
“Tidak
tahu. Polisi sudah mencari pembunuhnya, tapi tidak ketemu. Kabarnya, dia adalah
wanita.”
“Hebat
sekali wanita itu.”
“Tentu
saja. Jejaknya menghilang begitu saja. Aku tidak begitu yakin, karena aku tahu
polisi mempunyai banyak intelijen khusus untuk menangkap pembunuh bernyawa
sembilan itu. Tapi kasus ini seolah disamarkan dan perlahan menghilang. Aku
tidak tahu berapa sering perempuan
jalang itu harus menjajakan dirinya agar dapat uang banyak untuk menyuap para
aparat.”
“Jaga
cara bicaramu, Dilan!! Dia bukan perempuan jalang, kau tahu!!”
“Apa?
Darimana kau tahu?”
“Tentu
saja aku tahu!”
“Pernah
bertemu dengan dia sebelumnya? Katakan dimana, karena aku yang gantian akan menelan
nyawanya.”
“Bagaimana
kalau dia di hadapanmu sekarang?”
“Maksudnya?”
“Bagaimana
kalau dia adalah aku? Si perempuan jalang yang tadi kau sebut.”
“Hahaha.
Kamu orang pertama yang membuatku tertawa hari ini. Terima kasih. Hahaha!”
“Sama-sama.”
Dilan
masih tertawa. Rian tidak yakin apakah dia masih menertawakan pengakuan Rian
yang dianggapnya lelucon atau menertawakan hal lain yang lebih konyol. Yang
bisa Rian lakukan hanyalah menikmati pemandangan di hadapannya. Dilan selalu
tampak lebih tampan saat sedang tertawa lepas seperti itu. Rian selalu suka dan
tidak akan pernah hilang rasanya.
“Haha.
Oke-oke. Begini, aku ingin mencarinya.”
“Pembunuh
itu?”
“Iya!
Kau mau bantu aku, kan?”
Bisa tidak kamu berikan
aku sedikit waktu untuk meminta maaf padamu dan bukan malah menjebakku dengan
permohonan konyol seperti ini? Sampai nafasmu habis dan peti matimu sudah siap,
kau tidak akan pernah bertemu dengan pembunuh itu jika kau masih menganggap
omonganku tadi adalah lelucon. Ayahmu memang pantas mati, Dilan. Percayalah.
“Tidak
bisa.”
“Kenapa?”
“Aku
sibuk.”
“Sibuk
apa? Kau hanya hidup nomaden dan waktumu hanya habis di jalanan. Aku mohon,
Rian. Kau tidak tahu bagaimana sakitnya hati ibuku melihat mantan suaminya
sudah terpotong-potong walaupun dia telah menyakiti hatinya. Kau tidak tahu kan
bagaimana sulitnya Fadhilla mengurus anak-anak kembarnya yang masih butuh
bimbingan kedua orang tua dan sekarang semua harapan itu telah musnah? Kau juga
tidak tahu kan bagaimana sulitnya aku mencari kalimat-kalimat yang mudah
dicerna dengan pemahaman bocah-bocah lucu itu agar mereka mengerti dan berhenti
menangis? Semua ini membunuhku, Rian. Dari kemarin aku tidak masuk sekolah juga
tidak berada di rumah. Aku tidak tahan melihat semua air mata yang jatuh dari
pipi wanita-wanita hebat di dalam rumahku. Apalagi Zeon dan Zionell yang suka
demam tinggi di malam hari karena merindukan ayahnya. Keluargaku hancur, Rian.
Hancur!!”
“Kau
tidak lihat aku? Seberapa hancur keluargaku saat ini? Tidak lihat?”
Dilan
terdiam. Rian mengunci semua kata-katanya dengan kunci yang tepat.
“Kau
harusnya membantu ibumu dan Fadhilla, bukan lari dari kenyataan. Kau masih
memiliki mereka. Ingat itu.”
“Kau
benar. Tapi sulit rasanya untuk tidak membakar hidup-hidup pembunuh itu!”
“Dia
sudah mati. Anggap saja dia sudah minta maaf padamu dan menitipkan ini untuk
keluarga kalian,” Rian mengeluarkan satu buah amplop coklat tebal yang berisi
uang jutaan rupiah. Amplop itu sepertinya sengaja diletakkan di dalam jok motor
oleh seseorang berjubah hitam yang memberinya motor. Rian merasa, Dilan dan
keluarganya lebih membutuhkan itu daripada dirinya. Setidaknya, walaupun tidak
mengatas namakan dirinya secara langsung, Rian sudah minta maaf.
“Uang?
Kau dapat darimana?”
“Dari
pembunuh itu.”
“Jangan
bercanda.”
“Yasudah.
Kalau kau tidak mau, belikan saja es krim untuk Zionell dan Zeon.”
“Dengan
uang sebanyak ini?!”
“Terserah.
Aku pergi.”
CHAPTER 21
“Soldier Slide”
“Bagaimana kemampuan saya sekarang, Sensei?”
“Setidaknya
sudah lebih baik dari kemarin. Sudah hampir dua belas jam kau berlatih tanpa
berhenti, itu akan menguras semua energimu.”
“Tidak,
Sensei. Semua akan berjalan baik-baik saja.”
“Seberapa
besar tekadmu untuk membalaskan dendam beliau?”
“Seberapa
besar tekad Anda untuk berjuang sampai ke Indonesia?”
“Sebesar
itukah tekadmu?”
“Apa
kau mendengar nada bercanda dariku, Sensei yang terhormat?”
Sensei
tersenyum.
“Beliau
orang baik. Kami telah bersumpah untuk setia padanya. Kami memang tidak
menuhankan beliau, tapi dialah yang memberi kehidupan kepada kami. Dia memiliki
kemurahan hati yang tidak bisa dibalas dengan manisnya air susu satu telaga
penuh. Saya menghormati beliau dan abu mayatnya sepenuh jiwa saya, Sensei. Dan
seperti kita ketahui, Anda diutus untuk memberikan saya pelajaran-pelajaran
agar saya menjadi lebih profesional dalam bidang ini. Jadi saya harap, Anda
tidak perlu terlalu banyak bicara dan bertanya atas hal-hal yang di luar materi
pelajaran. Semoga Anda mengerti maksud saya, Sensei.”
“Kau
bahkan sudah terlihat seperti pembunuh berdarah dingin itu.”
“Darahnya
hangat, Sensei. Lebih hangat dari api yang membakar amarah di kepala saya ini. Dia
sebenarnya hanya pecundang dan sampah masyarakat.”
“Kau
benar.”
“Tentu
saja benar. Dan saya harus benar.”
“Tapi,
kesombongan bisa mengalahkan sebesar apapun kemampuan yang seorang master
miliki.”
“Apa
sumpah setiamu pada beliau?”
“Berada
di dalam satu garis lurus ataupun berliku asal tetap berada di depan beliau
sekaligus di belakangnya sebagai pengikut. Melindungi dirinya dari apapun dan
menjadi pion yang siap menyerahkan diri, menjadi alas kaki yang siap dipijaki,
menjadi anak panah yang siap menancap pada benteng pertahanan siapapun itu. Dia
yang istimewa, kami siap mati untuknya. Dia yang berkuasa, memberi secercah
kehidupan untuk kami dan itu berharga. Darah ningratnya mengalir di dalam kepulan
semangat kami. Hatachi Akira Hikaru XXVII yang tercinta.”
“Bagus.
Dan melindunginya adalah melindungiku, satu-satunya garis keturunan beliau yang
tersisa. Jadi, kau harus melindungiku dengan segenap tujuh puluh empat huruf
yang kau sebutkan tadi dan jadikan itu nyata dan jangan banyak ceramah. Jangan
lakukan apa yang aku tidak suka atau kau akan menyesal, Sensei tua yang
terhormat.”
“Doaku
menyertaimu, Nak. Ayo, lanjutkan latihan kita.”
“Apa
yang lebih harus aku pertajam, Sensei?”
“Ayunan
lengan kirimu atas pisaumu. Jadikannya ramah dan lembut seperti angin.
Lancarkan serangan itu cepat dan tepat, seperti ilmu yang telah kau dapat dari
ibu penjual nasi goreng di pinggir jalan tempo lalu.”
“Pembunuh
itu juga belajar dari ibu itu, Sensei.”
“Kau
lebih dahulu. Sekarang, lakukan.”
CHAPTER 22
“Party Poison”
Sekolah dasar negeri dengan warna
cat coklat tua dan muda itu memang sekolah unggulan di kota ini. Anak-anak yang
belajar dan berlarian di sana sebagian besar adalah anak dari orang tua yang
berkantung dalam dan bukan anak-anak yang pintar. Tapi karena didukung oleh
fasilitas standar sekolah bertaraf internasional yang modern, sekolah itu
akhirnya bisa menelurkan anak-anak yang berbakat dengan otak cemerlang. Terbukti
mereka bisa merangkai robot atau minimal mainan mobil-mobilan elektronik yang
canggih sendiri di dalam lab khusus di sana. Luar biasa. Mereka anak-anak yang
beruntung, terlahir di dalam keluarga yang berkecukupan membuat kehidupan
mereka ikut terangkat. Coba bandingkan dengan anak-anak yang terlahir dengan
keadaan di bawah rata-rata. Otak mereka cemerlang, tapi tidak didukung oleh
penyaluran media atau fasilitas yang memadai, membuat mereka semakin menjauh
dari peradaban dan terkesan konservatif. Ya, sekali lagi money talks.
Sekolah
itu pernah menjadi tempat bermain dan bertengkar bagi Rian dan mantan
sahabatnya Dilan. Rian ingat, pernah ada seorang anak perempuan dengan bando
warna merah jambu yang setiap hari dipakai olehnya, berlari sambil menangis menuju
ruang guru karena kepalanya sengaja disiram oleh Rian dengan mi yang harus
diseduh di dalam gelas (petunjuk penggunaannya sih begitu) hanya karena gadis malang itu tidak sengaja menumpahkan
mi punya Rian. Rian langsung merampas mi milik gadis itu dan mengguyurnya di
atas kepala sang pemilik. Dan Dilan datang dengan wajah tidak berdosa, ikut
mengguyur anak itu dengan air dingin dengan maksud agar kepalanya tidak melepuh
karena kuah panas. Kontan saja anak itu merasa dikeroyok dan langsung berlari
sambil menangis ke ruang guru. Disitu puncak dimana kenakalan Rian atas semua
yang sudah ditabungnya sejak kelas dua sekolah dasar. Rian dikeluarkan dari
sekolah itu saat kelas lima dan Dilan yang tidak bersalah apa-apa ikut
“mengundurkan diri” dari sekolah itu dan mengikuti Rian masuk ke sekolah yang
lebih sederhana daripada sekolah mereka yang pertama. Di sana tidak ada
anak-anak pejabat dengan game di dalam layar yang sering dibawa kemana-mana. Rian
dan Dilan akhirnya bisa menerima ijazah sekolah dasar mereka di sekolah di
pinggiran kota itu.
Rian
memandangi sekolah itu sambil meminum es tebu yang dia beli di pinggir jalan.
Dia mengingat semuanya, terutama saat dia pulang sekolah dengan menenteng botol
–lebih tepat disebut termos, karena dingin atau panasnya air tidak akan berubah
di dalamnya– air minum besar berwarna hijau dan tas roda bergambar mobil yang
diseretnya dari depan pintu kelas hingga tempat mobil jemputan mereka biasa
parkir. Dia bersama Dilan dengan tas roda bergambar tokoh Batman yang merupakan
kesukaannya. Semua masih terasa indah saat itu. Tidak ada adegan berdarah sama
sekali. Terkadang, Pak Fabio datang menjemput mereka berdua. Fabio suka
ditemani dengan Hatachi. Oleh karena itu Hatachi sangat mengenal keluarga
Fabio.
Dua
orang ibu berselisih usia sekitar sepuluh tahun mengantar kedua anak mereka yang
berwajah sama ke dalam sekolah itu. Rian mengenali mereka. Mereka pernah
dianggap sebagai sebuah keluarga Rian ketika seluruh anggota keluarganya masih
bernyawa. Tapi sekarang, mereka justru yang seolah-olah membuang Rian. Hanya
anak bujangnya lah yang mati-matian membujuk Rian untuk kembali ke kehidupannya
yang dulu. Rian ingin menegur mereka, atau mungkin hanya sekedar memberikan
senyum tipis yang syarat akan formalitas. Namun hatinya seperti berteriak untuk
jangan melakukan hal yang tidak penting itu. Dan sayangnya, Rian mengikuti kata
hatinya yang kian mengeras.
Rian
masih mengawasi kedua ibu itu dari kejauhan. Sebenarnya tidak bisa dikatakan
mengawasi, hanya menjaga saja. Mereka adalah janda-janda yang ditinggal mati
suaminya karena ulahnya. Mumpung berada di depan mata Rian, sisi malaikat dalam
dirinya seolah berkata untuk menjaga orang-orang itu agar tidak ada satu orang
pun yang bisa mengganggu mereka semua. Salah seorang ibu yang umurnya lebih tua
dari ibu yang satunya sekilas ikut melihat Rian dari kejauhan dan kembali
berpaling. Dia seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya lalu melihatnya
kembali untuk memenuhi hasrat penasaran dalam dirinya. Kali ini sedikit lebih
lama, mungkin fokus matanya sedikit kabur karena faktor usia. Setelah yakin
atas apa yang dia lihat, dia mengajak ibu yang lebih muda dari dirinya untuk
pergi, tapi sepertinya dia masih ingin berbincang-bincang dengan si kembar
perempuan. Jadi, ibu itu memutuskan untuk pergi sendiri. Ternyata dia tidak
pergi, melainkan menyamperi Rian yang duduk di atas sepeda motornya dengan es
tebu yang tinggal setengah gelas lagi di tangannya.
“Rian?”
“Benar.
Masih ingat saya, Tante Adilla?”
“Tentu
saja. Apa yang kamu lakukan disini? Mengincar kami?”, pertanyaan yang terakhir
itu seolah memukul Rian telak tepat di kepalanya. Niat baiknya disangka buruk
oleh orang lain dan itu menyakitkan. Mereka yang beriman kuat tidak akan dengan
mudahnya frustasi atas masalah kecil ini.
“Apa
maksudnya? Saya sengaja kesini untuk sedikit mengingat masa merah-putih saya.”
“Maksudnya?
Kamu tentu tahu maksud saya dan jangan berbohong untuk sebuah alasan klise
seperti itu. Mana mungkin seorang pembunuh jahanam bisa mengingat masa-masa
indah mereka. Di dalam fikiran mereka kan
hanya ada darah, darah, dan darah. Benar bukan?”
Apa?? Darimana ibu
Adilla tahu aku seorang pembunuh? Apa identitasku sudah tersebar?!
“Saya
masih tidak megerti atas maksud perkataan Ibu.”
“Saya
sendiri memang belum mempunyai bukti yang kuat untuk mengadukan kamu ke polisi
atas semua yang telah kamu perbuat dan terakhir yang saya tahu adalah ayah
biologis dari anak saya satu-satunya. Semua itu berjalan begitu saja di dalam
otak, fikiran, dan kata hati saya. Semua seolah menganggukkan kepala dan
berteriak setuju sekencang-kencangnya ketika saya membuat kesimpulan kalau kau
adalah dalang dari semua ini. Kau tidak perlu membantah atau mengangguk setuju.
Saya hanya ingin mengatakan atas hipotesis yang telah saya dapatkan. Dan satu
hal yang perlu kamu ingat, saya haramkan kamu mendekati anak saya Dilan! Dulu
memang kita adalah keluarga. Tapi ketika kamu sudah berubah menjadi monster
seperti ini, tidak ada lagi kata kekerabatan antara kamu dan keluarga saya
mencakup Dilan. Sudah puas bukan kamu bermain-main sambil menghabisi Afif
Aryana dan membiarkan kami dalam keterpurukan yang lebih mendalam lagi? Dan itu
cukup bagi kami. Saya tidak mau kami yang masih hidup ini mati dengan keadaan
tercincang-cincang di tanganmu yang hina itu.”
Telak.
Skor 50-0 atas kemenangan Ibu Adilla menyodorkan kalimat-kalimat yang
benar-benar membuat Rian tidak bisa melangkah kemana-mana kecuali menyerahkan
diri dengan pasrah. Rian benar-benar speachless.
Yang dirasanya sekarang adalah kemarahan demi kemarahan yang menguasai seluruh
sel-sel darahnya sehingga membuat dirinya ingin memukul seseorang dengan
pukulan baseball, membiarkan
tikus-tikus menggigiti pahanya, lalu menyumpal mulutnya dengan ular kobra agar dia
mati saat itu juga. Dia merasa benar-benar kalah. Sangat kalah. Dia tidak
percaya jika kata hati dari Ibu Adilla seratus persen benar. Semua dikatakan
seolah tidak ada keraguan dan seperti dia telah melihat semua kejadian yang
telah digambarkan di muka bumi ini.
“Silahkan
saja kalau Ibu mempunyai kesimpulan sendiri atas masalah ini. Saya tidak yakin
Tuhan itu ada atau tidak. Kalaupun dia ada, tapi anggaplah ini sebagai
formalitas saja, hanya Tuhan dan saya yang tahu apakah saya benar-benar ingin
mengincar kalian semua seperti yang telah ditentukan pertama kali kepada saya
atau tidak. Permisi.”
Rian
membuang bungkus es tebu yang masih tersisa ke atas tanah dan menghidupkan
motornya lalu melaju cepat, membiarkan asap dari knalpot motor itu terhirup
kedalam pernafasan Ibu Adilla. Dia tidak ingin terus menerus membantah omongan
orang tua. Tapi dia sendiri juga tidak bisa harus mengiyakan atas apa yang sebenarnya
dia perbuat.
Karena
dendamnya masih belum terbalaskan.
CHAPTER 23
“Flashback Part
2 (Decode)”
“The truth is hiding in your
eyes and it's hanging on your tongue,
Just boiling in my blood, but you
think that I can't see
What kind of man that you are? If
you're a man at all
Well, I will figure this one out on
my own (I'm screaming "I love you
so.")
On my own (My thoughts you can't
decode).”
(Paramore – Decode)
Malam itu berjalan sempurna sesuai
rencana. Semua tidak ada yang terlewatkan. Teman-teman, kerabat dekat, dan
saudara menjadi tamu spesial dalam acara itu. Balon-balon indah berwarna-warni
berhasil memenuhi hampir seluruh ballroom
di hotel mewah ini. Memang ini bukan pesta ulang tahun ke tujuh belasnya,
hari dimana seseorang beranjak dewasa dengan segala nuansa kedewasaan yang
terkesan dibuat-buat. Ini memang hanya pesta ulang tahun ke enam belasnya.
Sebelum meniup lilin sebanyak enam belas batang yang berdiri tegak di atas kue
tiramisu besar berbentuk tengkorak bersayap lambang band kesukaannya, dia
memejamkan matanya dan berharap akan beberapa hal yang semoga saja akan
tercapai.
“Ya Tuhan. Terima kasih
atas berkah yang Engkau telah berikan kepada Rian di umurku yang baru menginjak
enam belas tahun ini. Semua rahmat yang bisa memberikanku satu lagi kesempatan
untuk berdiri di sini bersama mereka yang aku sayangi. Ibu dan Ayahku,
merekalah yang luar biasa. Jadikan keindahan ini berlangsung hingga aku sampai
pada hari ulang tahunku berikutnya dan jadikan ini lebih istimewa, Tuhan. Ini
mungkin terdengar egois, tapi aku berharap pada-Mu, jadikanlah Dilan yang Engkau
pasti tahu betapa besar rasaku ini padanya menjadi milikku selamanya. Aku sudah
mengerti arti kata cinta dan aku benar-benar mencintainya, Tuhan. Jadikanlah
aku dengannya, jadikan aku menjadi orang yang bisa menerima pesan berisi puisi
cintanya setiap pagi aku membuka mataku, dan jadikan mimpi ini menjadi nyata,
Tuhan. Amin.”
Rian
membuka matanya. Semua orang telah menunggu saat-saat itu dan ... wusshhh! Api
pada lilin-lilin itu padam satu per satu. Semua orang bertepuk tangan
melihatnya. Musik dari disk jokey yang
mengenakan baju bernuansa balon itu segera memainkan musik yang sudah
dipersiapkannya dengan sempurna. Semua orang bergoyang dan bersenang-senang
mengikuti irama yang menghentak seluruh detak jantung dan memacu aliran darah
mereka hingga lebih bersemangat. Rian yang memakai dress hitam dengan kristal-kristal swarovski di bagian dada dan pinggang yang membuatnya sangat
mempesona tidak mau ketinggalan di pesta miliknya. Dilan yang mengenakan jas
hitam dengan kaos berwarna putih benar-benar terlihat santai dan kasual. Mereka
berdua menghentak pesta tuan rumah dengan tarian mereka saat masih kecil.
Mereka menyebutnya tari kupak-kapuk. Seperti apa bentuk tariannya? Hanya mereka
berdua yang tahu.
Musik
telah berganti menjadi iringan lagu Chasing Pavements dari milik artis muda
berbakat asal Inggris, Adele. Tanpa aba-aba, masing-masing dari mereka meraih
teman dan orang-orang disekeliling mereka untuk diajak berdansa. Rian
mengehentikan tarian kupak-kapuknya dan mengambil minum. Dia sangat berharap
seseoran yang bernama Dilan dengan rambut ala spike mengajaknya berdansa malam itu. Tidak ada. Dia sama sekali
tidak mendengar langkah orang yang datang dari belakangnya untuk menuntun
tangannya dan mengarahkannya ke lantai dansa. Yang dia dapatkan adalah, Dilan
sudah memeluk pinggang Nadia dan mencengkram tangan gadis itu lembut sambil
mengayunkan tubuh mereka mengikuti alunan lembut lagu dari wanita bertubuh
tambun tersebut. Liontin milik Nadia terjatuh dan Dilan memungutnya lalu dipakaikan
kembali di leher mulus Nadia. Liontin itu pemberian ibunya. Rian benci hal ini.
Di saat semua orang berlomba-lomba untuk menghibur hatinya di malam spesialnya
itu, Dilan justru dengan senang hati mengobral dan menunjukkan rasa sukanya
pada Nadia. Ini tidak adil. Rian tidak mau air matanya terjatuh di dalam
ruangan itu. Dia melangkahkan kakinya keluar.
I’ve made up my mind,
Don’t need to think it
over if I’m wrong I’m right,
Don’t need to look no
further this ain’t lust.
I know this is love but
if I tell the world
I never say enough
‘cause it was not said to you
And that’s exactly what
I need to do
If I in love with you
..
Should I give up? Or should I just keep
chasing pavements
even if it leads
nowhere.
Or would it be a waste,
even if I knew my place, should I live it there?
Should I give up? Or
should I just keep chasing pavements
even if it leads
nowhere.
Sayup-sayup nada lagu itu terdengar
hingga ke luar ballroom. Rian
mengikuti setiap lirik lagu itu di dalam hatinya sambil bersenandung. Sirup
berwarna merah di dalam gelas beling di tangannya sedikit membuatnya lebih
merasa tenang. Dia berusaha mengerti akan perasaan yang dirasakan Dilan dan
Nadia walaupun hatinya sakit. Sakit sekali. Dia yang lebih dulu mengenal Dilan
daripada Nadia tapi memang ini mungkin jalannya. Nadia menjadi pilihannya. Ini
semua terjadi mundur sebelum Dilan benar-benar resmi menyatakan cintanya pada
Nadia.
“Kenapa
tidak ikut berdansa? Ini kan pestamu,” yang tidak sedang diharapkan justru
datang. Dilan datang dengan aroma parfumnya yang benar-benar membuat Rian semakin
merasa nyaman di dekatnya.
“Aku
tidak bisa dansa.”
“Bagaimana
mungkin kamu mendapatkan piala lomba dansa tingkat kabupaten jika tidak bisa
berdansa? Ayolah, jangan sembunyikan perasaan sedih di balik senyummu. Angkat
dan buang dia jauh-jauh. Ini pestamu.”
Kau dan ulahmu yang
menghancurkan perasaanku, Dilan. Harusnya kamu lebih bisa peka membaca kode
yang aku berikan padamu.
“Di
mana Nadia? Tadi kamu berdansa dengannya, kan?”
“Aku
meninggalkannya.”
“Ah?!
Yang benar? Tega sekali kamu meninggalkan dia.”
“Tiba-tiba
mood-ku hilang karena melihatmu
tidak ikut berdansa.”
“Yang
benar saja. Itu tidak mungkin,” Rian kembali menyeruput sirupnya. Ada sedikit
rasa grogi yang selalu dirasakannya saat bersama Dilan.
“Iya.
Aku tahu. Kau tidak mau berdansa karena tidak ada yang mengajakmu, kan?”
“Apa?!
Kau fikir aku tidak laku??”
“Haha.
Yasudah, ayo berdansa denganku saja.”
JEGER!!
Rian seolah tertimpa durian runtuh. Sesuatu yang hampir diikhlaskannya
tiba-tiba datang tanpa diundang. Undangan itu tidak salah alamat. Dan Rian
benar-benar bahagia mendengar kalimat itu, walaupun dirinya hanya dijadikan
pilihan terakhir untuk Dilan. Rian tahu Dilan hanya ingin membuatnya tidak
murung dalam pestanya. Dilan ingin memunculkan bulan yang bersinar terang di
tengah mendung malam.
Rian
hanya tersenyum sebagai jawaban. Mereka berdua meletakkan gelas di atas kursi
balon di sebelah mereka. Dilan menggapai tangan Rian yang dingin lalu mulai
bergerak mengikuti nada dan irama yang bersumber dari dalam. Kali ini lagu dari
milik Diana Ross dengan When You Tell Me That You Love Me.
“Jangan
gugup begitu, dong,” Dilan menggoda Rian.
“Siapa
yang gugup?”
“Ini,
tanganmu dingin sekali.”
“Tadi
tanganku berkeringat lalu tertiup angin. Jadi seperti ini.”
“Haha.
Aku bahkan bisa mendengar detak kencang jantungmu, Rian.”
“Jangan
menggodaku.”
“Hahaha.
Aku tidak menggodamu. Aku hanya meledekmu. Hahaha.”
“Hahaha.
Itu sama saja, bodoh.”
“Wow.
Akhirnya kamu tertawa. Kamu tau, saat kamu tertawa adalah saat dimana aku
melihat Ratu Sura yang sedang tersenyum.”
“Siapa
Ratu Sura?”
“Ratu
jaman kerajaan Persia dahulu kala. Sura artinya adalah wajah bunga. Dan itu ada
di wajahmu sekarang.”
“Hahaha.
Dan kau mirip Charlie Chaplin.”
“Loh?
Kenapa?”
“Karena
kau pintar sekali melawak. Hahaha.”
“Ah,
dasar. Kapan kamu bisa menganggapku bersungguh-sungguh, Rian?”
Ada saatnya, Dilan.
Mungkin ketika kamu katakan cintamu padaku dan melupakan Nadia. Itu yang aku
tunggu-tunggu.
Rian
terdiam di dalam fikirannya. Dia hanya bisa tersenyum. Ya, benar. Dia bisa
merasakan degup jantungnya berdetak sangat kencang seperti suara dentuman bom
di bawah laut. Dilan memang cinta pertamanya dan akan selamanya begitu. Tidak
akan pernah berubah. Dia sangat berharap ilmu membaca mata seseorang dan Dilan
meminatinya. Rian pasti akan berharap penuh agar Dilan bisa membaca matanya
yang berkata lebih daripada bibirnya.
“Kenapa
kamu memilih nuansa balon seperti ini di pestamu?” tanya Dilan.
“Uhmm..
karena aku suka balon dan gelembung. Hahaha.”
“Yang
benar. Aku tahu pasti ada filosofi lain dari apa yang kamu lakukan, Rian.”
“Hehe.
Kau cerdas. Aku menyukai balon karena mereka selalu menyuguhkan keindahan di
balik setiap warna-warna cerahnya, tidak peduli itu dicoret-coret oleh anak
kecil atau orang dewasa. Dia selalu bisa menjadi barang yang menyenangkan.
Kehadirannya menyuguhkan keramaian dan kebahagiaan. Tapi di balik itu semua,
dia cukup rapuh. Nyawanya bahkan tidak bisa bertahan lebih dari dua hari. Setelah
itu dia akan pecah menjadi sobekan-sobekan kecil yang sudah tidak lagi berarti.
Dia dibuang dan tidak dipedulikan setelah diajak berlari kesana dan kemari. Tapi
generasinya seolah menutup mata atas apa yang menimpa keluarga sesama balon.
Mereka rela dibesarkan secara paksa dengan diisi oleh angin lalu dimainkan lagi
dan berakhir dengan cara yang sama dengan yang sebelumnya.”
“Dan
intinya?”
“Aku
tidak tahu.”
“Pasti
kamu berat untuk mengatakan kalau balon-balon tersebut adalah gambaran dari
dirimu. Iya, kan?”
“Tidak
juga. Aku tidak mau tampak terlalu lemah dengan memposisikan balon sebagai
diriku.”
“Tidak
apa-apa, Rian. Aku paham dirimu. Dibalik senyum yang selalu kamu obral ke semua
orang, ada luka yang tersimpan di dalam hati kecilmu. Aku tidak tahu siapa yang
membuat luka itu padamu. Tapi yang jelas, jiwamu begitu dalam untuk diselami. Terlalu
sulit untuk memahami karakter orang sepertimu. Tapi, setiap
perumpamaan-perumpamaan yang kamu berikan semakin membuat aku mengerti akan
dirimu, Rian. Kau tidak pernah cerita padaku apapun masalahmu sehingga aku
tidak tahu siapa yang membuatmu rapuh seperti ini. Yang jelas, aku berjanji
untuk selalu membuatmu tersenyum walau itu sulit. Aku akan paksa angin-angin
kebahagiaan untuk masuk kedalam jiwa balonmu itu dan membuatmu lebih berwarna. Aku
akan jaga kamu agar tidak pecah dan terluka lalu disia-siakan. Percaya padaku,
Rian.”
“Terima
kasih, Dilan. Kamu yang terbaik.”
Dilan
kemudian memeluk tubuh yang tingginya sebahu dengan dirinya itu. Rian merasakan
kenyamanan yang lain berada di dalam dekapannya. Sesuatu yang bisa membuatnya
menangis dalam senyuman atau tersenyum di dalam tangisan walaupun dia sendiri
kurang paham akan hal itu.
Dari
balik jendela, seseorang yang memakai dress
cokelat muda dengan kalung liontin pemberian ibunya dan rambut panjang yang
di keriting melihat apa yang terjadi di luar ballroom. Dia tersenyum melihat orang yang dicintainya berhasil
membahagiakan sahabat dari masa kecilnya di hari spesialnya.
Hanya kamu yang
berhasil merapuhkan hati ini lalu membuatnya lebih kuat lagi dan itu terjadi
berulang-ulang, Dilan. Aku tahu kemarahan ini terkikis oleh perasaan cinta yang
sudah berkerak di dalam hatiku. Tapi aku tidak tahu harus sampai kapan aku
meraskan rasa ini, rasa ikhlas karena sudah tersakiti atau kebodohan yang
dipelihara sehingga dia berkembang biak dengan majunya. Mungkin nanti akan ada
saat dimana kemarahan ini akan meledak, Dilan. Saat itu tidak akan ada lagi
balon ataupun kulit telur. Tidak akan ada lagi Ratu Sura atau Charlie Chaplin.
Yang ada hanya pertumpahan darah karena bahkan saat berada di pelukanmu seperti
saat ini, aku ingin sekali membunuh orang yang membuatku seperti ini selain
dirimu. Sahabatku yang satu lagi. Wanita cantik itu berhasil mendapatkan hatimu
walaupun aku tidak sepenuhnya yakin. Kalau saja aku tidak mengingat akan dosa,
aku pasti sudah akan membunuhnya, Dilan.
CHAPTER 24
“Out of Control”
Satu
bulan kemudian ..
Malam
itu sekitar pukul setengah sebelas malam, Dilan baru saja pulang dari pekerjaan
barunya, menjadi seorang perawat magang di rumah sakit jiwa. Berbekal kemampuan
dan pengetahuannya yang terbatas mengenai ilmu kesehatan, dia berhasil diterima
menjadi asisten perawat. Di sana, dia hanya bertugas sebagai pemberi makan
kepada para pasien lalu terkadang jadi petugas kebersihan jika dibutuhkan. Terkadang,
dia jadi pesuruh atau office boy. Dia
mulai bekerja sejak pukul setengah empat sore setelah pulang sekolah hingga
pukul sepuluh malam. Melelahkan memang.
Satu-satunya
alasan yang membuat dirinya nekat untuk menempuh pekerjaan yang cukup memeras
tenaga dan keringatnya itu adalah tekad yang bulat untuk membantu memenuhi
kebutuhan keluarganya yang semakin bertambah semenjak kepergian ayahnya. Mereka
tidak akan bisa terus-terusan menengadahkan tangan ke atas sebagai peminta-minta
kepada para saudara dengan harapan satu liter beras atau selembar uang kertas. Dilan
merasa, sebagai satu-satunya lelaki yang bisa diharapkan – mengingat umur
Zionell masih menginjak tujuh tahun – sudah sepatutnya dia menggantikan posisi
ayahnya dan bersusah payah mencari uang seperti yang dilakukan Afif Aryana untuk
menghidupi kedua ibu dan adik-adiknya.
Semua
waktunya tersita habis. Dia tidak bisa lagi bermain play station hingga larut malam di rumah temannya atau hanya
sekedar touring keliling daerah
tempat dia tinggal atau ngegath bersama
sekumpulan anak-anak pemuja band metal apalagi berpacaran. Semua itu rela
ditinggalkannya demi keluarganya. Sepulang sekolah, dia langsung ke rumah sakit
dan menjalani pekerjaannya.
Hebatnya,
dia berhasil menyembunyikan hal ini dari kedua ibu dan adik-adiknya apalagi
saudaranya. Selama ini, paling lama Dilan pulang pukul delapan malam. Lalu
bagaimana bisa dia mendapatkan izin untuk pulang hingga larut malam? Ini memang
akan terdengar jahat dan juga bukan merupakan contoh yang baik untuk seorang
ibu. Kedua ibunya sangat geram dengan pembunuh dari tulang punggung keluarganya.
Bahkan sampai hampir mendekati waktu empat puluh hari sejak kematian Afif
Aryana, mereka belum juga bisa mengikhlaskan kepergian ayah biologis dari
anak-anak mereka. Oleh karena itu, mereka menyuruh Dilan untuk mencari siapa
pembunuh berdarah sadis yang tega menghancurkan hidup keluarganya. Mereka
mendoktrin Dilan agar mencari orang itu sama seperti kerasnya Dilan mencari
Rian. Tapi, Dilan sendiri berusaha menunjukkan kalau dia adalah manusia
berpendidikan yang tidak mudah begitu saja terhasut oleh emosi kedua ibunya. Dia
memang geram atas kabar kematian ayahnya yang mendadak. Tapi alangkah lebih
baik jika dia memakai waktu yang diberikan kedua ibunya itu untuk melakukan
hal-hal yang lebih positif dan banyak mengandung maslahat daripada harus total mencari pembunuh yang difikir mereka
sudah gila itu. Di samping itu, dia tetap tidak melupakan target pertamanya yaitu
menemukan pembunuh ayahnya seperti amanat kedua ibunya. Rian sudah tidak lagi
diperdulikannya. Terkadang memang dia merindukan senyum yang bergantung di
wajah mulusnya. Apalagi pertemuan terakhir dia dengan Rian seolah seperti awal
yang baik untuk kembali menjalin hubungan persahabatan antar mereka berdua.
Seperti
biasa, orang-orang dirumah sudah terlelap di dalam mimpi mereka masing-masing. Dilan
membuka pintu kamar ibu kandungnya, Adilla dan menatap ibunya yang wajahnya
terlihat sangat lelah sekali. Dia kemudian berjalan pelan
mendekati ibunya, membelai rambutnya, lalu mencium keningnya. Hanya ibunya yang
dia punya sekarang dan dia benar-benar tidak mau kehilangan siapa-siapa lagi
sekarang dan seterusnya. Kalaupun harus ada yang pergi, dia rela dirinya
menjadi orang yang akan pergi itu asalkan jangan kedua ibunya apalagi adik-adik
tirinya.
Setelah
puas memandangi wajah ibunya, dia membalikkan badan ingin keluar dari kamar. Tapi,
tiba-tiba dia seperti mendengar suara seseorang meloncat di dalam kamar itu.
Dia menolehkan kepalanya ke belakang. Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya
masih ibunya yang terlelap sendirian. Dia kemudian memegang gagang pintu dan
memutarnya agar terbuka. Kali ini lain. Dia benar-benar mendengar suara langkah
kaki seseorang di dalam ruangan yang sama. Dia menoleh ke belakang dan melihat
sesosok berbaju hitam dengan rambut tergerai yang diperkirakan seorang wanita,
sedang memegang pisau dan ingin menusuk perut ibunya. Spontan, Dilan langsung
melempar orang itu dengan kursi yang ada tepat disebelahnya saat itu sambil
berteriak.
“AAARRRGGH!!!”
“Dilan!!
Ada apa?? Kenapa kamu lempar-lempar kursi dan jerit-jerit begitu?? Tidak lihat
sudah pukul berapa ini?!” ibu Adilla terbangun dari tidurnya karena mendengar
suara kursi yang terjatuh dengan keras tepat disebelahnya dan mendapatkan anak
satu-satunya dalam keadaan penuh keringat.
“Tadi
ada yang mau mencoba membunuh Mama!!”
“Siapa??
Katakan!”
“Aku
tidak tahu, Ma. Aku tadi melihatnya sedang bersiap-siap menusuk mama dengan
pisaunya. Lalu, spontan aku melempar kursi itu ke arahnya. Tapi sekarang dia
menghilang!” Dilan semakin berkeringat menceritakan apa yang dia lihat.
“Ya,
Tuhan. Kamu lihat, tidak ada siapa-siapa di sini. Kamu menimpuk siapa tadi?
Kamu hanya menimpuk bayangan. Sadarlah, Dilan. Mungkin kamu hanya kelelahan,
sayang.”
“Tidak,
Ma! Aku berani sumpah tadi aku melihat ada seorang wanita sepertinya. Dia ingin
membunuh Mama!! Aku tidak mau kehilangan siapa-siapa lagi, Ma! Kehilangan Papa
sudah cukup berat bagiku!! Aku tidak mau ada lagi korban, Ma!!” laki-laki itu
mulai menitikkan air matanya.
“Kemari,
Nak.”
Dilan
menghampiri ibunya yang masih berada di tempat tidurnya. Ibunya bangun, lalu
memeluk tubuh anaknya yang sudah kian besar itu sambil membelai rambutnya.
“Sayang,
Mama tahu kamu benar-benar kehilangan akan sosok dan peran Papamu dalam
keluarga kita yang memang sudah hancur ini. Tapi cobalah untuk mengerti dan
bersikap lebih rasional. Akhir-akhir ini kamu selalu nampak kelelahan dan kacau.
Kamu selalu pulang larut malam dan terlihat seperti orang sakit. Bukan hanya
sekali ini saja Mama melihat kamu bersikap seolah melihat seorang pembunuh. Meja
ruang tengah sampai terbelah dua karena kamu lempar dengan guci juga karena
kamu melihat seseorang yang mau membunuh Zeon, kan? Maafkan Mama yang mungkin
selalu menyumpal otakmu dengan kebencian-kebencian atas pembunuh Papamu dan
menyuruhmu untuk mencari dia. Mungkin lebih baik Mama tidak membiarkanmu terus
larut dalam kesedihan ini. Ya, kalau kamu mau kamu bisa berhenti keluar malam
dan mencari pembunuh bajingan itu. Kita bisa hidup seperti dulu lagi tanpa
harus membebani fikiranmu. Konsentrasilah pada pelajaran di sekolahmu, Nak.”
“Tapi
aku benar-benar melihatnya, Ma,” anak itu tetap membantah. Ibu Adilla
melepaskan pelukannya pada Dilan.
“Cukup,
Dilan. Berhentilah keras kepala. Mama tidak mau sesuatu yang buruk semakin
menimpa keluarga kita.”
“Ya,
tapi..”
“Sudah
cukup. Mama tidak mau berdebat kusir denganmu. Kamu tahu kan, dari dulu hanya
kamu harta satu-satunya Mama. Mama tidak mau kamu tersakiti apalagi terluka.
Mama selalu berdoa pada Tuhan agar mengangkat semua beban dirimu dan
memindahkannya di pundak Mama. Mama ikhlas. Mama tidak mau melihat kamu hancur karena
keegoisan Mama, Nak. Maafkan Mama. Sekarang lebih baik, bersihkan tubuhmu,
ambil makanan di dapur, makanlah, lalu tidur. Mama tidak mau melihat kamu
bangun kesiangan besok.”
“Tadi
aku sudah makan, Ma.”
“Makan
di mana?”
“Suatu
tempat. Lihat saja ini, bajuku kotor. Sup jagungnya tadi tumpah. Untung saja
sup itu tidak panas. Yasudah, Ma. Aku tidur dulu.”
Dilan
mencium kening ibunya lalu keluar dari kamar orang yang melahirkannya itu. Omong-omong
tentang sup jagung, sebenarnya noda itu dia dapatkan saat sedang menyuapi
pasien yang menderita depresi berat. Dilan menyuapi sup jagung untuk si pasien
tapi dia memuntahkannya kembali. Muntahannya terkena baju Dilan. Walaupun sudah
dibersihkan dengan air, tapi sepertinya noda itu masih betah menempel saja.
Dia
masih benar-benar yakin kalau dia benar melihat seorang wanita yang berkeliaran
di rumahnya dan ingin menghabisi satu per satu keluarganya. Tapi yang terjadi
adalah, tidak ada yang melihat orang itu. Hanya Dilan saja yang bisa
melihatnya.
Ini
di luar nalar, kawan.
CHAPTER 25
“Danger Line”
Rian mau sedikit bangkit dari
keterpurukan semenjak menghilang tanpa jejak selama satu bulan penuh tanpa
menyeret pisau racunnya lagi ke kulit orang-orang tidak berdosa. Dia
benar-benar down atas pernyataan yang
dilontarkan dengan gagahnya oleh ibu Adilla satu bulan lalu. Semua itu terasa seperti
membakarnya hidup-hidup di tengah permainan air dan pasir di pantai pada saat musim
panas yang sejuk dan hangat. Dia pergi jauh ke atas bukit tempat seorang ibu
tua yang dengan baik hati menampung Rian untuk tidur di gubuk deritanya dan
Rian membunuhnya karena ingin menghilangkan penderitaan hidup ibu itu beberapa
bulan lalu. Gubuk itu telah kosong. Sarang laba-laba seolah merasa gubuk itu
dibangun oleh mereka sehingga mereka bisa dengan bebasnya membangun jaringan
yang tersebar luas di dalam gubuk. Tikus dan kecoa juga seolah tidak mau
ketinggalan mengambil peranan masing-masing dalam kepemilikan saham gubuk. Semua
anggota keluarganya diboyong masuk ke dalam rumah tak berpenghuni itu.
Kali
ini, uang sebesar dua ratus ribu rupiah berhasil dikantonginya kembali dari
hasil menjual suara kepada orang-orang hanya dalam dua jam. Memetik gitar dan
bernyanyi lagi untuk menghibur orang-orang hanya demi mendapatkan satu mangkok
bakso dan air putih. Rian memang tidak pernah hilang kharismanya. Dia hanya
butuh sedikit mencuci wajahnya dengan air, menyisir rambutnya, merapihkan
bajunya dan membiarkan sobekan di beberapa bagian baju dan celananya agar
memiliki tekstur tersendiri lalu seolah dibayar mahal, aura kecantikannya yang
tersembunyi di balik sikap “gila”nya menyembul dari balik tubuhnya.
“Rian?”
suara yang terasa sudah lama sekali tidak didengarnya. Suara itu memang jarang
bersamanya, hanya beberapa waktu saja.
“Engg..?”
Rian berusaha mengingat sesosok dengan rambut pirang yang panjang di
sampingnya.
“Inget
aku, nggak?” gadis itu tersenyum ramah. Dari raut wajah dan nada bicaranya, dia
terkesan benar-benar ingin membuat Rian ingat akan dirinya.
“Erinda,
ya?”
“Nah,
benar! Apa kabar, Rian? Seperti sudah lama sekali kita nggak bertemu. Kabarnya kamu suka berkelana, ya? Berminat untuk
berbagi sedikit denganku, tidak?”
“Ah,
biasa saja. Aku hanya sedang mencari jati diri,” Rian menunduk. Dia sedikit malu
dengan keadaannya sekarang yang benar-benar berubah satu putaran derajat penuh.
“Haha.
Baiklah kalau kamu belum siap bercerita.”
Rian
tersenyum. Hanya sedikit saja dari tarikan bibir tipisnya.
“Mau
cari baju apa, Rian?”, Erinda kembali melanjutkan pertanyaan-pertanyaan yang
semakin lama semakin membuat Rian malas menjawabnya. Rian bahkan baru sadar,
tujuannya datang ke distro itu adalah untuk mencari baju baru. Dia malah tadi
sempat berfikir untuk menghabisi nyawa laki-laki penjaga distro dengan gaya sok ala deathcore
yang bahkan mungkin dia sendiri tidak tahu apa arti deathcore dan band-band apa
saja yang menganut aliran itu. Dia sedang asyik berpacaran dengan pacarnya yang
gayanya sok screamo – mencoba
peruntungan dengan tatanan rambut lurus-lurus dan sedikit lancip juga meruncing
tajam ke bawah, garis mata yang sedikit dipertebal dengan spidol marker hitam, dan
pakaian yang Rian jamin pasti mereka meniru dengan model-model yang ada di
vampirefreaks.com – tanpa memperdulikan berapa banyak orang yang masuk ke dalam
tokonya dan berharap mendapat pelayanan lebih.
“T-shirt
Pantera.”
“Pantera?
Band metal legend yang salah satu lagunya pernah di-cover oleh Avenged
Sevenfold, kan?”
“Ya.
Judulnya ..”
“Walk!”
“Benar!
Sejak kapan kau suka metal?”
“Aku
tidak tahu, Rian. Semua berjalan begitu saja. Hahaha.”
Rian
tertawa. Sedikit lebih lepas dari biasanya. Dia merasa kali ini sepertinya dia
memiliki satu lagi teman yang bisa diajak berdiskusi selain pisau mautnya. Tapi
tidak. Fikiran-fikiran itu segera dimusnahkannya seperti dia menggilas mayat
kucing yang tadi dilewatinya di jalan dengan motornya, karena dia benar-benar
tetap ingin sendiri bersama bayang-bayang kematian yang menunggu di depan
matanya.
Erinda
membantu Rian memilih beberapa t-shirt musik yang ada di sana. T-shirt yang
bertuliskan ‘Pantera’ ada beberapa di sana dengan model dan motif gambar yang
berbeda-beda. Semuanya menarik. Satu yang menjadi pilihan mereka berdua secara
bersamaan saat menemukan t-shirt itu di balik pakaian yang lain. Warna dasarnya
hitam dengan model lengan buntung. Tulisan ‘Pantera’-nya uppercase berwarna oranye di bagian atas. Ada gambar tengkorak
memakai topi yang berwarna sama dengan tulisannya. Rian pernah lihat yang
semacam itu dipakai oleh Michael Padget, lead
guitar dari Bullet For My Valentine band kesukaannya. Ukuran ‘M’ dan, deal!
Celana.
Rian ingin punya celana baru. Celana jeans
hitamnya sudah robek-robek. Saat ini, dia benar-benar lebih terlihat
seperti anak punk dengan hidup nomaden di jalanan daripada seorang metalhead apalagi pembunuh. Erinda
kembali membantunya dalam memilih bawahan. Dia mendapatkan skinny jenas hijau tua, mungkin sedikit mengarah ke hijau lumut. Di
bagian lutut terdapat motif “tambelan” berwarna sedikit lebih tua dari warna
dasar. Rian bingung, apakah itu masih bernuansa hijau atau hitam. Tambalan itu
berbentuk tanda tambah. Aah!! Celana itu hampir mirip dengan yang dipakai oleh
Hayley Nichole Williams!!
“Aku
pilih ini.”
“Nice choise, Rian.”
Mereka
berdua menuju meja kasir, ingin membayar apa yang telah mereka dapatkan.
Sepertinya si pegawai penuh pesona itu masih sibuk dengan urusannya
membelai-belai rambut lancip sang kekasih hati. Satu menit Rian dan Erinda
menunggu di depan meja kasir tanpa ada perhatian dari kedua atau bahkan salah
satu dari mereka, Rian menghampiri pasangan kesiangan itu. Tangannya sudah
panas dan terasa gatal sekali ingin mengeluarkan pisaunya lalu menyuruh salah
satu dari mereka menjilat dan merasakan manisnya racun darah hewan purba yang
berkerak di setiap lapisan pisau tersebut. Rian tidak kuat, dia mengeluarkan
pisaunya dan sesaat kemudian ..
“Woo..
wooo. Tenang, sista. Dilarang membawa
masuk benda tajam ke dalam distro ini. Bisa baca tulisan di sana, kan?”
“Lalu,
katakan padaku benda tajam macam apa yang ada di rambut kalian berdua!”
Diam.
Mereka berdua hanya bisa saling bertatapan. Erinda seperti memberi kode dengan
mengedipkan matanya kepada kedua sejoli penjalin cinta itu agar melayani Rian
yang sudah ingin membayar barang belanjaannya. Rian memandang gadis dengan jepitan
merah jambu itu tajam. Kalau saja tatapan itu adalah nyata, sayatan demi
sayatan pasti sudah tergambar di kulit wajah gadis itu.
“Semuanya
tiga ratus ribu.”
Apa??!
“Apa?
Coba hitung lagi,” Rian tidak yakin. Masa iya hanya membeli celana dan kaos
saja sudah menguras uang dua jam kerjanya.
“Tidak
salah lagi, Tante Jagoan,” laki-laki itu menekankan suaranya pada saat menyebut
‘tante jagoan’. Mungkin dia kesal sekali dengan apa yang telah didapatkannya
dari Rian tadi. Setelah dilihat, ternyata Rian hanyalah gadis miskin tak beruang.
“Memang
berapa harga masing-masingnya?”
“T-shirt
Pantera seratus dua puluh ribu rupiah. Skinny jeans seratus delapan puluh ribu.
Jadi totalnya tiga ratus ribu.”
“Ehmm..
biar aku saja yang bayar,” dengan wajah malaikatnya, gadis berbaju hijau muda itu
membayar seluruh belanjaan Rian tanpa membiarkan teman satu sekolahnya saat
masih di SMA itu mengeluarkan sepeser pun.
Laki-laki
yang belakangan diketahui dari ID-Card yang tidak dipakai dan dibiarkan
tergeletak di atas rak yang berisi boneka Nightmare ternyata bernama “Aldi April
Ashley”, membungkus barang-barang belanjaan Rian ke dalam satu tas yang lucu.
Gothic tapi eksotik.
Apa? Apa tidak salah
anak itu memakai nama
belakang ‘April Ashley’? Aku yakin itu sama sekali bukan nama aslinya. Wajahnya
saja wajah asli Cirebon. Dan sepanjang ingatan pembunuhku, itu adalah nama pemuda
laki-laki keturunan Inggris yang lahir di tahun 1935 dan bertranseksual jadi
wanita hingga dia menjadi super model. Hahaha. Dasar bodoh!
Mereka
berdua kemudian melangkah keluar dari toko. Rian menyimpan tawa tertahan
rapat-rapat di dalam hatinya. Dia tidak menyangka, betapa bodohnya anak itu
memakai nama belakang seorang waria? Haha. Apa mungkin dia kira nama itu cukup
bagus sehingga bisa dia pakai menjadi nama belakang tanpa peduli siapa pemilik
nama atau arti dari nama itu sendiri? Konyol.
“Aku
bayar segini dulu. Kau bisa tunggu aku di sini dan aku akan bayar sisanya.”
“Mau
mengamen lagi?”
“Ya.”
“Haha.
Tidak perlu, Rian. Kita sudah lama tidak berjumpa. Apa salahnya aku
membelikanmu pakaian yang memang kebetulan tadi aku yang pilihkan untukmu tanpa
melihat harganya, kan? Ambil saja lagi ini uangmu. Aku ikhlas, kok,” Erinda
tersenyum. Sangat manis walaupun sedikit mirip dengan Nadia.
“Aku
bukan peminta-minta.”
“Bukan
begitu. Hanya saja ..”
“Terima.”
“Rian,
please ..” Erinda menatap wajah Rian
yang memang benar bersungguh-sungguh untuk mengganti uangnya. Dia tahu ada yang
berubah dari Rian, jadi akhirnya dia memutuskan untuk menerima uang itu. Dia
hanya ingin Rian bisa merasakan hasil dari menjual suaranya terbayar.
“Baiklah,”
Erinda mengangguk setuju lalu menerima uang itu.
“Aku
mau ganti baju dulu,” Rian berjalan menjauh
dari Erinda. Dia menuju ke warung kecil di seberang jalan yang sepertinya sudah
tidak dipakai lagi.
Erinda
menatap lekat Rian dari belakang. Tatapan matanya lain kali ini, tidak sehangat
yang sedari tadi dipamerkannya. Dia seperti mencari-cari sesuatu dari dalam
diri Rian. Entah apa. Segala sudut dari tubuh Rian ditelusuri melalui mata
bulatnya. Mulai dari mata kaki hingga kepala. Tatapannya sangat teliti, seperti
anak Pramuka yang diberi tugas untuk mencari sebiji jagung di dalam keruhnya busa
sabun. Semakin jauh langkah Rian pergi, semakin tajam tatapan matanya. Bahkan
lebih terlihat seperti mata maling yang mengawasi keadaan sekitar. Rian sendiri
sudah berada di tengah jalan. Tangannya kirinya melambai-lambai dengan maksud
supaya kendaraan dari arah kiri bisa lebih memelankan lajunya, ciri khas para penyeberang
jalan. Lagi, tatapan itu semakin tajam, seperti elang yang siap menjaring ayam
kampung masuk ke dalam sela-sela cengkraman kakinya. Dia menyipitkan matanya
sebentar. Sedikit lebih fokus dan sesaat kemudian dia tersenyum. Sepertinya dia
sudah mendapatkan yang dia inginkan dari hasil penajaman matanya di saat Rian
melangkahkan kaki kanannya masuk ke dalam gubuk dan tepat pada titik tiga puluh
meter.
CHAPTER 26
“Cryptography”
“Saya dapatkan kodenya, Sensei.”
“Sebutkan.”
“Semuanya
model huruf uppercase. Diawali dari huruf
ke enam belas, kemudian huruf ke sebelas, dua garis sama panjang yang sejajar,
huruf ke empat, dan huruf ke dua lima.”
“Dalam
abjad?”
“Papan
kotak-kotak yang tidak tak bermesin.”
“Baik.
Akan kita teliti takdir anak itu sehingga kamu bisa dengan mudah menghabisi
setiap titik fatalnya dengan cara dan waktu yang tepat.”
“Dan
saya tidak ingin menunggu lama hasil penelitian itu, Sensei.”
“Menunggu
tidak akan membuatmu mengeluarkan air mata darah.”
“Bagaimana
kalau aku bosan menunggu? Empat puluh ribuku sudah keluar cuma-cuma. Ini di
luar rencana!”
“Diam
dan tunggu hasilnya. Kau akan bisa dapatkan lebih dari itu. Sekarang, di mana
dia?”
“Sedang
berganti dengan baju barunya. Menjijikkan melihatnya masih bisa bahagia seperti
ini.”
“Coba
untuk kontrol emosi dan sifat ke‘AKU’an mu.”
“Ya,
ya. Sudah dulu, dia sudah kembali.”
Klik!
CHAPTER 27
“The Fight”
“Ini, Pak,” Erinda memberikan
selembar uang kertas bernilai dua ribu rupiah kepada seorang penjaga warung.
“Terima
kasih.”
“Beli
apa?” suara yang bersumber tepat di belakang Erinda membuatnya tersentak.
“Rian?
Aku nggak nyangka bajunya bakal sekeren ini kalau kamu yang pake! Hebat!”
“Terima
kasih.”
Erinda
memandang Rian dari ujung kakinya hingga ke atas. Sempurna. Dengan t-shirt dan jeans barunya, dan gitar yang
ditentengnya dia benar-benar tampak sempurna. Jiwa kelaki-lakiannya tidak
dibuat-buat. Natural. Mimik dingin yang tergambar pada wajah mulusnya
benar-benar gothic, lebih gothic daripada seorang Andy Sixx ataupun model-model
lain di situs Vampirefreaks.com.
“Haha.
Keren! Lihat dirimu. Auramu kembali, Rian. Aura Rian yang dulu! Kau cantik
sekali, Rian. Aku iri padamu,”
“Kau
berlebihan.”
“Haha.
Lihat apa yang aku dapat, aku belikanmu air minum. Bibirmu kering. Mungkin kau
dehidrasi.”
“Terima
kasih,” Rian tersenyum. Bukan senyum dari hatinya, hanya basa-basi saja.
Pembunuh juga bisa berbasa-basi, kan?
Erinda
mengajak Rian duduk di bawah pohon besar di pinggir jalan itu, sambil menikmati
mili demi mililiter air mineral yang dikemas dalam botol tersebut merayap
perlahan masuk ke dalam tenggorokkan mereka. Tidak ada yang membuka
pembicaraan. Semua berkonsentrasi pada fikirannya masing-masing. Rian menatap
satu per satu kendaraan beroda lebih dari satu melintas di hadapannya. Bola
matanya mengikuti pergerakkan benda besar bermesin itu ke arah kiri. Sesekali
dia menarik nafas panjang, seolah sudah bosan dengan kehidupannya. Sedangkan
Erinda, tetap tersenyum ramah. Sangat ramah. Terlampau ramah hingga membuat
Rian meragukan kewarasannya. Rian tidak tahu apa yang membuat rekan di
sampingnya itu terlihat sangat bersuka cita. Dia malas menanyakannya. Dia fikir
itu hanya akan membuang energinya saja. Sesekali Erinda menggerakkan bola mata
cokelatnya ke arah kantung celana Rian, seperti ingin mengecek sesuatu. Rian
dapat merasakan pergerakkan bola mata itu sekalipun dia tidak melihatnya
langsung. Rian merasa kehadiran Erinda di sampingnya seperti harimau yang
berjalan pelan lalu menerkam dirinya. Dia merasa aura lirikkan bola mata Erinda
sangat mengganggu dirinya. Jelas saja, apa yang tertidur di balik kantung
celana Rian adalah sebilah pisau racun yang berbahaya. Sakti mandraguna
satu-satunya milik Rian. Bahkan bisa dibilang itu adalah separuh jiwanya. Jadi,
saat separuh jiwanya terasa diawasi, dia akan merasakannya juga.
Lirikan-lirikan
mata Erinda pada saku celana Rian semakin tajam tetapi kadar ramah dari
senyumnya tidak berkurang sama sekali. Semakin kesini, keramahan itu semakin
berlebihan dan terlihat menyeramkan. Botol air mineral yang digenggamnya pun
berbunyi karena ada tekanan yang cukup kuat hingga membuatnya sedikit penyok. Tatapannya
sama seperti saat Rian menyeberang jalan untuk berganti pakaian di dalam bekas
warung di seberang jalan. Rian seolah bisa merasakan sentuhan tajam lirikan itu.
Tidak tahu ada energi negatif apa yang berada di antara mereka berdua. Dia
bangun dari posisi duduknya. Dengan gerakan sangat cepat, dia memelintir tangan
Erinda dan membuatnya tidak bisa bergerak. Di waktu bersamaan, Erinda juga
bangun dan melakukan hal yang sama. Seolah mereka berdua kembar dan bisa
membaca fikiran masing-masing, keduanya melakukan gerakan-gerakan bela diri
yang sama dan sedikit terlatih. Rian tidak menyangka, sosok Erinda yang sangat
feminim bisa membuatnya kewalahan atas serangan-serangan yang dilancarkannya.
Dia tidak tahu di mana dan dengan siapa Erinda berlatih. Siapapun yang
melatihnya, pasti dia orang hebat. Begitupun Erinda. Dia tida menyangka kalau
ilmu bela diri yang dipelajari Rian secara otodidak bisa membuatnya kewalahan.
Tidak ada yang mau mengalah selama beberapa menit perkelahian. Kedua gadis
cantik berkelahi di pinggir jalan tak elak menjadi bahan tontonan masyarakat sekitar.
Berlari.
Dalam waktu bersamaan, keduanya melepaskan hajaran dan berlari secepat yang
mereka bisa. Tidak ada yang berada di posisi depan juga di belakang. Mereka
berdua berlari dengan jarak sejajar. Kalau begini terus, tidak akan ada yang
bisa kalah juga menang. Mereka berdua seperti monster wanita yang tiba-tiba
berubah gahar saat kakinya tersulut api. Seolah ada yang mengomandoi, kaki
mereka berlari menuju ke sebuah pembangunan pusat perbelanjaan yang sedang
mengalami pembangunan. Waktu sudah hampir maghrib sehingga tempat itu kini
kosong. Keduanya kembali melanjutkan perkelahian di sana. Rian memiliki basic di taekwondo dan begitupun Erinda.
Beberapa kali mereka berdua melompat sangat tinggi dan berusaha melakukan
tendangan melingkar. Tidak ada satu pun tendangan yang berhasil melumpuhkan
lawan. Mereka sama. Sama-sama kuat!
“Siapa
kamu??”, Rian mengehentikan pukulannya dan begitupun Erinda. Keringat yang
sangat deras sudah keluar dari pori-pori kulit mereka yang halus. Mata mereka
memerah, seperti habis disiram air cabai.
“Kau
yang siapa??! Apa salahku hingga kau tiba-tiba menyerangku??”, Erinda balik
bertanya.
“Kau
menyerangku dalam waktu bersamaan! Itu tidak menunjukkan kalau aku yang
menyerangmu duluan!”
“Kau
banyak bicara, Rian! Aku sudah bisa membaca takdirmu, kau tahu!”
“Bagaimana
mungkin??”
“Hahaha.
Aku tantang dirimu! Coba bunuh aku sekarang!”
“Dengan
senang hati.”
Rian
yang memang sudah panas dan mendidih mengeluarkan pisau andalan dari sakunya.
Dia tidak bisa mengontrol emosinya saat dia ditantang oleh orang lain. Dia
tidak tahu kalau Erinda memancingnya agar dia mengeluarkan pisau itu dari
sakunya.
Rian
bergerak maju dengan cepat ke arah Erinda yang sudah pasang badan dengan tangan
di belakang. Senyumnya tetap ramah tapi mengerikan. Rian tidak peduli benda
macam apa yang bersembunyi di balik tangannya itu. Pisaunya dapat mengalahkan
apapun.
Satu
gerakan cepat yang dilancarkan Rian membuat rambut panjang yang diikat satu
oleh Erinda terpotong oleh pisau Rian. Dalam waktu bersamaan pula, Rian merasa
baju barunya itu tersobek di bagian perut. Sobekan itu seperti sobekan yang
dibuat oleh benda tajam seperti pisau. Dan, betapa kagetnya Rian saat didapati
Erinda menggenggam sebilah pisau yang sama percis dengan yang digenggamnya. Dia
tidak menyangka ternyata di dunia ini ada lebih dari satu pisau yang sama
dengan miliknya. Setidaknya ada dua. Miliknya dan milik Erinda. Fikirannya
segera melayang pada kata-kata anak kecil yang tinggal di bawah kolong jembatan
yang mengatakan bahwa ada seseorang berjubah hitam dengan tulisan China atau
Jepang yang besar di belakangnya, mengambil pisau yang sama dengan dirinya dari
atas batu yang ada di bawah kolong jembatan.
“K-kau??!”
“Hahaha.
Kenapa? Terkejutkah kau dengan apa yang aku punya sekarang? Kau fikir kau yang
paling hebat, huh? Kita memiliki pisau yang kembar, Rian. Dan takdirmu jelas ada
di genggamanku sekarang! Hahaha.”
“Mati
kau, perempuan jalang!”
Rian
berlari cepat maju ke arah Erinda yang kepercayaan dirinya semakin meningkat
setelah melihat Rian sedikit menganga atas pisau yang dimilikinya. Erinda
menantang maut. Dia pun ikut maju dengan kecepatan penuh. Pisaunya sudah
digenggam dengan sangat kuat hingga urat-urat tangannya timbul seolah ingin
melihat panasnya pertandingan sambil diacungkan ke atas diiringi lolongan
jeritan yang mengerikan. Jeritannya seperti bukan jeritan manusia. Jeritannya
seperti hantu yang siap mencuri kebahagiaan setiap orang yang mendengar
lolongannya.
“Allahu Akbar .. Allahu Akbar .. Allahu Akbar
.. Allahu Akbar ..” suara adzan Maghrib yang bersumber dari pengeras suara
masjid di tempat itu telah dikumandangkan.
Suara
itu berkumandang tepat saat kedua pisau gadis enam belas tahun itu ingin
menembus tulang belulang satu sama lain. Tiba-tiba, ada seseorang berjubah
hitam muncul dari atas langit, menutupi seluruh tubuh Erinda kecuali tangan
kanannya yang sedikit tidak tertutup oleh kain hitam itu. Sedetik kemudian,
Rian bisa melihat tangan itu menghilang bersamaan dengan menghilangnya orang
berjubah hitam yang turut serta membawa lari bayangan di bawahnya. Rian
terkejut melihat pemandangan yang jaraknya hanya setengah meter dari tempatnya
berdiri. Seketika, tidak ada siapa-siapa di tempat itu kecuali dirinya dan
peluh yang mengucur deras dari lubang pori-pori kulitnya. Nafasnya tersengal.
Orang yang berada dengan jarak satu meter dari Rian berdiri pasti bisa
mendengar bunyi detak jantungnya yang benar-benar tidak terkendali. Hampir saja
pisaunya menembus tulang Erinda dan itu saat-saat yang ditunggunya. Tapi
seseorang dengan jubah hitam itu muncul tidak diundang dan membawa pergi Erinda
beserta amarah di dalam dirinya.
Jubah
hitam itu tidak hanya jubah hitam semata. Rian sangat bersyukur berhasil
membaca dengan jelas dan lengkap aksara Jepang yang tertulis besar pada bagian
belakang jubah yang sebelumnya muncul saat malam hari Rian berada di salah satu
lapak pasar. Tulisan itu adalah “ハタチの忠誠の誓い” yang dibaca Hatachi no chūsei no chikai yang
berarti: ikrar kesetiaan kepada Hatachi. Benarkah?
Satu lagi pekerjaan, kawan.
CHAPTER 28
“Psikotik”
Dilan duduk sendiri di dalam
kamarnya. Dia baru saja terbangun dari tidurnya. Tunggu. Apakah masih bisa
disebut dengan kamar apabila dengan keadaan meja sudah terjungkal, gelap,
bantal yang terkapar di atas lantai sehingga menyerupai keset, dan abu rokok
yang bertaburan seperti virus penyakit di atas lantai kamarnya? Siapa yang bisa
bertanggung jawab atas semua ini? Dilan. Hanya dia. Dia yang memiliki kamar
itu.
Tiga
hari sudah dia tidak berangkat kerja, tiga hari pula ibu dan seluruh keluarga
juga teman-temannya mencemaskan keadaannya. Dia lebih banyak mengurung diri di
dalam kamar dan hanya keluar apabila ingin buang air kecil. Itu pun hanya satu
kali dalam sehari. Setiap keluar kamar, kedua ibunya selalu bertanya pertanyaan
yang sama yaitu ada apa dengan seluruh noda yang tergambar di wajahnya. Dia
terlihat kusam dan sangat kacau. Garis hitam dibawah matanya menebal, matanya
memerah seperti maling yang habis tertangkap basah, kumis dan jenggot tipis
mulai menyembul dari balik pori-pori kulit wajahnya, cambangnya mulai tidak
terurus, dan rambutnya pun begitu. Walaupun hanya tiga hari, Dilan sudah hampir
menyerupai seorang tua yang tersesat dan tinggal di dalam gua dan keluar
setelah lima tahun kemudian.
Satu-satunya
alasan mengapa Dilan tetap mengurung diri di dalam kamarnya adalah dia tidak
ingin terus-terusan mengamuk seperti orang gila dan berkata sebuah hal yang
sama kepada seluruh anggota keluarganya yang mereka sama sekali tidak percaya
akan hal itu. Dilan selalu melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa ada
seorang gadis yang melambai-lambaikan pisaunya pada salah satu anggota
keluarganya, lalu dia bersiap untuk menusukkan pisau itu ke bagian tubuh calon
korbannya tersebut. Dilan tidak bisa menggapainya. Maksudnya, ada hasrat di
dalam dirinya untuk menggapai gadis itu, tetapi kakinya seolah beku. Jadi, yang
bisa dia lakukan hanyalah melemparkan gadis itu dengan benda besar dan keras di
dekatnya. Tetapi yang terjadi adalah, tidak ada tubuh gadis yang terjatuh
karena ditimpuk oleh Dilan, melainkan ada benda lain yang hancur
berkeping-keping akibatnya. Dan dia juga tidak jarang menjadi sasaran amukan
kedua ibunya. Mereka selalu berkata bahwa tidak ada siapa-siapa di sana dan itu
hanyalah halusinasi Dilan saja. Dan sifat jelek Dilan adalah, dia paling tidak
suka dirinya tidak dipercaya orang.
Di
dinding kamarnya, ada banyak foto dirinya, Nadia, dan Rian bersama-sama. Foto
yang paling besar adalah foto dimana mereka bertiga memakai seragam SMA,
mengenakan kacamata yang luar biasa besar, lalu menyengir sangat lebar. Ada
lagi foto saat ketiganya berada di pesta ulang tahun ke tujuh belas Nadia. Kini,
nasib foto-foto itu sudah tidak karuan. Ada yang berjatuhan di lantai dengan
figura yang pecah, ada yang separuh terbakar, malah ada yang sudah terbakar
semuanya. Dilan benar-benar terlihat frustasi dan kacau.
Dilan
berada di atas kasurnya, mengambil posisi duduk dengan memeluk dengkulnya.
Kasunya bersebrangan dengan tembok kamarnya yang masih terpampang foto dirinya
dan Nadia. Hanya mereka berdua. Dilan menatap lurus foto itu dan berusaha
mengingat mimpinya tadi malam.
Dalam
mimpinya, dia berada di sebuah ruangan yang seluruhnya berwarna putih. Dilan
mengenakan piyama tidurnya. Dia merasa lelah sekali saat itu. Bola besar besi
hitam seolah menggantung di atas kelopak matanya sehingga dia ingin menutupnya
saat itu. Dia sangat mengantuk di sana. Tapi sayangnya, dia sekali tidak bisa
tidur. Seluruh masalah yang telah selesai di dalam hidupnya seolah kembali lagi
datang dan memaksa masuk ke dalam kepalanya yang sudah penuh akan kebahagiaan. Masalah-masalah
itu menang dan berhasil masuk mengalahkan seluruh kebahagiaan di kepalanya.
Pada saat itu juga dia merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya. Sekujur
tubuhnya berkeringat. Keringat dingin. Jantungnya berdetak lebih kencang
dibanding biasanya. Wajahnya memerah. Tiba-tiba, kaki dan tangannya keram.
Tubuhnya mengejang dan dia semakin tidak kuat menahannya. Dia merasa, mungkin
saat itulah ajal datang menjemputnya. Selama beberapa menit dia merasakan sakit
yang luar biasa di sekujur tubuhnya, hingga seorang gadis berbaju putih datang
dan memeluknya dari belakang. Dia adalah Nadia.
“Bertahan, Dilan. Aku
ada di belakangmu. Kamu harus bisa meraskan dekapanku. Aku harap ini bisa
menenangkanmu. Bertahanlah, sayang,” kata Nadia lembut sambil terus memeluk
tubuh kejang Dilan.
“Aku s-ud-dah t-tt-idak
k-kkuat lagi!!” jerit Dilan.
“Tapi aku akan selalu
kuat menahanmu, sayang. Aku selalu bersamamu walaupun aku sudah berada di
tempat yang beda. Lepaskan segala lelah dan gelisahmu di sini, di pelukanku. Karena
saat kamu sudah tidak merasakan sakit lagi, kamu akan kembali ke dunia nyata
yang penuh dengan asap dosa dan gelisahmu akan terus menghantuimu. Rasa sakit
itu hanyalah implementasi dari apa yang menjadi derita otakmu selama ini.
Biarkan dia keluar semuanya, di sini. Aku menahanmu agar kamu mau memaksakan
dirimu membagi rasa sakitmu padaku, sayang.”
“AAARRRGH!!”
“Bertahan, Dilan!”
Nadia mendekap Dilan
lebih erat dari belakang. Nadia bisa merasakan seluruh otot tubuh Dilan yang
semakin mengejang, hingga dalam hitungan detik seluruhnya kembali mengendur.
Dilan kembali bisa mengatur nafasnya. Detak jantungnya berangsur normal.
Tubuhnya mulai lemas. Tetapi Nadia sama sekali tidak melepas pelukannya.
“Sudah baikan?” tanya
Nadia pada Dilan.
“Nadia..” Dilan menolehkan
kepalanya ke belakang dan menatap Nadia jelas. Tatapannya seolah menjerit minta
diberi bantuan. Sedangkan tatapan Nadia seolah berkata bahwa dia siap mendengar
apapun keluh-kesah Dilan dan siap membuka kembali tangannya, membiarkan seluruh
air mata Dilan tumpah menyeruah di dalam dekapannya. Nadia tersenyum hangat.
“Senang bertemu
denganmu lagi.”
“Sudah baikan?” Nadia mengulang pertanyaannya.
“Kenapa kamu harus
pergi?”
“Sudah baikan?” sekali
lagi Nadia mengulang pertanyaannya dengan sangat sabar.
“Ku rasa begitu.”
“Aku bisa melihatnya,”
Nadia tersenyum.
“Kenapa kamu harus
pergi, sih?” tanya Dilan lagi.
“Ah, kata siapa? Aku tidak
kemana-mana, kok. Kamu harusnya bisa merasakan kehadiranku di dalam foto-foto
di dinding kamarmu, sayang. Tapi, yang terjadi malah kamu membuang semua
foto-foto itu, bahkan membakarnya. Lalu aku harus tinggal di mana, jelek?”
“Kamu berada di sana??”
“Tentu saja. Tapi kali
ini, aku berada di hadapanmu,” Nadia kembali tersenyum.
“Aku resah dengan semua
pemandangan yang mengangguku itu. Aku yakin aku hidup dan tinggal di dunia
nyata, dan bukan dunia tiga dimensi atau dunia film. Aku juga yakin yang aku
tapaki setiap hari adalah tanah yang hangat. Aku bisa merasakan sakit saat
pecahan beling menyobek kulitku. Itu tandanya aku tidak bermimpi, kan? Tapi
mengapa hanya aku yang bisa melihat gadis psycho itu? Sedangkan ibu, Zeon dan
Zionell, atau siapapun juga tidak bisa melihatnya! Pekerjaanku di kantor juga
baik-baik saja. Itu menandakan bahwa aku belum gila, kan? Tapi yang menjadi
keherananku selama beberapa bulan terakhir ini adalah, mengapa aku tidak bisa
sama sekali mendapatkan wajah gadis itu di kepalaku? Aku melihat sosoknya, tapi
wajahnya sangat gelap!”
“Barangkali dia adalah
penggemar beratmu. Hahaha.”
“Kamu dan aku tahu
bahwa penggemar beratku adalah kamu,” Dilan tersenyum.
“Hey, kau kembali!”
“Kamu yang membuatku
kembali, sayang. Sudah lama sekali rasanya tidak melihat tawamu, mendengar
suaramu, merasakan detak jantungmu saat kamu memelukku. Aku benar-benar
merindukanmu, Nadia”
“Begitupun aku, Dilan.”
“Maafkan aku karena
sampai sekarang aku belum bisa mendapatkan siapa yang melakukan itu padamu,”
Dilan dengan wajah bersalahnya.
“Melakukan apa?”
“Dia yang meracunimu,
yang menghabisi nyawamu!”
“Haha. Aku tidak
apa-apa, Dilan. Lupakan saja orang itu. Jangan jadi seperti dia, yang suka
menyimpan dendam kepada semua orang. Kelak dendam itu yang akan menujahnya dari
belakang. Membuat dirinya menjilat leleran darahnya sendiri.”
“Maksudmu?”
“Haha. Lupakan saja.
Cukup kamu tahu saja, dia adalah tetap sahabat terbaikku. Dia banyak memberiku
arti hidup selama beberapa tahun terakhir di kehidupanku. Aku menyayanginya sepenuh hatiku. Aku tau dia
selalu berusaha menjadi dirinya sendiri, terserah orang mau bilang apa
tentangnya. Dia gadis hebat. Pelajaran yang aku dapat darinya adalah pelajaran
yang tidak akan pernah bisa aku dapati di sekolah atau di manapun, bahkan saat
aku duduk di tempat ini sekarang.”
“Dia sahabatmu??”
“Tentu saja,” Nadia
mengangguk yakin.
“Sahabat macam apa yang
tega membunuh temannya sendiri, hah??! Dan setelah kamu menerima semuanya, kamu
masih bisa bilang kalau dia adalah tetap sahabat terbaikmu?? Malaikat macam apa
dirimu ini, Nadia?”
“Hahaha. Hiperbola
sekali kamu.”
“Kalau begitu, mungkin
aku tahu siapa dia.”
“Katakan.”
“Rian?”
“Hahaha. Pasti kau
sudah belajar cara membaca fikiran orang, kan?”
“Tidak. Aku hanya
membaca matamu.”
“Kau selalu
melakukannya, Dilan. Aku lemah jika kau sudah membaca mataku,” Nadia tersenyum.
“Jadi benar Rian
pelakunya?”
“Dia pendendam ulung,
Dilan. Kehidupannya yang keras membuat hatinya robek dan terbakar, hingga dia
bahkan tidak bisa melihat abu dari hatinya tersebut. Dia menyedihkan. Dia
harusnya bersamamu, bukan aku.”
“Jadi benar dia
pelakunya?? Benar berarti yang dikatakan ibuku! Aku harus mencarinya, Nad!”
“Jangan! Biarkan dia
bersama hidupnya menemukan ujung takdirnya sendiri. Kita tidak boleh
berpura-pura menantang malaikat maut. Itu jatah pekerjaannya, sayang. Biarkan
dia hidup bersama air matanya yang tertahan, atau bersama darah yang membeku di
ujung jarinya, atau bersama dendamnya hingga dia merasa lelah. Aku ikhlas, kok.
Dia sahabat terbaikku, Dilan.”
“Nadia benar, Nak,” suara
laki-laki menyusul dari tempat yang sama.
“Ayah??”
“Iya, ini ayah. Apa
kabar dirimu?”
“Hancur. Ayah, sedang
apa di sini?”
“Ini tempat kami, Nak.”
Pak Afif tersenyum.
“Oh, iya! Bahkan aku
belum menanyakan padamu di mana kita sekarang,” Dilan menoleh ke arah Nadia.
Gadis itu malah tersenyum saja.
“Nanti kita juga akan
berkumpul bersama di sini, Nak. Oh, iya. Ayah lupa mengucapkan selamat ulang
tahun untukmu, kan? Kalau begitu, selamat ulang tahun ya, Nak. Maaf ayah
terlambat. Ini semua di luar rencana. Ayah selalu mendoakanmu untuk menjadi
seorang pemimpin yang baik. Tidak seperti ayahmu ini.”
“Haha. Terima kasih,
Ayah. Apapun kesalahan dan kekuranganmu, kau tetap yang terbaik.”
“Haha. Aku tersanjung. Bagaimana
kabar ibumu?”
“Mereka berdua
sebenarnya baik. Tapi menjadi tidak baik setiap melihatku keluar dari kamar
dengan keadaan seperti ini.”
“Tapi mereka akan
bahagia setelah melihatmu keluar dari tempat ini. Percaya pada ayah,” Pak Afif
tersenyum sambil menepuk pundak anaknya.
“Bagaimana mungkin?”
“Pernah dengar Psikosis?”Pak
Afif balik bertanya.
“Uhh, pernah dengar.
Tapi aku tidak yakin. Bisa tolong jelaskan?”
“Nah, setelah dari
sini, bersihkan dulu itu semua noda di wajahmu dan gunakan internet untuk
mencari informasi tentang hal itu.”
“Lalu, apa hubungannya
denganku?”
“Mungkin itu yang
sedang kau alami, Nak.”
“Aku tidak mengerti,
Yah.”
“Maafkan kami. Waktumu
sudah habis. Kamu sudah harus pergi dari sini. Pesan terakhir ayah, kamu harus
biarkan dia. Jangan terus-terusan memaksa memasukkan dia di dalam alam bawah
sadarmu, karena itu akan sangat mengganggumu. Benar apa yang Nadia katakan
tadi, dia dan hidupnya telah mendapatkan ujung kehidupannya sendiri. Kamu tidak
perlu repot-repot mengotori lenganmu untuk mencabiknya dan membiarkan bau busuk
keluar dari tubuhnya.”
“Dia juga yang
melakukannya pada ayah??”
“Waktumu habis, Nak. Titip
kedua ibu dan adik-adikmu. Salam sayang untuk mereka, dan cium sayang dari ayah
untuk Zeon dan Zionell. Selamat tinggal.”
“Berjuang, Dilan. Aku
mencintamu selalu,” Nadia melambaikan tangannya pada Dilan sebelum semuanya
memudar.
Dilan
berhasil mengingat semuanya. Setiap kata dan pesan yang disampaikan dua orang
yang dicintainya di bumi, benar-benar mengandung makna dan arti yang sangat
penting untuk kehidupannya. Dia tau kalau dia sebenarnya tidak perlu untuk
mengotori tangannya dengan darah gadis berdarah dingin itu. Tapi keinginan yang
kuat mengalahkan segalanya. Mimpi itu adalah jawaban dari semua pertanyaannya
selama ini. Kalau saja mimpi itu bisa diulang, dia akan mengucapkan terima
kasih banyak kepada Pak Afif Aryana dan Nadia yang belum sempat diucapkannya.
Dia
bangkit dari tempat tidurnya dan dengan gerakan yang cepat, dia merapihkan
kasurnya. Bantal, guling, dan selimut disusunnya dengan rapi. Selanjutnya
lantai. Dia mengambil sapu di pojok kamarnya lalu menyapu semua remah yang
bertaburan di atas lantai kamarnya. Beling dan taburan abu rokok dengan cepat
disingkirkannya. Gambar-gambar poster yang separuh robek tetapi masih melekat
di dinding segera dicabutnya, dibentuk gumpalan kertas besar, lalu dilemparkan ke
keranjang sampah. Semua dilakukannya dengan cepat. Tidak ada yang terlewat. Ini
adalah bentuk kerja keras dengan membudaki dirinya sendiri untuk membersihkan
kamarnya dari hasil amukannya beberapa hari yang lalu. Hanya butuh waktu tiga
puluh menit dan dia berhasil membereskan semuanya. Dilan tidak mau memakan
waktu lebih lama lagi. Dia merasa waktu sangat berharga saat itu.
Setelah
kamarnya lebih terlihat seperti kamar manusia yang selayaknya, dia mengambil
handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Air dingin yang sangat segar benar-benar membawa hanyut seluruh emosinya yang
sedari kemarin membeludak. Harum aroma shampoo dan sabun dari produk
langganannya benar-benar membuatnya merasa kembali lagi menjadi seorang manusia
yang waras juga normal, dan bukannya orang gila. Razor miliknya siap menumbangi
seluruh jenggot, kumis, dan cambang yang berakar di wajahnya. Dalam waktu lima
belas menit, Dilan sudah keluar dari kamar mandi dengan aroma wangi yang khas
keluar dari tubuhnya. Dilan kembali.
Kaos
bertuliskan “Kick Your Ass” dengan dasar warna putih telah membalut badan
berkulit putihnya. Straight-jeans hitam
menyusul sebagai bawahan. Dia memberikan sentuhan wax pada rambut lurusnya. Kali ini kembali lagi menjadi mowhawk. Parfum andalan disemprotkan ke
tubuhnya, bagian depan dan belakang. Selesai,
kata Dilan dalam hati.
Dia
berjalan ke meja komputernya. Walaupun disebut dengan meja komputer, tapi yang
bertengger di atasnya bukan komputer, melainkan benda persegi panjang dan
mereka menyebutnya laptop. Tombol power ditekannya selama beberapa detik,
sesaat kemudian keluar tampilan dan Dilan diminta untuk memasukkan password laptopnya. Sekitar dua puluh
digit perpaduan antara angka dan huruf ditekannya dengan sangat cepat. Tombol
‘enter’ jadi sasarannya kemudian. Sedetik kemudian, dekstop windows muncul. Ada
gambar band kesukaannya sebagai wallpaper, Bullet For My Valentine. Dilan
segera menghubungkan laptopnya dengan internet. Google menjad sasaran.
Di
kotak pencarian, Dilan mengetik kata “Psikosis” lalu menekan ‘enter’. Dia
menuruti permintaan ayahnya untuk mencari makna psikosis di internet. Beberapa
pilihan keluar beberapa detik kemudian. Pilihan paling atas segera di-klik
olehnya.
Psikosis
Psikosis merupakan gangguan tilikan
pribadi yang menyebabkan ketidakmampuan seseorang menilai realita dengan
fantasi dirinya. Hasilnya, terdapat realita baru versi orang psikosis tersebut.
Psikosis adalah suatu kumpulan gejala atau sindrom yang berhubungan gangguan
psikiatri lainnya, tetapi gejala tersebut bukan merupakan gejala spesifik
penyakit tersebut, seperti yang tercantum dalam kriteria diagnostik DSM-IV
(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) maupun ICD-10 (The
International Statistical Classification of Diseases) atau menggunakan kriteria
diagnostik PPDGJ- III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa). Arti
psikosis sebenarnya masih bersifat sempit dan bias yang berarti waham dan
halusinasi, selain itu juga ditemukan gejala lain termasuk di antaranya
pembicaraan dan tingkah laku yang kacau, dan gangguan daya nilai realitas yang
berat. Oleh karena itu psikosis dapat pula diartikan sebagai suatu kumpulan
gejala/terdapatnya gangguan fungsi mental, respon perasaan, daya nilai
realitas, komunikasi dan hubungan antara individu dengan lingkungannya. Pada
penderita psikosis umumnya ditemukan ciri-ciri sebagai berikut:
·
Mengalami
disorganisasi proses pikiran
·
Gangguan
emosional
·
Disorientasi
waktu, ruang, dan person
·
Terkadang
disertai juga dengan halusinasi dan delusi
“Apa
ini?? Apakah aku adalah orang yang mengalami Psikosis atau hanya baru gejala
saja?? Apa ini yang menyebabkanku menjadi orang gila dan suka berhalusinasi??!
Tidak! Aku tidak mungkin gila! Aku juga tidak boleh gila! Kalau aku gila, lalu
yang akan membantu ibuku siapa?? Apa mungkin gadis dengan mata pisau yang
selalu berkilau di depan mataku adalah Rian? Gadis yang selalu menghantuiku
dengan seolah ingin melakukan percobaan pembunuhan terhadap anggota keluargaku
yang lain? Dan apakah yang dihalusinasikan olehku adalah dirinya??”
“Kalau Rian
bisa kutemukan lalu mati di tanganku, bayang-bayangnya tidak akan hinggap lagi
di fikiranku. Satu-satunya jalan adalah, aku harus menemukannya dan
menyelesaikan tugasku.”
CHAPTER 29
“Memo”
“Kakak! Kakak
yang berbaju hitam! Kakak!”
Rian menoleh
ke sumber suara. Seorang anak laki-laki berumur sekitar delapan tahun dengan
kaos bergambar tokoh Batman dan menggenggam kicrikan juga bungkus permen bekas,
memanggil-manggil dirinya dengan sebutan ‘kakak’ sambil melambai-lambaikan
tangan. Rian malas untuk menghampiri anak itu. Dia hanya berdiam diri di
tempatnya berdiri dan menunggu bocah itu menghampiri dirinya. Tidak lupa dengan
tatapan dingin dan tajam disuguhkannya.
“Ada titipan
untuk kakak,” anak itu menyerahkan selembar kertas yang digulung dan diikat di
bagian tengah dengan pita berwarna hitam. Rian menerimanya. Ini tampak seperti
undangan ulang tahun. Tapi, Rian bisa menjamin bahwa kertas itu bukan “undangan
ulang tahun” biasa.
“Dari siapa?”
tanya Rian hati-hati. Satu nama sudah di kepalanya. Pertanyaan yang diajukannya
hanyalah formalitas untuk meyakinkan dirinya saja.
“Dia
menyatakan dirinya sebagai ‘seorang gadis berbola mata cokelat’. Permisi, Kak,”
anak itu segera berlari menjauh dari Rian.
Gadis berbola mata cokelat?
Rian yang
masih merasakan sakit di seluruh tubuhnya akibat pertarungan imbang antara
dirinya dan Erinda, membuka gulungan kertas itu. Apa yang tertulis di dalamnya,
sebenarnya sudah bisa ditebak olehnya. Tidak diragukan lagi. Satu nama di
kepalanya tersebut mendapat nilai A karena tebakannya seratus persen benar.
Tidak peduli apakah kau masih merasakan
sakit yang sama dengan diriku atas gemulainya tarian pisau kita kemarin atau
tidak. Etikat baik dari diriku hanyalah ingin mengundangmu malam ini. Datanglah
ke lokasi kantor Fabio dulu dan kita akan berpesta. Jangan lupa pakai pakaian
serba hitam, karena setelah itu kita akan mengadakan upacara pemakaman.
Jangan coba menghindar, karena kau telah
menemui takdirmu. Semuanya telah terselip di setiap jarak antara jari-jari
tanganku. Bawalah juga pisaumu. Kita akan menari bersama lagi. Hahaha.
Peluk dan cium sayang,
Erinda
“Belum lagi
sembuh luka-luka ini dan dia sudah ingin membuat lubang baru? Buatlah lubang
sendiri. Karena lubang itu akan diisi oleh busuknya dirimu lalu bara neraka
siap membakarnya.”
CHAPTER 30
“Big Match”
Lokasi kantor yang menyerupai rumah seluas
300 meter masih berdiri di tempat di mana batu pertamanya diletakkan hingga
sekarang. Sayangnya, kondisi semuanya sangat menyedihkan. Di bagian pintu utama
telah disegel dengan pita merah bertuliskan huruf-huruf Kanji yang Rian sendiri
pun tidak tahu artinya. Papan yang ditumpuk lalu di pasang di depan setiap
jendela, benar-benar menandakan bahwa rumah itu sama sekali belum dimasuki oleh
orang lain lagi semenjak semuanya menjadi rumit. Terasnya penuh dengan sampah
dan debu. Daun-daun kering dari pohon rambutan dan mangga bertebaran semaunya. Lampu
di seluruh bagian luar rumah sudah pecah. Kabel-kabel beraliran listrik yang
bergantung keluar seolah menggoda bagi para mereka yang putus asa untuk
mengakhiri nyawanya di sana. Di beberapa sisi tembok terdapat tulisan-tulisan
suara hati yang disemprotkan melalui cat pilok oleh orang-orang tidak
bertanggung jawab. Gelap dan tidak terurus. Semua keadaan itu benar-benar
membuat aura ‘hitam’ dari suatu benda mati menyembul keluar dan memperlihatkan
kepada semua orang mengenai kesedihan di balik semua ceritanya. Hanya sekedar
saran, seorang fotografer beraliran gothic
pasti akan senang mengambil gambar di bekas kantor Fabio tersebut.
Rian
berjalan memutar ke belakang rumah. Ada pintu lain di sana. Suasananya tidak
segelap di bagian depan. Ada lampu bohlam 5watt yang dengan cahaya yang sangat
redup menyinari hanya satu sisi ruangan saja. Rian yakin ada seseorang, atau
bahkan lebih yang berada di balik tembok itu sedang menunggu kehadirannya.
Sekali lagi, dia memang bukan seorang yang ahli dalam ilmu bela diri atau
anggar. Tapi, aura dendam dan kematian yang selalu bercumbu dengannya membuat
dirinya menjadi seorang yang lebih dari sekedar pembunuh berdarah dingin.
Suara decit
pintu tua yang sangat nyaring menyambut kehadiran Rian saat tangannya yang
dingin mendorong pintu itu hingga terbuka. Matanya segera bergerak ke segala
penjuru ruangan dengan bau apek yang sangat menyiksa pernafasan itu. Masih sepi
keadaan di sana. Tapi sepertinya pesta sudah hampir dimulai. Hanya tinggal
menunggu si empunya pesta keluar dan semuanya akan berjalan kemudian.
Kakinya
melangkah masuk ke dalam. Ruangan yang cukup besar juga kosong. Tidak ada
barang apapun di sana. Pesta macam apa
ini?, fikirnya. Rian masih mengawasi keadaan sekitar. Saat tubuhnya
berbalik ingin menutup pintu, dinding yang sedari tadi di belakanginya ternyata
sudah bertuliskan “HA = RN”. Tulisan itu ditulis dengan tinta merah seolah
darah yang menambah kesan menyeramkan di dalamnya. Satu lagi adegan horor
klasik rupanya
. Rian
tampak berusaha mengingat-ingat sesuatu. Sepertinya, dia pernah melihat tulisan
itu. Kemudian, dia mengeluarkan pisaunya dari dalam saku celananya. Dia
menyamakan tulisan di dinding itu dengan tulisan yang sedari dulu berada di
ujung gagang pisaunya. Mirip. Bedanya, tulisan di gagang pisaunya berukuran
jauh lebih kecil dari tulisan di dinding. Tulisan di pisau itu bahkan mungkin
memiliki font size sebesar 14 saja.
Rian mengira selama ini tulisan di ujung gagang pisaunya itu hanyalah merek
pisau atau bahkan kode produksi biasa. Tapi, mana mungkin pisau di jaman
neneknya headbang karena Iron Maiden
sudah memiliki kode produksi apalagi merek. Terlebih bahan dasar pisau itu
adalah tulang belulang hewan purba.
“Kau lihat
apa?” suara yang jelas sudah Rian kenal terdengar dari belakang tubuhnya. Rian
segera membalikkan tubuhnya dan langsung bersiap untuk memulai lagi tarian
pisau mereka. Sebelum Erinda memulai start, alangkah baiknya bagi Rian untuk
mempersiapkan segalanya terlebih dahulu. Tapi Rian yakin, Erinda sudah jauh
lebih mempersiapkan apapun dibanding dirinya.
“Bawa
bekingan?” tanya Rian sinis kepada Erinda setelah melihat seseorang dengan
jubah hitam yang sama dengan yang dikenakan Erinda malam itu, berjalan pelan
dari arah belakang tubuh Erinda. Siapa
dia?, fikir Rian. Orang itu pernah mengancurkan semuanya saat kedua pisau
kembar mereka saling beradu untuk menembus tulang belulang satu sama lain dan
menyemburkan racun jahanamnya.
“Paman
Georgie. Erinda biasa memanggilku begitu.”
“Siapa yang
menanyakan namamu, Pak Tua?” tanya Rian acuh.
“Sudah besar
kau rupanya. Lihatlah aku dan ingatlah masa-masa saat kau masih kecil dan suka
bermain di sini, di ruangan ini,” Paman Georgie membuka tutup kepalanya yang
menyerupai tutup kepala seorang Dementor.
Hidung
runcing ciri khas orang Kaukasoid yang pertama kali Rian lihat. Kemudian dahi
yang menjorok ke depan dan tergolong lebar. Ukuran dahi yang lebih besar daripada
orang Melayu pada umumnya. Alis yang sudah menipis dan mata hitamnya ternyata
sudah bergerak menatap tubuh Rian dari bawah hingga atas saat tutup kepala itu
dibuka. Dia tidak terlalu tua ternyata. Pantas saja masih disebut sebagai
paman. Umurnya bahkan mungkin kisaran empat puluh delapan tahun atau lebih.
Rian menatap
Paman Georgie tak kalah sinis dari sebelumnya. Mereka berdua beradu pandang
walaupun hanya dari jarak yang cukup jauh. Rian menuruti kemauan Georgie untuk
membuka kembali arsip-arsip lama di dalam kepalanya. Mulai dari apa saja yang
pernah terjadi di ruangan yang cukup lebar ini.
Saat berumur
tiga tahun, Rian pernah memainkan sepeda roda tiganya di dalam sini. Ada
Hatachi yang membawa seorang anak perempuan yang seumuran dengannya dengan
mainan boneka Barbie lengkap dengan rumahnya. Dari dulu, Rian ternyata memang
tidak suka dengan boneka. Lalu, ayahnya dan seorang laki-laki Inggris dengan
aksen bicara British yang membingungkan dengan topi bertuliskan “Yankee”
berwarna merah menemplok di atas kepalanya, masuk ke dalam ruangan dan membawa
snack ringan kesukaan anak-anak. Rian sendiri masih sibuk berkencan dengan
sepedanya. Tangan besar menyambangi mulutnya lalu menyuapinya dengan keripik
kentang rasa Barbeque itu. Rian kecil melihat wajahnya. Pria dewasa itu
tersenyum ramah. Little Rian menoleh ke arah ayahnya. Tatapannya seolah berkata
bahwa bolehkah dia menerima keripik kentang itu dari laki-laki Inggris di
depannya. Ayahnya yang tentu sudah bisa membaca setiap garis mata dan bahkan di
wajahnya pun tersenyum dan mengangguk setuju. Barulah setelah mendapat
persetujuan dari ayahnya, Rian menerima suapan keripik kentang itu.
“Terima
kasih keripik kentangnya, Pak Tua,” kata Rian setelah berhasil membongkar
ingatannya.
“Lama sekali
kau mengingatnya. Seharusnya aku memberimu rasa keju.”
“Aku tidak
suka rasa yang asin. Seperti rasa keringat busuk mu, Pak.”
“Kau tidak
harus menjilat keringatku.”
“Memang
tidak. Kau yang akan menjilatnya sendiri.”
Rian
langsung berlari dan melompat setinggi mungkin lalu sepatunya berhasil
menggapai wajah Paman Georgie hingga dia jatuh tersungkur. Cepat sekali
gerakannya. Bahkan, Georgie yang merupakan mantan pembunuh profesional karena
bekerja sebagai salah satu dari anak buah Hatachi dalam menjalani bisnisnya,
pun tidak dapat atau belum sempat membaca gerakan-gerakan liar Rian yang sudah
di luar batas. Emosi telah sepenuhnya menguasai dirinya.
“Pamaan!!”
jerit Erinda kencang. Dia bergerak membantu pamannya bangun.
“Kau mau
main cepat, huh?” tanya Erinda.
“Untuk apa
aku menunggumu dan kakek tua ini?” Rian bersiap lagi untuk melancarkan
serangannya kepada Erinda.
“Jangan
takabur, Rian. Takdirmu sudah ada di genggamanku. Mau bagaimana pun caramu
melawanku, kau akan tetap mati dengan cara yang sama seperti apa yang telah
digariskan di tembok itu!”
“Apa maksudmu?”
“Tidakkah
kau heran bagaimana aku bisa tahu nomor pisau bedebahmu itu?”
“Senyum
ramahmu beberapa hari lalu saja sudah membuatku heran.”
“Paman
Georgie, ayo bangunlah! Gadis hebat ini membutuhkan penjelasan dari seorang
sensei senior dan cryptographer handal seperti dirimu,” Erinda nampak gusar.
Peluh menetes dari tubuhnya. Rian sendiri belum mau ambil aksi apapun. Dia
masih penasaran dengan apa yang sebenarnya dimaksud oleh teman sekolahnya ini.
“Aku tidak
punya banyak waktu.”
“Jangan
banyak bicara! Sisa waktumu hanya ada di tanganku!” bantah Erinda kuat.
“Tenanglah.
Putri Fabio ini akan aku beri penjelasan sejelas-jelasnya,” Paman Georgie dengan
dibantu oleh Erinda, berusaha berdiri dan merapihkan kembali jubahnya yang terlipat
di beberapa bagian.
“Tentu kau
sudah tahu bagaimana kehebatan Hatachi Akira dalam memberikan pendidikan
layaknya seorang penjahat profesional kepada kami, bukan? Ikrar kesetiaan kami
sudah tidak hanya kami yakini dalam lisan saja. Kebaikan dan kemuliaan Hatachi
membuat semua pekerjaan jahat ini terasa indah dan menyenangkan hati bila kami
melakukannya.”
“Siapa yang
menyuruhmu berbasa-basi?”
“Oke,
tenanglah. Dari segala perbuatanmu yang seolah ingin mengambil lahan pekerjaan
malaikat pencabut nyawa, pernahkah kau merasa heran mengapa dirimu tidak
ditangkap oleh polisi?”
“Tidak.”
“Dasar anak
sombong! Ingat siapa yang memberimu sepeda motor dan berhasil menembakkan
kepala calon korbanmu dengan pistol? Dia adalah Erinda. Seseorang dengan jubah
hitam dan suara seperti robot Transformer. Alasan mengapa kami melakukan itu
padamu adalah, agar kamu bisa pergi dari kota itu dan melanjutkan hidupmu di
kota ini hingga akhirnya kamu bertemu kami. Kami juga selalu berusaha
membersihkan catatan kriminalmu dengan menyumpal perut-perut alat pemerintah
itu dengan sekarung uang. Satu-satunya alasan mengapa kami melakukan hal itu
adalah, kami ingin menunggu waktu yang tepat agar dirimu bisa mati di tangan
yang tepat pula. Kami hanya berjalan sesuai dengan ramalan dari kode yang sudah
tersedia saja. Semua terlihat jelas dan nyata. Apa yang telah kami lakukan
sudah hampir berujung pada kemenangan di pihak kami. Menurut kami, apa salahnya
berbuat baik sedikit demi kepuasan dan kemenangan di akhir cerita. Dan semua
itu sudah berjalan mulus hingga detik ini, bukan? Hahaha.”
“Tawa
iblismu membuatku ingin mencuci darah kalian dengan campuran kotoran ternak.”
“Darah kami
telah dimuliakan bersama ikrar kesetiaan kepada Ayah Hatachi dan kemuliaannya!
Jangan asal bicara, perempuan liar!” Erinda membuka omongan.
“Apa?!
Ayah??”
“Ya. Aku, Erinda
Roose Akira memang benar adalah anak kandung dari seorang mulia si perubah
kehidupan dirimu dan keluargamu, Fichie! Dan aku adalah saudara sedarahmu,
Rian! Hahaha.”
“Apa maksudmu??”
“Iya. Ibumu
yang wanita jalang itu memiliki hubungan terlarang dengan Hatachi dan
menghasilkan anak yaitu dirimu. Fabio mengira kau adalah anaknya, karena
melihat istrinya hamil saat sudah menikah dengannya. Jadi, kau juga adalah anak
Hatachi! Bahkan Hatachi sendiri tidak tahu kalau kau adalah anaknya.”
“Tidak
mungkin! Dasar kau, si pembual setan! Aku tidak mungkin memiliki hubungan darah
dengan seseorang yang mati-matian berusaha ingin membunuhku. Saudara macam apa
dirimu, hah?”
“Paman
Georgie menceritakan semuanya kepadaku. Hahaha. Dan, Hey! istri macam apa yang
tega menghianati suaminya sendiri dengan memiliki hubungan gelap dengan musuh
sekaligus rekan bisnis utama suaminya kalau bukan wanita jalang?”
“F#ck you!”
Rian meludah di hadapan mereka berdua yang kemudian mengacungkan pisau racunnya
dan bersiap ingin menusukkannya ke dalam tubuh Erinda. Amarah sudah menguasai
seluruh dirinya.
“Tahan
dirimu!” Paman Georgie berusaha menahan emosi Rian yang sudah ingin meletus.
“Aku bukan
anak orang Jepang!!!” jerit Rian histeris. Kalau itu benar, berarti dia bukan
darah daging Fabio yang selalu dibanggakannya.
“Memang itu
kenyataannya! Sifat pendendam yang tinggi adalah bukan bawaan ibumu apalagi
ayahmu. Itu adalah sifat Hatachi yang diturunkannya melalui darahmu. Kau harus
percaya itu, Rian. Aku mengetahui semuanya!” jelas Paman Georgie.
“AARGGH!”
“Tenangkan
dirimu, Nak! Bahkan kau belum mendapatkan penjelasan dari kode itu!”
“Jelaskan
sekarang juga, Pak Tua. Sebelum keponakanmu ini menemui ajalnya.”
“Kode itu
adalah ramalan kematian si pemegang pisaunya. Pengukir kode adalah orang Jepang
terkutuk yang beralih aliran hingga menjadi pengikut sekte aliran setan. Penciptaan
jenis-jenis huruf pada sebuah mesin canggih bernama komputer, bahkan peradaban
pada abad 19 hingga 20 bahkan sudah bisa dibacanya. Dan untuk kami para
cryptographer, ini adalah pemecahan kode yang cukup mudah. Kau hanya perlu
mengubah kode ‘H’ ke dalam bentuk huruf Webdings dan yang lainnya ke dalam
bentuk Wingdings. Kemudian yang kau dapatkan adalah ..” Paman Georgie
menghentikan perkataannya. Dia membiarkan Erinda yang beraksi kemudian.
Erinda
membuka jubahnya, lalu menunjukkan sesuatu yang membuat Rian sebagai manusia
normal cukup merinding. Di balik jubahnya, telah dibuat beberapa gambar yang
sederhana tapi menakutkan. Gambar-gambar itu adalah HA=
RN.
Dan kesemua gambar itu tentu memiliki makna yang tidak main-main. Kalau benar
gambar-gambar itu adalah takdir kematian Rian, sangat mengesankan sekali
siapapun yang telah membuat kode-kode itu.
“Apa
maksudnya?” Rian tidak sabar untuk menanyakan hal ini sedari tadi.
“Huruf
‘H’ ketika diubah ke dalam bentuk Webdings akan muncul gambar rumah. Dan, kau
bisa lihat ini tempat apa? Rumah bukan? Hahaha,” Erinda tidak tahan untuk
menunjukkan kepuasannya yang mungkin sudah tertahan sejak lama.
“Lanjutkan,
anakku.”
“Baiklah.
Kemudian beralih kepada huruf ‘A’. Apabila huruf itu diubah ke dalam jenis
huruf Wingdings, akan muncul bentuk jari yang menunjukkan angka dua. Dan,
siapakah pemain inti dari pertarungan kita malam ini, Rian? Aku dan kamu,
bukan? Berarti, dapatkah kau simpulkan selanjutnya?”
“Lanjutkan!”
Rian membentak Erinda yang sudah memunculkan wajah kepuasan serta senyum
mengerikan dari dalam dirinya.
“Tanda
sama dengan dan huruf ‘R’ bisa dibiarkan saja. Lalu, ubah huruf ‘N’ ke dalam
jenis huruf Wingdings dan kau akan dapatkan gambar ini, tengkorak! Hahaha! Dan
itu semua artinya adalah, di dalam sebuah rumah akan ada pertarungan dua orang
yang menghasilkan kematian seseorang yang diawali dengan huruf R! Dan itu tepat
sekali, karena si empunya pisau adalah seorang gadis yatim piatu dengan nama Rianti
Ananda Fichie. Hahaha! Aku sudah lama menunggu saat-saat ini, Rian! Saat di
mana aku bisa lihat semua ketakutan itu nampak jelas di dalam matamu, saat di
mana aku bisa lihat orang yang paling banyak temannya di sekolah menjadi
seorang yang sendirian tanpa kawan, orang yang memiliki suara indah dan selalu
membuatku iri, bahkan saat kau bermain dengan sepeda roda tiga barumu itu! Ini
adalah waktu yang tepat, Rian! Waktu yang tepat! Karena apapun percobaan
perlakuan darimu, kau tetap akan mati dengan cara yang sama! Hahaha. Katakan
padaku, apa pesan terakhirmu!”
“Kau
yang akan menjilat leleran darahmu sendiri, Roose.”
“Terserah.”
Kembali,
pertarungan antara kedua gadis yang masing-masing berpegang sebilah pisau racun
penuh misteri beradu dengan ketegangan level siaga. Bukan pertarungan biasa,
melainkan pertarungan sedarah. Pertarungan kali ini jelas lebih panas dari yang
sebelumnya, karena masing-masing saling ingin membuktikan kebenaran. Erinda
yang mungkin dilahirkan di dukun dan ASI pertamanya merupakan hasil dari
pengolahan ajaib ramuan kembang tujuh rupa, sangat percaya akan ramalan benda
purbakala beracun itu. Sekuat tenaga dia ingin membuktikan kepada Rian bahwa
ramalan itu adalah benar. Sedangkan Rian sendiri, ingin membuktikan pesan
terakhirnya tadi bahwa Erinda Roose benar-benar akan menjilat leleran darahnya
sendiri. Dia ingin mengubur hidup-hidup semua visi dan rencana keberhasilannya
tepat di depan mata Erinda sendiri. Dia tidak mau melewatkan sedikit saja
kesempatan atau celah untuk menembus pertahanan Erinda yang semakin kuat.
Paman
Georgie sama sekali tidak membantu kemenakannya. Dia hanya duduk bersila dari
kejauhan tetapi tetap dalam ruangan yang sama, dengan tangan berada di atas
pahanya seperti orang bertapa. Matanya terpejam. Sepertinya dia berusaha ingin
mengoneksikan alam bawah sadarnya dengan tenaga Erinda yang sudah jatuh bangun.
Bantuan magis mungkin.
“AAAARGGH!”
Rian menjerit kesakitan saat dirinya terdorong ke belakang hingga menabrak
tembok ketika merasakan ulu hatinya ditendang oleh kaki kiri Erinda yang
menggunakan sepatu berhak tinggi dengan warna merah menyalanya.
Dendam
yang sama yang dirasakan Erinda, membuat dirinya berhasil dikendalikan oleh
prajurit setan. Rian tidak tahu berapa lama Erinda mempersiapkan ini semua.
Yang jelas, semua persiapannya benar-benar matang. Hanya berselang waktu satu
hari, Erinda berhasil menyembuhkan luka-luka hasil pertarungan pertamanya
dengan Rian, serta berhasil menguasai ilmu-ilmu bela diri yang baru hingga
membuat Rian kewalahan. Darah yang keluar dari kepala dan hidung Erinda cukup
banyak, tapi tetap kalah banyak dengan darah segar milik Rian. Wajahnya sudah
babak belur seperti habis menjadi korban kecelakaan beruntun. Secercah bayangan
hitam kematian sempat singgah di bayang-bayang kepala Rian saat serangan Erinda
tidak dapat dikembalikan dengan baik olehnya. Dia berusaha menyangkalnya sekuat
tenaga, tetapi tetap tidak bisa. Bahkan kepercayaannya akan ramalan pada pisau
itu sedikit naik level dari sebelumnya.
“Kau
cantik, Rian. Tapi aku lah yang paling cantik. Kau hebat, Rian. Tapi aku tetap yang
paling hebat. Lihat dirimu sekarang, kau baru saja kehilangan kecantikanmu.
Darah segar itu menyapu semuanya, Rian.”
“Aku
t-tidak a-kk-akan memb-bbiarkan apapun terjadi p-ppadaku!” kata Rian di
tengah-tengah saat sekaratnya.
“Bagaimana
mungkin? Haha. Begini saja, aku berikanmu dua penawaran. Penawaran pertama
adalah kau akan aku beri kesempatan lebih lama untuk merasakan aroma dunia,
tetapi sambil merasakan racun pisaumu sendiri mengalir di dalam darahmu. Kita
bisa sambil berbincang-bincang, kawan. Hahaha,” tawanya disertai dengan injakan
yang keras pada tangan kiri Rian yang sudah lunglai.
“AAARGH!”
raung Rian yang sangat keras. Darah sudah mengalir deras di beberapa bagian
tubuhnya yang sudah terluka.
“Yang
kedua adalah ikuti takdirmu dan kau akan mati dengan cara yang cepat dan lebih
mudah. Selesai, kan?”
“Riaan! Sudahi dulu
main sepedanya. Ajak Mercy kemari sekalian. Lihat apa yang Ayah punya, Nak,”
Fabio memanggil kedua putrinya.
“Mercy, kata Ayah kita
harus kesana. Sepedanya ditinggal di sini saja. Nanti aku yang ambil.”
“Oke, Kak,” Mercy
tersenyum. Giginya yang ompong karena terlalu banyak makan coklat dan permen
terlihat dengan jelas.
Mereka berdua berjalan
bertuntunan satu sama lain. Anak-anak berumur lima dan tiga tahun itu sangat
terlihat bahagia. Tidak ada sedikitpun nampak raut kekhawatiran di setiap garis
wajahnya. Di depan mereka, seorang ayah bernama Fabio sudah menunggu kehadiran
dua bidadarinya dengan senyum lebar, melebihi senyum seorang tukang es krim
yang meraih kepuasan karena baru saja selesai memberikan es krim vanilla
cokelat kepada pelanggannya.
“Ayah, memang apa yang
ayah punya?” tanya Rian penasaran.
“Coba kalian lihat ini,”
Fabio berjongkok. Di depan kedua kakinya, ada sesuatu yang berbentuk persegi
panjang berwarna coklat di atas tanah. Panjangnya tidak lebih dari satu meter
saja. Tingginya hanya sekitar enam centimeter. Bentuknya sedikit bertingkat.
Ada lubang berbentuk persegi di bagian depan. Di dalam lubang itu ada kait besi
yang mungkin akan digunakan sebagai pegangan.
“Apa itu, Yah?” tanya
Mercy.
“Pertanyaan yang bagus,
Mercy. Sekarang, kalian harus memekai seperti yang ayah kenakan. Pakai mantel,
sarung tangan, dan topi ini dulu sebelum mengetahuinya,” Rian dan adiknya
menuruti perintah ayahnya yang memberikan mereka seperangkat baju dingin.
Berbagai pertanyaan mungkin sudah berhasil dikumpulkan di kepala mereka.
“Sudah, Yah.”
“Sekarang, berhitung
satu sampai tiga dan kalian akan segera mengetahuinya. Dan ayah minta, Rian
yang memimpin.”
“Sampai tiga, Yah?”
tanya Rian.
“Iya, sayang.”
“Tapi aku sudah bisa
berhitung sampai seratus,” wajah Rian terlihat kecewa. Fabio hanya tersenyum
hangat, lalu memegang kedua pipi merah anak sulungnya itu.
“Maafkan ayah, Rian.
Tapi, kamu tidak keberatan kan kalau ayah minta kamu berhitung sampai tiga
saja? Kasihan, Mercy sudah benar-benar penasaran,” Fabio memberi pengertian.
“Baiklah,” Rian
tersenyum manis.
“Oke, aku akan mulai
berhitung. Satu-dua-tiga ..”
Fabio meraih kait besi
yang ada pada benda itu dan mendorongnya keatas. Terbuka. Rupanya, benda itu
adalah pintu rahasia ke bawah tanah. Decak kagum segera bergaung dari mulut
Rian dan Mercy. Mereka tidak menyangka, ternyata di halaman belakang rumahnya
ada sebuah pintu rahasia seperti dalam film yang sering mereka tonton.
“Pintunya kereeeeen!
Pinjam dari Doraemon ya, Yah?” tanya polos keluar dari mulut Rian.
“Bisa dibilang begitu,”
Fabio tersenyum.
“Nah, sekarang yang
paling kecil masuk duluan. Kemudian disusul dengan Rian dan ayah di paling
belakang. Rian dan Ayah harus menjaga Mercy dari belakang. Dan Ayah menjaga
kalian berdua. Ayo, lakukan.”
Dengan raut wajah
bersemangat, Mercy melangkahkan kakinya pelan-pelan masuk ke dalam pintu itu.
Kaki kecilnya menuruni satu per satu anak tangga untuk menuju ke bawah. Di
hadapan mereka, ada tembok panjang yang menjulur ke bawah. Tembok itu dilapisi
sesuatu yang berwarna coklat. Sepertinya peran tembok itu adalah untuk
menyembunyikan apa yang ada di hadapan para pendatangnya. Rian melongoh ke
bawah anak tangga. Tembok itu akan berakhir pada anak tangga ke empat dari
bawah. Dan benar saja, suhu dingin segera mencuat keluar menyambut kehadiran
mereka. Sebuah termometer di dinding di samping tangga menunjukkan angka 5̊ C.
Suhu yang sangat pas untuk membekukan sebuah ...
“COKLAT!!” Mercy dan
Rian berteriak bersamaan ketika sudah selesai berhadapan dengan tembok aneh dan
di hadapan mereka kini ada lemari besar penuh coklat. Bahkan sepertinya lemari
itu juga terbuat dari coklat yang sangat menggugah selera.
Keduanya segera berlari
menghampiri lemari yang sudah terbuka lebar itu. Aroma coklat dari berbagai
rasa dan jenis coklat bisa mereka nikmati. Rian dan Mercy bahkan bingung harus
memulai dari mana. Semua ruangan berisi coklat. Ruang bawah tanah yang disulap
menjadi surga coklat untuk kedua bidadari Fabio. Rian dan Mercy juga bahkan
baru mengetahui kalau benda yang mereka kira tembok pada awalnya ternyata
merupakan lemari coklat juga. Luar biasa.
“Aku ketemu es krim
coklat!!”
“Di mana, Kak??”
“Di sini! Ayo, kemari!”
Tanpa aba-aba dari sang
ayah, anak-anak tanpa dosa itu segera berlarian di dalam lemari es super besar
itu. Mereka menjelajah segala sudut demi bisa menemukan apa yang mereka
inginkan. Fabio tersenyum puas melihat kegembiraan anak-anaknya itu.
“Kalian lihat keranjang
besar yang di sana?” Fabio menunjuk ke arah tumpukan keranjang berwarna fuchsia
yang sangat manis, seperti selai arbei yang dicampur dengan buah pumpkin. Luar
biasa menggoda warnanya. Anak-anak Fabio mengangguk paham.
“Masing-masing ambil
satu keranjang. Lalu, isi keranjang kalian dengan coklat sebanyak yang kalian
inginkan lalu bawa naik ke atas. Kita bisa makan bersama di taman. Ayah ingin
merasakan hangat sinar matahari sore ini. Lagipula, berlama-lama di sini tidak
baik. Nanti kalian bisa terkena hipotermia, loh. Terlebih kalau kalian melepas
pakaian dingin kalian.”
“Apa itu hipotermia,
yah?” tanya Rian.
“Nanti ayah jelaskan di
atas. Ayo, ambil coklatnya, kawan-kawan! Mercy, keranjang khusus untukmu ada di
sana.”
“Kok lebih kecil, Yah?”
Mercy dengan wajah murungnya.
“Mau gigimu habis, anak
cantik?”
“Ah, baiklah.”
“Coklat
..” kata Rian dengan suara yang sangat pelan dan lemah. Dia membuka matanya
yang sembab. Ternyata dia baru saja bermimpi. Dia fikir, dia telah keluar dari
kubangan yang rumit ini tapi ternyata belum. Erinda masih dengan gagah di
depannya, menunggu Rian terbangun dari pingsan sesaatnya sambil memegang kamera
digital. Gadis itu mungkin sudah kehilangan kewarasannya. Gambar-gambar Rian
yang sudah hampir mendekati titik akhirnya diabadikan di dalam kamera hingga
Rian terbangun.
“Apa
katamu? Coklat? Kau mau coklat? Rasakan nanti kalau kau sudah di surga!” tanpa
aba-aba tangan kanan Erinda yang masih menggengam pisaunya dengan sangat kuat
dengan urat-urat tangan yang kembali timbul keluar, mengacungkannya
tinggi-tinggi dan siap di daratkan pada perut Rian yang sudah terkapar.
“AGH!” Erinda menjerit. terdengar dua kali letusan tembakan. Darah
segar mengalir deras dari dalam kepala Erinda dan perutnya. Dari bayang-bayang
kabur yang diperoleh Rian, dia mendapatkan Erinda dengan mata terbuka dan mulut
sedikit menganga terjatuh dan terkapar di atas lantai. Pisaunya terjatuh, dan
tidak sengaja menggores lengannya. Hanya berselang beberapa detik saja dari sumber
goresan, pisau yang sudah diasah itu membuat luka goresan menjadi bukan hanya
sekedar luka biasa, melainkan mengeluarkan nanah serta darah yang biasa Rian
lihat sehabis menyayat kulit korbannya.
“HAH?! Siapa kamu?? Lancang sekali membunuh kemenakanku dan
mengacaukan semua takdir ini!!” saut Paman Georgie yang kaget bukan main saat
melihat Erinda sudah tidak bernyawa lagi.
“Aku Dilan. Pembunuh yang sudah hampir mati itu biar saja mati di
tanganku. Tangan anak dari seorang ayah yang telah dibunuhnya, tangan dari
seorang kekasihku dan sahabatnya. Biarkan dia merasakan perihnya kematian
secara perlahan, Pak.”
“Apa?? Tidak! Ini tidak mungkin!! Takdir yang telah diukirkan di
sini tidak mungkin salah!”
“Kau lahir di dukun ya, Pak Tua? Wajahmu Kaukasoid, tapi fikiranmu
primitif!” tandas Dilan.
“Diam kau!! Aku tidak mengenalmu!” bentak Paman Georgie pada
Dilan.
Terseok-seok, Paman Georgie menghampiri tubuh kaku kemenakannya.
Dia tidak menyangka kalau ilmu yang sudah diberikan kepada kemenakannya hanya
akan berakhir sampai di sini saja. Kemenangan bukan berada di tangan mereka
sekarang.
“Ini tidak mungkin. Pasti ada kesalahan di sini. Aku pasti salah
membaca kodenya! Aku berdosa..”
Rian merayap perlahan mendekati tubuh Erinda. Tangannya bergerak
menutup mata Erinda yang masih terbuka. Matanya yang sudah memar menatap wajah
tak bernyawa itu lagi. Dia, saudara sedarah Rian. Dia yang berjuang ingin
menghabisi nyawanya. Erinda dan Rian adalah saudara sedarah. Gadis dengan
boneka Barbie yang sering main ke rumahnya dulu. Gadis yang selalu berada di
pangkuan Hatachi, anak kesayangan Hatachi. Gadis yang membelikannya kaos
Pantera yang menawan. Rian juga sama sekali tidak menyangka kalau mendiang
ibunya tega menghianati cinta Fabio demi seorang Jepang seperti Hatachi.
Dia masih bisa mengingat bagaimana pertama kali mereka bertemu
saat Rian belum tahu kalau Erinda adalah anak biologis dari Hatachi, musuh
dalam selimut ayahnya. Saat itu, mereka bertemu dalam satu kelompok MOS pada
saat masuk sekolah. Mereka berdua, bersama empat orang anak lain merupakan anak
baru yang masuk ke sekolah itu pada tahun ajaran baru. Rian pindah dari sekolah
lamanya karena menang berantem dengan teman sekelasnya yang merupakan musuh
dari Nadia, sahabatnya. Dan alasan lain mengapa Rian ingin pindah satu sekolah
dengan Nadia adalah karena dia ingin menjaga sahabatnya itu. Ada Dilan juga di
sana. Setidaknya, itu bisa meringankan bebannya.
Dari awal Rian melihatnya, Erinda memang memiliki senyum paling
ramah sedunia setelah ibunya. Dia bahkan bisa menyembunyikan segalanya di balik
hangat senyumnya dan binar matanya yang bersahabat, bahkan dendam sekalipun.
Erinda selalu ramah terhadap siapa saja. Petugas sekolah, ibu dan bapak kantin,
teman sekelas, tukang kebun, satpam, guru, pedagang siomay, pedagang bakso dan
mi ayam, penjual mainan anak-anak, semuanya. Rian sama sekali tidak menyangka
kalau sifat jahat dan munfaik ayahnya –yang ternyata juga ayah biologis
dirinya–, sepenuhnya bisa diturunkan kepada dirinya. Dan dia yang baru saja
meninggal, bahkan ketika Rian baru saja mengetahui kalau orang yang sedarah
dengannya ternyata masih tersisa. Dia sempat membayangkan kalau rasa dendam itu
tidak hadir –saat para iblis belum sempat menyambangi jiwa muda mereka– mereka
berdua pasti bisa menjadi saudara sedarah yang mengasyikkan. Mereka muda,
cantik, cerdas, dan tangguh. Tidak akan ada adu pisau ataupun kode-kode bodoh. Satu
lagi kenyataan yang menyakitkan.
Rian memegang tangannya yang lunglai karena diinjak Erinda. Dia
berusaha bertahan meskipun sakit. Dilan bilang, dia akan membunuhnya. Rian
tidak mungkin melawan sahabatnya sendiri, terlebih dengan kondisinya yang
seperti ini. Apalagi Dilan memiliki pistol. Ini bukan saat yang tepat.
Dilan yang masih berkeringat dan tangannya bergetar karena baru
kali pertama membunuh seorang makhluk hidup yang dikenalnya hanya sebatas teman
sekolah saja. Dia masih terpaku melihat besi panas itu berhasil menembus kepala
dan perut Erinda. Tekatnya yang kuat perlahan mulai terkikir oleh rasa takut
yang menggembung di dalam dirinya. Emosi untuk kembali melakukan pembunuhan
mulai berkurang. Dia merasa, dia tidak dilahirkan untuk mengambil jatah
pekerjaan malaikat maut. Semua berlangsung di luar rencana. Kematian ayahnya
dan Nadia adalah suatu hal yang tidak diduga. Penyakit yang dideritanya juga
bukan merupakan keinginan semata. Dia menarik nafas panjang, berusaha
mengontrol emosi dan detak jantungnya yang memburu. Rian mengambil kesempatan
itu untuk bangun dan berjalan perlahan untuk melarikan diri.
Anehnya, Paman Georgie tidak terlihat terlalu sedih atas kematian
kemenakannya. Tarikan nafas panjangnya, seolah menandakan ada rasa lega atas
apa yang baru saja dilepasnya. Lega atas apa? Kematian Erinda? Yang benar
saja?!
CHAPTER
31
“Gasper”
Entah sudah pukul
berapa malam itu. Yang jelas, pasti sudah lewat tengah malam. Berarti ini sudah
pagi. Angin malam menjelang pagi bukan angin biasa. Rasanya sangat tajam
menusuk kulit hingga ke tulang siapapun yang ditemuinya. Ini adalah waktu
kekuasaan mereka, di mana saat setiap insan sedang beradu dengan kasur mereka
yang empuk, bagi mereka yang alim tentu rajin melaksanakan ibadah malamnya,
bagi para pekerja kantor mungkin masih berkutat dengan laptop dan kertas-kertas
di atas mejanya, atau pekerja malam yang tidak mau kalah menguasai waktu malam.
Malam ..
Lalu, bagaimana dengan nasib pembunuh yang sudah hampir dibunuh
dan sedang mengalami masa sekaratnya? Ya, Rian. Dia berjalan perlahan, berusaha
lari dari Dilan. Kakinya terseok-seok di atas kerasnya aspal yang sudah tidak
lagi panas. Lapar sudah tidak dapat lagi dirasakannya. Hanya rasa haus yang
luar biasa yang terasa di tenggorokannya. Dia bahkan sempat menjilat air
matanya sendiri saat mengalir melewati bibirnya.
Air mata itu mengalir melewati darah yang sudah mengering di atas
kulit mulus pipinya. Tidak tahu apa yang ditangisinya. Mungkin masalah nasib
dan takdir. Hatinya terasa benar-benar teriris melihat kematian Erinda tepat di
hadapannya, kematian orang yang hampir menghabisi nyawanya. Ini tidak lazim. Disaat
dia baru saja mengetahui bahwa ternyata masih ada di dunia ini keluarga yang
bisa dijadikan tempatnya untuk berbagi, dan di saat itu pula sang keluarga yang
tersisa mati-matian ingin membunuhnya.
Bagaimana mungkin seseorang berhati besi bisa meleleh seperti
coklat saat melihat orang yang ingin menarik paksa nyawanya mati di tempat?
Rian bersenandung. Bibir mungilnya tidak lagi bisa bernyanyi.
Bibir mungilnya sudah terluka dan darah kering menghiasinya. Rian bersenandung
lagu masa kecilnya. Sebuah lagu klasik milik Johnny Mercer dan Henry Mancini di
tahun 1961 berjudul Moon River yang banyak diaransemen ulang. Salah satu yang
difavoritkannya adalah Moon River versi Danni Carlos. Sangat jazzy menurutnya. Ibunya suka
menyanyikan lagu ini kepadanya saat menggendongnya dulu. Atau saat Rian sakit
dan badannya sedikit panas. Hangat sekali rasanya. Kali ini, dia berusaha
menghibur dirinya sendiri, melawan arah arus angin malam pergi menuju tempat
yang tadi dimimpikannya. Berusha menghangatkan tubuhnya sendiri walaupun dia
sendiri tidak sepenuhnya yakin.
Moon River ...
Moon river wider than a mile
I'm crossing you in style someday
You dream maker, you heartbreaker
Wherever you're going I'm going your way
Two drifters off to see the world
There's such a lot of world to see
We're after the same rainbow's end
Waiting 'round the bend
My huckleberry friend, moon river and me
I'm crossing you in style someday
You dream maker, you heartbreaker
Wherever you're going I'm going your way
Two drifters off to see the world
There's such a lot of world to see
We're after the same rainbow's end
Waiting 'round the bend
My huckleberry friend, moon river and me
(Moon river, wider than a mile)
(I'm crossin' you in style some day)
Oh dream maker, you heart breaker
Whereever you're going, I'm going your way
Two drifters off to see the world
There's such a lot of world to see
We're after the same rainbow's end,
Waiting 'round the bend
My huckleberry friend, moon river, and me
(Moon river, moon river)
Taman yang masih lumayan terurus –tidak sepenuhnya terurus karena
ada beberapa bagian yang tidak terurus di sana– di hadapan Rian sekarang. Kakinya
ternyata masih bisa diajak berkompromi untuk menapak hingga ke sana. Lokasi
taman itu memang tidak jauh dari bekas kantor Fabio. Taman itu adalah milik
keluarga Fichie. Taman yang di sekelilingnya tertancap berbagai macam jenis
palm, lalu beberapa pohon besar dengan anggrek yang hinggap di dekatnya. Rumput
Australia menjadi alas kaki bagi setiap pengunjungnya. Ada lampu-lampu taman di
sekitarnya, walau ada beberapa yang sudah pecah. Kondisi taman sudah tidak
secantik dulu. Daun-daun kering tidak kalah banyak dengan dedaunan kering di
atas teras bekas kantor Fabio tadi. Walaupun milik pribadi, tapi taman itu di
khususkan untuk umum juga.
Di ujung taman terdapat rumah kecil berukuran sekitar 5 x 7 meter.
Rumah itu adalah milik salah satu karyawan Fabio yang sengaja dipekerjakan
untuk mengurusi taman keluarganya. Seingat Rian, ada sebuah keluarga kecil di
dalamnya. Seorang ayah yang berumur lebih kurang 48 tahun’an dan ibu yang lima
tahun lebih muda dari suaminya, juga sepasang anak kembar laki-laki dan perempuan
yang masih bersekolah dasar. Rian tidak yakin apakah sepeninggal Fabio, seluruh
keluarga itu masih mengabdi di sini dan tinggal di rumah itu walaupun tidak ada
yang menggaji. Tapi, ada keinginan lain yang tertidur di dalam tengkorak
kepalanya yang membuat dia ingin berada di tempat itu.
“Permisi,” suara Rian yang sudah parau mengiringi setiap ketukan
pintu.
“Permisi,” kata-kata yang sama diucapkannya beberapa kali. Ini
sama saja membangunkan orang di malam hari.
“Siapa, ya?” tanya seorang perempuan dari dalam rumah dengan suara
yang sedikit berat. Baru bangun tidur mungkin. Rian tidak menjawab pertanyaan
wanita itu. Dia bisa merasakan langkah kaki perempuan itu mendekat pintu.
“Tunggu sebentar,” tangannya mulai menggapai gagang pintu, membuka
kunci, lalu membuka pintunya.
Wanita berbaju daster dengan motif batik berwarna biru itu menatap
tamu tak diundangnya beberapa kali. Sesekali dia mengucek matanya, demi
meyakinkan apakah benar orang yang dia lihat ini.
“Ibu Darti ..”
“Mbak Rian?? Benarkah ini Mbak Rian??” tanya ibu Darti keheranan.
Ternyata dengan wajah babak belurnya, kecantikan Rian masih bisa dikenali
orang. Lagi-lagi Rian tidak menjawab pertanyaan Ibu Darti.
“Pak! Bapak! Lihat ini, ada Mbak Rian datang! Tolong bantu dia
masuk, Pak! Kasihan dia kedinginan di luar!” jerit Ibu Darti dengan aksen
Jawanya.
“Siapa, Bu? Mbak Rian??”
“Iya, Pak! Ayo kemari, bantu ibu!”
Langkah Pak Sudarman yang akrab dipanggil dengan Pak Darman bisa
terdengar dari luar. Langkahnya menandakan bahwa dia sedang terburu-buru.
“Gusti Allah! Mbak Rian?? Kenapa keadaan Mbak seperti ini? Ayo,
bapak bantu masuk. Ibu, tolong masak air hangat untuk bersihkan luka-luka Mbak
Rian!” perintah Pak Darman kepada istrinya.
“Tidak usah, Pak. Saya hanya ingin minta kunci lemari saja.
Kuncinya ada di bapak, kan?” tanya Rian dengan suaranya yang kian melemas.
“Ada, Mbak. Bapak masih menyimpan dan menjaga kunci itu dari
orang-orang Hatachi. Kami mencari Mbak Rian selama ini. Kami tau ini semua
sangat berat untuk Mbak Rian menjalaninya sendirian. Kami ingin ..”
“Saya sedang dikejar-kejar dengan orang yang ternyata ingin
membunuh saya. Mana kuncinya, Pak?” Rian memotong omongan Pak Darman.
“Hah? Membunuh Mbak?? Maksudnya? Memang Mbak Rian salah apa??”
“Cerita yang panjang, Pak. Mana kuncinya?”
“Mbak Rian ndak mau
masuk dulu? Pasti Mbak Rian lapar, kan? Kita bisa makan di dalam.
Alhamdulillah, Bapak sudah dapat pekerjaan baru, Mbak. Kami akan sangat senang
apabila Mbak Rian mau masuk dan mencicipi hasil tetesan keringat Bapak,” Ibu
Darti memberikan penawaran yang sangat dibutuhkan oleh Rian sebenarnya.
“Benar sekali, Mbak. Kita juga bisa mengobati luka-luka Mbak Rian
dulu,” lanjut Pak Darman.
“Saya hanya butuh kuncinya, Pak. Saya tidak mau merepotkan
keluarga Bapak.”
“Uhh, baiklah kalau Mbak Rian memaksa. Mbak Rian bisa menunggu di
dalam sambil Bapak ambilkan kuncinya.”
“Tidak, terima kasih.”
Pak Darman dan Ibu Darti saling melirik penuh arti. Mereka
benar-benar ingin membawa Rian masuk ke dalam, memberinya makan, mengobat
luka-lukanya, memberinya pakaian yang lebih layak, dan hal-hal positif lain
yang dijamin Rian pasti membutuhkannya. Mereka ingin dalam seumur hidup mereka,
membalas jasa anak dari seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap
kehidupan keluarga Pak Darman sepenuhnya sebelum kepala keluarga hebat itu
diambil nyawanya oleh Tuhan.
“Baiklah kalau begitu. Tunggu sebentar, ya Mbak,”
Rian menyandarkan tubuhnya yang semakin kurus pada dinding rumah
Pak Darman. Matanya terpejam, mungkin sudah tidak kuat menahan angin malam yang
menghempas dirinya yang sekarat, atau mungkin tidak mau melihat taman indah di
hadapannya karena takut kembali mengingat saat-saat dia dan Mercy bermain di
sana. Kembali, air mata itu mengalir. Perlahan-lahan dan semakin deras. Terlalu
deras hingga dia bisa mendengar suara isak tangisnya sendiri. Ini lemah. Rian
tidak suka kata-kata itu. Menangis hanya untuk orang lemah. Tidur pun begitu
menurutnya. Rian membuka matanya. Tangannya yang masih kuat digunakan untuk
menghapus air matanya itu, karena semakin banyak dia menangis, semakin perih
luka yang akan dirasakannya. Dan ini semua sudah cukup baginya. Pembalasan
dendam yang berujung pada kesengsaraan.
Ya. Ketika pembalasan dendam ambil bagian dalam permainan
kehidupan ..
“Mbak Rian kenapa menangis?” suara seorang anak kecil tidak berdosa
menyapanya dari balik pintu. Mungkin dia anak Pak Darman yang terbangun dari
tidurnya. Rian tidak menjawab pertanyaan bocah itu. Dia hanya tersenyum simpul.
Dia tidak yakin apakah anak kecil itu bisa melihat senyumnya yang dingin atau
tidak, setelah semua luka itu menempel di wajahnya dan penerangan pada teras
yang kurang memadai.
“Senyum milik Mbak Rian memang senyum paling manis yang pernah
Nanda lihat,” kata anak itu polos.
Nanda adalah anak kembar perempuan milik pasangan Pak Darman dan
Ibu Darti. Nanda memiliki adik laki-laki yang lahir pada saat yang bersamaan
dengannya, namanya Nathan. Dari dulu, Rian selalu tahu kalau mereka adalah
anak-anak yang selalu bahagia. Walaupun dengan kehidupan keluarga yang
sederhana, Nanda dan Nathan tidak pernah melupakan untuk memberi hiburan, atau
hanya sekedar senyuman untuk orang-orang di sekelilingnya. Bahkan saat Nathan
baru berumur 2 tahun, dengan lafal bicaranya yang masih terbata-bata, dia sudah
bisa berkata “Tersenyumlah, Kak. Senyum simpul saja sudah cukup, kok. Memangnya berat bersedekah untuk
diri sendiri?” ketika Mercy mendapat nilai buruk pada Bahasa Jepang. Didikan
dan keadaan sejak kecil, membuat mereka menjadi anak-anak kecil yang dewasa.
Bukan berarti dewasa belum waktunya atau bahkan tidak bisa menghabisi masa
kanak-kanak seperti anak lazimnya. Tapi, itu lebih baik daripada sudah dewasa tapi
masih berfikiran kekanak-kanakan, bukan?
Rian tidak bisa menutupi rasa senangnya dipuji oleh seorang gadis
kecil berumur enam tahun yang seperti sudah lama sekali tidak dijumpainya.
Nanda benar-benar mengingatkan Rian pada Mercy, walaupun umur keduanya jauh
berbeda. Tidak ada yang bisa menolak kehadiran rasa cinta, rindu, kagum, sedih,
bosan, senang, bingung, gelisah, curiga, dan khawatir di dalam diri setiap
insan-Nya. Dan kali ini, rasa cinta, rindu, dan kagum berpadu jadi satu di
dalam diri Rian kepada seorang anak kecil di depannya. Rian sama sekali bukan
tipe gadis yang gila dan mudah terlena akan pujian. Tetapi, ucapan polos dari
seorang anak kecil yang jarang sekali berbohong adalah keindahan tersendiri
untuk dirinya. Rian tersenyum lagi. Mungkin lebih lebar dari sebelumnya.
“Kok, kamu sudah bangun?” tanya Rian.
“Nanda terbangun karena mendengar isak tangis Mbak Rian. Hehe.”
“Ya, ampun. Maafkan Mbak, ya. Nanti Mbak kasih kamu coklat. Mau?”
“Mau! Mau! Terima kasih, Mbak Rian!” seru Nanda. Dia tidak
terlihat seperti anak yang baru bangun tidur. Hebat.
“Nanda, kok sudah bangun toh, nduk?”
tanya Ibu Darti pada Nanda saat kembali dari dalam rumahnya, dan melihat Nanda
sudah berdiri di depan pintu dan terlihat begitu senang.
“Nanda mau temani Mbak Rian di luar, Bu,” kata Nanda sambil
bergerak memeluk pinggang ibunya.
“Wooh, temani? Wong kamu
besok sekolah, toh. Kalau bangun malam-malam, besok pagi nanti telat. Yo wis, kamu masuk lagi ke dalam sana,
lalu tidur. Nanti Ibu menyusul,” suruh Ibu Darti sambil mengelus-elus rambut
ikal anaknya. Nanda masih tidak bergerak. Dia semakin aleman pada ibunya. Matanya
melirik ke arah Rian penuh arti. Rian mengerti maksud itu.
“Nanda, kamu tidur aja dulu. Nanti, Mbak titip coklatnya dengan
Ibu. Sekalian juga coklat untuk Nathan. Gimana?” kata Rian memberikan sebuah
penawaran yang sepertinya sudah ditunggu oleh Nanda.
“Hehe. Terima kasih, Mbak. Yasudah, aku masuk dulu. Selamat malam,
Mbak Rian.”
“Selamat Pagi,” jawab Rian membenarkan.
Jelas saja ini sudah pagi. Pukul satu pagi. Jawaban Rian nampak
membingungkan untuk Nanda. Ilmu yang dimilikinya belum sampai pada titik di
mana pengetahuan mengenai kapan waktu pagi dan kapan waktu malam. Yang diketahuinya
hanyalah, apabila gelap dan ada bulan juga bintang berarti malam. Sedangkan,
jika terang dan ada matahari itu pagi atau siang. Lucu memang. Tapi itulah
jalan fikir seorang bocah polos. Nanda sendiri hanya menampakkan wajah
kebingungannya tanpa bertanya apapun. Mungkin rasa kantuk yang memenangkan
kebingungan itu sudah kembali menyerangnya.
“Hehe. Maaf, si Nanda merepotkan Mbak-nya,” kata Ibu Darti meminta
maaf.
“Tidak apa-apa, Bu. Boleh saya minta kuncinya sekarang?” pinta
Rian lagi.
“Ini, sekalian baju dinginnya. Semoga masih muat di badan Mbak,”
kata Ibu Darti sambil memberikan satu kotak yang lumayan besar yang berisi baju
dingin miliknya.
“Bawa masuk kembali baju dinginnya, Bu. Saya mau kuncinya saja.”
“Tapi, Mbak ..”
“Ini kuncinya, Bu? Terima kasih. Sekarang Ibu bisa ikut saya ke
lemari. Ada yang mau saya titipkan untuk Nanda dan Nathan.”
“Aduh, Mbaknya ndak usah
repot-repot. Nanda sama Nathan memang begitu. Suka latah kalau mau sesuatu.
Nanti juga ndak dimakan dengan
mereka, Mbak. Mubazir.”
“Tapi saya sudah janji dengan mereka, Bu. Ayo, Ibu ikut saya,”
Rian menggapai tangan Ibu Darti. Ibu Darti sempat langsung terhentak kaget
karena merasa tangan Rian sudah dingin sekali, seperti tangan mayat. Tapi, rasa
takut Ibu Darti mengalahkan rasa ingin tahunya untuk menanyakan itu pada Rian.
“Tunggu sebentar, Mbak. Ibu fikir ndak mau diajak. Di luar dingin
sekali. Ibu mau ambil sweater dulu di
dalam. Maaf membuat Mbak Rian menunggu lagi, ya. Hehe.”
Keluarga baik ini terlalu baik untuk Rian bunuh. Kalau saja mereka
warga sipil biasa yang telah membuat Rian menunuggu berulang-ulang, jangan
tunggu sampai lima menit, pisau Rian pasti sudah menyayat tubuhnya. Tapi kali
ini lain. Mungkin karena faktor kondisi Rian yang sedang tidak memungkinkan dan
keluarga ini sudah menjadi seperti keluarga sendiri bagi keluarga Rian, hal itu
dikurungnya rapat-rapat.
Kurang dari tiga menit, Ibu Darti kembali. Dia sudah mengenakan sweaternya. Sebuah sweater yang terlihat
sangat hangat terbuat dari benang woll berwarna coklat. Setelah melihat istri
dari Pak Darman itu kembali, Rian juga kembali menggapai tangan Ibu Darti,
ingin menuntunnya. Dan kembali lagi Ibu Darti tersentak kaget karena dinginnya
tangan Rian yang semakin dingin.
Mereka berdua berjalan lebih kurang lima meter dari rumah keluarga
Pak Darman. Menggunakan mata dengan insting pembunuhnya, Rian sudah bisa
melihat sesuatu
yang berbentuk persegi panjang berwarna coklat di atas tanah. Panjangnya tidak
lebih dari satu meter saja. Bentuknya sedikit bertingkat dengan tinggi sekitar
6cm saja. Ada lubang berbentuk persegi di bagian depan. Di dalam lubang itu ada
kait besi yang mungkin akan digunakan sebagai pegangan. Beberapa jam lalu, Rian
berhasil memperoleh gambar benda itu di dalam mimpinya. Semua gambar dan tokoh
di dalam mimpinya beberapa jam lalu adalah bagaikan air putih yang membasahi
dan melewati kerongkongan Rian, sangat bekerja dan ampuh untuk membuat seluruh
kebahagiaan dalam dirinya bangkit lagi. Mereka adalah alasan mengapa Rian masih
bertahan hingga detik ini. Bersama ibunya juga, mereka adalah alasan mengapa
Rian masih bisa lolos dari maut hingga detik ini. Di dalam alam bawah sadarnya,
telah tertancap cinta dan kasih sayang dari seorang ayah keturunan Spanyol dan
seorang ibu asli Yogyakarta dan sangat
susah untuk mencabut tancapan itu. Walaupun kini dia tahu bahwa ayah yang
sebenarnya adalah Hatachi, tapi dia sama sekali tidak memperdulikannya.
Menggunakan
kunci yang diperolehnya tadi, Rian membuka gembok yang sangat dingin itu. Perlu
diketahui bahwa, lemari itu adalah lemari paling rahasia milik keluarga Fichie.
Yang mengetahui kehadiran lemari itu hanyalah keluargnya dan keluarga Pak
Darman. Bayangkan, apabila Hatachi mengetahuinya juga. Mungkin lemari ini juga
sudah dihancurkannya.
Ceklik!
Suara gembok terbuka, terdengar cukup keras di tengah-tengah nafas memburu
mereka berdua. Rian melepaskan gembok itu dari tempatnya. Tangannya meraih kait
besi yang tadi digembok lalu mendorongnya ke atas hingga terbuka. Aura dingin
luar biasa dari dalam lemari rahasia itu segera menyeruak ke luar disertai
aroma coklat berbagai macam merek mahal yang sangat nikmat. Rian tersenyum.
Aroma ini yang dari tadi dia nantikan. Aroma ini juga yang tadi hadir dalam
mimpi di tengah-tengah masa sekaratnya.
“Mbak
Rian yakin ndak mau pakai baju
dinginnya?” tanya Ibu Darti sekali lagi. Rian diam tanpa menjawab sepatah kata
pun. Dia hanya bergumam.
Rian
memejamkan matanya. Dalam bayangannya, dia melihat sekelibat gambaran saat
ayahnya mempersilahkan Mercy untuk masuk duluan, lalu disusul oleh Rian dan
Fabio di belakang mereka. Rian membuka matanya. Seolah mendapat petunjuk, dia
menuruni kakinya yang mulai kembali gemetar karena kedinginan. Selangkah demi
selangkah, perlahan tapi pasti. Rasa rindu terhadap ruangan ini dengan segala
kenangan di dalamnya telah memenuhi seluruh ruang di hatinya. Ibu Darti tetap
menunggu di atas. Dia terus memanggil-manggil Rian sambil berkata, “Hati-hati,
Mbak Rian” dan itu berulang-ulang. Tapi Rian sama sekali tidak perduli. Indera
pendengarannya telah tertutup oleh dinginnya suhu di dalam lemari itu.
Tumpukan
keranjang berwarna fuchsia yang sangat manis, seperti selai arbei yang dicampur
dengan buah pumpkin telah berada di hadapan Rian sekarang. Dia kembali
memejamkan matanya yang pada bagian kelopak sudah mulai mengerut karena suhu
dingin yang luar biasa. Rian mungkin tidak menyadari, bahwa suhu pada lemari
saat itu adalah mencapai hingga 4̊ C.
Ya,
Rian kembali menutup matanya.
Kembali
ada sekelibat gambaran yang menggetarkan hatinya. Dua orang kakak beradik
berlarian mengitari seluruh isi lemari raksasa ini, dengan menenteng-nenteng
keranjang dengan warna menggoda, yang setiap keranjang sudah terisi banyak
sekali coklat dari berbagai rasa dan warna, tampak di dalam matanya. Senyum
yang tidak lagi bisa mereka sembunyikan, terobral kemana-mana. Suara tawa polos
dan lugu bisa Rian dengar sekarang. Suara Mercy dan dirinya. Semua ada di dalam
kepalanya, dan dia bisa melihat semuanya.
Rian
membuka matanya lagi. Sepi. Tidak selalu apa yang dibayangkan menjadi
kenyataan. Itu kata kuncinya. Dengan langkah yang mulai gontai, dia mengambil
satu keranjang berwarna fuchsia. Kakinya yang gemetar, mengantarkan Rian pada
sisi lain dari lemari yang terisi permen coklat berwarna-warni dan dengan
bentuk yang cantik-cantik. Rian meraup hampir dua baris permen yang langsung
dimasukkannya ke dalam keranjang. Di samping rak permen coklat, ada es krim
coklat juga coklat batang dengan variasi yang berbeda-beda. Ada coklat vanilla,
coklat rasa pisang, coklat rasa mangga, es krim coklat dengan potongan
buah-buahan, es krim coklat dengan kacang, coklat karamel, es krim coklat
dengan taburan permen dan biskuit, coklat dengan aroma kulit pohon oak, dan
masih banyak lagi yang hampir semuanya adalah barang import dan barang produksi
sendiri. Rian kembali memasukkan seluruh es krim itu ke dalam keranjang hingga
keranjang itu penuh. Rian ingin tersenyum. Tapi sepertinya, dingin menekan
paksa otot-otot wajahnya hingga dia tidak bisa berekspresi apa-apa.
Kali
ini, Rian tidak melangkahkan kakinya, melainkan menyeretnya. Dia memaksa
tangannya yang mulai lunglai untuk menenteng keranjang penuh berisi beragam
variasi coklat itu naik kembali ke atas. Dia merasa, seluruh sendi-sendi
tulangnya mulai lemah dan kaku. Seperti orang lumpuh saja. Bayangkan, sebuah
lemari dengan suhu 4̊ C, ditambah dengan suhu alami dingin tengah malam,
seorang gadis yang hampir sekarat masuk ke dalamnya tanpa mengenakan mantel
atau apapun yang bisa menghangatkannya. Gadis itu benar-benar sekarat.
“Ya,
Allah! Mbak Rian!” Ibu Darti melihat Rian yang berusaha menaiki anak tangga
namun kesusahan. Tanpa diperintah siapapun, Ibu Darti menuruni anak tangga
untuk masuk ke dalam lemari dan menghampiri Rian yang sudah hampir koleps. Mulutnya
sudah menganga, seperti orang berusaha mencari oksigen untuk bernafas. Bibirnya
mulai membiru. Rian seperti mayat hidup.
“Masya
Allah, Gusti! Mbak Rian kenapa seperti ini?? Ayo, Mbak. Ibu bantu Mbak naik ke
atas,” Ibu Darti langsung melingkarkan tangan kiri Rian di pundaknya. Namun,
Rian menepisnya.
“Tidak
usah. Ibu bawa keranjang ini saja ke atas. Ini semua untuk Nanda dan Nathan.
Saya belum makan apa-apa di sini,” kata Rian dengan suara yang gemetar.
“Jadi,
maksudnya Mbak Rian masih mau di dalam sini?? Dengan kondisi Mbak yang seperti
ini??” tanya Ibu Darti meyakinkan.
“Hmm,”
Rian hanya bergumam.
“Mbak
Rian! Tolong kali ini jangan tolak penawaran Ibu untuk membantu Mbak. Ibu takut
Mbak kenapa-kenapa. Ibu tidak mau sesuatu yang tidak diinginkan terjadi dengan
Mbak. Kita bisa naik ke atas dan biarkan Ibu mengurusi Mbak Rian. Mbak Rian ini
sudah sangat lemas. Memangnya Mbak Rian sudah ndak bisa merasakan bagaimana
kondisi tubuh Mbak sendiri?”
Tentu saja bisa. Aku
bahkan sudah merasa di beberapa bagian tubuhku sudah tidak dialiri darah lagi.
Aku merasa, aliran darah di dalam tubuhku ini perlahan-lahan membeku. Aku sudah
tidak bisa merasakan ujung-ujung jariku lagi. Rasanya hampa, seperti orang
tidak punya tangan. Saat menenteng keranjang itu saja, aku hanya mengandalkan
instingku. Saat aku melihat pergelangan tanganku masih utuh, saat itu pula aku
merasa masih bisa menggunakannya. Tapi dinginnya keranjang fuchsia itu sudah
tidak bisa aku rasakan lagi.
“Ambil
ini, Bu. Bawa naik ke atas dan tinggalkan aku sendiri di sini. Aku belum makan
coklat yang di sana itu,” dengan tubuhnya yang sudah lemas dan gemetar, dia
menggerakkan tangannya ke arah kanannya. Ada setumpuk coklat lain di sana.
“Ayolah,
Mbak. Kita naik ke atas!”
“Ibu
tidak bisa memaksa saya!” bentak Rian. Tampak Ibu Darti terkejut atas bentakkan
yang baru saja diterimanya. Dia tidak menyangka, di saat sudah lemas seperti
itu ternyata Rian masih bisa membentak orang lain yang punya niat baik untuk
membantunya. Atau lebih tepatnya, menyelamatkan nyawanya.
“Uh,
mafkan Ibu.”
“Saya
hanya tidak ingin merepotkan keluarga Ibu. Maafkan saya.”
Ibu
Darti terdiam. Sebagai sosok yang termasuk dekat dengan keluarga Rian, dia
sudah berhasil menganggap Rian sebagai keponakan, atau bahkan anaknya sendiri.
Dia sudah benar-benar mengetahui bagaimana tingkah Rian dan adiknya saat mereka
masih kecil. Sudah sekitar sepuluh bulan mereka tidak lagi bertemu, dan saat
Ibu Darti kembali bertemu dengan Rian, dia sudah mendapatkan Rian dengan
kondisi yang mencemaskan. Bagaimana bisa dia tinggal diam? Bagaimana bisa jiwa
kemanusiaannya tidak tergerak untuk merangkul Rian dan mengobati luka-lukanya di
dalam rumahnya yang sempit, sedangkan orang lain saja tentu akan dibantunya? Ini
adalah pergolakkan batin luar biasa di dalam diri Ibu Darti. Ingin rasanya dia
meminta bantuan suaminya untuk membujuk Rian. Namun sayang, tidak lama setelah
Rian datang, Pak Darman tadi dipanggil oleh ketua RT untuk membantu
mengantarkan seorang warga yang mau melahirkan.
“Tidak
apa-apa, Mbak. Kalau Mbak butuh bantuan, teriak saja. Ibu tunggu Mbak di atas. Dan, uhmm.. terima kasih atas keranjang
ini, Mbak. Anak-anak Ibu pasti suka.”
“Terima
kasih, Bu.”
Air
mata sudah menumpuk di pelupuk mata Ibu Darti. Perasaan sensitifnya benar-benar
menolak untuk meninggalkan Rian sendirian di dalam lemari es besar itu. Dia
sama sekali tidak tega melihat kondisi Rian yang menyedihkan. Walaupun
coklat-coklat di sini rasanya manis, tentu tidak semanis perasaan yang akan
didapatkannya apabila Rian mau ikut dengannya naik ke atas.
“Hati-hati,
Mbak,” Ibu Darti memeluk tubuh Rian yang semakin dingin lalu menumpahkan air
matanya yang tertahan. Dia bisa mengingat semua kebaikan Rian dan keluarganya
pada dirinya dan keluarganya. Semua itu tidak akan terbalas dengan apapun.
“Ibu
sangat terpukul mendengar kejadian tragis yang menimpa keluarga kalian, dan Ibu
tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada Mbak Rian dan Ibu membiarkannya saja.
Ibu mau, satu kali dalam hidup Ibu untuk bisa membalas sedikit saja jasa
keluarga kalian. Itu saja,” lanjut Ibu Darti dalam dekapannya dengan Rian.
“Aku
akan baik-baik saja, Bu,” jawab Rian singkat. Dia sama sekali tidak membalas
pelukan Ibu Darti. Dia tidak bisa merasakan kedua tangannya lagi.
Ibu
Darti melepas pelukannya yang erat dari Rian. Dia tidak berani menatap mata
anak itu yang sudah terisi penuh dengan luka. Dia berusaha meyakinkan dirinya
sendiri bahwa Rian akan baik-baik saja di bawah sini. Ibu Darti menarik nafas
panjang. Dengan perasaan yang tertekan, dia menenteng keranjang penuh coklat
itu lalu setengah berlari naik ke atas dan keluar tanpa melihat balik ke arah
Rian.
Aku akan baik-baik
saja.
CHAPTER 32
“The Big Brown
Chocolatte Coffin”
Pandangan matanya mulai kabur. Tapi
setidaknya, dia masih bisa melihat warna kulit tubuhnya yang semakin berwarna
abu-abu. Pucat. Dia juga merasa detak jantungnya kian melemah. Kepalanya juga
sedikit pusing. Tapi tujuannya masuk ke dalam lemari besar ini belum tercapai. Ingat,
ini bukan ajang untuk pamer kekuatan atau keberanian. Rian sudah cukup kuat dan
berani dalam menekan dan medorong jauh jiwa kemanusiaannya saat mengiris
jari-jemari para korbannya.
Rian menyeret kakinya yang semakin
terasa lumpuh sedikit lebih dalam ke sisi lain dari lemari itu. Melalui mata bulatnya,
dia bisa melihat berbagai macam coklat kesukaannya seolah melambai-lambaikan
tangan memanggil namanya, lalu menari bagaikan penari salsa yang anggun sangat
menggoda Rian untuk segera melahap mereka semua. Rian tersenyum. Senyumnya
lebih lebar dari sebelumnya. Senyum yang dinanti banyak orang, karena dengan
senyum itu dia semakin terlihat luar biasa manis. Sayang, tidak ada orang lain
di dalam ruangan itu yang bisa melihat senyum menawannya.
Kulit
tangannya yang sudah keriput karena hawa dingin berhasil menyentuh salah satu
rak lain di dalam lemari itu. Rak yang terbuat dari kayu pohon Casuarina yang
dicat berwarna coklat menggoda, juga dipernis dengan pernis khusus agar awet
dalam suhu yang dingin dan dalam waktu yang cukup lama. Dia mendekatkan
tubuhnya pada dinding rak itu, seperti seorang yang kelelahan karena habis lari
maraton. Dadanya kembang kempis, seperti orang yang kehabisan nafas. Selama
beberapa saat dia mengatur nafasnya agar bisa kembali normal. Tapi, nampaknya
hal itu adalah sulit.
Sesusah inikah rasanya bertahan
dalam keadaan sekarat? Sumpah, aku hanya ingin sepotong coklat saja.
Rian
memaksakan dirinya untuk mengambil sepotong permen coklat untuk dinikmatinya. Namun,
tangannya yang gemetar nampaknya tidak cukup kuat untuk mengambil satu potong
coklat pun. Hampir setiap batang permen coklat yang sudah menempel di kulit
tangannya terlepas begitu saja tanpa mampu dia mengenggamnya. Tangannya yang
gemetar benar-benar menghambat waktu untuk setiap kudapan manis itu masuk ke
dalam perut Rian. Semuanya terjatuh. Kalau saja mereka adalah makhluk hidup,
Rian pasti sudah membinasakan semua dengan pisaunya.
Rian
masih terus berjuang untuk mendapatkan sepotong saja permen coklat dari dalam
lemari besar itu. Kali ini dia memakai cara lain. Kalau tangannya yang gemetar
tidak bisa meraih satu potong coklat pun, mungkin apabila dia menggunakan
mulutnya langsung adalah cara yang tidak buruk. Oleh karena itu, dia mendorong
kepalanya sedikit ke depan. Aroma khas coklat segera menusuk hidungnya,
membuatnya semakin bergairah untuk memakan coklat-coklat itu apabila dia bisa. Rian
kemudian membuka mulutnya yang juga gemetaran karena hawa dingin yang luar
biasa. Dia sedang berusaha mengigit coklat itu langsung masuk ke dalam
mulutnya. Cara ini juga ternyata tidak semudah yang dia fikir. Justru lebih sulit.
Ukuran rak dalam lemari itu tidak sebanding dengan kepala Rian yang jauh lebih
besar. Rian harus berusaha mendorong kepalanya lebih dalam lagi agar bisa
menggapai coklat yang letaknya memang agak ke dalam sisi rak. Kalau saja tadi
dia langsung menggunakan cara ini, dia mungkin sudah mendapatkan coklat yang
terletak pada sisi luar rak itu sebelum coklat-coklat itu terjatuh di lantai. Dapat!
Rian berhasil mengigit salah satu batang permen coklat rasa klasik dengan aroma
hujan. Ya, salah satu coklat yang paling laris di desa asal Fabio berada. Rian
sangat menyukai aroma khas hujan, dan itu ada di depannya sekarang. Lebih
tepatnya, di giginya.
Rian
ingin menikmati coklat kesukaannya ini perlahan-lahan. Dia ingin setiap detik
yang dilewatinya bersama coklat itu adalah detik-detik berharga. Oleh
karenanya, cara pertama yang dia tempuh untuk menikmati coklat itu adalah
dengan menghirup aroma kenikmatan coklat itu dalam-dalam, lalu menjilatnya
dengan posisi tetap di dalam mulutnya. Lidahnya bergerak-gerak menjilati
permukaan coklat yang sudah masuk ke dalam mulutnya itu. Matanya terpejam.
Penghayatannya dalam mengapresiasi karya manusia yang satu ini adalah luar
biasa. Dia bisa membawa pergi seluruh coklat itu bersamaan dengan aliran
darahnya, menuju otak dan jantungnya. Makanya Rian selalu rindu dengan setiap
potong coklat yang terhampar di sana.
Namun,
tiba-tiba ...
“AAARGGH!”
Rian menjerit sekuat tenaga. Coklat yang ada di dalam mulutnya itu terjatuh ke
lantai, bahkan pada saat dia belum menggigitnya.
“NOOO!!”
Rian kembali menjerit saat melihat coklat yang didapatnya dengan susah payah
itu terjatuh begitu saja.
“AAARGGH!!!!”
dia kembali menjerit. Tangannya yang sudah lunglai berusaha memegang apa saja
yang ada di sekitarnya dengan tujuan untuk menopang tubuhnya.
Rian
merasakan sakit yang luar biasa pada kedua kakinya. Otot-otot pada kakinya yang
berkontraksi membuat kedua kakinya menjadi menegang dan kaku. Sakit yang dia
rasakan adalah seperti urat dan otot dalam kakinya dijepit lalu ditarik selama
berulang-ulang. Tangannya ternyata tidak juga cukup kuat untuk menopang
tubuhnya, menyebabkan tubuh Rian melorot ke bawah. Rian menjerit kesakitan berulang-ulang.
Kakinya luar biasa sakit. Tangannya hanya bisa meremas-remas paha dan betis
pada kakinya dengan tujuan agar rasa sakit itu berkurang. Tetapi ternyata tidak
sama sekali.
“TOLOOOONG!!”
jerit Rian sekuat tenaga. Dia benar-benar kesakitan.
Kaki ini harus dimusnahkan!!!
Tangannya
merogoh-rogoh setiap saku pada celananya. Dia mencari pisau andalannya. Dia
ingin memotong kakinya agar rasa sakit luar biasa itu hilang. Hilang untuk
selamanya. Dia tidak mau acara makan malamnya terganggu oleh hal sekecil
apapun.
“Tidak
ada! Di mana dia??!” ucap Rian gusar ketika didapati tidak ada benda tajam itu
lagi di sakunya.
“Arrrgggh!
Toloooong!”
Dia
bahkan semakin gusar ketika rasa sakit itu tidak hanya muncul pada kakinya,
melainkan otot-otot pada lengan kirinya pun ikut berkontraksi. Detak jantungnya
pun semakin melemah. Kulit putihnya sudah benar berubah menjadi abu-abu pucat. Dia
bahkan bisa merasakan tempat di sekelilingnya seolah berputar. Dia juga tidak
henti-hentinya menjerit sekuat tenaga, berharap orang di luar sana bisa
mendengarkan teriakannya. Rian ingat apa yang dikatakan Ibu Darti, bahwa beliau
masih menunggu Rian di atas. Rian hanya butuh teriak dan Ibu Darti akan
membantunya jika ada hal-hal darurat. Tapi nyatanya, sampai Rian sudah tidak
bisa berteriak lagi, dia tidak mendapat bantuan apapun dari atas.
“Tolong
..” Rian sudah tidak bisa berteriak lebih kencang lagi.
Kali
ini seluruh tubuhnya berkontraksi. Dia mengalami kejang yang luar biasa. Detak
jantung dan respirasinya benar-benar lemah. Mungkin hanya sekitar 3 sampai 4
kali pernapasan dalam satu menit. Tekanan darahnya pun juga mungkin melemah.
Tubuhnya perlahan-lahan mulai kaku. Pupil matanya berdilatasi. Hipotensi akut
dan nafasnya yang sangat lamban, bahkan cenderung tidak kelihatan sedang
dialaminya. Rian tidak sadarkan diri dan kritis.
CHAPTER 33
“The Body of The
Dead Man”
Sepasang suami istri berjalan
terburu-buru di pinggir jalan komplek perumahan yang masih sepi. Jelas saja,
saat itu masih pukul empat pagi. Mereka tidak menggunakan motor yang menjadi
satu-satunya alat transportasi milik mereka, yang sekaligus juga sarana mata
pencaharian keluarga mereka. Jiwa sosial sang suami yang mendorong dirinya untuk
sengaja meminjamkan motor mereka kepada suami dari tetangganya yang sedang
melahirkan di rumah sakit. Raut wajah kecemasan jelas betul tergambar di wajah paruh
baya mereka. Sesekali mereka membunyikan buku-buku jari mereka untuk memecah
kesunyian. Kaki mereka bergerak dengan cepat. Suami itu terkadang merangkul
bahu istrinya yang tidak berhenti menangis. Mereka benar-benar dilanda
kecemasan. Cemas yang luar biasa.
“Sudah,
Ibu ndak usah menangis. Kalau Ibu
menangis terus, Bapaknya jadi ikut cemas. Berdoa saja semoga Mbak Rian baik-baik
saja.”
“Bagaimana
bisa Ibu tenang, Pak? Tadi Ibu dengar Mbak Rian jerit-jerit dari dalam,
sedangkan saat ibu mau coba masuk, gemboknya goyang dan malah menutup sendiri hingga
pintunya terkunci. Ibu benar-benar panik, sampai kunci gembok yang sudah ibu
masukkan itu tidak bisa lagi ibu putar ke kanan dan ke kiri. Ibu paksa agar
gembok itu bisa terbuka. Tapi yang terjadi malah kunci itu patah di dalam
gembok dan ibu tidak bisa mengeluarkannya, Pak!” Ibu Darti kembali
meraung-raung.
“Iya,
Bu. Ibu tadi juga sudah cerita dengan Bapak, kan? Masa kita harus bercerita hal
yang sama berulang-ulang sepanjang jalan? Sekarang, Ibu lebih baik tenang. Coba
kalau ibu sudah dibiasakan tenang, pasti ibu jadi tidak panik dan kunci gembok
itu tidak akan patah.”
“Loh?
Bapak kok jadi menyalahkan ibu seperti ini?” Ibu Darti menghentikan langkahnya
lalu menatap Pak Darman dengan mata sedikit melotot.
“Kok
berhenti jalannya, Bu? Sudah, marahnya nanti lagi saja. Ini soal hidup dan
matinya Mbak Rian. Bapak juga khawatir, jadi kita berdoa saja. Kita sebentar
lagi sampai. Ayo, Bu!” Pak Darman menarik tangan istrinya, lalu digenggam di
dalam genggaman tangan beruratnya. Dia menuntun istrinya untuk berjalan sedikit
lebih cepat. Tidak jarang mereka berlari untuk semakin mempercepat langkah
mereka.
Lima
menit kemudian, mereka berhasil sampai di depan pintu lemari besar dalam tanah
milik keluarga Fabio itu. Pak Darman segera mencari batu besar untuk
menghancurkan gembok berukuran besar itu. Kakinya bergerak cepat dengan
mencarinya tengah-tengah taman. Tidak dapat. Lalu, dia berlari ke belakang
rumah. Juga tidak dapat. Istrinya yang seudah meraung-raung membuatnya semakin
kebingungan dan kalap. Pak Darman akhirnya masuk ke dalam rumah lalu mengambil
linggis. Dapat. Keringat di wajahnya sudah mengalir deras sekali, seperti orang
yang habis kerja bangunan. Berulang kali dia memukul-mukul gembok dengan
linggis, namun hasilnya nihil. Rasa cemas dan panik milik istrinya dan dirinya
yang bercampur menjadi satu, membuat konsentrasi akan segala hal musnah sudah.
“Ada
apa ini, Pak?” suara itu datang dari seorang pria muda yang lumayan tampan. Dia
datang bersama seorang pria Kaukasoid yang berumur sekitar empat puluh delapan
tahun lebih.
“Kalian
ini siapa?? Tolong jangan ganggu saya! Saya sedang sibuk menyelamatkan nyawa
seseorang!” tanya Pak Darman lantang dengan mata melotot kepada ke dua orang
itu, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Saya
Dilan dan ini Paman Georgie. Anda Pak Darman, benar?”
“Benar!
Mau apa kalian ke sini? Kalau mau beli tanah taman itu nanti saja.”
“Tidak,
Pak. Kami mau cari seorang gadis bernama Rian.”
Mendengar
kalimat itu, Pak Darman segera menghentikan pekerjaannya menghancurkan gembok. Matanya
menatap kedua orang itu bergantian. Mata yang kelopaknya sudah dibanjiri peluh
itu menatap mereka penuh harap. Dia benar-benar membutuhkan tenaga tambahan.
Apalagi Dilan dan Paman Georgie mencari Rian. Niat apapun itu, baik atau jahat,
yang ada di dalam fikiran Pak Darman intinya mereka pasti ingin menemukan Rian.
Tapi yang terjadi adalah Rian masih terjebak di dalam lemari itu. Tidak ada
lagi suara jeritan dari dalam. Hal itu semakin menambah kecemasan mereka semua.
“Rian
ada di dalam. Kalian harus bantu saya untuk menghancurkan gembok ini agar bisa
membawanya keluar!”
Paman
Georgie sepertinya paham akan kekhawatirkan yang tergambar sangat jelas pada wajah
tak berdaya Pak Darman. Dia segera bertindak cepat dan menunjukkan kalau dia
adalah orang yang benar-benar terlatih. Paman Georgie mengeluarkan sebilah
pisau racun dari sakunya. Dia menarik nafas panjang sebelum melakukan aksinya. Dan
... woop! Hanya dengan satu sabetan dari pisau racun yang tajam, akhirnya
gembok itu bisa terbuka, bahkan hingga terbelah dua. Ini hanya membutuhkan tiga
detik saja kawan. Bandingkan dengan perjuangan Pak Darman. Ini juga hanya soal bagaimana
cara menggunakan trik yang benar, juga meningkatkan konsentrasi. Pak Darman
sendiri juga hanya bisa terpaku melihat kebolehan Paman Georgie itu.
Pak
Darman mendorong ke atas pintu lemari itu. Hawa dingin segera mencuat ke atas
menyambut kedatangan mereka semua. Sedikit terpancar wajah kekaguman dari dalam
raut muka Paman Georgie atas rancangan Fabio untuk anak-anaknya. Ya,
satu-satunya tempat yang tidak diketahui mereka semua. Dilan sendiri pernah
masuk ke dalam lemari itu dan ikut menikmati coklat bersama Rian. Hanya masa
lalu.
Satu
per satu dari mereka menuruni tangga licin itu. Dilan yang pertama kali masuk,
disusul oleh Paman Georgie, lalu Pak Darman dan Ibu Darti tetap menunggu di
atas. Keinginannya untuk ikut turun jelas dihadang oleh ketiga laki-laki itu,
apalagi suaminya. Pak Darman tidak ingin istrinya kenapa-kenapa. Baru beberapa
detik masuk saja Dilan dan Pak Darman sudah merasa sedikit gemetar karena
kedinginan. Mereka hanya menggunakan jaket biasa yang tidak cukup kuat untuk
menahan rasa dingin yang akan menyerang tubuh. Lain hal dengan Paman Georgie
yang mungkin sudah terbiasa dengan suhu seperti itu di negara asalnya.
“Lemari
ini cukup luas. Kita harus berpencar untuk mencari Rian. Siapapun yang
menemukannya, segera teriak. Karena Rian benar-benar harus diselamatkan. Dan
ingat, kita harus bergerak cepat. Suhu dingin di sini bisa membuat kita terkena
hipotermia,” ujar Dilan memberi komando tanpa ada yang menyuruhnya memberi
komando.
“Tapi,
nampaknya kita tidak perlu berpencar. Dia ada di sana,” ucap Paman Georgie
dengan suara datarnya.
Tangannya
menunjuk ke arah pukul sebelas. Dua pasang mata yang lain segera mengikuti arah
jari telunjuk Paman Georgie. Benar saja. Sebuah sisi lain dari lantai pada
lemari itu sudah dipenuhi coklat yang berantakan. Dan di atas mereka semua, ada
seonggok tubuh yang terbujur kaku. Tubuh itu tampak sangat dingin, didukung
dengan warna kulitnya yang benar-benar pucat. Rambut dari tubuh itu tergerai
bebas di atas lantai. Bagian kaki kanan dan tangan kiri tubuh itu berwarna
sedikit kebiruan. Mengerikan. Perlahan tapi pasti, fikiran-fikiran yang sedari
tadi dihilangkan mereka semua itu mulai menampakkan dirinya ke atas permukaan.
Wajah cemas itu berangsur-angsur berubah menjadi wajah ketakutan. Inikah akhir
dari semua kecemasan itu?
Kaki-kaki
gemetar mereka perlahan mendekati tubuh itu. Namun lain dengan Dilan. Langkah
kakinya adalah langkah yang paling cepat, bahkan cenderung berlari. Dia
berlari, namun tetap kontrol kendali keseimbangan tubuhnya karena lantai tempat
itu cenderung licin. Dia merasa tubuhnya berkeringat. Keringat dingin. Dia
merasa seolah potongan lain dari jiwanya telah pergi. Rasa itu persis sama
seperti pada saat hari di mana Nadia pergi meninggalkan dunia ini.
Dilan
sampai pada titik akhir di mana dia tidak harus menembakkan timah panasnya
kesana kemari. Dia telah sampai tepat di hadapan tubuh kaku Rian. Kakinya
gemetar. Dia terduduk lemas di samping tubuh Rian. Semua amarah dan dendam yang
disimpannya benar-benar telah hilang, terbawa bersama semua nafas yang berhasil
dihembuskannya.
Mata
gadis itu tertutup rapat. Daerah lingkar mata itu tampak sedikit lebih hitam
dari daerah wajah lainnya. Mulutnya juga tertutup rapat, lebih rapat saat dia
masih bisa tersenyum dan melihat matahari pagi. Kali ini, Dilan benar-benar
tidak bisa mendengar cerita apapun dari Rian. Dilan tidak akan bisa lagi
mendengar nyanyian-nyanyian Rian yang selalu berdengung di telinganya setiap
kali dia merindukannya. Dilan tidak akan lagi bisa mendengar tawa besar dan
lepas dari bibir mungil sahabatnya. Ya, Dilan benar-benar bisa mengingat
semuanya. Semua kenangan pahit dan manis. Kenangan saat Rian melempar jauh sate
padang pemberiannya. Semua senyum dingin yang selalu dipamerkannya beberapa
waktu terakhir. Semuanya, tanpa terkecuali. Bahkan saat menatap wajah Rian yang
tanpa ekspresi itu lagi, kepala Dilan seolah memutar kembali film kisah mereka
berdua. Semua itu benar-benar menyisahkan rasa sakit.
Dilan
menangis memeluk tubuh itu.
CHAPTER 34
“Final Episode (The
Secret)”
Tempat itu menjadi benar-benar ramai
di waktu yang menunjukkan sekitar pukul lima pagi. Beberapa mobil polisi dan
ambulans diparkir pada salah satu sisi lain dari lahan kosong itu. Orang-orang
berseragam lengkap kepolisian bolak-balik sambil mencatat data-data yang
dibutuhkan sebagai bantuan untuk penyelidikan. Pita kuning sebagai batas tempat
kejadian perkara sudah terpasang mengitari pintu lemari itu hingga ke arah
taman sedikit. Ada dari mereka yang berpakaian serba putih keluar dari mobil
ambulans yang tidak kalah sibuknya dengan yang lain. Ada juga yang berpakaian
bebas, namun berkutat pada satu-satunya tubuh mati di sana. Orang-orang
menyebutnya sebagai tim forensik. Semua penyelidikan dilakukan di tempat, saat
itu juga. Georgie meminta agar mereka tidak menghambat semuanya. Para warga
sekitar yang mungkin tidak ada kegiatan di hari itu, menyempatkan waktu mereka
untuk menengok ke tempat kejadian. Mereka ternyata juga ingin ikut
berpartisipasi dalam meramaikan suasana.
Di
sisi lain, Dilan yang duduk menyendiri menjauh dari keramaian. Mungkin tidak
sendiri, tapi bersama gitar Rian yang tidak sengaja ditinggalkannya saat pertarungan
pertama dirinya dengan Erinda. Paman Georgie mengamankan gitar itu dan Dilan
memintanya kembali.
Dirinya
benar-benar terpukul. Ibu Adilla sangat mengkhawatirkan dirinya. Dia menyuruh
anak bujangnya itu pulang, namun perintah itu ditanggalkannya. Oleh karena itu,
ibu tirinya, Fadhilla berinisiatif untuk mengantarkan makanan dan minuman untuk
Dilan. Tapi sampai sekarang, makanan itu belum sama sekali tersentuh oleh
jari-jarinya.
Pandangannya
kosong. Dia benar-benar kehilangan seorang Rian yang jagoan, pemberani, dan
lucu. Rian yang cantik, cerdas, dan memiliki suara emas. Tangan Dilan bergerak
mengambil gitar milik Rian dan menimangnya di atas pangkuannya. Dilan tidak
memainkannya. Dia hanya mengelus-elus gitar itu hangat. Gitar yang warnanya
sudah cukup pudar dan di beberapa bagian terdapat cipratan darah kering. Entah
darah siapa saja. Bahkan mungkin salah satu cipratan darah tersebut adalah
darah ayahnya, Afif Aryana.
“Hey,
boleh bergabung?” Paman Georgie yang sudah berganti pakaian casual menghampiri Dilan.
“Silahkan,”
jawab Dilan singkat dengan tidak memalingkan pandangannya sedikit pun dari
gitar milik sahabatnya itu.
Paman
Georgie pun ikut duduk di sampingnya. Beberapa saat keduanya terdiam. Sesekali,
Paman Georgie melirik anak muda di sebelahnya itu. Wajah Dilan tampak tidak
jauh beda dari wajah seorang mayat. Wajahnya sedikit pucat. Mungkin karena
belum makan dari malam, juga ditambah dengan suasana dingin yang terus
menyergap mereka semua. Garis hitam di bawah matanya bisa terlihat ketika
wajahnya tersorot lampu atau berada di bawah sinar matahari. Dilan juga tidak
menunjukkan ekspresi apapun. Air matanya sudah habis sejak pertama kali dia
menemukan mayat Rian di dalam lemari itu. Paman Georgie menghela nafasnya panjang.
“Dia
anak yang baik,” Paman Georgie membuka omongan.
“Benar,
karena dia berasal dari keluarga yang baik pula. Keluarganya dimusnahkan oleh
sekelompok orang yang dengki, iri, jahanam, dan liar. Keserakahan, kemunafikan,
sifat agresif yang jahat, dan jiwa tidak mau kalah menguasai diri sekelompok
orang itu tanpa terkecuali. Termasuk semua pengikutnya. Tidak cukup mereka
menghabisi keluarga Rian, Rian yang baik hati dan ceria itu pun juga ingin
dibunuhnya. Dan orang itu adalah saudara sedarahnya sendiri. Namun yang
terbodoh adalah, ada orang tua yang menjadi dalang dari semua aksi saudara Rian
itu. Orang tua yang tidak tahu diri. Bagaimana mungkin ada orang tua yang
membiarkan kemenkannya membunuh saudaranya sendiri? Dan orang tua itu ikut
menyukseskan semuanya. Luar biasa,” ungkap Dilan panjang lebar. Sebuah sindiran
tajam rupanya. Paman Georgie paham benar maksud anak muda di sampingnya itu.
Dan tujuannya merapatkan posisi duduk ke dekat Dilan adalah untuk mejelaskan
semuanya. Dia tidak akan membuang waktu.
“Kau
tahu, selalu ada alasan di balik semua aksi ...”
“Dan
di balik semua aksi buruk, pasti ada iblis besar yang mendukung di belakangnya,”
Dilan memotong perkataan Paman Georgie yang dinilai membuang-buang waktunya.
“Hmm
...” Paman Georgie bergumam. Dia kembali menarik nafas dalam untuk menenangkan
dirinya sendiri sekaligus mengumpulkan semua keberaniannya untuk menceritakan
yang sesungguhnya kepadan Dilan. Dia juga masih tetap ingin kontrol emosi agar
tidak meledak-ledak di depan Dilan.
“Aku
menemukan sesuatu pada gitar temanmu itu.”
“Berhubungan
dengan orang tua Inggris yang dungu, kah?”
Oke.
Paman Georgie kembali mengehla nafas. Dia menganggap pertanyaan Dilan yang tadi
itu adalah pertanyaan uji kesabarannya saja. Orang Inggris selalu dikenal
dengan sosok yang misterius, pintar, pandai menyimpan rahasia, klasik, dan
bermartabat. Dan kali ini, dengan beraninya seorang anak tujuh belas tahun
berkata seperti itu tepat di depan wajahnya? Jiwa ketimurannya yang sudah mulai
mendarah daging membuat dirinya semakin bisa tahan emosi atas ejekan tersebut.
“Tidak
tidak. Ini tentang kisah asmara kalian,” sangkal Paman Georgie.
“Apa?
Kalian? Maksudmu aku dan Rian? Kami bahkan tidak pernah menjalin hubungan
asmara atau apapun,” sanggah Dilan. Kelihatannya, Dilan mulai tertarik dengan topik
yang satu ini. Georgie jelas bisa memanfaatkan rasa penasaran Dilan untuk
memberinya kesempatan menceritakan yang sesungguhnya.
“Uhmm..
Aku tidak tahu tentang hal itu.”
“Lalu,
apa maksudmu bicara seperti itu? Mau menggugah rasa penasaranku agar mau
memberikanmu kesempatan untuk menjelaskan kisah dongeng jahanammu? Jangan
harap, British!”
“Bisa
tidak kau lebih bisa menghargaiku sedikit? Aku ini orang tua. Bukankah di
negaramu ini kalian diajari bagaimana cara menghargai orang yang lebih tua?”
“Tentu
saja. Tapi bukan orang tua sepertimu!” bentak Dilan. Matanya menatap tajam pada
Paman Georgie. Tatapan menantang.
“Kalau
sikapmu begitu terus kepadaku, kau tidak akan pernah mendapatkan informasi
mengenai bagaimana berharganya kisah kalian berdua di mata Rian. Dan kau juga
perlu tahu tentang rahasia pada pisau mereka. Tentang kode rahasia itu. Aku
beri kau waktu sepuluh detik saja untuk berfikir.”
Dilan
menunduk dan terdiam sejenak. Dia memang benar-benar tidak habis fikir tentang
orang tua macam Paman Georgie yang sudah sinting mungkin. Tapi,
informasi-informasi yang tadi disebutkan Paman Georgie adalah informasi yang
sangat dia butuhkan. Setidaknya hanya untuk mengobati rasa penasaran dia saja.
Karena walaupun dia sudah dapatkan informasi itu, dia sudah tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Semua orang yang mewarnai kisahnya selama ini sudah tiada. Hanya
kedua ibu dan adik-adik tirinya saja.
“Oke,
waktumu habis. Masih banyak urusan di luar yang menantiku,” kata Paman Georgie
sambil bergerak bangun dari tempat duduknya.
“Katakan
segera. Aku tidak mau terlalu menghabiskan banyak waktu dengan orang sepertimu,”
ucap Dilan menahan kepergian Paman Georgie. Pria yang umurnya hampir setengah
abad itu menatap Dilan sejenak. Dia jadi teringat dengan kemenakannya Erinda
yang memang sedikit egois. Sifat keAKU’an mereka memang sepenuhnya menguasai
jiwa muda mereka.
“Berikan
gitar itu padaku,” Paman Georgie meminta gitar yang sedari tadi ditimang-timang
oleh Dilan. Dilan kemudian memberikannya walaupun dengan dahi berlipat sepuluh.
Paman
Georgie memasukkan tangannnya ke dalam soundhole
pada gitar itu. Dia tampak merogoh sesuatu. Sesuatu yang ditempelkan pada
sisi lain di dalam ruang beraroma kayu itu. Posisi menempel yang sedikit ke
dalam membuat Paman Georgie sedikit kesusahan. Dia memasukkan tangannya sedikit
lebih dalam. Dari pergerakan tangannya, Dilan bisa melihat bahwa Paman Georgie
sedang mengorek-ngorek sesuatu. Dilan tetap mengawasi setiap pergerakan Paman
Georgie. Dia tahu, dirinya sedang berhadapan dengan seorang anak buah penjahat
yang pastinya juga jahat. Orang jahat.
“Dapat,”
Paman Georgie menarik tangannya keluar. Dilan melihat apa yang didapatkan Paman
Georgie dari dalam lubang gitar itu. Sepotong kertas berukuran sedang.
“Apa
itu?”
“Lihat
saja sendiri,” Paman Georgie memberikan apa yang digenggamnya kepada Dilan.
Dilan menerimanya.
Apa
yang Dilan lihat adalah sebuah gambar yang menyeramkan. Dilan tahu, foto-foto itu
memang sengaja ditempel Rian pada gitarnya, namun ditempelkan pada sisi luar
gitar. Sekarang, nasib foto-foto itu sudah sama menyedihkannya dengan nasib
Rian. Foto-foto itu adalah foto Rian bersama keluarganya, juga foto Rian
bersama Nadia dan Dilan. Mereka adalah tokoh-tokoh utama yang mewarnai
kehidupan Rian semasa hidupnya. Kedua foto itu ditempelkan pada sepotong kertas
dengan ukuran sedang, dan tangan Rian menjalar di atas permukaan foto-foto itu
dengan menggambarnya.
Coretan
dari crayon berwarna oranye
digambarnya pada bagian depan foto keluarganya. Mungkin maksudnya adalah gambar api. Lalu,
setiap kepala anggota keluarga dicoret dengan warna merah maroon. Itu adalah darah yang diperoleh saat kulit kepala mereka
dikupas oleh orang-orang Hatachi. Mata dan bibir yang menunjukkan ekspresi
senyuman diganti oleh Rian dengan ekspresi ketakutan. Rian juga menggambar
sosok tubuh besar berwarna hijau, bermata sipit, dan bertanduk seperti setan,
sedang tertawa puas sambil memegangi perut buncitnya.
Adapun
coretan lain pada foto yang lain pula. Foto Rian bersama Nadia dan Dilan. Foto
mereka bertiga sedang berdiri di atas tembok perbatasan rumah Nadia. Foto itu
diambil dengan angle dari bawah. Mereka
semua merangkul pundak satu sama lain dengan posisi Dilan yang di tengah. Latar
belakangnya berupa langit biru yang dihinggapi awan putih yang bergumpal,
sangat indah dipandang. Dan, Rian berhasil merusaknya.
Tepat
di belakang Nadia, langit biru itu dirubah menjad langit berwarna hitam. Lalu,
Rian menggambar botol bergambar tengkorak yang menandakan kalau itu adalah
racun. Botol itu dalam posisi terbuka dan menumpahkan cairan putih tepat di
atas kepala Nadia. Rian juga mencoret-coret wajah Nadia dengan berbagai umpatan
dalam bahasa Inggris. Dan yang paling mengejutkan Dilan adalah, tulisan yang
terdapat di balik foto itu. Tulisan itu berbunyi:
“Sampai racun pada pisau ini habis, aku tidak
akan berhenti membunuh. Membunuh mereka yang telah menghancurkan seluruh hidup
dan harapanku, atau hanya mencoba melakukan perlawanan, atau hanya ingin
mencoba-coba, atau apapun yang ingin kubunuh. Dan jangan pernah mencoba
menghentikanku untuk membalaskan dendam kepada dunia ini. Tapi maaf, aku tidak
akan pernah membunuh orang yang kucintai. Sesakit apapun mereka melukai hatiku.
Keluargaku, dan Dilan.”
“Sulit
dipercaya,” Dilan menekuk gambar itu, menggumpalnya, lalu meremasnya. Kertas
itu kini harus merelakan nasibnya berada di tangan Dilan.
“Aku
juga begitu. Dia adalah anak yang baik dan aku jelas tahu benar hal itu. Sifat
jahat Hatachi menurun benar ke dirinya. Saat aku mengetahui kalau Erinda
bersaudara dengan Rian, segala cara telah ku tempuh untuk menggagalkan rencana
Erinda dalam menghabisi nyawa Rian. Tapi semuanya gagal. Erinda malah mengancam
akan menghabisi nyawa keluargaku di Jepang. Perlu kau tahu, walaupun aku adalah
seorang jahat, aku juga punya hati. Perbuatan jahatku didasari atas kebutuhanku
untuk memberi makan keluarga. Dan adalah sebuah kesengajaan untuk aku menyalahi
pembacaan kode pada pisau itu.”
“Maksud
Anda?”
“Ini
pisau Erinda. Bisa keluarkan pisau Rian dari sakumu?” pinta Paman Georgie pada
Dilan. Anak Afif Aryana itu menuruti perintah Georgie dengan mengeluarkan pisau
Rian dari dalam sakunya.
“Sebenarnya, kode “HA = RN” yang ada pada
pisau Rian sebenarnya adalah kode ajal
milik Erinda. Sedangkan kode “R N T” pada pisau Erinda adalah kode kematian
milik Rian. Memang sulit dipercaya jika kematian makhluk Tuhan bisa diprediksi
dari kode pisau bangkai. Tapi itu adalah fakta.”
“Uhmm.. Bisa kau jelaskan arti dibalik
kode “R N T” itu?” tanya Dilan.
“Tentu. Ganti saja huruf R dengan jenis
huruf Webdings, dan ganti huruf N dan T dengan huruf Wingdings di Microsoft
Word. Nanti yang akan kau dapatkan adalah, sebuah gambar gedung atau rumah sebagai
pengganti huruf R. Dan huruf N akan mendapatkan gambar tengkorak, sedangkan
huruf T akan bergambar butiran salju. Maksud dari gambar itu adalah, bentuk
kematian yang akan diperoleh Rian adalah saat dia berada di dalam sebuah gedung
atau rumah dan mati dalam keadaan kedinginan. Dan nyatanya terbukti, dia mati
karena Hipotermia,” jelas Paman Georgie. Dilan tampak kagum atas penjelasan
itu. Bagaimana mungkin seorang nenek moyang bisa mengerti jenis-jenis huruf
pada Microsoft Word sedangkan komputer pun belum ditemui pada saat itu?
“Jadi, yang Erinda tahu dirinya akan
mati dalam suhu dingin?”
“Benar. Oleh karena itu, saat malam dia
selalu memakai jubah hangat miliknya. Begitupun saat hujan turun. Sebisa
mungkin dia selalu menghadang dingin mencabut nyawanya. Tapi aku percaya, setiap
manusia tidak akan pernah bisa menghadang kematian,” kata Paman Georgie. Kalau
boleh jujur, Dilan sangat menyukai dua kalimat terakhir Georgie tadi. Dilan
terdiam sesaat, merenungkan apa yang telah dikatakan Georgie padanya.
“Lantas, yang kau jelaskan pada Rian dan
Erinda tentang maksud dari kode pada pisau Rian itu adalah di dalam sebuah rumah
akan ada pertarungan dua orang yang menghasilkan kematian seseorang yang
diawali dengan huruf R. Sedangkan Erinda, bukanlah nama yang memiliki huruf
berawalan R.”
“Erinda Roose. Nama yang seharusnya
adalah Roose Erinda. Saat Erinda mengetahui bahwa arti kode pada pisau Rian
adalah seperti itu, dia segera memutuskan untuk mengganti namanya menjadi
Erinda Roose. Beberapa dokumen telah berganti nama menjadi Erinda Roose,
walaupun belum semuanya. Konyol sekali. Itu adalah cara lain darinya untuk
menghalangi kematian. Dan benar saja, seorang pahlawan telah berhasil
memasukkan proyektil itu ke dalam tubuh Erinda,” Paman Georgie tersenyum kecil
sambil sedikit melirik ke arah Dilan yang juga tersenyum.
“Pertama kali menembak, huh?” tanya
Paman Georgie.
“Iya.”
“Kau berbakat.”
“Haha, tidak. Aku dilahirkan bukan untuk
hal itu.”
“Bagus. Lalu, apa alasanmu datang ke tempat
itu sambil membawa pistol?” kini giliran Paman Georgie yang bertanya.
“Aku dimimpikan oleh ayahku dan Nadia.
Mereka berkata bahwa orang yang membunuh mereka adalah Rian. Sebelum dimimpikan
mereka, aku juga selalu melihat bayangan perempuan berbaju hitam yang selalu
mencoba untuk mencelakai seluruh anggota keluargaku yang tersisa. Sangat sulit
dipercaya kalau semua itu hanya halusinasi dan aku ternyata mengidap psikosis. Sangat
memalukan di saat aku sedang bekerja menjadi seorang asisten perawat di rumah
sakit jiwa dan aku ternyata adalah orang gilanya. Mungkin kebiasaan untuk
menyimpan masalah sendirian adalah salah satu penyebabnya.”
“Rumit sekali. Aku turut prihatin.”
“Terima kasih.”
“Mungkin kau masih menderita gejalanya
saja. Tenang, masih ada kesempatan untuk sembuh.”
“Aku harap begitu.”
Keduanya terdiam. Paman Georgie menarik
nafas panjang penuh kelegaan. Setidaknya, dia telah menceritakan semua rahasia
itu pada Dilan. Dengan diceritakannya hal itu, Georgie berharap Dilan dapat
lebih bisa menerima kematian Rian tanpa perlu menyalahkan diri sendiri.
“Oh, iya. Tugasku di Indoenesia kini
telah selesai. Besok aku harus kembali ke Jepang dan memperbaiki semuanya.
Mungkin bisa dimulai dengan mengerjakan pekerjaan yang mulia. Aku harap, kau
bisa jaga dirimu dan keluargamu. Kau harus belajar jadi sosok seorang ayah yang
bertanggung jawab. Ibu dan adik-adikmu akan bangga padamu. Percayalah,” kata
Paman Georgie sambil menepuk bahu Dilan.
“Akan ku coba,” jawab Dilan tersenyum.
“Baiklah. Ada urusan lain yang harus aku
selesaikan bersama semua polisi itu. Satu hal lagi, jangan pernah menjadi orang
yang rasisme dan sukuisme, ya.”
“Haha. Maafkan aku.”
Paman Georgie tersenyum lalu bangun dari
tempat duduknya dan pergi.
CHAPTER 35
“My Heart”
Acara pengajian
untuk mengenang seratus hari wafatnya Rian baru saja selesai. Acara itu
diadakan di kediaman Pak Darman dan keluarganya. Mereka yang meminta hal itu,
karena mereka ingin memberikan penghormatan terakhir kepada keluarga Rian yang
sudah sangat baik kepada mereka. Suasana haru masih menyergap rumah itu
walaupun Rian sudah pergi sekitar tiga bulan lebih. Meskipun tidak banyak jamaah
yang diundang, tapi kekhusyukkan doa bisa dirasakan oleh setiap jamaah yang
hadir.
Dilan
masih merasakan keringat mengalir di tubuhnya, karena baru saja selesai
membantu Pak Darman dan beberapa warga lingkungan sekitar membereskan kembali
rumah Pak Darman yang sedikit berantakan. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk
memilih duduk sendiri sambil membawa gitar Rian di tengah taman dan merasakan
angin malam mengeringkan peluh di tubuhnya.
Jari-jarinya
mulai menari di atas keenam senar gitar itu. Petikan-petikan suara gitar bisa
terdengar merdu saat dimainkan olehnya. Sesekali dia bernyanyi, namun kadang
hanya bermain tanpa mengeluarkan suara. Dia merasa, gitar itu bisa bernyanyi
lebih dari dirinya.
Dilan masih asik dengan lagu dan
permainan gitarnya. Tiba-tiba, dia merasakan angin yang berhembus perlahan
tepat di belakang tubuhnya. Dilan merasakan hal itu dan menghentikan permainan
gitarnya. Dia merasa, angin itu seolah mengalir perlahan dan berhenti tepat di
samping kanannya. Kemudian angin itu terasa berputar cukup kencang dan tidak
pergi, tetap di samping kanan Dilan. Tidak dapat dipungkiri, bulu kuduknya
berdiri ketika merasakan hal yang janggal tersebut.
“Hey!”
“AAAAAAAAAAAA!!”
jerit Dilan.
“Kenapa?
Aku ganggu kamu, ya?”
“R-rr-riaaan??
K-kkamu Rian??” tanya Dilan sambil mengucek matanya. Dia sama sekali tidak
percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Sosok Rian yang memakai baju
santai berada di sampingnya. Sosok orang yang sudah pergi seratus hari lalu.
“Iya,
benar. Hehe. Maaf, ya mengejutkan kamu,” kata Rian santai sambil tersenyum.
“Kau
tersenyum??”
“Iya.
Ada yang salah?”
“Hahaha.
Tentu saja tidak, idiot! Aku kira aku tidak akan pernah bisa lihat senyuman
manis kamu itu lagi. Kau kembali Rian! Aku melihat Rian yang dulu di dalam
dirimu sekarang!”
“Hahaha.
Ini hanya sementara saja, bodoh. Dalam keadaan seperti ini, kau masih bisa
merayu juga? Luar biasa. Tapi tenang saja, Dilan. Aku tidak akan pernah lagi
termakan dengan harapan dan rayuan bodohmu itu.”
“Aku
tidak merayumu. Hanya perlu kau tahu saja, Rian. Banyak orang yang tidak tahu
bagaimana cara memahami diri mereka sendiri. Dan aku sering mengalami hal itu.
Aku bahkan tidak paham kepada siapakah yang harusnya aku berikan cinta. Aku
tahu pilihanku untuk memilih Nadia adalah salah. Tapi kalau kau menganggap aku
mengacuhkanmu adalah salah besar, Rian. Kau tahu, hati kecilku selalu ingin
mendahuluimu daripada Nadia. Ingat saat kita pergi main arung jeram dan perahu
karet itu terbalik? Siapa yang aku selamatkan duluan? Kamu, kan? Dalam
mengartikan cinta, mungkin aku tidak sefasih dirimu. Caramu menghabisi nyawa
Nadia adalah cara yang sangat terburu-buru. Belum tentu juga aku dan Nadia bisa
awet. Aku baru menyadari, rasa sakit ini lebih bisa terasa saat aku ditinggal
dirimu dibandingkan saat ditinggal Nadia. Aku mencintaimu, Rian.”
“Wow!
Terima kasih, Dilan. Tapi semuanya sudah terlambat. Dan, tujuan aku kesini
adalah bukan untuk membicarakan hal itu, kau tahu.”
“Lalu
untuk apa?”
“Aku
mau bernyanyi bersamamu. Ingat lagu yang kita nyanyikan saat kamu pergi
berlibur ke Lombok dan aku tidak bisa ikut karena terkena cacar?”
“Ah,
tentu saja! Hahaha. Ini hanya halusinasiku saja atau Rian benar-benar
disampingku? Kalau memang benar, mimpi apa aku semalam bisa bernyanyi dengan
hantu? Hahaha.”
I am finding out that maybe I was wrong
That I've fallen down and I can't do this alone
Stay with me, this is what I need, please?
Sing us a song and we'll sing it back to you
We could sing our own but what would it be without you?
I am nothing now and it's been so long
Since I've heard the sound, the sound of my only hope
This time I will be listening
Sing us a song and we'll sing it back to you
We could sing our own but what would it be without you?
This heart, it beats, beats for only you
This heart, it beats, beats for only you
This heart, it beats, beats for only you
My heart is yours
This heart, it beats, beats for only you
My heart is yours
(My heart, it beats for you)
This heart, it beats, beats for only you (It beats, beats for only you)
My heart is yours (My heart is yours)
This heart, it beats, beats for only you (Please don't go now, please don't fade away)
My heart, my heart is yours (Please don't go now, please don't fade away)
(Please don't go now, please don't fade away) My heart is yours
(Please don't go now, please don't fade away) My heart is yours
(Please don't go, please don't fade away)
(Please don't go now, please don't fade away) My heart is...
That I've fallen down and I can't do this alone
Stay with me, this is what I need, please?
Sing us a song and we'll sing it back to you
We could sing our own but what would it be without you?
I am nothing now and it's been so long
Since I've heard the sound, the sound of my only hope
This time I will be listening
Sing us a song and we'll sing it back to you
We could sing our own but what would it be without you?
This heart, it beats, beats for only you
This heart, it beats, beats for only you
This heart, it beats, beats for only you
My heart is yours
This heart, it beats, beats for only you
My heart is yours
(My heart, it beats for you)
This heart, it beats, beats for only you (It beats, beats for only you)
My heart is yours (My heart is yours)
This heart, it beats, beats for only you (Please don't go now, please don't fade away)
My heart, my heart is yours (Please don't go now, please don't fade away)
(Please don't go now, please don't fade away) My heart is yours
(Please don't go now, please don't fade away) My heart is yours
(Please don't go, please don't fade away)
(Please don't go now, please don't fade away) My heart is...
Paramore – My Heart
0 comments:
Posting Komentar