Select Your Language

English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Rabu, 24 Oktober 2012

my second novel "Flirt With Death"



CHAPTER 1
“Boulevard of Broken Dreams”

            “Bagaimana mungkin kamu hanya bisa hidup dengan gitarmu ini?”
            “Mungkin saja.”
“Ah, kamu bercanda. Aku bisa memberikan tumpangan untukmu bernaung daripada harus lontang-lantung nggak karuan seperti ini. Kamu kan anak gadis.”
“Jangan khawatirkan aku.”
“Tentu saja aku mengkhawatirkanmu, Rian! Aku tidak mungkin bisa melihat hidup sahabatku hancur dan aku hanya diam saja. Ayolah, Rian. Beri aku kesempatan untuk membantumu. Aku sudah lelah mengejar dan mencarimu kemana-mana.”
“Sana pergi ke makam Nadia dan jangan ganggu aku.”
“Apa? Jangan pernah sebut nama dia lagi! Kau tahu, setiap orang yang menyebut nama Nadia, fikiranku segera melayang pada pembunuh bajingan yang tega membunuh orang yang paling kucintai itu.”
“Kalau begitu bunuh saja pembunuhnya.”
“Apa? Bisa tidak kamu sedikit serius, hah? Kau tahu aku tidak akan mungkin melakukan itu.”
“Yasudah, Dilan. Aku pergi,” dia lalu bangkit dan berjalan membawa gitarnya.
“Rian! Mau kemana? Aku masih bicara denganmu!!”
Masa bodoh.
“Jangan berpura-pura tidak mendengarkan aku, Rian!”
Apa urusanmu?
“Kenapa kamu berubah jadi sedingin ini?? Kemana Rian yang dulu, hah? Rian yang selalu membawa aura kebahagiaan untuk orang-orang di sekelilingnya?? Aku merindukan kamu yang dulu, Rian!!”
Ah, terserah.
...
Tidak ada suara lagi? Baiklah. Dia pasti lelah.

Yang Rian tahu sekarang adalah dia harus makan karena dia menderita kelaparan. Tapi sayang, dia tidak punya uang. Mengamen? Bosan sekali Rian mendengarnya. Laki-laki dengan wajah penuh bercak karena asap mobil itu selalu mengganggunya. Dia fikir Rian wanita jalang? Tidak puaskah dia sudah jatuh miskin karena kambing-kambingnya telah mati di tangannya? Ah, sial.
            Matahari sore ini tampak indah sekali. Warnanya merah seperti darah segar yang mencuat keluar saat Rian menggergaji kepala tuan Hatachi Akira Hikaru, orang yang secara total menghabisi nyawa seluruh keluargnya. Perlu kau tahu bahwa itu adalah kali pertama Rian membunuh anak Adam dan sepertinya Rian suka perkerjaan barunya ini.
            Rian mengambil posisi duduk di atas papan dermaga kecil. Di sana ada tiang yang menjadi sandaran kapal nelayan untuk mengikatkan tali kapalnya. Rian memeluk gitar kesayangannya dan jari-jarinya mulai memposisikan pada setiap fret gitar. Satu lagu favoritnya untuk sore ini, Green Day – Boulevard of Broken Dreams.
I walk a lonely road
The only one that I have ever known
Don't know where it goes
But it's only me, I walk alone

I walk this empty street
On the Boulevard of Broken Dreams
When the city sleeps
And I'm the only one and I walk alone

I walk alone
I walk alone
I walk alone
I walk a...

My shadow's the only one that walks beside me
My shallow heart's the only thing that's beating
Sometimes I wish someone out there will find me
'til then I walk alone

I'm walking down the line
That divides me somewhere in my mind
On the border line
Of the edge and where I walk alone

Read between the lines
What's fucked up when everything's alright
Check my vital signs
To know I'm still alive and I walk alone

I walk alone
I walk alone

Pukul setengah tujuh malam. Apa yang harus aku lakukan?, fikirnya.
Bunuh orang saja!


CHAPTER 2
 “Fake Glock”

            Rian mengeluarkan pisau racun miliknya. Pisau ini pisau warisan, peninggalan buyut dia yang masih percaya akan mitos. Rian mengambilnya dari lemari baju ayahnya yang berada di rumah neneknya sebagai bekal selanjutnya selain gitar ini. Dan kau harus tahu cara kerja dari pisau keramat ini.
            “Permisi, Pak? Bapak sedang apa disini?” tanyanya pada seseorang yang gerak-geriknya mencurigakan. Dia sudah siap memakai topeng untuk melancarkan aksinya. Mungkinkah dia maling? Pukul tujuh malam?! Orang ini sudah gila!
“Ssssttt! Diam atau akan kubunuh kau!” ancam Bapak berumur 40 tahunan itu sambil menodongkan pistolnya. Hah! Dia fikir Rian bodoh? Glock palsu itu biasa kita lihat dijajakan di depan SD dan anak-anak sering membelinya dengan harga delapan ribu rupiah. Rian menyeringai.
“Aku takut mendengarnya.”
“Kalau begitu pergilah! Jangan ganggu urusan orang!”
“Sebelumnya mau lihat sesuatu, Pak?”
“Apa?”
“Ikut aku.”
Rian memancingnya ke tengah gelapnya kebun orang. Ada banyak pohon-pohon tinggi yang bisa menyelamatkan dirinya dalam melancarkan aksi dia kali ini. Rian tidak menengok kebelakang melainkan berjalan terus kedepan. Rian yakin pasti bapak tidak tahu diri itu mengikutinya dan mulai berfikiran kotor karena melihat cara jalan Rian yang sengaja dia buat-buat sedikit liar. Lihat saja.
“Hey, Nona manis. Sudahlah jangan jauh-jauh. Di sini saja sudah cukup. Apa yang mau kau tunjukkan padaku?”
“Aku maunya lebih kedalam sedikit, Pak.”
“Ah, baiklah. Kamu cantik sekali, Nona manis,” kata bapak itu dengan suara sok diberat-beratkan.
Sebenarnya Rian mau bergerak lebih dekat dengan sungai agar dengan mudah mayatnya berenang sampai kekuburan di ujung sungai itu, jadi Rian tidak perlu repot-repot menyeret tubuh tua bangkainya ini. Deru suara bapak ini mulai gelisah, Rian tidak tahu apa yang dia gelisahkan. Rian sama sekali tidak menengok kebelakang. Membuatnya semakin dilanda rasa penasaran.
“Sampai.”
“Kau mau kita bermain didekat sungai?”
Benar, kan? Dia sudah gila.
“Main? Oke, kalau Bapak menyebutnya dengan kata “main”.”
“Ah, jangan panggil aku Bapak. Panggil aku Yanto saja. Aku masih muda, kok,” katanya sambil diiringi cekikikan yang tertahan. Rian tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas dalam kegelapan seperti ini. Tapi Rian yakin dia sedang melototi gerak-gerik tubuhnya yang sengaja dibuat eksotis.
Tertawalah sebelum kau tidak bisa tertawa lagi.
Rian mengambil posisi duduk di bawah pohon besar yang dia tidak tahu namanya.
“Kemari, Pak. Lihat apa yang aku punya,” katanya lembut.
Rian bisa merasakan langkah kaki bapak ini mendekat padnya. Tidak ada lagi yang menyuruh, tangannya mulai menggapai wajah mulus Rian. Tidak main-main. Rian mengeluarkan pisau racun ini lalu digoreskan sedikit di permukaan kulitnya yang sudah mulai kisut. Dalam waktu kurang dari dua detik, dia sudah menjerit kesakitan, merasakan perihnya sakaratul maut. Rian yakin racun yang sudah menjadi karat di dalam pisau tua ini mulai menjaring sel-sel di dalam tubuhnya, membawa racun tersebut ke jantung, otak, hati, paru-paru, dan dalam waktu kurang dari lima menit Rian bisa pastikan tubuhnya sudah dingin tak bernyawa lagi.
“Aaagh!! Apa yang kau l-lakk-ukan p-pp-adaku?” tanya bapak itu di sela-sela kematiannya.
“Membunuhmu.”
Bapak itu semakin menjerit kesakitan dan mengumpat-umpat Rian yang menatap bapak itu dengan pandangan menjijikan dengan kata-katanya yang kasar. Untung ini sudah jauh dari pemukiman penduduk, jadi suaranya bisa sedikit teredam. Tapi Rian jijik mendengarnya! Sial! Rian melihat jam di tangannya dan dia sudah merasakan sakit selama empat menit. Ini tidak biasa! Racun itu biasanya mulai mendinginkan tubuh seseorang dalam waktu sekitar tiga menit. Telat satu menit!
Akan aku percepat prosesnya.
“Diam dan jangan bergerak,” perintah Rian dengan suara yang datar padanya.
Rian melapisi tangannya dengan sarung tangan pencuri miliknya dan memegang tangannya yang mulai dingin itu dan menyayat kulitnya, lapis demi lapis. Pisau ini kurang tajam, jadi bunyi kulit yang terkelupas hebat sampai bisa didengar sampai sekitar dua meter jaraknya. Rian menikmati pekerjaan ini. Bapak ini semakin menjerit tak karuan. Darah segar keluar dari tubuh yang baunya tidak sedap ini, darah yang langsung membuat Rian semakin terangsang untuk menyayat kulitnya lebih dalam lagi. Rian kemudian menusuk tangan bapak itu sampai terdengar bunyi tulang yang retak dan pisau racun miliknya bisa menembus sisi lain dari tangannya. Tidak diragukan lagi, Bapak itu sekarang sudah tidak lagi merasakan perihnya disayat.
Ah, betapa baiknya diriku.
Rian kemudian menidurkan tubuh Bapak ini yang matanya melotot ke arahnya. Sangat kesal melihatnya. Dia lebih baik tidak mempunyai mata, fikirnya. Dengan mudah, Rian mengeluarkan kedua matanya dengan cara mencoloknya dengan pisaunya dan yap! He has no eyes anymore. Dan dengan satu gerakan mudah seperti layaknya pemain bola, Rian menendang tubuh si Yanto ini hingga dia masuk dan mengambang di dalam sungai.
Dia sudah meninggal.
Saatnya mencari uang untuk makan malam!


CHAPTER 3
“Rian’s Life Story”

            “Darimana kamu?”
            “Mencari Rian, Ma.”
“Rian? Gadis yang seperti orang psycho itu? Dia tidak punya tempat tinggal, kau tahu kan? Dan kamu masih mau berteman dengannya, Dilan? Kamu yakin?”
“Tentu saja. Aku sangat mengenalnya dan dia tidak seperti yang kita lihat sekarang. Dia juga bukan seorang yang gila atau apa. Memangnya Mama tau apa tentang Rian?”
“Yang Mama tau dia terlihat menyeramkan. Dari sudut matanya terlihat sekali kemarahan yang tertahan dan dendam yang ingin segera memuncak. Mama takut anak laki-laki mama menjadi korbannya.”
“Korban? Maksud Mama apa?”
“Uhmm.. Mama juga tidak tahu pasti, Dilan. Yang jelas Mama takut sesuatu yang buruk terjadi padamu.”
“Sudahlah, Ma. Rian hanya butuh tempat untuk menceritakan keluh kesahnya dan aku sekarang sedang mencoba memecahkan batu di hatinya yang semakin mengeras semenjak tragedi yang menghabiskan seluruh nyawa keluarganya itu,” Dilan mengambil segelas teh dan duduk di samping mamanya yang sedang memasak.
“Iya. Mama sempat dengar tentang berita itu tapi belum jelas. Bisa kamu ceritakan pada Mama tentang apa yang menimpa temanmu itu?”
“Mmmh..”
“Siapa yang tidak tahu kalau keluarga Rianti Ananda Fichie adalah keluarga kaya. Mama tahu, kan? Dan selalu ada saja yang tidak senang melihat kebahagiaan keluarga Rian yang semakin hari semakin bersinar. Satu per satu penghianat berhasil ditumpas oleh ayah Rian, Fabio Rodgres Fichie. Tapi mungkin memang sudah nasib atau takdir, seorang Jepang yang bernama Hatachi.. uhmm, kalau tidak salah Hatachi Akira Hikaru berhasil menembus benteng pertahanan Bapak Fabio dalam mempertahankan laju bisnisnya. Fabio dituduh korupsi dana tender dari kemenangan Bapak Fabio dalam usaha membangun real estate yang kalau tidak salah lokasinya sekitar lima kilometer dari sini, Ma. Bisa Mama bayangkan, dana yang cair untuk pembangunan real estate yang kelak mayoritas penghuninya adalah orang-orang bermata sipit yang kerjaannya berbisnis sampai wafat adalah dana yang tidak sedikit dan angkanya sangat fantastis, Ma. Dalam menjalankan usahanya sebagai seorang pemborong besar, Bapak Fabio selalu berusaha untuk melakukannya dengan jujur. Dia tidak mau dicap sebagai pembohong dan bukan pemborong.”
“Kasihan sekali. Lalu apa yang terjadi sampai keluarga mereka hancur lebur seperti ini?”
 “Nah, tidak puas setelah berhasil menembus benteng pertahanan Bapak Fabio, Hitachi dan dedengkot-nya menggerogoti nyawa kehidupan keluarga Fabio dari dalam. Aku kurang begitu paham mengenai alur ceritanya. Yang jelas pada suatu hari, rumah dan segala investasi juga tabungan milik keluarga Fabio jatuh ke tangan Hitachi. Dengan tangan dinginnya, Hitachi memerintahkan “orang-orangnya” untuk membakar rumah keluarga Fabio. Satu yang mengerikan. Rian pernah cerita padaku sebelum sikapnya menjadi sedingin ini, bahwa sebelum rumah itu dibakar, Fabio, istri Pak Fabio, adik Rian, dan Rian diikat dan dipisahkan satu sama lain, tapi masih dalam satu ruangan. Kalau tidak salah kejadiannya di dalam ruang tengah rumah mereka. Satu per satu anggota keluarga dipotong rambutnya dengan pisau hingga ada yang sampai kulit kepalanya terkelupas. Lalu setiap dari mereka disirami minyak tanah dan siap untuk dibakar. Tapi, saat mau menyiram kearah Rian, minyak tanah itu habis. Kemudian, Hitachi melemparkan puntung rokok yang apinya masih menyala ke arah Fabio lalu pergi melarikan diri dengan penuh keyakinan kalau keluarga Fabio akan mati semua.”
“Mereka semua menjerit saat melihat sang kepala keluarga hangus dilalap api. Rian sebagai anak pertama, tidak bisa tinggal diam melihat itu semua di depan matanya. Terlebih saat melihat api mulai menjalar ke tubuh ibunya. Sekuat tenaga, Rian berusaha melepaskan ikatan yang mengikat tangan dan kakinya dengan kencang. Kuasa Tuhan, Rian berhasil. Tapi semua sudah terlambat, usaha Rian melepaskan tali hanya sebagai selang waktu sambil melihat satu persatu anggota keluarganya menjadi debu. Rian berlari keluar rumah dan menangis, menatap terbakarnya seluruh kenangan yang pernah dia miliki selama enam belas tahun,” jelas Dilan panjang lebar. Bahkan Mamanya sampai menghentikan aktifitas memasak untuk mendengarkan Dilan bercerita.
“Ya, Tuhan. Malangnya nasib anak itu. Lalu dia pergi dan tidak punya tempat tinggal seperti sekarang ini?”
“Begitulah. Dia segera berlari sejauh dua blok untuk mendatangi rumah neneknya. Dia ingin menyelamatkan diri di sana. Tapi naas, yang dia lihat adalah api juga mulai berkobar dari dalam rumah itu. Rian memberanikan diri masuk ke dalam untuk melihat kondisi keluarganya yang ternyata sudah tidak ada di dalam rumah. Cukup lama Rian di dalam. Entah apa yang dia cari. Saat dia keluar, wajahnya sudah berpeluh keringat dan kehitaman karena asap tebal dari sumber api. Dia terlihat mengantongi sesuatu. Aku tidak tahu itu apa. Aku tahu karena aku berada di sana waktu itu, Ma. Aku sedang main sepeda di komplek itu.”
“Ya, Tuhan. Kasihan sekali dia. Lantas kenapa kamu tidak membawanya kesini? Dia mungkin bisa tinggal bersama kita,” tanya Mama.
“Sudah berulang kali aku menawarkannya untuk tinggal, tapi dia tidak mau. Bahkan sekarang dia semakin terlihat menakutkan semenjak kematian Nadia. Waktu itu yang dia ambil dari rumah ini adalah gitarnya. Dia pernah menitipkan gitarnya padaku. Setelah itu dia pergi lagi. Aku tidak tahu dia suka pergi kemana.”
“Nadia? Nadia yang pacarmu itu, kan?”
“Iya,” Dilan menunduk. Mungkin mengingat kejadian terbunuhnya sang pacar oleh pembunuh yang tidak diketahui.
“Tapi, Ma. Tuhan memang Maha Adil,” lanjutnya.
“Kenapa?”
“Hatachi dan dedengkotnya akhirnya mati dalam keadaan mengenaskan. Mungkin dibunuh oleh orang lain yang kesal dengan permainan bisnisnya. Permainan bisnis Hatachi memang liar dan tidak beradab. Menurutku, sudah sepantasnya dia mendapatkan itu semua.”
“Innalillahi.. mengerikan sekali kisah Rian,” kata Mama Dilan sambil mengelus dadanya.
“Iya, Ma. Makanya aku iba terhadapnya. Aku mau dia melanjutkan sekolahnya dan bukan lontang-lantung seperti ini. Perpaduan Yogyakarta dan Spanyol membuatnya jadi cantik. Dia bisa jadi model kalau dia mau,” kata Dilan terlihat menyesal.
“Jangan paksakan kehendak orang lain. Sudah cukup kita membujuknya. Apabila dia masih keras kepala, yasudah biarkan saja. Kita tidak tahu bagaimana kehidupannya di jalan. Ingat Dilan, secantik apapun dia, dia sudah menjadi anak jalanan dengan kehidupan barunya yang liar. Mama tetap tidak suka kamu berteman dengannya.”
“Loh? Aku hanya mencoba untuk mengembalikan kebahagiaannya!” otot Dilan.
“Tapi tidak juga harus menganggu sekolahmu, kan? Kemarin kamu sampai berani bolos sekola hanya karena ingin mencari Rian dan lihat apa yang kamu dapatkan. Dia tidak peduli kehadiranmu! Oleh karena itu, jauhi dia!” tegas Mama.
Dilan terdiam. Fikirannya tetap bertentangan dengan Mamanya.
Rian harus kembali seperti dulu.


CHAPTER 4
“Misery Business”

            Rian berjalan dengan tenang setelah berhasil menghabisi satu lagi kepala manusia. Dia merasa seperti habis diberikan insulin atas penyakit yang dideritanya. Bajunya yang sedikit terkena cipratan darah sang korban, dengan mudah bisa dia hilangkan. Ini hal mudah untuknya. Setelah lapar batinnya terpenuhi, dia memutuskan untuk mencari uang agar bisa memenuhi lapar di perutnya. Dia menuju sebuah cafẽ yang terdapat banyak anak seumuran dia di sana. Ngobrol, makan, foto-foto, browsing sepuas-puasnya, dan hanya untuk sekedar tertawa bersama.  Rian menatap satu persatu dari mereka. Dulu, aku seperti mereka,ungkapnya dalam hati. Rian tersenyum, walaupun tertahan. Dia merindukan kehidupannya dulu, yang penuh dengan kegembiraan. Hitachi sialan itu telah merebut semuanya. Terkutuklah kau!
            Rian tahu betul lagu apa yang biasa disukai anak muda seperti dia dan tamu-tamu cafẽ itu. Dengan wajah tidak berdosa, dia menghampiri meja anak-anak belasan tahun itu lalu mulai menyanyikan sebuah lagu. Kali ini dari miliknya Paramore yang berjudul Misery Business. Dia berharap semua dari mereka dapat bergoyang mendengarkan permainan gitarnya yang apik.
            Dengan bermodalkan wajahnya yang cantik saja sudah bisa menarik perhatian para pengunjung yang seumuran dengannya. Ditambah pakaiannya yang sama sekali tidak terlihat seperti anak jalanan apalagi seorang pembunuh.
Woop! Bukan main. Semua orang di cafe itu bangun dari tempat duduknya dan mulai bergoyang mengikuti irama lagu dan suara merdu oleh Rian. Dia tidak menyangka banyak juga pemuda-pemudi di sini yang mengetahui salah satu lagu favoritnya. Rian bisa tersenyum lebar saat banyak dari mereka ikut bernyanyi bersamanya. Dia bekerja dengan baik, berhasil menyembunyikan “semuanya”.
Respon yang lebih baik dan sampai membuat Rian sendiri merinding adalah saat mereka semua menyanyikan bagian Chorus dari lagu ini. Lagu kebencian tentang kemunafikan yang dikemas dalam cover keceriaan. Rian semakin bersemangat.
Sukses besar! Rian bisa mendapatkan uang hampir seratus ribu rupiah hanya dalam satu malam dia bernyanyi. Rian bisa merasakan nikmat dari hasil keringatnya sendiri dan itu semua terasa lain dibandingkan dengan mengadahkan tangan selebar mungkin di hadapan orang tua. Itu mustahil untuknya sekarang.
“Hey, boleh aku tahu namamu?” tanya seorang laki-laki dengan rambut keriting berumur sekitar delapan belas tahun. Sepertinya dia tertarik pada Rian.
“Maaf,” Rian tidak berhenti melangkah pergi.
“Namaku Deni. Aku hanya ingin berkenalan denganmu. Suara dan permainan gitarmu tadi bagus sekali. Aku suka lagu yang kamu bawakan. Mungkin kamu bisa membawakan lagu Paramore yang judulnya Playing God. Kalau tidak salah seperti ini...” laki-laki itu mulai menyanyikan bait chorus pada lagu yang dia sebutkan tadi.
Aku tidak mendengarmu.
“... nah kalau tidak salah seperti itu. Pasti bagus kalau kamu yang menyanyikan. Mau tidak menyanyikan lagu itu untukku?”
“Tidak. Terima kasih.”
“Ayolah, sebentar saja. Kalau begitu, bagaimana kalau aku traktir kamu makan malam? Kamu kelihatannya cinta musik. Kita bisa sharing satu sama lain. Bahkan kalau kamu mau, kamu bisa bergabung di band-ku dan aku bisa jadikan kamu vokalisnya. Bagaimana?”
Vokalis? Aku pernah melakukannya dan itu buruk!
“Tidak. Terima kasih.”
“C’mon, baby girl. Aku suka melihat gayamu tadi. Jangan buat aku semakin penasaran padamu.”
Dia memaksa.
Rian tetap diam.
“Halo? Apakah kamu mendengarku? Dingin sekali sikapmu. Tidak seperti saat bernyanyi tadi.”
“Jangan ikuti aku!” Rian sedikit menegaskan suaranya.
“Apa?! Oke, tenang. Aku tidak akan memaksamu. Baiklah, aku pergi.”
Pengecut sekali dia.
Orang yang menyebut dirinya bernama Deni tersebut akhirnya pergi. Hampir saja Deni merasakan hangatnya racun liar dari dalam pisau milik Rian. Lagipula, Rian tidak mau terlalu mengobral kekuatan pisaunya untuk hal ini. Dia tidak mau polisi dengan mudah melacak jejaknya karena emosi Rian berhasil mengalahkannya. Dia bukan pembunuh profesional, tapi dia tidak mau gegabah. Tapi, kalau saja Deni tadi memaksa sekali lagi, niscaya besok pagi akan ada berita meninggalnya seorang pemuda sehabis menggoda seorang gadis. Gadis itu bukan orang sembarangan.
Namaku, Rian!
Ada dua pilihan tempat makan untuknya sekarang. Di depan ada toko pizza, restaurant khusus bakso, dan nasi goreng pinggir jalan. Coba tebak, Rian akan pilih yang mana.
“Tolong nasi gorengnya satu porsi.”
“Ditunggu ya, Neng.”
Satu-satunya alasan Rian memilih membeli nasi goreng adalah, agar dia bisa lihat cara mereka mencincang bumbu, bakso, dan bahan-bahan lain sampai halus-halus. Lihat, tangan mereka lancar dan cepat sekali dalam melakukan eksekusi. Dengan gerakan yang pasti dan cepat, tangan yang satu lagi menampung semua bahan-bahan yang sudah dieksekusi tersebut kedalam satu wadah lain. Tidak ada satupun bahan yang terjatuh. Kalau terjatuh, mereka akan rugi. Dalam sekian detik, semua sudah dibinasakan dalam satu wadah besar, penggorengan. Tidak ada lagi yang nampak. Semuanya sudah berbaur dengan nasi. Begitupun dengan talenan tempat sang ibu mengeksekusi bahan-bahan. Rian lupa tangan yang mana yang digunakan, tapi dengan cepat talenan itu bisa bersih seperti semula dan siap untuk memotong-motong bahan yang lain lagi. Orang-orang kelaparan itu ingin semuanya selesai dengan cepat dan mereka akan puas. Seusai mempersiapkan makanan untuk tamu-tamunya, dia membersihkan segala sesuatunya dengan sempurna.
Ah, satu lagi pelajaran baru.
“Ini, nasi gorengnya,” kata ibu penjual nasi goreng kepada dua orang pelanggan yang sepertinya habis dari pulang kerja.
Lihat, tangan ibu itu kembali bergerak seperti mesin. Cepat dan tepat.
“Tadi lihat tidak ada orang-orang berkerumun di dekat sungai?” tanya seseorang yang baru saja mendapatkan pesanannya.
Kedengerannya menarik. Rian memasang telinganya.
“Oh, iya aku lihat! Ada mayat di sana. Tadi aku mendengar orang-orang yang berkerumun di sana meneriakkan kalau bola mata mayat itu sudah tidak ada,” kata temannya yang satu lagi.
Dasar tukang gossip.
“Ah, yang benar? Gila! Kenapa mayat itu mati? Dibunuh atau ditabrak sapi?”
“Hahaha. Gila kamu. Ya dibunuh, lah. Dasar pembunuh jahanam. Tega sekali dia menghabisi nyawa orang. Dia fikir dia Tuhan?”
Sial!
“Benar sekali! Mungkin dia saja dia orang gila yang kelaparan. Hahaha.”
Tertawalah sampai puas!
“Maaf, tidak baik membicarakan orang lain. Kita kan belum tahu pasti motif pembunuh itu. Kita tidak boleh menghakimi orang, kau tahu,” kata ibu penjual nasi goreng menasihati.
Tuhan bersamamu, Bu.
Setelah dinasihati, kedua orang itu terlihat berbisik-bisik. Entah apa yang dibicarakan mereka. Yang jelas, bibir keduanya terlihat dibuat-buat. Sangat terlihat bahwa mereka adalah wanita-wanita penggosip ulung. Bahkan Rian bisa bayangkan apa saja yang biasa mereka lakukan pada waktu luang di kantornya.
“Ini, nasi gorengnya.”
Rian tersenyum ramah kepada ibu itu dan begitupun sebaliknya. Rian terlihat lahap sekali menyantap makanan yang proses eksekusinya diperhatikan baik-baik sedari tadi. Rian merasa semua yang dilakukan secara cepat dan tepat akan menghasilkan sesuatu yang sempurnya. Buktinya? Nasi goreng ini!
“Ini, Bu,” Rian membayar apa yang sudah dia pesan. Dia terlihat buru-buru, terlebih saat dua orang tadi menyudahi makan malamnya.
“Tunggu kembaliannya ya, Neng.”
“Ah, tidak usah. Ambil untuk ibu semua. Terima kasih atas pelajarannya, Bu.”
“Loh? T-tapi? Pelajaran apa, Neng?”
“Terima kasih juga atas pembelaannya.”
“Apa? Untuk apa, Neng?”
Rian tetap melangkah pergi, bahkan cenderung mempercepat langkahnya. Dia tahu ibu itu sedang bingung.
“Terima kasih, Neng!” saut ibu itu dari belakang cukup kencang, berharap Rian mendengarnya. Rian tersenyum dan tidak ada satupun yang mengetahui pergerakan bibirnya kecuali dirinya.
Rian semakin mempercepat langkahnya. Tidak berlari, tidak juga berjalan. Dia terlihat berkeringat, seperti sedang dikejar anjing. Bahkan orang yang melihat dia dengan cara berjalan seperti itu pun akan merasakan lelah. Nafasnya dan detak jantungnya berderu seperti sedang lomba lari maraton, atau menunggu detik-detik kelulusan. Matanya fokus kedepan, tidak dipincingkan kekanan atau kekiri. Bagai elang yang siap menerkam pelikan.
“Hey!” sapa Rian setelah menemui apa yang dia telah cari tepat di tempat yang dia inginkan.
“Mau apa?” tanya salah seorang dari mereka.
“Tadi di tempat nasi goreng bicara tentang pembunuhan, ya?”
“Iya. Memang kenapa?” tanya yang satu lagi.
Sok tomboy.
“Apa yang kalian katakan tentang pembunuh itu?”
“Menurut kami, dia kejam dan jahanam. Kau mau apa?”
Rian mendekat.
“Apakah ini yang kalian sebut kejam?”
Waktunya untuk mempraktikan pelajaran.
Rian menggores wajah perempuan yang menantangnya itu dengan pisau racunnya tanpa memegang kulit mulus gadis itu.
“AAAGGH! Kau apakan mukaku???” jerit perempuan itu histeris kesakitan sambil memegang wajahnya yang segera bercucuran nanah busuk. Begitupun tangan yang digunakannya untuk memegang wajahnya tadi. Dengan mudah racun itu berpindah sarang.
Dengan gerakan yang pasti dan cepat, tangan yang satu lagi menampung semua bahan-bahan yang sudah dieksekusi tersebut kedalam satu wadah lain. Tidak ada satupun bahan yang terjatuh.
Hanya dengan menggunakan satu tangan, dia berhasil menebas hidung mancung gadis itu. Dashyat! Gadis itu merasakan rasa perih yang teramat dashyat! Tidak ada satu potong hidungpun yang terjatuh ke tanah.
Dalam sekian detik, semua sudah dibinasakan dalam satu wadah besar, penggorengan. Tidak ada lagi yang nampak.
 Dengan pisaunya, dia memaksa memasukkan potongan-potongan hidung itu kedalam mulut gadis si empunya hidung.
“Ahmmmppphh!!” gadis itu terlihat mau mengeluarkan seluruh isi perutnya saat.
“Telan.” perintah Rian datar. Satu persatu sayatan hidung berhasil masuk kedalam perut gadis malang itu.
“Ahmmmpppphh!! Tt-olonghhh!” suaranya tertahan oleh pisau racun itu di ujung mulutnya. Tidak sengaja, mata pisau Rian menusuk gusi gadis itu hingga berdarah.
“Ooops! Itu faktor ketidaksengajaan.”
“S-siap-pa k-kkamu??” tanya perempuan yang satunya dan bergerak mundur kebelakang setelah melihat di depannya ada sesosok monster cantik. Rian menyeringai.
Namaku, Rian!
“Mau tahu rasanya kejam?” Rian mendekati wajah gadis itu sampai keringat gadis itu menempel di wajah Rian. Dipelototinya sampai gadis itu lemas karena takut.
Begitupun dengan talenan tempat sang ibu mengeksekusi bahan-bahan. Rian lupa tangan yang mana yang digunakan, tapi dengan cepat talenan itu bisa bersih seperti semula dan siap untuk memotong-motong bahan yang lain lagi.
Dengan gerak cekatan, dia membersihkan pisaunya dengan baju yang dimiliki korbannya. Rian memotong jari manis yang dilingkari cincin dari tangan gadis itu. Dia lebih suka cara yang ini dalam melepaskan cincin seseorang.
“Kau gila! Psycho!!!” jerit gadis itu di sela-sela dia menahan rasa sakit di jarinya yang sudah bercucuran darah.
Rian menyeringai. Dia berniat memakaikan cincin itu pada jari yang lain.
“Jari telunjuk?” Rian memasukkan cincin itu kedalam jari telunjuk gadis itu.
“Ah, tidak cocok.” Rian segera memotong kembali jari telunjuk milik gadis itu.
“AAGH!!” Kembali dia memasukkan cincin kedalam jari yang lain lalu..
“AAGH!! Please, stop! Help me..!!” Rian kembali memotong jari tengah yang dirasa kurang cocok dipakaikan cincin. Beralih pada jari yang lain dan seperti biasa, setelah dirasa tidak cocok, jari-jari itu kembali diputuskan dari uratnya.
            “ARGGH! Tolong, maafkan aku! Sudah cukup aku kehilangan temanku dan jari-jari tangan kananku! Jangan siksa aku lebih dari ini!!!” erangnya kuat.
            “Mati lebih baik.”
            Rian menusukkan pisau miliknya hingga masuk kedalam perut perempuan itu. dia menjerit kesakitan. Jeritan terakhirnya.
Seusai mempersiapkan makanan untuk tamu-tamunya, dia membersihkan segala sesuatunya dengan sempurna.
Siapa suruh kalian lari kesini?, fikir Rian setelah melihat ada perahu nelayan bekas yang terkapar. Kemudian, dia menyeret kedua mayat tersebut dengan cara menarik bajunya dengan pisaunya yang sangat jauh dari kata tajam hingga sampai kedalam perahu. Dia mendorong perahu itu sampai sedikit ketengah pantai. Hanyut dan ketika sampai di tengah laut, kapal itu tenggelam. Kapal itu ternyata bocor. Mereka akan dikira dimakan ikan buas.
Namaku, Rian!


CHAPTER 5
“No Voice To Be Heard”

            Setelah membunuh kedua penggosip ulung itu, Rian kembali mengamen. Kali ini tidak pada suasana anak-anak muda seusianya, melainkan suasana tahun 60’an.  Di tempat itu terdapat banyak sepasang suami dan istri sah, suami dan istri simpanan, suami dan selingkuhan, suami dan istri sirih, suami dan istri juga kerabatnya, yang kesemuanya rata-rata berumur tiga puluh ke atas. Manager kafe itu masih muda, mungkin sekitar dua puluh tahunan. Tidak sembarang penyanyi bisa masuk dan menghibur para tamunya, karena rata-rata pengunjung adalah dari kalangan elite. Tapi, apa yang tidak bisa dilakukan oleh gadis jagoan seperti Rian. Hanya dengan satu kedipan tanpa harus menjadi perempuan murahan dia bisa menyulap sang manager meng-iyakan kehadirannya untuk menghibur tamu-tamu di dalam.
Rian melangkahkan kakinya masuk kedalam kafe dengan dominasi warna merah maroon itu. Bapak-bapak berdasi dan ibu-ibu penuh gandulan di leher dan tangannya sangat menikmati penganan yang disediakan. Dia jadi teringat akan ibu dan ayahnya. Mereka dulu sering pergi ke kafe keluarga pada akhir minggu atau hari libur. Sempat dilanda kebingungan atas lagu apa yang harus dia mainkan di dalam. Tapi mungkin, lagu kesukaan ibunda Rian bisa menjadi sajian yang pantas.
“Lagu ini mengingatkanku pada almarhum ibuku. Dia wanita hebat. Untuk semuanya, aku tidak perlu belas kasihan. Hanya satu kali tepukan saja dan nyatakan kalau lagu ini hebat dari hati Anda yang terdalam. Dari milik Jim Reeves, ‘He’ll Have to Go’.”
Woop! Semua orang bertepuk tangan saat Rian baru saja menyelesaikan kalimat terakhirnya. Sambil bernyanyi dengan gitarnya, dia membayangkan wajah ibunya yang sering mengajaknya berkaraoke lagu ini, dan ibunya juga sering memperdengarkan Rian lagu ini saat Rian masih tertidur pulas di dalam gendongan ibunya dulu. Dulu sekali, sebelum semuanya berubah.
“Lagi! Lagi! Lagi! Lagi!” sorak semua pengunjung saat Rian menyelesaikan bait terakhir lagu itu. Rian kemudian melirik si manager muda itu untuk meminta izin dan manager menundukkan kepalanya pertanda setuju tanpa perlu Rian mengatakan kalimat apapun.
“Victor Wood, Take Good Care of Her”
Respon yang sama, sangat baik. Semua orang bisa tersenyum. Kalau lagu ini, Rian ingat akan ayahnya yang kurang suka dengan penyanyi asal Filiphina seperti Victor Wood. Dia terkadang langsung masuk ke kamar saat ibu Rian memainkan lagu ini di ruang tengah. Tidak ada yang marah. Ibu Rian sengaja meledek tuan Fabio saat itu.
Sukses besar. Dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah berhasil dia kantongi dalam waktu semalam walaupun hanya membawakan dua buah lagu. Dengan uang itu, dia menuju ke sebuah distro. Bujang-bujang sok keren di dalam toko itu menatap Rian dari atas sampai kaki. Jelas saja, Rian cantik bukan buatan. Dengan tatapan pembunuh dan tidak meladeni satu orang pun dari mereka, Rian melangkahkan kakinya dan memilih-milih baju. Pukul sebelas malam dan kedatangan wanita cantik adalah rejeki untuk mereka dan tidak ada yang menyuruh, fikiran mereka pasti kotor. Merasa tidak diladeni, satu per satu dari mereka mulai mendekati Rian yang adalah satu-satunya wanita di dalam.
Dekati aku adalah kesiapan untuk mati.
Dengan tangan berani, seseorang dengan tinggi sama dengan Rian mulai memainkan tangannya dengan menyolek-nyolek pinggang Rian. Rian diam saja, mengatur nafas agar mereka tidak mengetahi kalau darahnya sudah naik ke kepala. Menunggu saat yang tepat untuk beraksi. Merasa tidak ada respon berarti dari Rian, pria itu fikir Rian setuju atas perlakuannya?
Jangan harap!
Rian menggeser baju pilihannya agak kedepan dan bergerak menuju belakang distro tanpa berbicara apapun. Satu per satu mengikuti Rian dan berharap mendapatkan “sesuatu” dari Rian.
Ya, kalian akan mendapatkannya.
Rian lalu duduk di lantai dengan kepala menunduk kebawah. Mereka semua pasti bingung dengan apa yang Rian lakukan tapi sepertinya mereka tidak peduli. Nafsu mereka sudah di ujung ubun-ubun dan orang yang tadi mencolek-colek Rian segera memeluk Rian.
Salah. Dia melakukan hal yang salah.
“AAGGH!!” jerit pria itu ketika dari batas mata kaki ke bawah berhasil diputusi dengan cepat oleh Rian dan pisaunya dan membuat dia jatuh tersungkur hingga kepalanya membentur lemari. Naas, lemari itu bergoyang dan ternyata di atasnya ada pisau buah dan apel yang sudah dikupas dan berubah menjadi sedikit oranye karena terkena udara. Apel dan pisau itu ikut terjatuh menimpa laki-laki nakal itu. Dia menjerit kesakitan saat didapati apel mendarat di dahinya. Tapi dia berhenti menjerit saat pisau buah berhasil mendarat mulus tepat di tengah-tengah lehernya saat dia mengadahkan kepalanya keatas.
Terima kasih pisau manis.
“RIO!!!” jerit histeris teman-temannya saat melihat orang yang dipanggil Rio itu mati dengan mulut menganga.
“Lari! Kita harus lari!!” ajak seseorang.
“Apa? Bagaimana dengan Rio??”
“Biarkan saja! Kita harus menghubungi polisi sekarang! Cepat!”
Tidak semudah itu.
Rian bergerak sangat cepat seperti seorang ninja dan mencabik satu persatu dari mereka dengan pisaunya. Cabikan yang cepat, tapi niscaya racunnya sudah meresap hingga ke dalam sel-sel darah mereka. Kali ini Rian baru sadar, bahwa deteksi polisi saat melihat luka atau goresan pada luka korban yang disebabkan pisau milik Rian adalah hasil gigitan hewan. Itu dikarenakan pisau itu terbuat dari tulang hewan buas yang dilumuri oleh darah anjing hutan juga bahan-bahan dari tanaman liar di dalam hutan yang menyebabkannya menjadi sangat beracun. Jadi, dia bisa bebas menghabisi satu persatu dari mereka tanpa takut dideteksi polisi.
Mereka menjerit kesakitan saat didapat dari sumber cabikan sudah keluar darah serta nanah yang sangat menjijikan. Tapi yang jelas, Rian selalu kurang puas kalau belum memotong atau membiarkan pisaunya tembus di dalam tubuh mereka. Rian menusukkan pisaunya kedalam leher dua dari mereka, lalu satu orang lagi mendapat giliran potongan tangan oleh Rian.
Satu, dua, tiga. Mereka tidak lagi bernafas. Semua dilakukan dengan cepat dan tepat.
Juga tanpa suara.
Dia kemudian mengambil korek api dan membakar sambungan kabel di toko itu. Dalam hitungan detik, toko itu terbakar. Rian segera mengambil baju yang tadi dia pilih lalu berlari dan membawanya keluar. Satu menit kemudian, terdengar suara ledakan besar dari dalam rumah.
Nice job, Rian.
Satu-satunya alasan dia memilih baju itu karena baju itu bertuliskan “Don’t  try to stop me from avenging this world! NO VOICE TO BE HEARD!” yang tidak lain adalah potongan lirik lagu dari Bullet For My Valentine yang berjudul Waking The Demon. Rian tersenyum menyeringai saat mendapatkan baju itu. Kata-katanya seperti membangkitkan separuh setan dalam tubuhnya yang dari tadi tertidur, memimpikan jika neraka berubah menjadi pantai tropis dengan gadis-gadis cantik di dalamnya. Jelas tidak mungkin.
Rian tidak tidur semalaman. Kakinya tidak lelah terus dan terus berjalan menyusuri jalanan di pusat kota. Bisa saja dia menutup matanya untuk beristirahat sejenak, tapi dia tidak bisa. Dia sengaja tidak tidur karena ingin membiarkan warna hitam di bawah matanya semakin gelap dan merubah warna matanya menjadi kemerahan. Semua bisa di dapat secara alami tanpa perlu make-up, kawan. Sesekali dia melihat para penjaja malam menari-nari bagaikan kupu-kupu untuk menarik perhatian lawan jenis agar bisa mendapatkan madunya.
Rian menyeringai.



CHAPTER 6
 “Flashback”

            “Nadia! Mau kemana?”
            “Mau ke kantin. Kamu mau ikut, Rian?”
“Mau! Tunggu sebentar. Aku pakai sepatu dulu,” Rian memakai sepatunya dan berlari-lari kecil menghampiri Nadia yang sudah berada di depannya terlebih dahulu.
Keduanya berbincang-bincang mengenai pelajaran yang baru saja dilewati. Perbincangan standar, tidak ada yang istimewa. Sampai di kantin, mereka memesan makanan dan duduk pada salah satu kursi di sana. Sudah seperti pasar ikan tempat ini. Sangat ramai dipenuhi oleh orang-orang kelaparan.
“Hey, Rian,” sapa seseorang. Dia Dilan.
“Hey,” Rian tersenyum sumringah melihat siapa yang menyapanya. Dilan melakukan hal yang sama.
“Hey, Nad,” sapa Dilan ramah.
“Halo, Dilan,” Nadia tersenyum. Dalam beberapa detik, keduanya saling beradu pandang. Rian mulai mengerti arti pandangan itu. Pandangan yang selalu sama dari hari-hari sebelumnya. Seketika, makanan yang di makanannya seolah berubah menjadi bubur basi yang menghilangkan nafsu makannya. Dia menunduk.
            Mereka bertiga berbincang-bincang masalah guru baru yang sedikit menyebalkan. Perbincangan yang cukup santai tapi menyenangkan. Nadia tampak begitu nyaman bercanda dengan Dilan di sampingnya. Dia tidak lagi mempedulikan teman wanitanya yang dari tadi hanya memindahkan nasi di piringnya dari sisi satu ke sisi yang lain. Begitupun es jeruk yang dipesannya. Dengan sedotan ungu, perasan jeruk itu sudah berputar-putar karena diaduk secara acak oleh Rian. Bahkan jika di dalamnya ada ikan, bisa dipastikan ikan itu mati dalam sekejap.
            “Oh, iya! Tadi aku disuruh kumpul di ruang Osis. Rian, temenin ke ruang Osis, dong,” bujuk gadis itu pada temannya.
            Masih menganggapku ada, toh?           
            “Kamu sendiri aja gimana, Nad. Makanannya Rian belum abis, tuh. Biarin dia habisin makanannya dulu,” kata Dilan.
            Kau membelaku? Syukurlah. Moodku sedang tidak enak. Jangan harap mau menemani Nadia ke ruang Osis.
“Yaah. Masa aku sendirian?” rengek gadis itu manja.
“Masa anggota Osis tidak berani sendiri?” ejek Dilan.
“Ah, kamu. Yasudah, deh. Tunggu aku di kelas, Rian,” kata Nadia lalu pergi.
Rian selalu merasakan ini. Rasa yang lain setiap berdua saja dengan orang yang dari awal dia ketahui bernama Dilan itu. Rasa itu seperti sedang berada di Whiteheaven Beach, Australia dan merasakan indahnya pasir pantai terputih di dunia. Atau mungkin hanya sekedar bermimpi untuk memeluk Eiffel dan berfoto tepat di bawah kaki besarnya yang sama sekali tidak mau merunduk itu. Sombong sekali. Tapi kharisma Eiffel selalu dikenang oleh setiap orang yang melihatnya walau Eiffel tidak pernah melagukan satu bait pun puisi cinta. Begitulah Dilan.
Rian selalu berusaha tenang tapi tidak bisa. Berulang kali dia menghembuskan nafas panjang dengan maksud membuat dirinya lebih rileks, atau hanya sekedar menyedot es jeruk di gelasnya yang dari tadi tak tersentuh. Dia selalu membuat kesibukan-kesibukan sendiri saat berada di dekat Dilan. Mungkin pria itu tahu kalau gadis berhidung mancung di sampingnya itu sedang gelisah. Satu buah permen mungkin bisa memecah suasana.
“Mau?” Dilan menawarkan.
“Terima kasih,” Rian mengambilnya lalu tersenyum.
Dilan sudah khatam sifat temannya yang moody itu. Tidak jelas kapan Rian bisa bermood enak ataupun mood yang sebaliknya. Semua berjalan begitu saja. Bayangkan, mereka sudah berteman sejak masih duduk di kursi dengan cat warna-warni, TK nol besar sampai sekarang. Dilan berusaha membuat mood Rian kembali berwarna-warni dan bukan hitam seperti ini. Pria dengan tinggi 170cm itu membuat banyolan-banyolan konyol yang terkadang tidak ditanggapi oleh Rian karena dia terlalu sibuk mengatasi rasa gugupnya pada Dilan. Tapi, orang tua jaman dulu bilang kalau tertawa itu tidak boleh di tahan. Berawal dari hanya tersenyum sedikit, mengeluarkan gigi dan sekedar nyengir, sampai akhirnya Rian bisa tertawa lepas sampai merasakan sesuatu mengganjal di perutnya. Rasa sakit yang biasa di derita orang-orang saat tertawa berlebihan. Dilan selalu punya jurus ini dan selalu berhasil. Beberapa kali Dilan menyuapi nasi yang tak tersentuh di piring Rian hingga akhirnya, semuanya masuk kedalam perut gadis dengan berat badan 48kg dan tinggi 167cm itu. Satu lagi keberhasilan dan kita harus angkat topi atas prestasinya itu.
“Kenapa?” tanya Rian tiba-tiba setelah melihat rekannya terdiam tiba-tiba dan tidak membuat suara aneh dari kerongkongannya lagi.
“Aku sedang bingung.”
“Bingung kenapa? Bingung karena hanya kamu yang bisa membuat suara seperti itu? hahaha. Kau gila!”
“Haha. Bukan.”
“Lalu?”
“Tapi kamu harus janji kamu tidak akan kaget, ya?”
“Uh-huh.”
“Juga tidak akan tertawa?”
“Yap.”
“Juga tidak akan mengejek?”
“Oke.”
“Tidak meludahiku seperti tadi?”
“Hahaha. Itu tadi karena faktor X, Tuan.”
“Haha. Semua orang juga tahu kalau kau itu gila, Rian. Hahaha.”
“Yang mau kamu katakan itu?”
“Hah? Bukan.”
“Lalu apa?”
“Begini..” Dilan menarik nafasnya panjang, mengumpulkan seluruh kata-kata yang mau dia ucapkan dan itu jelas semakin membuat tumbuh suburnya rasa penasaran Rian. Dilan merapatkan posisi duduknya ke dekat Rian dan berkata,
“Aku mau nembak Nadia.”
DUAR! Menara Eiffel yang tadi dibayangkan oleh Rian terasa mengkhianatinya. Menara itu seolah ambruk tepat di atas kepala Rian yang sedari tadi sudah mendingin karena Dilan. Begitupun Whiteheaven Beach juga berhasil menipu Rian dengan pesonanya. Pasirnya berubah menjadi warna hitam kelam ternodai oleh pengharapan-pengharapan kosong dari dalam hatinya. Semua berubah. Empat kata yang membuat semuanya menjadi seonggok sampah tak berharga.
“Rian?”
Sunyi. Maaf, Rian sedang sibuk meladeni pertempuran hebat di hatinya. Tidak ada satu kata yang terucap dari bibirnya.
“Rian?” panggil Dilan sekali lagi.
“Yasudah, tembak saja. Dia juga terlihat suka padamu. Dia cantik dan terkenal. Itu pasti yang menjadi salah satu pertimbangan kamu memilihnya, kan? Dia pasti menerimamu. Beri aku hukuman sula bila itu tidak terjadi.”
“Apa? Tidak sampai membuatmu menjadi sate mayat juga, Rian.”
“Lalu apa? Percaya padaku dia pasti akan menerimamu.”
“Kau begitu yakin.”
“Sangat.”
“Baiklah. Aku mungkin akan melakukannya sore ini. Kamu mau ikut?”
Apa? Aku ikut denganmu sama saja dengan aku mengubur diriku hidup-hidup.
“Tidak bisa. Kursus mobilku dimulai sore ini,” Rian jelas berbohong akan ucapannya.
“Aku ingin kamu menyemangatiku, Rian,” rengeknya.
“Maaf. Aku pergi.”
Rian kemudian bangkit dari tempat duduknya, bejalan cepat menuju kelasnya dan tidak mempedulikan pertanyaan orang-orang yang melihat wajahnya sudah merah padam. Kelas kesenian sebentar lagi dimulai, kelas kesukaannya. Tapi dia tidak lagi peduli dengan tangga nada do re mi itu. Dia segera mengambil tas ranselnya, memakainya, lalu pulang. Tentu saja gerbang tidak ada yang terbuka saat itu karena masih jam kegiatan belajar mengajar. Tapi memanjat tembok adalah cara pelarian yang paling ampuh.
Air mata mulai turun dan membasahi pipinya. Dia merasa tertipu. Tertipu atas semua perlakuan yang telah Dilan berikan untuknya. Dilan seolah menjadi pangeran yang membawakan obor untuknya saat dia tersesat dalam kegelapan. Di dalam kegelapan, Dilan menghibur Rian sampai dia merasa tidak sendiri. Atau mungkin sebagai pelengkap kebahagiaan yang sudah dia dapatkan dalam rumahnya. Tapi sekarang, obor itu seolah dilemparkan Dilan dengan sengaja ke arah Rian dan dia terbakar karenanya. Menyakitkan.
Rian berjalan tidak tentu arah. Mungkin mengejar trotoar. Mengejar trotoar? Jalanan yang semakin memimpinnya pada arah yang tidak tentu, berputar atau berputar terbalik? Sama saja. Terus berjalan mengejar trotoar sampai waktunya habis menghirup asap debu jalan yang liar. Hatinya hancur saat mendengar pengakuan tidak berdosa dari bibir seseorang yang selalu menyuapinya dengan madu.
Pukul empat sore tepatnya. Rian memutuskan untuk melihat seniman jalanan mengekspresikan diri mereka pada tembok-tembok kosong di sudut kota dengan menyemprotkan cairan berwarna-warni dan sim salambim, dalam sekejap jadilah sebuah gambar ekspresi diri yang menakjubkan. Mereka menyebutnya, grafiti. Rian duduk pada salah satu sisi sambil meminum es teh botol yang tadi dibelinya untuk sekedar mendinginkan otaknya yang memanas.
Di lokal yang sama, Rian melihat Dilan sedang duduk di atas motornya sejauh sepuluh meter dari tempatnya saat itu. Rian menyembunyikan dirinya di balik kerumunan orang, tapi matanya terus mengawasi apa yang selanjutnya akan dilakukan Dilan di sana. Mungkin sekitar lima menit kemudian, Nadia datang dengan terburu-buru menghampiri Dilan. Laki-laki itu memang sangat pintar memperlakukan wanita. Dilan tau Nadia lelah karena seharian berkutat dalam sibuknya kegiatan Osis, dia segera menyodorkan es teh botol untuk Nadia. Sama seperti yang sedang ada di dalam genggaman Rian. Rian yang melihat adegan permulaan itu segera membuang es tehnya. Menjijikan.
Dilan kemudian turun dari motor dan mengajak Nadia duduk pada sebuah batu yang cukup besar, batu prasasti. Ada tanda tangan gubernur dan wakilnya di sana. Beberapa lama mereka berbincang-bincang, lalu Dilan menyodorkan sebatang coklat dan bunga untuk Nadia. Kembali, otak Rian mulai mendidih melihatnya.
Tidak tahu apa yang di katakan mereka selanjutnya, tapi Rian dengan jelas melihat Nadia menerima kedua benda penuh simbol keromantisan murahan sambil tersenyum. Lalu keduanya berpelukan.
Inikah akhirnya? Akhir dari sebelas tahun menanti? Luar biasa, kau Dilan.
Benar adanya kalau Rian tidak sanggup lagi melihat adegan picisan itu. Sahabatnya dan orang yang dicintainya bersatu dalam hubungan berpacaran. Murahan sekali. Tidakkah Nadia pahami kalau Rian memiliki rasa itu jauh lebih lama dari miliknya? Tidakkah Dilan menyadari kalau Rian selalu menganggapnya sebagai kharisma Eiffel yang tidak tertandingi? Dingin.
Rian tidak bisa berhenti memikirkan hal itu dari hari ke hari. Bahkan hari-harinya di sekolah semakin buruk kala melihat pasangan baru, Nadia dan Dilan berduaan di kantin atau duduk di depan kelas memadu kasih. Mereka berdua sama sekali melupakan Rian. Rian yang selalu menjadi teman untuk tertawa bersama kini dihempaskan sejauh-jauhnya. Munafik.
Dua bulan setelah hari bahagia mereka berdua, keluarga Rian yang kembali direnggut kebahagiaannya. Hatachi sukses merebut. Rian sangat hancur. Dia tidak bisa lagi mengontrol hati dan fikirannya. Akal sehatnya ikut terbakar di dalam kepulan asap atas konsep kematian ayah, ibu, dan adiknya.
Hatachi dan Nadia harus mendapatkan akibatnya!
Dendam itu dimulai.
            Tanpa modal apa-apa, Rian berhasil masuk ke dalam ruang kerja Hatachi. Saat itu, pria bermata sipit itu sedang mabuk karena minum arak bersama dua orang wanita di kanan dan kirinya. Rian tidak peduli atas apa yang ada di dekatnya. Dia berhasil mendapatkan gergaji mesin di lantai bawah rumah sekaligus kantor Hatachi dan segera melakukannya. Kepala Hatachi putus dan membuat kedua wanita itu kaget bukan main. Mereka berlari tapi naas, baju mereka tersangkut pada ujung tangga dan membuat mereka jatuh terpeleset hingga ke lantai bawah, menyebabkan pecahnya pembuluh darah di kepala mereka dan itulah ajal mereka.
            Begitupun Nadia. Sampai saat ini tidak ada yang mengetahui siapa pembunuh Nadia. Dia ditemukan di dalam kamarnya, memeluk boneka pemberian Dilan dengan mulut berbusa. Rian melakukannnya dengan baik. Nadia adalah satu-satunya korban Rian yang mati dengan anggota tubuh tetap utuh. Dia masih mengingat masa-masa indah mereka menjalin persahabatan dan itu berhasil mengalahkan emosinya untuk memotong-motong tubuh Nadia. Rian memasukkan cairan obat nyamuk ke dalam mulut Nadia. Saat dia yakin Nadia sudah mati, Rian segera kabur lewat jendela. Dalam melakukan aksinya, Rian menyarungi tangannya dengan potongan kain milik ayahnya. Kalaupun polisi berhasil mendapatkan sidik jari dari tubuh Nadia, sidik jari yang mereka dapatkan adalah sidik jari ayah Rian yang sudah menjadi abu. Percuma saja polisi mencari siapa pemilik sidik jari itu. Pekerjaan yang sia-sia bukan?
Sampai racun pada pisau ini habis, aku tidak akan berhenti membunuh. Membunuh mereka yang telah menghancurkan hidup dan harapanku, atau hanya mencoba melakukan perlawanan atau hanya ingin mencoba-coba, atau apapun yang ingin kubunuh. Dan kau tahu kapan racun ini habis? Adalah angka yang tidak bisa di sebutkan, kawan.


CHAPTER 7
 “Drowning Lessons”

            La Calle Assesino dalam bahasa Spanyol atau dalam bahasa Indonesia disebut Pembunuh Jalanan adalah predikat yang sangat pantas menempel di belakang nama Rian. Rian “La Calle Assesino” adalah bukan pembunuh bayaran yang bekerja untuk agen profesional dengan bayaran selangit ataupun pembunuh yang di karenakan doktrin-doktrin untuk membunuh orang-orang tertentu. Dia bisa mendapatkan uang dengan menjual suaranya kepada orang lain. Tapi membunuh adalah soal harga yang tidak bisa di tawar-tawar. Membunuh membuatnya semakin terasa hidup walaupun dia tidak meminum darah korban agar tetap awet muda. Hanya sebuah kegilaan yang nyata.
            “Tolong! Jangan rampas dompetku! Tolong!!” seorang ibu muda berteriak. Seorang perampok murahan sepertinya ingin merampas dompetnya. Rian memperhatikannya dari kejauhan. Tidak ada satupun orang yang menggerakkan hatinya untuk menolong ibu muda itu. Ah, pembunuh juga punya hati, kawan.
            Rian berjalan cepat ke dekat ibu tersebut. Cepat sekali. Rian tidak suka pergerakannya di sebut dengan berlari. Tidakkah kau sadar kalau berlari adalah pekerjaan yang dibuat dengan kesadaran penuh dan membuat detak jantungmu berdetak lebih cepat dari sebelumnya? Dan tahu dampak selanjutnya? Kau akan lelah. Dan Rian benci kata kelelahan.
Gitar yang menjadi pegangannya setiap hari menjadi alat untuk memukul tangan lelaki kasar itu hingga tangannya berdarah. Kuat sekali Rian. Di tengah-tengah kesakitan yang dirasakan lelaki itu, dengan gerak cepat, ibu muda itu mengambil dompetnya lalu berlari pergi. Ibu yang beradab, tidak lupa dia berucap terima kasih pada Rian.
“Kurang ajar! Kau fikir kau siapa?? Mau adu otot??” tantang laki-laki itu pada Rian. Dia hanya tersenyum sinis lalu meninggalkan lelaki itu tanpa sepatah katapun keluar dari bibirnya yang selalu mengobral senyum mengerikan dengan luka menganga pada tangan musuhnya. Kenang-kenangan yang manis.
“Hey! Jangan jadi pahlawan kesiangan! Aku tantang kau anak ingusan!!” teriak laki-laki itu setelah melihat tidak ada perlawanan pasti dari Rian.
Silahkan saja.
Rian menghentikan langkah kakinya dan membalikkan tubuhnya. Tatapannya sangat menantang laki-laki itu agar dia melakukan apa yang dia inginkan. Memang kodrat alam yang menakdirkan kalau laki-laki memiliki jiwa penantang dan penakhluk yang tinggi, oleh sebabnya dia segera maju menuju Rian yang sama sekali tidak bergerak dari tempatnya. Ternyata dia tidak menuju Rian, melainkan menuju mobilnya. Terdengar suara tarikan pedal gas yang kencnag dari dalam mobil itu. Kali ini, Rian bisa baca situasi. Dia tahu dirinya akan kalah apabila sang musuh menggunakan alat lain yang jauh lebih besar dari apa yang dia punya.
Dia segera mengambil langkah seribu menuju mobil yang ada di sebrang jalan dan meninggalkan gitarnya tepat di bawah pohon. Dengan batu besar, dia memecahkan kaca mobil lalu membuka pintu mobil dari dalam dengan tekhnik pencurian dasar yang dia pelajari saat menonton film. Berhasil. Tapi Rian menghadapi kesulitan saat ingin menghidupkan mobil. Dia belum punya trik khusus dalam hal ini. Alarm mobil yang sedari tadi menyala membuat sang pemilik berlari keluar ingin memberikan umpatan-umpatannya pada Rian yang ingin mencuri mobilnya. Melihat hal ini, Rian bergerak keluar lalu merampas kunci mobil yang ada pada genggaman si pemilik. Keadaan cukup sepi saat itu, sangat memudahkan Rian dalam mencuri mobil tanpa takut di kejar oleh massa.
Rian menghidupkan mesin mobil lalu segera membanting stir hingga memutar balik lalu menginjak pedal gas sekencang mungkin tanpa takut nyawanya terancam. Untung dia sudah lulus kursus mobil dulu. Mobil itu segera berlari bagai angin mengejar laki-laki yang tangannya berhasil sobek karena hantaman gitar Rian tadi. Rian percaya, laki-laki itu tidak akan bertahan lama di dalam mobil dengan kondisi tangan bercucuran darah seperti itu.
Ini bukanlah ajang balapan atau sedang syuting film Fast and Furious. Si perampok terlihat sangat menikmati pengejaran Rian di belakangnya tanpa ingin menyerah sedikitpun. Rian bosan terlalu lama di dalam mobil curiannya yang ternyata bau daging basi. Gadis itu memutuskan menginjak pedal gas lebih dalam, memotong dari arah kiri mobil perampok dengan sangat terburu-buru hingga si perampok kewalahan dan susah mengendalikan kontrol stir. Rian lalu memotong jalannya mobil itu dengan maksud agar mobil itu berhenti. Tapi tidak bisa. Posisi mobil Rian berada tepat di hadapan mobil perampok dengan posisi horizontal. Apabila dari atas, hubungan kedua mobil tersebut menjadi seperti bentuk huruf T. Mobil perampok melaju kencang dan semakin kencang di luar kendali dengan posisi menabrak mobil Rian dan mendorongnya. Rian sangat sulit dalam mengontrol stirnya. Di depan jalan ada jurang dalam dan naas, mobil mereka berdua terjun bebas masuk ke dalam air sungai di dalam jurang.
Rian dan perampok segera meloncat keluar dari dalam mobil dan ikut tercebur ke dalam aliran sungai. Rian sama sekali tidak berharap dia mati saat itu. Sama sekali tidak. Malah rasanya dia ingin sekali menelan kepala perampok itu hidup-hidup karena sudah membuatnya bertindak sejauh ini dan hampir memakan nyawanya sendiri.
Dia meminta lebih rupanya.
Mereka berdua tercebur ke dalam sungai yang alirannya cukup tenang saat itu. Rian sama sekali tidak mau berlama-lama. Dinginnya air ternyata tidak cukup kuat untuk mendinginkan kepala Rian. Wajahnya memerah. Dia segera berenang di dalam air, bergerak cepat terselubung bagai hiu yang ingin menerkam mangsanya.  Dari bawah air dia sudah dapatkan keberadaan perampok itu. Dia yakin tidak ada orang lain lagi di aliran sungai ini maksimal sejauh lima puluh meter kecuali mereka berdua.
Dengan tangan berdarah dinginnya, dia memegang satu kaki dari laki-laki itu dan menariknya kebawah menuju dasar sungai dan memelintirnya. Suara tulang yang patah pasti akan terdengar jelas kalau di daratan. Si perampok bergerak kuat melakukan penolakan. Dengan kakinya yang satu lagi, dia berusaha untuk menginjak kepala Rian agar Rian tidak bisa mengambil nafas ke atas dan akhirnya mati. Rian sendiri yang sudah hampir  kehabisan nafas tentu tidak akan membiarkan kepalanya terus diinjak. Dia mengeluarkan pisau racunnya dan menusuk bagian paha dari laki-laki itu dengan sekuat tenaganya dan sedalam-dalamnya. Darah segar deras keluar dari dalam tubuhnya, seperti berusaha mengalahkan warna bening air ini.
Laki-laki itu merasakan sakit yang luar biasa. Rian sigap mengambil kesempatan ini. Dia mendorong tubuhnya keatas untuk mengambil nafas sekaligus melesakkan kepala perampok ke dasar air kemudian menendang perut si perampok sekuat tenaganya sampai darah juga butiran-butiran sisa makanan keluar dari mulut busuknya. Tidak puas, Rian mencekik leher perampok itu. Tapi sepertinya dia mulai kehilangan tenaganya sehingga tidak cukup kuat mencekik perampok. Dengan pisaunya, dia mengiris lapisan kulit kepala perampok dan menariknya hingga lepas, seperti seorang wanita yang melepaskan wax dari kakinya. Dia melakukannnya beberapa kali sampai tulang tengkorak dari bapak itu sedikit terlihat. Rian tahu dengan keadaan seperti ini, perampok sudah tidak akan lagi bisa bertahan hidup. Rian segera berenang menuju daratan, ingin menyaksikan detik-detik kematian korban barunya. Hanya mukjizat yang bisa membiarkan laki-laki itu hidup.
Dia sudah bisa merebahkan tubuhnya di atas tanah di darat tapi masih dalam keadaan tengkurap. Tiba-tiba dia merasakan kakinya kembali di tarik ke dalam air. Dia membalikkan posisi tubuhnya dan melihat mukjizat itu benar-benar datang.
Laki-laki itu masih hidup.
Refleks, dia menendang dada si perampok agar dia kembali merasakan sakitnya sakratul maut di dalam air. Rian menarik kakinya dan bangun mengangkat tubuhnya di daratan. Dia berdiri dengan gagah. Dia sudah siap melihat pemandangan lain kalau mukjizat itu datang sekali lagi.
Semua terjadi sangat cepat. Dengan darah yang bercucuran dari kepala hingga kaki, laki-laki itu masih kuat mengumpukan sisa-sisa tenaganya untuk bangkit melawan anak ingusan yang tadi dibicarakannya. Dengan pandangan yang sedikit kabur, dia melihat ke arah Rian yang sudah berdiri dengan gagah di depan matanya. Rian sendiri kaget karena seharusnya bapak itu sudah mengambang di dalam air. Dia ingin lihat apalagi yang bisa di lakukan si perampok di daratan.
“Kk-kamu kah gadis d-dd-dengan pisau it-ttu?” dia berbicara di sela-sela nafasnya yang sudah ingin habis.
“Dan kau harusnya sudah mati.”
“Akhirnya aku menemukanmu. Lihat w-wajahku dan cobalah mengenaliku.”
Mendengar hal itu, Rian kembali membongkar seluruh memori ingatan di kepalanya, bergerak mundur kepada seluruh peristiwa yang menimpanya selama ini, membuka dan membacanya satu persatu dan Rian semakin merasakan perih yang luar biasa di kepala dan di hatinya. Gambaran-gambaran itu bergerak mundur hingga sampai pada tragedi Hatachi dirumah Rian. Dia melihat, ada salah satu orang Hatachi yang ikut menghabisi nyawa keluarganya dengan api, menandakan mereka adalah orang-orang pengecut. Dan sepertinya orang itu telah berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa sekarang.
“ARGGGH!” Rian bergerak maju dengan teriakan yang menyeramkan ingin kembali membunuh bapak itu dengan pisaunya. Teriakan penuh luka dan amarah dari dalam hatinya ketika berhasil mengingat siapakah orang sekarat di hadapannya itu. Rian tidak langsung memotong anggota tubuh perampok yang lain dulu, melainkan menarik kerah baju perampok dan menatap lekat-lekat mata si perampok dari jarak hanya lima centimeter dengan pandangan mengerikan. Matanya melotot dengan bibir pucat. Semua orang pasti bisa melihat urat-urat matanya yang memerah karena kemarahannya.
“Hmm..” laki-laki sialan itu tersenyum sinis.
“Kelak akan datang seseorang yang nanti membunuhmu, Rian. Seseorang yang akan membalaskan lagi dendam Tuan Hatachi yang terhormat padamu. Kesetiaan kami tidak tergambarkan dengan apapun pada kemurahan hati Tuan Hatachi. Tidak akan habis sisa hidupmu membunuh dan kelak kau akan dibunuh olehnya. Carilah dia atau dia yang akan menghampirimu dan mengadu kekuatan pisaumu itu dengan miliknya,” lanjut laki-laki itu. Empat kalimat penuh makna yang membuatnya bertahan lebih dari lima menit, tepatnya lima menit lebih tujuh belas detik.
Tanpa suara dan tidak menunggu apapun, Rian menancapkan pisaunya tepat di tengah bola mata si perampok. Darah muncrat keluar membasahi wajahnya yang penuh dengan urat-urat kemarahan. Laki-laki itu terdiam, tidak bisa lagi melakukan perlawanan. Rian melepaskan pegangannya pada kerah perampok dan membiarkannya terperosot kembali masuk ke dalam air dan kembali berdiri.
Pisau ini siap beradu dengan apapun milikmu. Datang saja padaku, kawan.
CHAPTER 8
 “Go Alone”

            Desir angin yang keras tapi membawa kesejukan alami ini perlahan mulai mengeringkan pakaian Rian yang sedari tadi menempel di tubuhnya. Dia masih mengingat setiap detik yang baru saja dia lewati. Untuk pertama kalinya dia mencuri mobil dan menggunakannya untuk mengejar lalu membunuh seseorang dan dia fikir itu mengasyikkan. Sempat terlintas di benaknya mungkin dia bisa berubah menjadi pembajak mobil lalu bertanding saling adu kekuatan dalam menginjak pedal gas untuk merebutkan harga diri dan tentu saja uang seperti yang dimainkan Mark Sinclair Vincent atau orang-orang lebih banyak mengenalnya dengan sebutan Vin Diesel dalam film kebut-kebutannya.  Atau dia bisa menjadi street dancer dan mengadu gerak lentur tubuhnya yang jago breakdance dengan orang-orang yang kebanyakan bergender laki-laki lalu bertaruh dan mendapatkan uang. Dia juga mungkin bisa kembali lagi menjadi anak band dengan kehidupan glamour diluar tetapi membosankan didalam. Dalam hal ini, dia lebih suka mengunggulkan kualitas dirinya sendiri daripada harus berkelompok seperti band-band umumnya. Terdengar sangat menggairahkan. Rian yang membayangkannya sendirian saja sampai tersenyum sendiri. Tapi bukan itu. Bagaimanapun juga dia harus membalaskan dendam yang mengepul di dalam jiwanya kepada orang-orang yang telah memasukkan kotoran kedalam hatinya hingga dia tidak lagi bisa menghirup udara bersih yang penuh akan kedamaian. Sekalipun kotoran itu dimasukkan kedalam kotak yang terbuat dari emas dan dihiasi dengan batu jamrud di sana-sini, tapi kotoran akan selamanya tetap disebut kotoran dan itu menyakitkan.
            Bukan Rian namanya kalau tidak bisa memahami dirinya sendiri. Dibalik kekuatannya menujah dan mengiris-iris anggota tubuh seseorang, dia tetaplah gadis enam belas tahun yang butuh akan warna-warni kehidupan remaja. Dia baru saja merasakan jatuh cinta pada seseorang yang selalu memberikan tetes-tetes harapan di tengah kehausannya akan rasa ingin menikmati indahnya berpacaran. Tapi angin meniup tetesan-tetesan itu jauh dan semakin menjauh dari dirinya dan membawanya pada gadis lain dan mereka bahagia. Itu sama sekali tidak membuat Rian ikhlas. Jiwanya semakin terkikis, rapuh, juga sensitif. Tidak ada lagi yang peduli akan kehadirannya di dunia ini. Buat apa dia hidup kalau tidak lagi bersekolah? Buat apa dia hidup kalau tidak lagi bisa mendapatkan belaian sayang dari ibunya? Buat apa dia hidup kalau dia tidak bisa merasakan nikmatnya menjalin cinta semasa sekolah? Baginya itu bukan lagi khayalan yang patut difikirkan setiap detik. Tidak lagi. Dia sudah mengubur semua mimpi itu dan menjadikannya sumber bahan bakar untuk membuatnya semakin meledak dalam bara kemarahan.
Kesukaannya mencintai band-band beraliran kasar dan keras semakin berdampak positif untuknya akhir-akhir ini. Lagu-lagu mereka yang penuh dengan intrik, konflik, kemarahan, percobaan bunuh diri, kematian, kedengkian, kekasaran, terkaman, dunia hitam, gemerlap malam, pembalasan dendam, perkelahian, penderitaan, kekejian, sex, pemberontakan, dan teriakan di sana-sini dengan hentakan pedal drum dan suara melodi gitar dengan distorsi yang cepat secepat waktu yang telah kita lewati di dunia ini tidak jarang membuatnya tersenyum dalam kegelapan dan kesendirian.
Dia juga seorang manusia. Dia juga seorang gadis. Dia juga punya hati dan perasaan. Rasa rindu yang memuncak akan kehadiran ayahnya yang selalu mengajaknya bermain catur di malam hari, ibunya yang tidak pernah selesai mengolah makanan biasa menjadi makanan luar biasa yang membuat perutnya selalu merasa di penuhi imajinasi makanan-makanan enak, adiknya yang tidak pernah bosan berbuat ulah saat mereka berdua berada di dalam kamar dan ibunya lah yang selalu jadi pemenang dalam setiap perkelahian mereka, membuatnya selalu menangis di malam hari sampai dia tidak bisa mengeluarkan air matanya lagi. Gitar itu satu-satunya saksi bisu kekerasan kehidupan Rian yang tidak pernah lepas dari kematian dan mencabut nyawa seseorang dengan paksa. Bahkan, saat Rian hampir kehilangan gitarnya oleh seorang anak punk yang tidak tahu diri, Rian rela melepas salah satu senar gitarnya untuk memutuskan telinga anak punk itu dengan cara menggandulkannya pada permukaan telinga bagian atas dan menariknya kebawah dengan sekuat tenaga hingga anak punk itu tidak lagi bisa merasakan kehadiran telinga kirinya. Dia tidak mau kehilangan alat musik petik itu.
Rian berada sendirian di atas bukit malam itu. Dari tempatnya duduk, dia bisa melihat kebawah, ketempat aliran sungai dimana tadi dia mendapatkan pesan singkat akan kehadiran seseorang yang nanti akan membunuhnya lebih kejam juga, bahwa ada banyak polisi yang sedang melakukan olah TKP atas kematian si perampok itu juga kedua mobil yang kami bawa lari. Pita kuning menjadi pagar baru di sekitar sungai. Banyak lampu dan kamera-kamera pemburu berita terhandal yang menyoroti lokasi kejadian. Rian merasa sekarang dia adalah buronan baru polisi. Sidik jarinya sudah pasti ada pada mobil dan tubuh si mayat. Motif pembunuhan yang sama juga dengan korban-korban sebelumnya akan menjadi salah satu pertimbangan polisi mencari keberadaan Rian. Tapi Rian tidak dan tidak akan pernah takut.
Tiba-tiba dia teringat akan perampok dan ucapannya. Ada banyak pertanyaan-pertanyaan yang bergumul di kepalanya. Pertama, bagaimana bisa seorang anak buah paling setia dari orang hebat dan kaya raya sekelas Hatachi bisa berubah profesi menjadi seorang perampok dengan mobil Chevrolet keluaran tahun ’99 dan yang di rampok dia adalah hanya sebuah dompet dari ibu muda yang sepertinya bukan orang kaya? Target macam apa yang dia pilih? Kalau dia adalah perampok hebat, kenapa dia tidak merampok toko emas atau bank? Lalu yang kedua, siapa kiranya seseorang yang tadi disebutnya akan kembali membalaskan dendam Hatachi dan membunuh Rian? Sehebat apakah orang itu sampai berani mengatakan kalau dia akan membunuh Rian? Pembunuh terlatihkah dia? Dan yang ketiga adalah, kenapa Dilan bisa tahu keberadaan dirinya disini dan mengacaukan segala pemikiran-pemikiran Rian malam saat ini dengan rasa perhatiannya yang bodoh dan sangat munafik?
“Hey, sedang apa kamu sendirian di atas bukit? Malam-malam begini lagi,” dia terdengar sok perhatian dan membuat Rian ingin meludah di wajahnya. Rian diam saja.
“Halo, Rian cantik? Bicara, dong. Kamu lagi ngeliatin apa, sih?” tanya Dilan sekali lagi. Matanya bergerak ke depan, mencari apa kiranya yang menjadi pusat perhatian Rian hingga gadis itu menelantarkan perhatian yang sudah di berikan Dilan.
“Eh, Rian. Itu dibawah ada apa, sih? Kok rame banget,” Dilan berharap pertanyaannya kali ini bisa menjadi satu potong kata yang keluar dari bibir Rian. Nihil. Rian tidak menjawab apapun.
“Setahuku tadi itu ada pembunuhan, ya? Benar tidak?” bodoh. Dia sudah tahu apa yang terjadi tetapi masih bertanya dengan Rian yang sangat malas meladeni pertanyaan-pertanyaannya yang sudah semakin menjengkelkan.
“Rian, please. Bicaralah. Aku kangen sama kamu dan tawamu. Aku kangen sama suara kamu. Aku kangen sama saat-saat kita main scooter bersama. Kamu dulu ceria banget tapi kenapa sekarang berubah? Aku kangen dengan bagaimana caramu saat menyuapi aku kentang goreng waktu aku terbaring di rumah sakit. Kamu kesal karena aku tidak mau makan lalu melesakkan semua kentang goreng itu kemulutku, kan? Kemudian aku menyerah dan memintamu untuk menyuapiku pelan-pelan dan berjanji agar aku menghabisi makanan itu. Kamu ingat kan, Rian? Ayolah, aku minta padamu jangan jadikan aku sebagai pelampiasan amarahmu pada Hatchi bodoh itu. Aku sangat peduli padamu, Rian. Aku bersungguh-sungguh,” Dilan terdengar hampir putus asa atas semua yang telah dia lakukan pada Rian tapi Rian tetap tidak peduli. Dia merasa itu semua hanya tipu muslihat Dilan agar dia bisa kembali menerbangkannya setinggi langit, kemudian menggantungkannya dengan harapan-harapan klise dan dramatis beraroma sampah, dan terakhir menjatuhkannya kebawah dengan mata terpejam hingga Rian jatuh kedalam jurang kecemburuan.
“Ah! Aku bawakan kamu ini. Sate padang! Ini sate yang aku beli di tempat datuk, kesukaanmu. Sekarang dia sudah banyak penggemarnya. Tempatnya jadi ramai sekali hingga aku berusaha keras untuk mendapatkan giliran pertama untuk dilayaninya. Ayo, kita makan sate ini bersama-sama. Kamu belum makan, kan?” Rian tetap diam.
“Rian! Lihat aku!” Dilan memegang kedua bahu temannya yang sedang diambang keputus asaan dan membalikkan tubuhnya agar menghadap ke arahnya. Benar, Rian menghadap kearahnya. Tapi matanya melihat kelangit yang penuh dengan bintang. Tidak menatap Dilan sama sekali.
“Rian! Tatap mataku! Tolong!” pinta Dilan sekali lagi. Woop! Rian menuruti perintahnya.
“Rian, kamu tahu aku sangat peduli padamu. Aku lelah mencarimu..”
“Kalau begitu jangan cari aku,” Rian segera memotong pembicaraannya.
“Apa? Aku peduli padamu! Aku rela sampai bolos sekolah hanya untuk..”
“Jangan bolos sekolah,” potongnya lagi.
“Aku sayang padamu, Rian. Kamu adalah sahabat terbaikku dan aku tidak mau kehilangan kamu! Mereka telah berkata kalau kau gila, liar, tidak waras..”
“Memang benar.”
“Ya, tapi aku tidak pernah peduli akan semua itu. Aku yakin kamu masih bisa tersenyum dan ceria seperti dulu. Aku bakan berkata pada mereka bahwa mereka bisa ambil uang jajanku setiap hari apabila kamu terbukti tidak bisa seperti dulu lagi dan..”
“Jangan lakukan.”
“Apa? Bisa untuk tidak memotong kata-kataku, tidak??”
“Tidak. Pergi dan jangan ganggu aku,” jawabnya dingin.
“Kamu kenapa, sih?? Salah aku apa padamu?? Katakan!”
Rian tidak mungkin mengatakan yang sesungguhnya. Dia tidak mungkin mengaku kalau dia cemburu atas hubungan Dilan dan Nadia. Dia tidak mungkin mengatakan kalau dia mencintai Dilan lebih dari rasa sayang untuk seorang sahabat. Rian tidak mau meludahi wajahnya sendiri. Rian tetap diam dan Dilan tetap terus menunggu. Tiba-tiba, suara dering handphone Dilan berbunyi.
“What's happening to me? I'm dying from the inside body hurts too much to feel..”
“Halo, Ma?” Dilan menjawab panggilan dari hpnya.
“Kamu dimana?”
“Di rumah teman, Ma. Kenapa?” Dilan berbohong.
“Kamu pasti habis mencari Rian lagi. Ya, kan?”
“Memang siapa yang mencari Rian, Ma? Nggak, kok.”
“Jangan bohong.”
“Bener, Ma. Ya, ampun! Sekarang baru jam delapan malam dan aku anak laki-laki. Mama ngapain telepon-telepon aku?”
“Jangan mengganti pembicaraan! Pokoknya, kamu harus pulang sekarang. Mama tidak butuh alasan apapun karena Mama tahu kamu pasti kembali mencari gadis jalanan itu.”
“Nggak, Ma. Aku nggak nyari Rian lagi..”
Tidak ada suara.
 “Halo, Ma?” Dilan mematikan hpnya setelah dirasa tidak ada suara lagi dari seberang teleponnya.
“Pulanglah,” kata Rian.
“Aku mau pulang bersamamu.”
Rian tidak menjawab lagi dan bangkit melangkah pergi membawa gitarnya.
“Baiklah, Rian. Aku tidak akan pernah menyuruhmu kembali. Tapi ingatlah, aku selalu ada untuk membantumu. Ini memang terdengar menjijikan tapi aku bersungguh-sungguh. Aku merindukan kamu, sekarang ataupun nanti. Aku bisa garansikan ini padamu,” kata Dilan dan kembali tidak digubris oleh Rian.
“Makanlah sate padang ini. Aku tahu kamu lapar,” lanjut Dilan. Rian yang sangat sensitif merasa harga dirinya terinjak-injak oleh perkataan Dilan lalu bergerak mendekati Dilan, merampas bungkus sate padang itu, lalu melemparkannya jatuh ke bawah bukit. Rian tidak butuh makan. Sama sekali.
“Pergi,” kata Rian dengan mata melotot kepada Dilan. Dilan kembali menatap mata Rian dalam beberapa saat, kemudian menaiki sepeda motornya lalu pergi.


CHAPTER 9
 “Interlude”

What kind of men you are? Is it possible for me to get yours? What yours? What is in me? What yours? Don’t you think you are too hot to melt my cold heart? Melt and turn to the water, absorb beneath the skin inside and it will never see. You throw me high, hang me up, then pull me down. What the hell just wrong with you? You get my fu*ked up of these eight months long and finally tear it into the small pieces? The land is waiting for you to come, the sky don’t ever let you down. But the deepest heart of me prefer to you to come to an empty land and burry yourself alive.
Goodbye, sweetheart. You jumped into life and touched the bottom.

CHAPTER 10
 “Boiling Inside”

            Menyakitkan sekali tidak di pedulikan dengan seseorang yang telah di pedulikannya sampai rela mengorbankan apapun, kecuali nyawanya. Jangankan tersenyum, mendengarnya berbicara saja sudah merupakan anugerah. Dia sampai rela berbohong dengan mamanya agar dia bisa bertemu mantan sahabatnya yang ternyata sudah berubah menjadi seorang pembunuh berdarah dingin. Dilan masih tidak percaya atas apa yang baru saja terjadi padanya. Mimpinya untuk kembali bisa menjalin keakraban dengan Rian perlahan tapi pasti mulai pecah dan debu kian menerbangkan setiap kepingan pecahan itu. Rian benar-benar berubah. Untuk menemukan Rian yang ternyata sedang menikmati pemandangan mayat yang baru beberapa jam yang lalu terbunuh di atas bukit adalah hal sulit. Siapa yang bisa menyangka Rian bisa berkelana sejauh lebih dari lima puluh kilometer dari bekas bangkai rumahnya dan sampai di atas bukit.
Saat sedang di sekolah, Dilan melihat bola voli yang sudah tidak terisi dengan angin dan terdapat lubang di sisi atas dan bawah tergeletak menyedihkan di gudang dekat wc sekolahnya. Dia mengambil bangkai bola itu dan mengamatinya. Dia seperti melihat mundur kejadian yang menimpa bola malang itu.
Semua terjadi saat kelas XI IPA 3 dan XI IPS 1 saling adu skill dan harga diri di tengah lapangan bola voli. Waktu itu adalah pertandingan voli antar kelas dengan pemain yang seluruhnya adalah perempuan. Mereka semua adalah gadis-gadis bersemangat dengan tinggi tubuh lebih dari 160cm. Terbalut kaos tim berwarna biru tua dengan garis putih di beberapa bagian untuk kelas XI IPS 1 yang tidak lain adalah kelas Rian juga Dilan, dan kaos tim berwarna merah maroon untuk kelas XI IPA 3, dan kesemuanya menyeragamkan rambut yaitu terikat satu. Setelah kalah telak 25-7 atas kemenangan tim XI IPS 1 dalam pertandingan voli laki-laki, tim dari kelas XI IPA 3 merasa haus akan kemenangan mereka pada pertandingan khusus perempuan yang kembali harus melawan kelas Rian. Walaupun ini semua terasa tidak pantas karena tim laki-laki menaruh beban kekalahannya pada tim perempuan, tapi inilah yang terjadi. Latihan keras setiap hari sudah dilakukan dari tim XI IPA 3. Tim lawan pun tidak mau begitu saja melepaskan kemenangannya. Bahkan kali ini, tim dari kelas XI IPS 1 benar-benar bersemangat untuk menggempur setiap pertahanan tim lawan dengan smash mereka yang terkenal gahar.
Pada babak pertama, kemenangan diraih oleh tim XI IPS 1. Walaupun tidak ikut bermain, Rian adalah salah satu gadis yang paling berpengaruh dalam menyemangati dan memberi doping jiwa untuk teman-teman sekelasnya. Rian jugalah yang mencarikan pelatih untuk tim kelasnya agar kembali meraih kemenangan. Perayaan kemenangan yang terlalu awal pada babak pertama membuat tim XI IPS 1 harus menerima kekalahan mereka dengan poin 23-25. Tapi semua bintang kembali berpihak pada XI IPS 1 pada babak kedua. Skor sementara dari kedua tim adalah 25-20 untuk kemenangan XI IPS 1. Babak ketiga dijalankan karena kedua tim sama-sama mendapatkan kemenangan.
Babak inilah babak terpanas. Kedua tim saling gempur membobol pertahanan lawan. Salah satu gadis yang paling diandalkan dari kelas XI IPS 1 adalah Kiki yang merupakan seorang kapten. Perannya dalam pertandingan voli bagaikan tembok yang tidak bisa ditembus. Smash yang diarahkan padanya selalu bisa dikembalikkan dengan sempurna dan tanpa cacat juga kesalahan sama sekali. Semakin gencar serangan musuh kearahnya, semakin frustasi juga para penyerangnya. Itu sebabnya dia selalu menjadi incaran musuh sejak babak pertama tetapi selalu meleset.
Menit ke tiga puluh, tim XI IPS 1 meminta time out untuk mengganti pemain. Kali ini giliran Dilla yang masuk, dengan kata lain mengeluarkan Debby yang merupakan pemain andalan daripada Kiki sendiri. Kiki merasa kemampuan Debby dalam mem­block serangan musuh adalah hampir sempurna. Debby keluar karena kakinya terkilir. Tim dari kelas XI IPA 3 merasa satu orang yang dikhawatirkan mereka telah pergi. Kali ini, serangan demi serangan di arahkan ke Kiki dan membuat gadis itu tampak kewalahan. Suara Rian sampai habis dalam menyemangati Kiki yang memang sudah terlihat kelelahan. Melihat keadaan Kiki yang semangatnya nampak menurun, Meida dari kelas XI IPA 3 sengaja mengarahkan bolanya dan jatuh tepat di hidung Kiki. Kontan Kiki segera jatuh pingsan dan hidungnya mengeluarkan darah.
“Curang!!”
Masing-masing suporter dari kedua kelas tampak ingin menyerbu satu sama lain. Kelas XI IPS 1 tidak terima atas jatuhnya sang kapten di lapangan yang mereka anggap karena faktor kecurangan. Kelas XI IPA 3 sendiri merasa mereka tidak melakukan apapun apalagi disebut curang. Sempat terjadi hubungan sengit antara kedua kelas beda jurusan ini selama sekitar satu bulan setelah pertandingan.
Lucunya, Rian yang saat itu benar-benar gadis konyol berjalan ketengah lapangan sendirian lalu merebut bola voli tersebut dari tangan Erinda dan menusuknya dengan kayu yang diambilnya dari belakang sekolah hingga bola tersebut pecah dan mengeluarkan letupan bunyi yang cukup keras. Orang-orang yang mendengar suara letusan bola itu segera melihat ke sumber bunyi dan memandang Rian dengan wajah keheranan. Bola tersebut dijadikan sate oleh Rian dan wajahnya benar-benar terlihat tidak bersalah waktu itu. Dia justru tertawa lepas saat berhasil meletupkan bola dan sukses mengambil alih perhatian suporter dari masing-masing kelas agar tidak lagi melancarkan serangannya, walaupun berakhir dengan jidat berlipat-lipat karena melihat ulah Rian yang tidak diduga itu. Rian meneriaki nama Dilan agar bergabung bersamanya di tengah lapangan untuk merayakan pecahnya bola tersebut. Dilan yang memiliki kejiwaan sama konyolnya dengan Rian dengan senang hati bergabung ketengah lapangan dan tertawa terbahak-bahak hanya karena melihat bola yang sudah tidak bernyawa itu.
Dilan mengingat jelas setiap gambaran-gambaran yang didapatnya dari dalam memori terdalam di kepalanya dan menjadikannya sebuah kekuatan baru untuk mencari Rian yang sudah dirasuki setan sekarang ini. Ke segala penjuru pusat perbelanjaan sudah Dilan datangi tapi dia tidak menemukan apapun. Pada malam hari sekitar pukul tujuh, dia memutuskan untuk ke sebuah tempat yang dia sebut dengan private place miliknya tepat di dekat sungai dimana matinya anak buah Hatachi tadi siang hanya untuk sekedar mencuci otak. Tapi yang dia lihat adalah sekelompok polisi yang sedang olah TKP atas kejadian mengerikan itu. Dia kemudian berjalan keatas bukit yang tidak seberapa tinggi dari dekat sungai dengan membawa sate padang yang memang khusus dia beli untuk Rian apabila dia bertemu dengannya. Malam itu dia sudah menyerah dan memutuskan untuk memakan makanan yang dia pegang sendirian. Tapi ternyata, dia menemukan Rian yang seharian dicarinya. Harapannya adalah bisa tertawa bersama mengingat tragedi bola voli beberapa bulan lalu. Tragis, apa yang dia harapkannya tidak bahkan sama sekali tidak dia dapatkan. Rian jauh berubah dari yang dia kira.
Dalam perjalanannya menuju rumah, dia mengingat setiap kata dan tatapan menjijikkan dari Rian saat di bukit dan beberapa waktu yang lalu kepadanya, membuatnya semakin melipat gandakan rasa sakit hatinya. Dia adalah laki-laki yang juga mempunyai harga diri dan tidak mau terus-terusan merelakan kepalanya terinjak-injak oleh wanita. Tapi dia akan tetap terus mencari Rian dan membiarkannya kembali menghilang lalu mencarinya lagi dan kembali menemukannya dengan cara yang lain, cara yang lebih bisa menghargai harga dirinya sendiri.
“Darimana saja?”
“Rumah teman, Ma.”
“Jangan bohong pada mama, Lan.”
“Aduh, terserah mama mau percaya atau tidak. Kepalaku pusing. Aku mau tidur,” Dilan bergerak masuk kedalam kamarnya.
“Jangan berulah seperti papamu.”
“Apa? Jangan sama-samakan aku dengan dia, Ma!”
“Bagaimana tidak sama, kau kan anaknya. Makan dulu, mama sudah goreng udang untuk kamu.”
“Aku tidak lapar.”
“Kalau sakit urus diri kamu sendiri, ya? Mau?”
“Mama, please. Aku belum lapar. Sekarang aku mau mandi dan istirahat sebentar. Kepalaku pusing. Nanti juga aku akan makan sambil nonton film. Tenang saja, Ma,”
“Terserah.”
Dilan masuk kedalam kamarnya yang dipenuhi dengan poster Bullet For My Valentine dan menutup pintunya. Dia benar-benar merasakan sakit dikepalanya. Sakit karena pemikiran yang terlalu keras atas apa yang menimpa sahabatnya dan secara tidak langsung berimbas kepadanya. Tidak ada lagi yang bisa dijadikannya sebagai tempat menuangkan pemikiran. Tidak ada juga yang mengirimkan pesan di hpnya dengan berkata “sayang, kamu kenapa?” atau dari seorang sahabat dan berkata “whazzup, my big bro? ceritakan pada temanmu ini lalu kembalilah mabuk bersama. Hahahaha!”. Mereka semua sudah meninggal. Terlebih Rian. Jiwanya yang meninggal. Mamanya terkadang hanya menambah buruk keadaan. Dia benar-benar tidak bisa berbagi kisah dengan ibunya itu.
Kamar mandi dengan air hangat adalah tempat ternyaman lain didalam rumahnya. Dilan membiarkan hangatnya air melelehkan pemikiran dia yang begitu keras seharian penuh dari ujung kepala hingga kaki. Pelajaran disekolah, mengurus teman-teman yang bertengkar dikelas, melihat ulah-ulah gadis yang selalu mencari perhatian padanya, pekerjaan rumah, mamanya, Nadia, dan Rian. Semua memenuhi setiap sel di otaknya hingga dia tidak mampu berfikir jernih. Ini mungkin akan jadi malam terlama untuknya berdiam diri di kamar mandi. Dia ingin saat keluar dari ruangan lembab itu, masalah hidupnya sudah pergi terbawa arus air dan menghilang.
Tiga puluh menit, Dilan keluar dari kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk yang melilit tubuhnya dari bagian perut kebawah. Dilan memang merasa sedikit rileks sehabis berendam. Sempat hilang pemikiran akan Rian dan yang lainnya dalam beberapa menit, membuatnya kembali bisa tersenyum sedikit.
Kakinya berjalan menuju lemari pakaian untuk mengambil baju. Tapi kemudian matanya bergerak mengarah pada sebuah gambar di meja komputer yang berada di sebelah lemari bajunya. Gambar itu tersenyum hangat padanya, tapi dimatanya mengisyaratkan kepedihan akan pahitnya diracuni. Gambar itu seakan berkata “hilangkan lipatan-lipatan suntuk diwajahmu itu. gantengnya jadi hilang, kau tahu?”. Sesekali juga berkata “peluk aku. aku rindu padamu. pandang mataku dan tersenyumlah. ceritakan semuanya padaku, sayang. ayo, bergeraklah. aku menunggumu.”
Dilan mengabulkan permintaan gambar itu lalu memandangnya. Ada gambar dirinya juga di sana. Semua terasa hangat dan indah waktu itu. Tidak ada kegalauan atau apapun yang bisa semakin memperburuk kondisinya. Gambar itu, kemudian dipeluknya dan Dilan berkata,
“Kamu harus tahu kalau aku kangen kamu, Nadia. Kamu juga harus tahu semenjak kepergian kamu, aku merasa dunia ini berputar terbalik hingga semuanya hancur berantakan. Rian juga pergi meninggalkan aku dan kamu harus lihat aku sekarang, aku terpuruk. Dunia tidak lagi berpihak padaku. Semua gemerlap kebahagiaan itu berbalik mengkhianatiku. Aku menangis, Nad. Kamu pasti tidak tahu, kan? Aku lelah mencari Rian dan saat aku bertemu dengannya, dia seolah ingin menikamku hidup-hidup dari belakang. Mama tidak bisa membantu. Papa apalagi. Dia sepertinya sudah merasa bahagia dengan wanita pujaannya. Aku baru tahu rasanya menjadi anak dari keluarga broken home. Dan kamu! Kamu pergi tanpa mencium keningku dulu, Nad! Setiap melihat semua kenangan kita berdua, rasanya aku ingin sekali mengetahui monster macam apa yang tega membunuh gadis cantik sepertimu dan membunuhnya juga! Aku ingin sekali membunuhnya, Nad! Dia adalah salah satu orang yang menghancurkan kehidupanku, kau tahu! Kalau saja kamu masih hidup, kita pasti bisa mencari Rian berdua dan membujuknya agar kembali ke kehidupannya yang dulu dan kita bisa bersenang-senang bersama lagi. Tapi apa yang aku dapatkan sekarang?? Maaf, aku belum mengunjungi makammu. Aku tidak kuat melihat namamu tergores di atas batu itu dengan umurmu yang masih sangat muda. Aku mencintaimu, Nadia. Aku ingin sekali membunuhnya, Nad! Orang yang membunuhmu. Aku ingin sekali membunuhnya! Dan jangan pernah larang aku, Nadia.”
Dilan mendekap gambar itu erat. Air matanya mengalir tanpa ada yang menyuruh. Air mata adalah ungkapan emosi terbaik dari diri seorang manusia, terlebih seseorang yang sedan rapuh seperti Dilan.
Menangislah, karena kita diciptakan sebagai manusia dan bukan seorang Superman atau Wonder Woman.


CHAPTER 11
“Knockin’ on Heaven’s Door”

            Semalaman, dengan bermodal sikap ramahnya yang sangat dibuat-buat, dia bisa mendapatkan tumpangan tidur dirumah seorang ibu tua yang pekerjaannya sebagai penggarap kebun jagung orang. Ibu tua itu menganggap Rian adalah gadis spesial. Bagaimana tidak, jarang sekali ada gadis cantik yang mau menginap dan tidur didalam gubuk derita dengan seoorang ibu tua yang tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menutup matanya. Selama semalam, ibu itu memperlakukan Rian seperti tuan puteri. Rian hanya bisa tersenyum mendapatkan perlakuan itu. Satu hal yang bisa dilakukan Rian agar ibu itu terhibur adalah bernyanyi walau tanpa gitarnya. Dia lupa membawa kembali gitar yang ditinggalkannya di bawah pohon tempat dia mencuri mobil untuk mengejar perampok kelas teri itu. Tapi Rian sangat bersyukur karena ibu itu bisa tersenyum mendengar suara merdu yang jarang sekali dia dengar. Rian baru tahu kalau ternyata sang ibu tua mengidap penyakit TBC kronis dan paru-paru basah akibat selalu tidur tanpa alas kasur di atas ubin. Ibu itu menyimpan sendiri penyakitnya selama lebih dari tiga belas tahun. Gadis enam belas tahun itu iba padanya.
Tepat pukul satu malam, Rian sama sekali belum menutup matanya. Fikirannya masih dipenuhi tentang penderitaan yang di alami ibu yang tidur disampingnya itu. Sesekali Rian memandangi setiap garis kerutan di wajah tua berumur delapan puluh tujuh tahun itu dan mata yang sudah tidak bisa mengeluarkan air mata akibat beban hidup dan penderitaan yang dia tanggung sendiri setiap harinya. Tubuhnya yang tua dan rapuh seakan sudah tidak sanggup lagi untuk menahan beban dunia yang digendong sendiri olehnya. Rian sangat bangga bisa berbaring disamping seorang wanita tua yang masih kuat menahan penyakit dan tetap semangat bekerja walaupun sudah tidak pantas lagi untuk berlama-lama dibawah terik matahari yang semakin menghanguskan kulitnya. Diumurnya yang sudah renta ini, dia seharusnya sudah beristirahat dengan tenang dirumah dan tidak perlu lagi memikirkan hal-hal yang akan menambah tingkat kritis akan penyakitnya. Perlahan, Rian mendekatkan wajahnya dengan wajah ibu tua itu dan membiarkan bibirnya yang dingin mencium kening si ibu tua. Beberapa detik, Rian seperti benar-benar bisa membaca kalau apa yang dideritanya selama ini tidak sebanding dengan yang ibu itu rasakan. Rian benar-benar tidak tega apabila membiarkan ibu tua itu kembali menggendong dunia yang berdosa ini di esok pagi. Dengan kesadaran penuh, Rian melepaskan ciumannya lalu menancapkan pisaunya pada bagian perut bawah sebelah kanan ibu itu. Mata sang ibu sempat terbelalak kaget dan menatap ke arah Rian dengan pandangan menakutkan. Kemudian, mata itu kembali tertutup dan sesaat kemudian, Rian bisa melihat air mata jatuh melewati pipi dengan permukaan kulit yang kering itu. Rian tersenyum melihatnya. Racun pisau Rian dengan cepat mengalahkan segala macam virus penyakit yang diderita ibu tua dalam waktu sedetik dan melepaskan segala beban hidupnya. Sudah waktunya, Bu, ucap Rian dalam hati. Baru setelah tubuh ibu tua itu mendingin, Rian bisa menutup matanya dan tertidur pulas disamping seorang mayat hingga keesokan paginya.
Sebelum dia melangkahkan kakinya keluar di pagi hari, Rian memandikan tubuh renta ibu, memberishkan bekas aliran darah yang mengucur saat pisaunya menancap di perutnya,  dan memakaikan dia pakaian terbaik yang ada di dalam lemari ibu itu. Setelah itu, Rian membaringkan tubuh ringan itu di atas dipan, lalu diselimuti. Rian kembali mencium keningnya yang sudah benar-benar dingin dan pergi keluar.
Kehangatan terik matahari memang tidak ada yang bisa menandingi. Angin yang berhembus semakin mendinginkan otak pembunuh Rian. Dia dengan rambutnya yang tergerai bebas merebahkan dirinya ditengah padang rumput kecil di atas bukit dan  membiarkan seluruh tubuhnya terbakar oleh hangatnya matahari di pagi hari. Hangat tersebut dijadikannya sebagai tambahan bahan bakar untuk memperkuat tenaganya hari ini. Dia tidak punya uang untuk makan, dan dia sedang malas mengamen di jalan atau di kafe. Tapi, apabila Rian tak melakukan tugasnya, dia tidak akan pernah bisa makan.
“Permisi, Neng. Sedang apa disini?” suara lembut dan sopan dari seorang bapak berumur sekitar empat puluh tahunan membangunkan Rian dari angan-angannya untuk bisa terbang ke atas langit tadi. Tubuh sang bapak menghalangi sinar matahari yang ingin membakar tubuh Rian hingga Rian sempat merasa sedikit kesal karenanya.
“Berbaring,” jawab Rian singkat.
“Iya, Bapak tahu. Masa anak gadis tiduran di atas rumput seperti ini? Rumput ini kan untuk makan kambing dan sapi, dan bukan untuk dipakai tidur, Neng.”
“Saya menyukainya, Pak.”
Dahi bapak itu mengerut melihat apa yang ada didepan matanya.
“Rumahmu dimana, Neng?” tanya bapak itu lagi. Rian diam, tidak menjawabnya. Dia sudah menebak jika dia menjawab pertanyaan bapak itu, akan berbuntut pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa menguak kembali masalah hidupnya.
“Uhmm.. maaf. Kalau begitu saya pergi dulu. Permisi.”
“Eh, Pak!” Rian bangun dari tidurnya dan memanggil kembali si bapak.
“Ada apa, Neng?”
“Kenal pemilik rumah itu?” Rian menunjuk kearah gubuk yang semalam ditempatinya.
“Oh, iya. Saya tahu dia. Dia Mak Nani. Sudah tua sekali. Memang kenapa, Neng?”
“Tadi saya haus. Saya mau minta minum di rumah itu, tetapi tidak ada yang membukakan pintunya, jadi saya terpaksa minum air sungai dibawah. Mungkin bapak bisa melihat keadaan Mak Nani didalam.”
“Mungkin dia sedang pergi ke kebun jagung. Nanti juga kembali.”
“Tapi tadi saya melihat dia baru masuk kedalam rumah sehabis mengambil air di sumur depan rumahnya,” Rian benar-benar berupaya untuk membuat bapak itu melihat keadaan Mak Nani didalam gubuknya yang sudah mau roboh itu.
“Benarkah? Apa dia sakit? Kalau begitu tunggu disini, Neng. Saya mau kerumahnya dulu. Permisi.”
Berhasil. Rian berhasil membuat bapak berbaju partai itu menuju kerumah Mak Nani. Rian khawatir mayatnya akan terbengkalai begitu saja apabila tidak ada yang mengetahui kematiannya. Dia tahu akan jarang sekali orang lewat di depan rumahnya. Melihat laki-laki bertahi lalat di pipi itu menuju rumah Mak Nani, Rian segera pergi dari tempatnya, berjalan cepat dan turun dari bukit. Dia rindu dengan gitarnya dan ingin mencarinya.
“Ya ampun, Gusti! Mak Nani!” jerit bapak itu setelah melihat keadaan Mak Nani.
“Neng! Neng gelis! Neng! .. Loh? Kemana Neng gelis tadi??”


CHAPTER 12
“Natural Born Killer”

            Berjalan sejauh seratus meter lebih untuk bisa sampai kelokasi awal dia mencuri mobil pertama kalinya sendirian tanpa gitar dan alunan musik yang bisa dia mainkan saat merasa bosan di jalan sudah membuatnya cukup stres. Tiang papan marka jalan berwarna kuning dan bergambar jalanan berliku patah dan terjatuh tidak pada posisinya semula. Lalu trotoar yang dibuat untuk membatasi jalan terlihat rusak dan gompel dibeberapa bagian. Ada lagi goresan yang cukup dalam pada beberapa batang pohon karena tergores dengan kaca spion mobil. Semua itu dihasilkan dari kejadian hari kemarin, pertandingan balap Rian yang pertama. Rasanya ingin sekali mengabadikan semua sisa-sisa bekas perbuatannya yang liar ataupun wajah korbannya dengan berbagai macam ekspresi menjelang kematian mereka dengan kamera. Tapi Rian sekarang tidak punya apa-apa. Hanya lensa di matanya yang bisa mengabadikan itu semua, menjadikannya sebuah gambaran untuk masa depan. Dalam prinsipnya, setiap korban harus memiliki mimik wajah yang berbeda setelah ditujah atau dipotong-potong anggota tubuhnya oleh Rian. Dia menyebutnya, seni membunuh.
Rambutnya yang panjang sebahu sudah benar-benar tidak terkontrol. Angin sepanjang jalan dari bukit hingga tempat dia berdiri dilokasi kejadian sudah meluluh-lantakkan tatanan rambutnya yang memang tidak pernah ditata. Di tempat itu, cukup ramai dengan muda-mudi yang menikmati hari liburnya. Ada juga seorang laki-laki berumur sekitar dua puluh tahunan, keturunan China, dengan rambut belah pinggir, berkaca mata, kemeja abu-abu dan celana panjang duduk sendirian dengan pandangan kosong kedepan. Sesekali dia membetulkan posisi kaca matanya yang selalu melorot. Sedang apa dia? Habis putus cinta atau tokonya habis dirampok? Tampak frustasi sekali dia.
 Omong-omong, hari minggu-kah ini? Rian bahkan tidak bisa lagi membaca hari. Sampai sekarang, dia juga tidak tahu tempat macam apa itu. Kalau seseorang menyebutnya taman adalah salah, karena tidak ada tanaman-tanaman dengan tatanan yang indah di sana. Kalau ada yang menyebutnya pasar juga salah, karena yang berdagang di sana hanya penjual burger, es krim, juga balon. Lalu kalau mau disebut dengan perumahan juga salah. Yang jelas, tempatnya menarik dan menyuguhkan ketenangan jiwa. Oleh sebab itu banyak yang berkunjung kesana dan dijadikan tempat untuk bersantai.
Rian mencari gitarnya di sana. Waktu itu dia meletakkannya begitu saja dibawah pohon. Dia tidak ingin gitarnya rusak kalau harus ikut lari bersamanya mengejar perampok. Terbukti kan, mereka semua masuk kedalam sungai. Apa jadinya kalau gitar itu ikut tenggelam. Dia kan tidak bisa berenang.
Lima menit, sepuluh menit, lima belas, dua puluh, dua puluh lima, tiga puluh, tiga puluh lima menit sudah Rian berputar-putar kesekeliling lokasi itu tapi tidak menemukan keberadaan gitarnya. Dia sempat kesal dan ingin membunuh semua orang di sana. Tangannya terasa panas. Seandainya dia bisa mengeluarkan api dari tangannya, pasti sudah terbakar tempat itu. Atau dengan lidah api seperti seekor naga dalam cerita dongeng bodoh. Lelah, dia mengambil posisi duduk dibawah pohon tempat dia meletakkan gitarnya. Didepannya ada gerobak tukang balon yang ramai diserbu pembeli yang kebanyakan anak-anak. Plastik terisi angin saja rebutan. Sekali tusuk, dia akan pecah. Anak-anak bodoh, fikirnya.
Diseberang jalan ada sekelompok orang dengan baju mayoritas berwarna hitam, duduk di atas motor dengan asap mengepul dari tempat mereka. Bujang-bujang penghisap tembakau sepertinya sedang mangkal atau ingin memalaki orang-orang, Rian juga kurang paham. Dia ingat, dulu dia pernah masuk kedalam lingkaran itu. Tapi bukan menjadi seorang penadah atau preman. Kecintaannya akan band hardcore yang mengundangnya. Rian mengamati mereka semua dengan mata bulatnya dari tempat duduknya. Dia melihat ada beberapa orang yang wajahnya pernah mampir di otak Rian dan dia mengingatnya. Yang membuat Rian semakin tertarik adalah salah satu dari mereka memeluk gitar Rian dan memainkannya dengan nada-nada yang random. Kalau bukan karena gitarnya, dia tidak akan mungkin memberanikan diri melangkah menuju kelompok pemuja tanduk-tanduk metal tersebut. Saat melihat Rian mulai mendekati mereka, laki-laki itu sudah lagi tidak terlihat seperti laki-laki. Bibir mereka bergerak-gerak seperti mendiskusikan sesuatu akan Rian, terlihat seperti perempuan penggosip ulung yang kulitnya pernah menyentuh pisau Rian. Bloody moron!
“Gitar,” pinta Rian sambil menadahkan tangannya.
“Rian?! Ini beneran lo, Yan?” kata salah seorang dari mereka.
“Lo kenal dia?” tanya satu lagi. Rambutnya keriting. Rian pernah bertemu dengannya.
“Iya, lah! Dia gitaris hebat, nih! Kerjaannya niru permainannya Herman Lee atau M Tuck. Apa kabar, Rian? Inget gua, kan?”
“Gitar,” pinta Rian lagi.
“Woop! Gahar banget! Kemana aja, lo?”
“Oh, jadi nama kamu Rian. Seperti nama laki-laki, ya? Inget aku, kan? Deni. Waktu itu kamu nggak mau aku ajak kenalan saat di kafe.”
“Gitar!”
“Gitar apaan, sih? Gitar ini punya lo?”
“Gitar!”
“Ya Tuhan, Rian. Duduk dulu kenapa, sih? Kita ngobrol-ngobrol dulu. Lo nggak inget sama gua?”
“Tara. Sekarang, berikan gitarnya!” Rian mulai memanas.
“Nah! Untung lo masih inget. Den, lo kenal dia juga?” orang yang namanya Tara dengan logat bicara sok ibu kota itu terlihat semakin mengulur-ngulur waktu. Rasanya Rian ingin memasukkan muntahnya kedalam mulutnya yang selalu banyak bicara itu.
“Iya. Waktu itu di kafe dia nyanyi lagu Paramore. Suaranya bagus! Aku suka denger suaranya.”
“Benar begitu, Rian? Coba sekarang gua pengen denger lo nyanyi lagi. Mungkin aja bisa gua jadiin lo vokalis lagi. Mau?”
“Gitar!!”
“Woop! Oke oke, ini gitar lo. Kenapa lo jadi berubah gini, sih?” Tara memberikan gitar Rian kepada pemiliknya yang otaknya sendiri sudah mendidih. Rian diam. Tidak menjawab apapun lalu pergi meninggalkan mereka semua setelah mendapatkan apa yang diinginkannya.
Baru sekitar lima puluh meter Rian berjalan, suara deru sepeda motor terdengar dari kejauhan seperti seolah ingin menerkam Rian. Dia menoleh kebelakang dan melihat Tara dan yang lain bergerak menuju kearahnya seolah mereka adalah geng motor yang ditakuti. Rian takut? Jangan harap.
“Hey, Rian! Gua tau lo lagi butuh duit karena sekarang lo udah nggak punya siapa-siapa lagi, kan? Mending sekarang lo ikut gua. Kita bisa bersenang-senang tanpa perlu kecapekan ngamen sana-sani. Lo tau kan apa yang gua maksud? Hahaha,” kata Tara diiringi dengan tawa iblisnya yang semakin mengantarnya menuju kematian.
“Sangat paham.”
Rian memberi hantaman keras pada salah seorang dari mereka hingga dia terjatuh dari motornya. Dengan sigap, Rian segera menaiki motor yang menganggur itu dan membawanya pergi dengan gitar yang digantung di punggungnya. Dia bisa saja menghantam Tara dengan satu kali hantaman tepat di rahangnya dan pasti Tara sudah tidak bisa lagi merasakan segarnya udara pagi. Tapi, dia masih ingin melihat sekuat apa Tara bisa mendiktatktor atas kemauannya pada Rian. Sudah cukup selama bermain bersama dulu, Tara sering memaksa Rian untuk latihan band dan menonton konser metal tanpa peduli dengan waktu belajar Rian di sekolah. Dia selalu bertindak semena-mena terhadap siapapun. Tapi tidak kali ini.
Rian memacu kencang motornya dengan kecepatan penuh tanpa peduli apakah dia atau orang lain yang akan mati dijalanan. Benar saja, satu orang anak berbaju sekolah dasar tidak berdosa ingin menyebrang jalan terhempas jauh karena terserempet oleh Rian. Emosinya mengalahkan rasa sosialnya. Sama sekali dia tidak mempedulikan anak itu. Satu pertanyaan lagi, ini benar hari Minggu atau tidak? Kalau hari Minggu, mana mungkin ada anak sekolah berkeliaran memakai baju sekolah? Nasib sial memang tidak bisa diprediksi.
Gadis itu tahu tempat yang tepat untuk menghabisi mereka semua, terutama Tara. Sebuah rumah tua besar yang setengah jadi menjadi pilihannya. Di tempat ini, Tara pernah hampir mati karena over dosis. Tapi kakaknya segera datang dan dia berhasil diselamatkan. Dan kali ini, tidak akan ada yang bisa menyelamatkannya sekalipun jin yang bersarang di dalam kepalanya.
“Rianku yang cantik! Kamu mau apakan kami semua disini, hah? Aku menunggumu Rian! Hahaha,” Tara terlihat seperti orang mabuk dan Rian iba terhadapnya. Menjijikkan sekali mendengar tawa iblisnya. Tertawalah, sebelum kamu ditertawakan.
Rian turun dari motornya dan berjalan masuk kedalam rumah tua tanpa takut sama sekali. Dia menaruh gitarnya dan disandarkan pada sisi tembok dan duduk didekatnya sambil menundukkan kepala. Persis seperti sesaat sebelum dia menghabisi seluruh penjaga distro dan membakarnya. Tara pasti akan mati penasaran melihat apa yang Rian lakukan.
“Gua hanya ingin denger suara lo lagi, Yan. Kalau bisa sih denger permainan gitar lo itu. Nggak ada cewe yang punya skill gitar diatas standar seperti lo. Tapi sekarang, lo malah ngajak gua kesini, tempat gua sekarat. Lo mau apain gua terserah, deh. Hahaha.”
“Ra, Rian kenapa? Kepalanya menunduk begitu.”
“Dia lagi nunggu gua, Den. Lihat saja.” Dengan gagahnya, Tara menghampiri Rian dan .. show time!
Rian menendang dengan penuh kekuatan pada salah satu bagian tervital dari laki-laki hingga Tara jatuh tersungkur. Salah seorang teman dari Tara berlari menghampiri Rian ingin menghajarnya. Rian sudah bisa membaca geraknya lalu segera menebas kepala musuhnya dengan sangat cepat. Darah muncrat mencuat mengenai wajah Rian diselingin suara kepala yang bergelinding lepas dari tubuhnya. Rian membersihkan darah yang menjijikan itu dari wajahnya. Satu.
Tara masih terkapar tidak bisa bangun, merasakan sakit yang teramat pada bagian bawah perutnya. Setelah melihat adegan potong kepala yang merupakan pemanasan tadi, tidak ada salah seorang pun dari mereka yang berani maju menghajar Rian. Kaki mereka bergerak mundur untuk kabur dan kemungkinan besar akan lapor polisi. Rian benci pemikiran itu. Dia segera menghampiri Deni yang wajahnya penuh dengan keringat ketakutan tapi matanya menandakan kemarahan atas kematian temannya.
“Apa?” tanya Rian basa-basi.
Tendangan lingkarnya berhasil membuat pecah kepala Deni hingga dia tampak hilang keseimbangan. Satu lagi serangan salah seorang dari mereka mengarah kepadanya dan berhasil di tangkisnya dengan menusuk leher orang itu hingga membuat dia muntah darah dan nanah hingga jatuh. Dua.
Deni bergerak berusaha melawan walaupun mentalnya sudah terkikis atas pemandangan yang baru saja dilihatnya dengan mengajak Rian bergulat. Deni bergerak memeluk Rian dan bersiap untuk membantingnya. Rian tahu dia tidak pandai dalam hal ini. Satu kali gerakan ringan, Rian berhasil menancapkan pisaunya ke punggung belakang Deni lalu merobek kulit punggung jdan membuatnya melepaskan pelukan pada Rian dan tertidur pulas. Kurang puas, Rian meloncat dan mendaratkan loncatannya pada perut Deni yang sudah meregang nyawa tersebut. Tiga.
Satu lagi. Rian tidak tahu apakah Tara pura-pura mati atau sudah mati. Dari tadi dia hanya tertidur tanpa ada perlawanan. Rian bergerak mendekatinya lalu merasakan denyut nadi di lehernya. Dasar licik. Cara murahan dilakukan Tara dengan mencekik leher Rian tiba-tiba dan mendorongnya menempel di tembok, berharap Rian tidak bisa melakukan apapun. Pengecut.
Rian mulai terbatuk-batuk dan lemas karena cekikan tangan besar Tara yang menguasai lehernya. Tara memperlihatkan wajah menantangnya dan memainkan lidahnya seperti ayam sekarat. Yang didapatkannya, air liur keluar dari mulut Rian dan mengalir tepat di atas hidungnya dan Tara refleks melepaskan salah satu tangannya dari leher Rian untuk membersihkan liur di wajahnya. Rian mengambil kesempatan ini. Dengan sisa tenaga yang dia punya, Tara kembali meraskan tendangan Rian pada dadanya dan dia terjatuh. Rian menduduki tubuh Tara lalu berkata, “Bagaimana rasanya, laki-laki tangguh?”
“F*ck you!” giliran Tara meludah tepat di wajah Rian. Sepertinya dia ingin menyudahi semua dengan segera. Rian membersihkan liur menjijikkan itu lalu menarik pisaunya dan menusuknya tepat di dalam rongga mulut Tara saat dia membuka mulutnya. Dia hanya bisa menjerit kurang dari sedetik dan mati dengan mata terbelalak. Empat.
Baju baru, fikir Rian. Dia mengambil jaket yang di pakai Tara lalu memakainya. Sepatu Deni juga diambil oleh Rian dan dia semakin terlihat menakutkan. Saat dia keluar membawa gitarnya, ada banyak pilihan motor yang bisa dia gunakan. Dia memutuskan untuk mengambil motor Tara lalu membawanya pergi.
Sekarat adalah awal dari kematian, Ra.


CHAPTER 13
“An Epic of Time Wasted”

            Seperti hidup kembali. Rian memacu kencang laju sepeda motor hasil rampasannya. Untuk saat ini, dia ingin bersenang-senang dulu hingga motor ini sudah tidak menanggapi keinginannya lagi. Rian membawa lari motor itu hingga keluar kota X, dia rasa. Karena, dia hanya berjalan lurus tanpa berbelok satu kalipun. Motor ini membuat Rian semakin lama ingin merusaknya. Dia bisa mencium aroma tubuh Tara dari jaket yang dikenakannya itu. Tubuh itu dulu pernah memboncengnya di motor ini lalu mengajaknya keliling kota. Tubuh itu juga dulu pernah mengisyaratkan ketertarikan yang berbeda terhadap Rian. Mungkin rasa suka. Tara pernah berulang kali menyatakan cintanya kepada Rian tapi Rian sama sekali tidak pernah mengiyakannya. Cintanya hanya untuk Dilan, cinta pertamanya. Semua gambaran-gambaran itu berlalu lalang didalam mata Rian hingga membuatnya kesal dan ingin membunuh seseorang lagi.
Uang senilai Rp 3.890.000,- dia dapatkan dari saku jaket Tara sebenarnya bisa saja dia gunakan untuk keperluannya beberapa hari atau habis dalam satu hari ini. Sulit memang membaca jalan fikirnya, bahkan dia pun tidak bisa membaca akal sehatnya. Dengan kesadaran yang penuh, dia memberhentikan motornya tepat di atas jembatan jalan yang dia yakin ada manusia tinggal dibawah jembatan ini. Rian menaburkan uang dengan pecahan lima puluh ribuan itu dari atas dan dalam sesaat, terdengar suara ramai dari bawah – terutama suara anak-anak – seolah mereka melihat adanya hujan uang dan ribut memanggil kawan-kawannya untuk menampung seluruhnya dengan pakaian yang mereka pakai. Mereka berlari sedikit kedepan lalu mendongak keatas, ingin melihat siapa dermawan yang menaburkan uang itu. Rian berdiri agak sedikit menjauh supaya tidak terlihat. Dia tidak mau menjadi dermawan kesiangan. Biarkanlah anak-anak dan warga di kolong jembatan itu menikmati uang tersebut tanpa perlu tahu siapa yang memberinya. Anggap saja itu pemberian Tuhan. Suara itu semakin dan semakin ramai saja. Banyak orang yang berebut mendapatkan separuh atau semua dari hasil uang yang terbang itu. Kali ini bukan hanya anak-anak, melainkan bapak-bapak dan ibu-ibu. Setelah uangnya sudah habis, suara-suara itu mengatakan satu kata yang sama, terima kasih. Rian tersenyum ramah dan hanya dirinya sendirilah yang tahu kalau dia tersenyum. “Dengan senang hati,” kata Rian pelan dari atas.
Hujan uang telah berhenti dan mungkin ini anugerah lain, hujan air menyusul dari langit setelah kemarau panjang yang membuat semua orang gusar akan kekeringan yang mereka alami. Air itu turun pelan-pelan dan kemudian berubah menjadi serangan-serangan yang menyejukkan. Rian bisa mencium aroma debu dan tanah yang tersiram air hujan atau aroma khas saat hujan turun. Rian selalu suka aroma tersebut. Menyegarkan. Tanah, rumput, sawah, bunga-bunga, hewan, manusia, semua bersyukur karenanya. Hujan yang penuh berkah dan menjadi penantian panjang selama tiga bulan terakhir akhirnya datang. Serangan-serangan air yang semakin banyak menyerang kepala Rian, membuatnya sedikit pusing. Dia menaiki motornya dan memutuskan untuk berteduh.
            Jalan setapak yang sedikit menurun berhasil dilalui Rian dan motor barunya. Dihadapannya, sebuah pemandangan yang sangat bertolak belakang dengan kehidupan manusia di atasnya. Sebuah ironi di tengah gemerlap malam. Ironi yang menjadi potret kelayakan bernaung sebagai salah satu dari tiga kebutuhan hidup manusia. Ironi yang menjadi ciri khas di berbagai negara miskin dan berkembang. Kisah yang semakin terkikis kepeduliannya oleh arus gelombang globalisasi yang dashyat dan diterpa oleh angin individualisme budaya barat. Dampak buruk dari kecenderungan apatis terhadap paradigma sosial disekitar. Satu lagi kebenaran yang menjadi sulit untuk dipastikan kebenarannya. Dia baru mengerti mungkin ini yang disebut paradoks.
Para manula tidur diatas kardus yang sudah sangat tipis, bahkan lebih tipis dari air dan langsung berhadapan dengan tanah yang basah dan lembab. Bagaimana mungkin mereka bisa sembuh dari penyakit yang dideritanya? Anak-anak bermain parasut-parasutan dari plastik dan dengan ujung yang dilengkapi dengan pemberat, dilemparkannya keatas dan turun kebawah. Saat perjalanan turun itulah anak-anak bersorak kegirangan. Ibu-ibu menggendong bayi mereka yang sepertinya kekurangan asupan ASI. Ada yang sedang mengangkat pakaian yang mereka jemur sedari tadi karena hujan yang datang tiba-tiba. Para ayah sibuk memisahkan hasil memulung mereka selama setengah hari ini. Keringat di kering kulitnya deras sekali, berbaur dengan air hujan yang tak mau kalah mengguyur kerut wajah mereka. Sedangkan kehidupan di atas, mobil-mobil bermerek nomor satu bertenaga kuda mondar-mandir dengah gagahnya. Motor-motor secepat jaguar berlarian memburu waktu. Wajah mereka tertutup oleh kaca yang seolah menggambarkan tertutupnya kepribadian mereka yang tidak mau memandang kesana-kesini kecuali kedepan dan sesekali melihat spion takut akan tercabutnya nyawa ditengah jalan. Ya. Inilah pemandangan kontras di tempat Rian berteduh. Mereka menyebutnya, kolong jembatan.
Rian menyesal kenapa dia hanya bisa membagikan uang senilai Rp 3.890.000,- sedangkan dia bisa memberi mereka semua lebih saat kehidupannya masih diatas rata-rata. Rian mungkin salah satu dari mereka yang berada di atas, dengan sikap apatisnya yang menjadi tamong kehidupan. Mereka bilang, apatis berarti tidak mau tahu dan suka mencampuri urusan orang lain. Tapi ketika ditanya berita selebriti, mereka yang bisa menjawab lebih dahulu dan sangat lancar bahkan lebih lancar dari saat pengambilan nilai presentasi makalah disekolah. Rian sendiri baru sadar akan sikap buruknya itu, lebih buruk daripada membunuh. Membunuh banyak orang dengan sikap apatis level tinggi dengan berpura-pura tutup mata dan telinga akan penderitaan orang lain, itukah yang disebut makhluk sosial?
“Bagaimana bisa terbang kalau parasutnya berlubang?” tanya Rian setelah menghampiri seorang anak berwajah murung karena parasutnya tidak bisa terbang.
“Lalu bagaimana?” tanya anak itu.
“Harus dibuat lagi yang baru.”
“Bisa ditambal saja, tidak?”
“Tidak bisa. Ini plastik, bukan ban motor. Kalau kamu mau, aku bisa buatkan kamu yang lebih bagus dari temanmu yang lain,” tawar Rian.
“Benarkah?” mata anak itu seolah berkata akan sebuah harapan.
“Iya. Aku minta plastik lagi. Ada?”
“Tentu saja. Di sana ada banyak plastik menganggur. Tunggu sebentar ya, Kak.”
Di sana? Dimana?
Rian menatap anak itu berlari-lari kecil menuju tumpukan sampah basah karena air hujan yang berada sekitar tiga meter dari tempat tinggalnya. Ya, Tuhan. Disaat semua anak-anak ibu kota membeli mainan plastik berwarna disertai baterai dan roda di toko mainan yang nyaman dan full AC, tapi tidak dengan anak-anak disini. Orang-orang bilang, hidup itu adalah pilihan. Tapi bagi mereka, hidup itu tidak ada pilihan. Mereka ditempatkan pada satu pilihan dan diharuskan untuk menerimanya, sepahit apapun itu. Membongkar tumpukan sampah untuk mencari material mainan mereka sendiri adalah satu-satunya cara agar mereka bisa tersenyum.
“Ini, kak. Plastiknya yang besar biar parasutnya juga besar dan bagus,” anak itu kembali dan memberikan plastik hitam bermotif cipratan air becek dengan bersemangat. Rian menerimanya dan tersenyum.
“Lihat ini.”
Rian mengeluarkan pisau andalannya dari saku celana lalu memotong plastik sehingga berbentuk lingkaran yang ukurannnya hanya dikira-kirakan saja olehnya. Kemudian, dia memberi lubang-lubang kecil disekeliling lingkaran plastik lalu memasukkan benang kedalamnya satu per satu. Setelah semua benang masuk, Rian merapikannya kemudian mengikatnya pada satu bagian. Terakhir, tali itu diikatkan pada beban. Kali ini yang dia gunakan ada potongan kayu kecil.
“Selesai. Coba kamu terbangkan,” Rian menyodorkan hasil karyanya. Anak itu menuruti apa yang diperintahkan Rian dan melemparkannya ke atas. Woop! Parasut terbang cukup tinggi dan jatuh perlahan kebawah dengan parasut terbuka lebar.
“Hebaat!! Ini lebih bagus dari punya teman-temanku! Terima kasih, Kakak!”
“Sama-sama,” Rian tersenyum. Sama sekali tidak terlihat seperti pembunuh.
“Kakak baik sekali, seperti Tuhan yang tadi baru saja menghujani kami dengan uang,” kata anak itu lugu.
“Benarkah? Mana mungkin Tuhan menurunkan hujan uang,” uji Rian pada anak itu.
“Iya, kah? Kalau bukan Tuhan siapa lagi? Mana ada orang lain yang mau peduli dengan kami disini. Apalagi bapak-bapak berpakaian setengah polisi yang suka menculik pengemis dan pengamen kedalam mobilnya. Mereka jahat, Kak,”
Rian paham. Yang dimaksud mereka adalah SATPOL PP yang memang tugasnya seperti itu. Hanya saja pemikiran anak ini terlalu banyak diterpa ketidak adilan hidup. Seharian penuh Rian menjelaskan kepadanya mengenai ini semua dia juga tidak akan bisa mengerti. Faktanya yang akan terus dia terima adalah, perut lapar yang menjadi rasa rutinan atau aroma sampah yang berubah menjadi aroma ayam goreng di KFC. Jadi percuma saja. Rian cukup tersenyum menanggapi fikiran lugu bocah itu.
Teman-teman dari anak itu segera berlarian mendekati anak dengan parasut barunya seperti binatang terbang kecil yang berkerubun mendekati cahaya lampu. Mereka berebutan ingin melihat parasut yang memang lebih baik daripada punya mereka. Masing-masing mulai berebutan ingin minta dibuatkan karya yang sama dari tangan dingin Rian. Rian menurutinya.
Sembilan parasut telah berhasil diselesaikan oleh Rian. Parasut-parasut terbang dan jatuh kembali ditengah air hujan yang sudah mulai mereda. Rian merasa berhasil menjadi seperti hujan yang keberadaannya dibutuhkan oleh seluruh makhluk di atas bumi, membawa kehangatan diantara dinginnya tubuh mayat yang bergelimpangan hasil tujaman pisau Rian. Akhirnya, untuk pertama kali pisau itu bisa membawa kebahagiaan.
Rian pamit pulang setelah dilihat hujan sudah mulai reda dan kehangatan kembali menyelimuti kolong jembatan. Senyum simpul kebahagiaan diberikannya sejak tadi dia menapakkan kakinya di tempat ini.
“Kak, pisaunya ketinggalan!”
“Jangan pegang pisau itu! Biar aku saja yang mengambilnya!” seru Rian dari atas motornya. Ini bahaya kalau sampai pisaunya tertinggal. Itu sama saja dia memasukkan king cobra di dalam kasur bayi. Anak itu menuruti apa yang diperintahkan. Rian turun dari motornya lalu mengambil pisaunya.
“Rani pernah lihat pisau seperti ini juga, Kak. Mirip sekali.”
“Dimana???” tanya Rian kaget dan membuat anak itu sedikit ketakutan.
“D-dd-disitu, di atas batu. Tapi waktu itu sudah ada yang mengambilnya.”
“Katakan!”
“Kakak membuatku takut,” anak itu mengernyitkan dahinya. Rian benar-benar ingin mengetahui apakah benar ada pisau yang sama dengan yang dimilikinya atau hanya akal-akalan anak ini saja. Selain itu, dia tidak mau membuang-buang waktu.
“Maaf. Coba katakan siapa yang mengambil pisau itu,” Rian mengecilkan suaranya.
“Dia menutup kepalanya dengan jaket yang bertopi itu. Aku suka jaketnya. Ada tulisan China yang besar dibelakangnya.”
“Tulisan China?? Tulisan Jepang mungkin?”
“Engg.. aku kurang tahu.”
“Kamu bisa membacanya?”
“Hahaha. Kakak menghina aku, ya? Membaca tulisan biasa saja aku tidak bisa. Bahkan aku tidak tahu warna tiang itu. Teman-teman katakan itu berwarna biru. Tapi menurutku itu hijau. Hahaha.”
Ya, Tuhan. Dia buta aksara dan buta warna. Pertanyaan bodoh macam apa ini? tulisan Jepang dan Mandarin saja dia tidak bisa membedakannya.
“Baiklah. Terima kasih. Aku pamit dulu. Permisi.”
Tangan-tangan kecil itu melambai-lambai melepas kepergian Rian.


CHAPTER 14
 “Breathless”

            Muak sudah!
Jarum merah yang ada di dalam kaca speedometer motornya kini sudah menunjuk kepada huruf “E”. Apakah itu berarti “End”? Sial! Kenapa bensinnya harus habis saat di tengah jalan? Kalau saja racun pada pisaunya bisa menembus kedalam besi metal ini, sudah dilakukannya sejak tadi. Sekarang apa? Aku mendorong motor di tengah jalan raya seperti ayah yang menggendong anaknya saat menonton pawai di pameran padahal dia punya kaki. Membuang-buang waktu, tidak efisien! Melakukan pekerjaan cuma-cuma. Potong saja kakinya kalau tidak digunakan! Sama seperti motor ini, sampai ujung jalan sana jangan harap dia mempunyai roda lagi, umpat Rian dalam hati.
Bukan tidak mungkin Rian mendapatkan panggilan-panggilan tidak menyenangkan saat mendorong motornya oleh orang-orang yang kebanyakan laki-laki. Rian menyebut dirinya sendiri sebagai korban dari kekejaman benda mati padanya. Bayangkan, ada gadis cantik berhidung runcing berjalan sendiran, kelelahan mendorong motor sejauh satu kilometer lebih di tengah jalan raya. Tidak di pungkiri banyak sekali orang-orang yang menawarkan jasanya yang kesiangan untuk membantu Rian. Di pinggir jalan tadi dia menemukan SPBU yang bisa dia masuki, mengisinya dengan bensin, lalu kembali bergumul dengan bebek bermesin itu. Atau tukang tambal ban yang menyediakan bensin eceran. Tapi anak ini benar-benar tidak butuh mereka semua. Dia membiarkan emosi dan amarahnya memasuki level siaga dengan mati-matian mendorong motor sampai ketempat yang dia inginkan agar dia bisa meluapkannya dengan baik saat mengeksekusi motor busuk itu.
Sampai!
Rian mendapatkan dirinya sudah berpeluh keringat dan benar-benar kelelahan. Ingat, Rian benci sekali kata-kata itu. Dia memang tidak berlari, tapi melakukan pekerjaan yang sengaja memancing emosinya. Dia sudah berada di areal persawahan yang cukup sepi. Keindahan pemandangan padi menguning sama sekali tidak dia hiraukan. Bahkan Rian mungkin tidak menyadari kalau awan dan langit di atasnya yang berwarna oranye khas sore hari sangat indah. Semakin oranye warna langit itu, semakin membakar emosi di dirinya. Dia mendorong motornya sampai ke tengah kebun orang yang banyak pohon bambu di sana.
“Kau tahu akan aku apakan dirimu?” tanya Rian pada motornya seolah-olah motor itu bisa berbicara.
“Tidak? Baiklah. Kau telah membuatku kelelahan dan kau akan dapat akibatnya!”
Rian menemukan arit dan golok dari salah satu gubuk di pinggir sawah. Dia mengambilnya untuk menyakiti benda bergerak itu. Rian berimajinasi seolah-olah dihadapannya adalah Hatachi dengan wajah menantang maut dan meledek kepadanya. Rian mengangkat arit tinggi-tinggi lalu menancapkannya tepat pada kaca speedometer motor diiringi suara erangan emosi Rian yang tertahan. Suara kaca pecah terdengar cukup keras kemudian. Setelah pecah Rian mencongkel jarum yang seolah tersenyum kepadanya –padahal yang dia tunjukkan adalah huruf “E” – dengan penuh emosi. Dapat! Dia mengambil jarum itu lalu dipatah-patahkannya hingga sedikit hampir menyerupai debu berwarna merah.
Sekarang apa lagi?
Golok menjadi senjatanya sekarang. Golok di tancapkan pada kursi motor dan kursi itu kini telah menghadapi saat-saat pencabikkan. Mengangkat golok itu tinggi-tinggi lalu menancapkannya, menarik paksa hingga kain pembungkus kursi motor itu robek seolah berteriak “jangan lanjutkan!” tapi Rian tidak peduli. Kegiatan itu dilakukannya berulang-ulang hingga kursi itu menjumpai ajalnya.
Rian masih asyik mencabik-cabik motor itu ketika suara seorang pria mengejutkannya.
“Hey! Sedang apa kau disitu?”
Rian menoleh kebelakang, tidak menanggapi, lalu melanjutkan pekerjaannya. Suara langkah kaki yang semakin mendekat pada dirinya mulai membuatnya waspada. Tutup matamu karena bisa jadi golok itu menancap di kepala orang asing yang menegur Rian tadi.
“Rian?”, tanya laki-laki empat puluh tahunan itu pada dirinya setelah menepuk pundak Rian.
“Pak Afif?”
“Iya. Kamu ingat saya? Ayahnya Dilan.”
“Ingat.”
“Mmm.. sudah lama sekali kita tidak bertemu. Apa yang sedang kamu lakukan disini?”
Rian belum menjawab, mata Pak Afif sudah berkeliaran mencari tahu apa yang terjadi di depannya sekarang. Motor dengan kaca speedometer yang pecah, kursi yang sudah tidak karuan, knalpot yang sudah setengah terlepas dari tempatnya, kondisi motor yang sudah tergores-gores, dan kaca spion yang pecah. Di hadapannnya seorang gadis mencengkram golok dengan kuat sampai urat-urat tangannya terlihat seperti elang yang mencengkram burung pelikan di kakinya, keringat berucucuran seperti habis mengaduk semen, dan tangan yang sedikit berdarah karena tergores arit. Bisa dijamin Pak Afif sudah mempunyai jawaban pertanyaannya sendiri yang mungkin sempat di tolak alat berfikirnya tanpa perlu Rian menjawabnya.
“K-kamu mengahancurkan motor ini??” tanya Pak Afif keheranan setelah mendapatkan hipotesisnya sendiri.
“Apa yang Anda lihat itulah yang terjadi.”
“Sedari tadi saya perhatikan kamu. Kamu menancapkan golok-golok itu seperi seorang pembunuh. Dan ternyata yang kamu bunuh adalah sebuah motor???”
“Ya.”
“Kau gila, Rian! Jangan sampai anak saya berteman denganmu! Dia salah mempunyai teman sepertimu!”
Pak Afif nampak terburu-buru mengambil handphone dari saku celananya. Kemudian, dia mengabadikan gambar diri Rian yang masih mencengkram golok dan motor hasil cabikannya dalam kamera handphone miliknya. Rian “masih” diam dengan mata melotot ke arah Pak Afif.  Setelah puas jepret sana-sini, Pak Afif memijit-mijit tombol dari handphonenya lalu mengarahkan benda itu ketelinganya, ingin menghubungi seseorang.
“Halo, Dilan?”, kata Pak Afif kepada orang yang diseberang teleponnya sesaat kemudian. Dia menghubungi Dilan. Kemungkinan besar dia akan mengadu pada Dilan seperti anak kecil yang baru melihat pertandingan adu ayam. Kampungan! Rian bisa membaca situasi. Dia segera merampas handphone Pak Afif dan melemparkannya dengan keras ke atas batu. Handphone itu pecah.
“Apa-apaan kamu??! Kau harus membayar atas semua ini!!” Pak Afif menunding-nunding Rian dengan jari telunjuknya. Rian tidak menjawab apa-apa. Kalau saja dia seorang vampire atau kanibal, pastilah ayah Dilan itu akan jadi santapan supper yang lezat. Benar saja, Pak Afif berlari dengan dengkul gemetaran keluar dari hutan bambu.
Mau lapor polisi?
Rian sudah cukup lelah. Untuk kali ini dia memang tidak konsisten akan prinsipnya untuk tidak berlari. Tapi semuanya sudah kepalang tanggung. Rian mengambil palu dari tas kerja ayah Dilan yang tadi di tinggal dekat pecahan handphonenya, lalu berlari secepat mungkin mengejar si pemilik palu. Urat-urat kemarahan sudah keluar menggarisi wajah putihnya yang sekarang memerah. Darahnya sudah naik ke kepala. Dia naik pitam.
Dapat kau!
Perempuan itu menarik kerah baju bagian belakang Pak Afif hingga dia hampir tersungkur jatuh. Dengan palu miliknya sendiri, Pak Afif merasakan hantaman luar biasa tepat di kepalanya. Palu berhasil menancap di kepala Pak Afif. Darah kental mendesak keluar dari tengkorak kepalanya.
“AAAARGGH!” jerit Pak Afif sangat kencang.
“DIAM!” bentak Rian. Satu kali lagi pukulan kencang dengan benda yang sama pada punggung belakang laki-laki itu hingga dia terjatuh mencium tanah.
“K-kkamu! A-aku haramkan k-kau m-menyentuh keluargaku! Terutama Dilan!” kata Pak Afif di tengah-tengah suaranya yang terbata-bata.
“Selamat tinggal.”
Lagi, pisau itu menancap pada leher korbannya. Dalam hitungan detik, mata Pak Afif sudah terbelalak ke atas, menantikan malaikat maut mencabut nyawanya. Rian membiarkan tubuh Pak Afif tergeletak di atas tumpukkan daun-daun kering dengan kepala yang berdarah-darah. Palu yang dia pakai kemudian dibawanya pergi keluar dari tempat itu walau tanpa motornya.
Aku sudah lama menunggu saat-saat ini, Pak. Kau memang sudah keterlaluan. Meninggalkan anak istrimu demi seorang wanita lain yang lebih rendah dari wanita jalang sekalipun. Kau tidak tahu bagaimana perjuangan Ibu Adilla merawat dan membesarkan Dilan sendirian. Kau tidak tahu, kan? Dan sekarang, beraninya kau mengambil diagnosa kesiangan atas secuil kegiatan yang aku perbuat disini dan melakukan percobaan untuk mengadukan semuanya kepada Dilan! Palu milikmu menikam dirimu sendiri, Tuan.


CHAPTER 15
“Immortality”

            Senin, 13 Februari 2010 sore ditemukan lagi sesosok mayat yang diketahui bernama Afif Aryana umur empat puluh tahun, tewas mengenaskan di dalam hutan bambu di kota Y  dengan luka parah di kepala dan di punggung belakang. Polisi menduga korban dibunuh dengan cara dipukul dengan benda keras pada bagian-bagian tersebut. Sedangkan luka pada leher korban sama dengan luka pada korban-korban pembunuhan yang sedang marak beberapa waktu terakhir. Masyarakat setempat menduga luka tersebut disebabkan karena gigitan hewan buas. Polisi dan tim forensik sendiri telah bekerja sama untuk memecahkan bersumber dari apakah luka yang langka tersebut. Luka yang sama juga ditemukan pada beberapa korban sebelumnya yang tewas mengenaskan dengan anggota tubuh setengah termutilasi. Polisi juga belum tahu apakah motif dari pembunuhan yang menewaskan seorang ayah yang meninggalkan satu orang istri dan dua orang anak ini. Korban sendiri sebenarnya tinggal di kota X dan sedang bertugas merancang konstruksi gedung walikota yang baru di kota Y. Demikian Headline News kali ini. Kami akan kembali dalam satu jam mendatang.
Isak tangis seorang istri, mantan istri, dan seorang anak laki-laki yang baru saja dewasa pada tanggal 12 Februari kemarin menyusul setelah reporter Headline News di televisi menyudahi laporannya. Mereka semua berada dalam satu ruangan pada satu rumah menghasilkan aura kesedihan yang mendalam pada keluarga pincang ini. Ayah, suami, dan mantan suami mereka telah pergi untuk selama-lamanya meninggalkan segala urusan yang masih tertinggal di dunia ini. Sama sekali tidak tergambarkan aura sakit hati atas bercerainya Ibu Adilla dan Pak Afif dikarenakan dugaan orang ketiga, Ibu Fadhilla yang sekarang telah menghasilkan sepasang anak kembar. Dua nama yang hampir sama dengan jarak umur yang cukup jauh. Dilan memeluk mamanya erat. Rasa sakit hati itu luntur dalam sekejap ketika melihat tubuh tulang punggung mereka dulu sudah dingin berlumuran darah yang membeku di layar televisi mereka yang sedikit di blur. Rasa sakit hati itu kini digantikan dengan rasa dendam kepalangan yang tidak akan pernah luntur kepada siapapun yang membunuh Pak Afif. Dilan sendiri baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas tanggal 12 Februarinya.
Monster macam apa yang tega membunuh seorang tulang punggung dari keluarga baru dengan dua orang anak kembar yang lucu-lucu yang baru saja masuk sekolah dasar? Bahkan lelaki itu belum sempat mengucapkan kalimat “Selamat ulang tahun, Dilan”. Ya. Monster itu adalah: Rian.
“Bagaimana aku bisa menghidupi kedua anakku ini, Mbak Adilla. Aku tidak punya siapa-siapa lagi!” ibu Fadhilla menangis meraung-raung dalam pelukan ibu Adilla yang memang benar-benar menunjukkan bahwa dia lah yang paling tegar dalam semua ini.
“Kau tahu apa yang aku lakukan saat Afif menceraikanku?”
“Apa?”
“Aku rela mencuci baju tetangga demi menghidupi Dilan. Aku rela membuat makanan untuk dititipkan ke koperasi sekolahnya. Aku rela meminjam uang pada tetangga untuk membeli baju sekolah Dilan kemarin. Apapun aku lakukan untuk anakku, kau tahu. Dan sekarang itu terjadi padamu. Kau masih cantik dan muda. Ku dengar kau lulusan tata boga di SMK. Kau juga buka usaha catering, kan? Pinjamlah uang di bank untuk tambahan modal dan memperbesar usahamu. Kalau kurang, kau bisa gunakan warisan yang aku yakin pasti sudah ditinggalkan Afif jauh-jauh hari,” Ibu Adilla memberi masukan kepada Fadhilla yang semakin terlihat murung di setiap menitnya. Matanya menerawang luas kedepan seolah-olah dia bisa melihat apa yang akan terjadi padanya dan kedua buah hatinya setelah kepergian mendadak suami tercintanya.
“Tapi, bagaimana mungkin aku bisa bertahan dalam kepincangan ini? Aku benar-benar mencintai Mas Afif dan aku tidak siap menghadapi semua ini. Bagaimana aku menjelaskan pada Zionell dan Zeon? Bagaimana aku tahan menghadapi kondisi masyarakat sekitar sendirian, Mbak? Membayangkannya saja sudah mau pingsan rasanya. Aku tidak sanggup, Mbak!” wajah ibu Fadhilla memerah karena tangisnya yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Anak-anaknya sedang tertidur di kursi tamu. Wajahnya mereka benar-benar tampak tidak berdosa. Ibu Fadhilla tidak kuat menatap tatapan lugu nan polos dari anak-anaknya. Di sana ada mata ayahnya, Afif Aryana.
“Hubungi aku kapan pun kau membutuhkanku,” jawab Ibu Adilla datar. Tidak tampak lagi air matanya jatuh dari balik kacamatanya. Dia kemudian memeluk Ibu Fadhilla, menenangkannya. Tidak tampak raut wajah orang yang sedang berseteru dalam waktu tujuh tahun lamanya.
“Aku heran, kenapa satu per satu orang-orang yang aku cintai pergi begitu saja. Dan satu hal yang sama, mereka semua di bunuh! Nadia, ayah, lalu siapa lagi nanti?? Aku yakin dia adalah orang yang sama, Ma. Pembunuh mereka semua adalah satu orang!”
“Sudahlah, Dilan. Siapapun yang membunuh mereka semua pasti tidak suka dengan apa yang kita miliki. Ambil sisi positifnya saja, waspada. Kamu tahu siapa yang mama curigai?”
“Siapa, Ma?”
“Temanmu itu, Rian.”
“Apa? Tidak mungkin, Ma! Aku kenal betul dengannya! Dia tidak mungkin melakukan hal-hal di luar batas nalar seperti ini. Apalagi Nadia dan ayah. Mereka berdua menyayangi Rian, Ma!”
“Bisa tidak kamu dengar mama dulu!” bentak Ibu Adilla pada anaknya. Dia melepaskan pelukannya dari Ibu Fadhilla. Dilan terdiam.
 “Rian memang dekat dengan keluarga kita sejak dulu. Mama mengenal baik ibu dan ayahnya. Keluarga mereka yang membantu mencarikan rumah ini untuk tempat kita tinggal. Mama ingat, Rian juga pernah menolong mama yang hampir kerampokan saat berada di pasar. Tapi itu dulu, sebelum keluarganya hancur seperti saat ini. Kamu harus buka matamu, Nak. Tidakkah kamu melihat ada yang lain dari dirinya yang membuat orang-orang di sekitarnya merasa berada di dekat malaikat pencabut nyawa?”
“Mama pernah melihatnya saat dia sudah seperti ini?”
“Iya. Mama melihatnya saat di taman di jalan Merpati 4. Dia duduk sendirian di bawah pohon menatap anak-anak yang sedang membeli balon dengan pandangan menyeramkan. Dia mungkin berfikir anak-anak itu bodoh karena menghabiskan uang jajan mereka sia-sia untuk membeli sesuatu yang akan hancur kurang dari 24 jam. Mama bisa lihat itu semua. Bawah matanya yang sudah sedikit menghitam benar-benar menandakan dirinya jarang tidur dan tidak terurus lagi. Dia gila, Dilan. Kau harus menjauhinya!”
“Apa? Tidak akan, Ma. Malah aku berencana untuk mengajaknya membantuku mencari siapa pembunuh ayah. Aku ingin sekali menelan hidup-hidup pembunuh itu, Ma! Dengan basic Rian yang sering “berkelana”, pasti bisa dengan mudah mendapatkan informasi darinya.”
“Kamu tidak salah bicara, Nak? Kamu tahu, kamu harta mama satu-satunya. Mama tidak mau kehilangan kamu! Mama bisa lebih depresi dari Fadhilla kalau kamu sampai kenapa-kenapa, Dilan!”
“Mama, please. Lihat diriku! Aku sudah tujuh belas tahun! Aku sudah bisa membaca situasi, baik atau buruk, berbahaya atau tidak. Jangan mentang-mentang aku anak satu-satunya dan mama terus memperlakukan aku seperti anak SMP!”
“Terserah kamu, Dilan! Terserah!”
“Memang semua terserah padaku, Ma. Aku mau pergi dulu, mencari Rian dan mengeluarkan muntahku tepat di atas kepala pembunuh sialan itu!”
            Ibu Fadhilla sendiri masih belum berhenti menangis. Dia bergerak menuju tas dekat anaknya yang tertidur lalu mengambil sebuah foto di dalamnya. Ada dia, suaminya, dan kedua anaknya yang masih bayi. Mereka semua berpose di atas tempat tidur dengan dominasi warna putih yang hangat dan bersih. Foto itu selalu dibawa kemanapun dia pergi. Dia sangat mencintai suaminya, apapun yang terjadi. Kisah cinta mereka cukup rumit. Walaupun harus merebut suami orang, tapi Fadhilla bahagia dengan keluarga kecil barunya. Tapi sekarang semua sudah pincang. Bagaimana mungkin seorang anak kecil berhasil naik sepeda roda dua karena dua roda tambahan di kanan dan kirinya masuk kedalam air comberan? Akan sulit pada permulaan. Terjatuh dan kemudian bangkit adalah hal biasa. Tapi nanti, dia akan berhasil melewati jalan yang menanjak atau berbelok dengan hanya menggunakan sepeda roda dua. Begitulah kehidupan Ibu Fadhilla sekarang. Dia tetap harus hidup dan memeluk hangat anak-anaknya walaupun tidak ada sosok Afif Aryana lagi di sampingnya.
            Rian sendiri tidak menyesalkan perbuatannya mencabut paksa nyawa ayah mantan sahabatnya, Dilan. Dia rasa itu harga yang pantas untuk membalas yang telah Dilan perbuat padanya, membuka semua pintu harapan lalu menutupnya dengan membanting pintu itu dengan kasar hingga Rian kaget dan terjatuh. Dan saat Rian terjatuh, mereka semua malah asik berdansa dan tertawa di atas tubuh Rian.
            Satu per satu akan mendapatkan balasan mereka. Rian nampaknya tidak sabar akan balasan yang diberikan Tuhan untuk orang-orang yang telah jahat padanya. Dia ingin melakukan pembalasan itu sendiri.
            Dengan tangan dinginnya ..


CHAPTER 16
“Monster”

            Dia terbangun dari tidurnya, semua telah hilang
            Dia menyakiti wajahnya sendiri, dia tidak bermimpi
Mereka tahu? Tidak. Mereka hanya berpura-pura mengerti
Mereka tidak tahu? Tidak. Mereka hanya menerka-nerka
Mengertilah, karena suatu saat akan terjadi gilirannya
Mungkin dirimu, temanmu, atau ibumu
Dia terseok-seok ..
Tanah merasakan hangat air matanya
Dia manusia, sobat. Dia bukan monster
Dia menyakiti wajahnya sekali lagi,
Benar.. dia tidak bermimpi
Tuhan ingkar janji! Tuhan pembohong!
Tuhan tidak lagi ada di hatinya
Gelap
Dia bukan monster,
Jangan takut padanya, jangan coba menghindar
Dia butuh satu lagi kasih sayang
Bukan hanya angin lembut yang membawa lari angan-angan
Dia butuh satu lagi kaca untuknya bercermin
Karena yang sebelumnya tertelan oleh seorang wanita kantoran
Dia butuh satu lagi kaca untuknya bercermin
Terakhir dia melihat wajahnya di dalam air dan itu buruk
Bagaimana tampilan mahkota panjang di kepalanya sekarang?
Kakinya bergetar di siang hari
Menjual suara tidak selalu seperti menjemur pakaian
Dia takut .. dia butuh ayahnya
Bagaimana mungkin monster takut?
Jelas saja mungkin! Karena dia bukanlah monster
 Kakinya panas
Aspal jalanan keras panas tidak lagi dirasakan
Berjalan hingga menemukan titik terakhir
Titik terakhir untuk mengadu pisaunya
Berlian..


CHAPTER 17
“Japanese Question”

              Rian merasa atas “pencapaian-pencapaian” yang di lakukannya selama ini membuat dirinya masuk dalam daftar buronan polisi. Dia tidak bisa lagi terus-terusan mengumbar identitasnya dengan menumpang untuk tidur semalam kerumah orang lain. Apa lagi kota Y yang saat ini jadi tempat persinggahannya merupakan kawasan yang masih lekat sisi kedaerahannya. Mereka mudah sekali terpropokasi atas hal-hal baru dan terdengar jahat bahkan nilai kebenaran di kepala mereka mungkin hanya baru berkisar 30%. Untuk malam yang hujannya deras ini, dia memutuskan untuk tidur di dalam salah satu gardu kecil yang ada di pinggir pasar.
Rian kelaparan. Dia dan gitarnya sedang benar-benar malas bernyanyi di sini. Itu juga bisa membuat identitasnya semakin terkuak. Dia tidak ingin dipenjara sekarang. Masih ada beberapa orang yang menjadi targetnya dan bertambah satu lagi. Mungkin orang lain yang mendengarkan anak di bawah kolong jembatan itu merasa dia bergurau tentang apa yang dilihatnya mengenai seseorang yang berjaket, tapi Rian tidak. Ada suatu dorongan yang di dalam dirinya yang membuat dia memasukkan orang misterius itu ke dalam salah satu daftar targetnya. Tapi sungguh. Demi apapun Rian tidak ingin masuk penjara. Dia merasa lebih baik mati dengan pisaunya sendiri daripada harus tidur di balik jeruji besi dan menyaksikan berbagai kecurangan yang dilakukan aparat.
Dia tidur dengan posisi kepala menengadah ke atas, menatap langit-langit gardu yang terbuat dari seng dan mengeluarkan bunyi yang luar biasa berisik karena ditimpa air hujan. Kali ini, dia benar-benar merasa kesepian. Selama ini dia bersembunyi di balik dingin sikapnya kepada semua orang. Dia butuh seseorang yang bisa memeluknya saat dia terluka. Dia butuh seseorang yang memang dia inginkan dengan kasih sayang tulus, bukan hanya sekedar formalitas. Dia memang pembunuh. Tapi lihatlah, dia masih enam belas tahun. Bahkan sekolah SMA saja belum lulus.
Rian menutup matanya. Dia belum tidur. Dia ingin mengonsentrasikan fikirannya untuk mundur ke waktu dimana dia masih bahagia bersama keluarganya di rumah. Dia rindu ayah, ibu, dan adiknya. Dia ingin memunculkan gambar-gambar wajah mereka semua yang sudah meninggal di dalam matanya.
“Riaaan! Ayo turun, Nak. Sudah jam setengah tujuh. Nanti kamu terlambat ke sekolah.”
“Sebentar, Bu. Aku belum sisiran. Sisir aku lagi di pakai sama Sarah. Saraaah! Buruan! Nanti kita telat!”
“Sabar dong, Kak. Rambutku kusut banget!”
“Makanya kalau pakai shampoo yang bersih.”
“Mercy, kamu pakai sisirmu sendiri, dong. Kasian, Kak Riannya belum sisiran. Ibu pusing mendengar kalian berantem terus setiap pagi” Pak Fabio lewat sambil tersenyum melihat keadaan keluarganya setiap pagi begini.
“Sisir aku hilang, Bu. Nggak tahu dimana.”
“Hilang apanya? Ini sisir kamu, Mer! Memang kamunya saja yang malas mencari dan mau enaknya saja pakai sisir aku!”
“Yasudah, terserah. Pokoknya lima menit lagi Ibu tunggu. Ayah kalian juga mau berangkat kerja.”
“Iya, Bu!”
Setiap pagi selalu begitu. Rian dan adiknya, Mercy selalu rebutan barang padahal Mercy sudah memiliki barang miliknya sendiri. Rian tersenyum sendiri mengingat wajah adiknya yang panik saat barangnya menghilang. Tapi di balik semua barang yang menjadi rebutan, mereka selalu tertawa saat salah seorang dari mereka menunjukkan ekspresi panik yang unik.
Rian mulai merasakan panas di dalam matanya. Dia masih rindu yang lain. Dia rindu ayahnya. Fikirannya dikonsentrasikan dan dapatlah dia gambaran-gambaran ingatan tentang dia dan ayahnya.
“Aku tidak suka menunggu, Yah.”
 “Sabar, sayang. Lihat kesenangan dan kepuasan yang kita dapatkan saat kita selesai bersusah payah dari usaha yang kita perbuat.”
“Tapi lama, Yah.”
“Ilmuwan saja 99% hidupnya adalah kegagalan dan mereka terus bersabar. Jadi kamu harus sabar dan diam.” 
“Kenapa harus diam?”
“Ya nanti ikannya tidak mau mendekat kail Ayah kalau kamu berisik terus.”
“Di laut seperti ini ikannya pasti susah, Yah.”
“Tidak. Disini ikannya malah banyak. Tunggu saja sebentar lagi.”
Sesaat kemudian ..
“Woow! Lihat, pancingan Ayah bergerak-gerak. Pasti dapat ikan!!”
“Benarkah, Yah??”
“Iya! Ambil jaring di sana, Nak!”
“Ini, Yah. Ayo, aku siap membantu Ayah.”
“Lihatlah aksi Ayahmu menarik ikan dari kehidupan licinnya di dalam air, Rian. Jangan kedipkan matamua sedikitpun! Hahaha.”
“Hahaha. Iya, Yah. Ayo mana ikannya?”
“Dapat.. ayo dapat! Sebentar lagi, sayang. Yeaah! Wohoo! Kita dapat! Kita dapat, Rian!”
“Dapat apa, Yah? Sepatu boot? Mana ikannya?”
“Ikan apa? Memangnya kita kesini mau cari ikan? Ini sepatu boot Ayah yang waktu itu hilang.”
“Apa?? Ayah  licik!”
“Hahaha. Hanya bercanda, Nak. Tentu saja kita kesini mencari ikan. Tadi hanya permainan Ayah saja. Bagaimana rasanya?”
“Rasa apa?”
“Perasaan yang kamu rasakan saat mengetahui kail Ayah sudah tercaplok oleh ikan.”
“Senang sekali! Tapi Ayah membohongiku.”
“Maaf. Ayah tidak bermaksud begitu. Ayah hanya ingin membantu kamu keluar dari kebosanan dan merasakan kesenangan dan kepuasan yang kita dapatkan saat kita selesai bersusah payah dari usaha yang kita perbuat. Seperti yang Ayah katakan tadi. Dan benar rasa itu menggembirakan, bukan?”
“Iya.”
“Nah! Kalau begitu semangat! Ayah tidak ingin melihat kamu loyo lagi. Coba kamu ambil softdrink dalam cool box disitu. Minumlah, dan kamu akan merasa lebih baik lalu lanjutkan sampai kita dapat ikan besar. Setuju????”
“Setuju, Yah!! Semangat!!”
Panas pada matanya pada akhirnya berujung dengan menetesnya air mata di kulit pipinya yang dingin. Dia masih tetap memejamkan mata dan menekannya agar semua air matanya bisa keluar. Nafasnya mulai sesak karena menahan tangis. Dadanya naik-turun menahan sesak tangis dan emosinya yang mulai memuncak. Dia mulai mengeluarkan suaranya, suara isak tangis dari mulutnya. Lama kelamaan suara itu makin kencang dengan air mata yang tidak kalah deras dari hujan di malam itu.
“AAAAARRRGGH!!!!” jeritnya sekuat tenaga, meluapkan segala emosi yang terpendam selama ini disertai air mata yang membuatnya semakin terisak-isak. Suara derasnya hujan sangat bisa menyamarkan suara jeritan hatinya yang terdalam. Membunuh memang membuatnya senang dan lega, terlebih apabila mereka adalah orang-orang yang berperan dalam adegan penghancuran keluarganya. Tapi itu hanya sementara. Wajah ayah dan ibunya tidak pernah sedetikpun hilang dari ingatannya. Semua bagai bulan yang selalu bersama bumi kemana pun bumi berputar. Ada kalanya dimana cahaya itu nampak, dan saat lelah dia akan menghilang, lalu kemudian tampak lagi untuk menyinari separuh malam.
Rian bangun dari posisi tidurnya dan duduk di tepi gardu dengan wajah menunduk. Dia memeluk kedua kakinya dan menyandarkan kepala pada dengkulnya.
“Aku lelah, Ma. Aku benar-benar lelah! Aku butuh tempat tinggal, aku butuh semua yang dulu kita pernah punya, Ma. Aku hanya bisa menghibur diriku sendiri dengan gitar dan pisau ini. Aku rindu masa-masa sekolah!! Aku bahkan selalu iri saat mereka membawa tas keluar dari gerbang dan bersalaman kepada kedua orang tua mereka yang menjemput mereka pulang, atau makan bakso dan jajanan di depan sekolah. Aku rindu semuanya, Ma!!!”, ungkapnya yang sangat menyedihkan. Siapapun yang berada di dekatnya pasti akan merasa iba padanya. Percayalah.
“Kembalikan Ayah kepadaku!! Kembalikan mereka semua!! Tunjukkanlah Kuasa-Mu yang selama ini mereka semua agung-agungkan kepada-Mu!! Aku tidak peduli dengan semua ini, aku tidak peduli lagi dengan dosa! Persetan!! Aku butuh keluargaku saja. Hanya itu!!”
“Kalau kau hanya peduli dengan umat-Mu yang taat berarti Kau adalah Tuhan yang suka pilih kasih! Sebenarnya yang gila disini siapa, aku atau Dia??! Memang aku sudah gila! Terserah dengan semuanya! Terseraah!!”
Rian kembali menangis semalaman penuh itu. Hanya itu yang bisa dia lakukan, dan hanya dia jugalah yang tahu kalau dirinya menangis. Dia mulai merasa tidak bisa membuka matanya karena bengkak. Air mata membuatnya semakin terlihat lemah. Saat itu dia benar-benar tidak peduli dengan kata-kata lemah. Dia benar-benar sendiri di tempat itu dan dia yakin. Bahkan preman pasar kelas tongkol atau hiu sekalipun tidak akan berani keluar di tengah hujan deras dengan petir yang berlarian kesana-kesini mewarnai malam itu. Hujan deras dan malam yang semakin gelap membuat dirinya tidak nyata ditelan kegelapan hingga dia bisa meluapkan seluruh emosinya.
“Siapa itu??” tanya Rian tiba-tiba setelah dia melihat sekelibat orang dari kegelapan di sebelah kananya. Dia tahu benar-benar ada seseorang di dekatnya. Naluri tajam pembunuhnya segera dia pasang.
Tidak ada jawaban. Rian menghapus air matanya dan mulai beraksi. Tidak beranjak dari dalam gardunya, dia memincingkan mata dan menajamkan pendengaran untuk merasakan segala kemungkinan yang akan terjadi.
“Kreeekk!” bunyi suara anyaman bambu yang melapisi papan sebagai alas tempat duduknya berbunyi tepat dibawahnya. Dari bunyi itu, terdengar seperti ada seseorang yang mengerik papan-papan itu dengan besi.
Rian yakin ada lebih dari dia di dalam tempat itu. Dia segera menengok ke kolong gardu dengan gerakan cepat dan tiba-tiba. Dia tidak mendapatkan siapapun. Jangan coba lari dariku! ungkapnya dalam hati. Sesaat kemudian dia bisa mendengar – walaupun dengan sangat samar-samar – suara langkah kaki setengah berlari yang semakin menjauh dari sumber suara pertama yang tadi didengarnya. Rian bisa melihat jubah hitam yang melambai-lambai tertiup angin dan ditimpa air hujan perlahan kian menjauh bersamaan dengan suara langkah kaki itu. Dia menajamkan pandanga matanya, dia dapat melihat tulisan “ 忠誠の誓karena warna tulisan yang kontras dengan warna jubahnya yaitu berwarna putih dengan ukuran tulisan yang cukup besar. Rian memang pernah belajar bahasa Jepang sedikit saat di SMA-nya dulu walaupun tidak terlalu cakap. Remidi selalu didapatkannya. Tulisan itu dibaca chūsei no chikai yang artinya adalah : ikrar kesetiaan atau sumpah setia.
Dia kemudian tertidur lagi.
Siapa dia?

CHAPTER 18
“Here I Come”

            “Heh, gembel! Bangun!! Ini bukan lapak buat tidur!! Banguuun!!”
“Hoaaam..”
“Heh! Kamu mau saya panggilin SATPOL PP biar dibawa ke Dinas Sosial mau?? Cantik-cantik ngegembel. Ayo, banguun! Ganggu usaha orang dagang saja, kamu!”
Rian setengah membuka matanya. Sesosok bertubuh kurus dengan urat-urat wajah yang sudah sekitar hampir setengah abad berseragam hijau dilengkapi atributnya berupa topi juga pentungan, dan berpura-pura seperti orang yang paling berkuasa di pasar ini. Dari bajunya, Rian bisa tahu nama orang itu adalah Jupri Supardi.  Rian fikir sebentar lagi pentungan itu akan masuk ke dalam perutnya karena telah berlaku kasar terhadapnya.
“Heh, bocah! Ayo buka matamu! Lihat, ini sudah siang. Orang-orang merasa terganggu melihat gelandangan tidur disini.”
Gelandangan?!
Gadis itu membuka matanya. Benar. Kondisi pasar sudah ramai walaupun masih sekitar pukul lima pagi saat itu. Para pedagang tradisional sibuk mempersiapkan dagangan mereka di lapaknya masing-masing. Ternyata, gardu yang digunakannya untuk tidur sebenarnya bukan gardu, melainkan salah satu lapak berdangang. Seseorang dengan kaca mata dan kumis berdiri di samping Jupri dengan karung penuh sayuran di sekitarnya. Mungkin dia pedagang yang punya lapak itu. Tatapan membunuh pada mata bengkaknya terarah kepada Supardi. Orang itu mulai terlihat ketakutan karena tidak tahu apa maksud dari tatapan itu. Rian ingin sekali menerkam dia dengan cakar-cakarnya. Dia punya akal. Rian melihat pada saku baju Jupri ada handphone murahan yang sudah barang pasti dia dapat dengan cara yang sulit karena harus bekerja keras. Mungkin handphone itu cukup berharga untuknya. Rian menemukan cara yang dia rasa bisa mengalihkan perhatian orang ini dan mendapatkan apa yang dia inginkan.
“Makanya, jadi anak jangan suka melawan orang tua. Jadi begini kan akibatnya. Kamu kabur dari rumah dan menjadi gelandangan karena tidak ada uang... (bla bla bla)” Rian tidak memperdulikan omongan dari mulut beraroma rokok yang semuanya adalah salah.
Sok tahu sekali dia tentang hidupku.
Dia merapikan bajunya yang sedikit kusut lalu menggantung gitar pada punggungnya. Dia ingin cepat pergi dari tempat itu. Kemudian dengan gerakan cepat seperti sudah terlatih, Rian mengambil paksa handphone dan dompet dari saku baju Jupri dan segera berlari secepat mungkin.
“Jambret!!!”
Semua orang sibuk mengambil alih sebagai pahlawan dan berebut untuk mendapatkan kembali handphone Jupri. Rian berlari sangat kencang di sela-sela lapak pasar sampai dia menemukan jalan keluar. Dia bisa saja langsung menuju jalan raya. Tapi dia ingin mengambil alih perhatian semua orang dulu.
Ini keren!
Rian terus berlari membawa kedua barang itu dengan kecepatan penuh. Sambil berlari, dia membuka dompet Jupri dan melihat identitasnya. Dia tertawa-tawa di tengah-tengah semakin banyak orang yang memburunya karena melihat foto Jupri yang seperti orang menggigil dan darah rendah karena kurang tidur. Garis-garis di wajahnya seolah menandakan tentang hutang yang sangat banyak pada Pak RT atau utang di warung. Jauh benar dengan gayanya yang tadi sok jagoan di depan Rian. Sementara di belakangnya, massa semakin banyak yang mengejarnya. Dia sedikit kewalahan tapi tetap tidak menyerah.
Kakinya semakin dan semakin cepat, deru nafasnya semakin terengah-engah, dia terlihat seperti bukan manusia. Rian melesat cepat di tengah perkampungan yang lumayan sempit. Mungkin dia tersesat, tapi dia tidak peduli. Wajahnya sama sekali tidak mengisyaratkan kalau dia tersesat. Rian menuju suatu tempat. Tempat itu cukup jauh dari pasar. Tempat itu masih terdapat garis kuning yang hanya dimiliki polisi. Sayangnya, tidak ada satu orang pun polisi di sana. Mungkin benda kuning yang melintang itu hanya formalitas saja. Dan di tempat itu pernah mati seorang ayah yang memiliki dua orang anak kembarnya.
“Waduh, Jupri. Saya capek mengejar si jambret tadi. Larinya kencang sekali. Saya bahkan bingung dia itu manusia atau ninja!”
“Iya benar, Pri. Memang berapa sih harga handphone-mu itu? Sudah butut juga, kan?
“Hey! itu kado dari bapak saya! Tau kamu!”
“Yasudahlah, Pri. Ikhlaskan saja. Nanti juga kau akan dapat yang lebih baik.”
“Betul itu!”
“Lalu bagaimana dengan uang di dompet saya??”
“Memang berapa uangmu?”
“Tiga ratus ribu.”
“Ah, ikhlaskan saja, Pri. Cuman segitu saja.”
“Tapi itu uangnya untuk bayar hutang di warung, Mat!”
“Warung Atu Nani? Bilang saja kau baru saja dapat musibah. Beres, kan?”
“Iya, Pri. Yasudahlah, saya mau kembali ke dagangan saya dulu.”
“Saya juga, Pri.”
Satu per satu massa berkurang. Kebanyakan dari mereka adalah pedagang di pasar tradisional tadi. Ada juga orang-orang kampung yang lokasi rumah mereka dilewati Rian dan mendengar amukan massa lalu ikut membantu Jupri mengejar Rian.
Jupri sendiri masih penasaran dengan gadis yang dengan beraninya menjambret dompet serta handphonenya. Dia masih menunggu dan memutar-mutari kebun dengan harapan bisa bertemu dengan anak itu. Sesekali dia menengadahkan kepalanya ke atas, siapa tau Rian bersembunyi di atas pohon. Jupri benar-benar tidak mau menyerah sebelum bertarung. Mental satpam yang cukup berani. Tapi bagaimana kalau dia tahu Rian adalah pembunuh?
“Sendirian?” Rian keluar dari persembunyiannya. Dia malas berlama-lama. Seperti di sinetron saja fikirnya.
“Kembalikan dompet dan hp saya atau kamu tak laporkan ke polisi!”
“Coba saja.”
“Kamu menantang saya? Berani taruhan apa kamu, hah?”
“Nyawamu.”
Rian langsung bergerak mendekati Jupri. Tangannya ingin menggapai kerah baju Jupri tapi dengan mudah ditangkis oleh pria itu. Hebat juga dia. Mereka berdua sempat adu fisik, saling tangkis, saling tonjok, saling tendang satu sama lain. Tidak ada satu pun yang mau mengalah sekalipun keringat sudah membasahi setiap sela di tubuh mereka. Dari serangan-serangan yang dilancarkan oleh Jupri, dia bisa melihat kalau orang itu pasti jago di bidang karate. Semua jurus yang dia keluarkan adalah jurus karate. Sedangkan Rian jauh lebih hebat darinya. Selain membunuh, Rian dulu pernah belajar taekwondo dan karate dalam satu semester. Ayahnya lebih suka Rian ikut boxing, jadi dia ikuti ketiganya. Dan kali ini, dia menunjukkan segala kemampuan yang dia punya hingga sempat membuat Jupri jatuh terhuyung.
“Saya pernah punya lawan tanding sepertimu. Jadi saya tidak boleh kalah!”
“Takdir berkata lain, Pak.”
Rian mengalihkan perhatian Jupri dengan tangannya yang diletakkan pada pundak Jupri. Sesaat setelah pandangan Jupri terarah pada tangan di sampingnya, pisau Rian sudah siap menancapkan ujungnya pada lapisan perutnya yang kurus. Tapi tiba-tiba, terdengar bunyi letupan yang cukup besar dari sebuah pistol dan orang yang siap mati di tangannya langsung tergeletak lemas di atas tanah dengan darah segar mengalir dari dalam kepalanya. Rian yang melihat targetnya mati di tangan orang lain dan bukan dengan tangan dinginnya segera naik pitam. Dia seperti baru saja kehilangan ayam goreng yang tinggal sepotong di saat dia sedang kelaparan.
“Siapa itu???”
Seorang berjubah hitam yang sama dengan yang dia lihat di pasar tadi malam masih memegang pistol yang asapnya masih mengepul. Tembakan itu cukup keras. Orang itu menampakkan separuh tubuhnya dari balik pohon. Dia mengenakan tutup kepala seperti pada film Scream tapi tidak dengan topengnya, sedikit mirip Dementor pada serial Harry Potter.  Rian bisa melihat siapapun orang di balik topi yang menutup separuh wajahnya, bahwa dia tersenyum bangga seperti habis mengalahkan orang lain. Senyumnya sinis.
“Berterima kasihlah,” suaranya terdengar seperti suara monster atau robot yang ada pada film Transformer. Rian yakin suara itu datang dari effect di dalam jubah panjangnya.
“Untuk apa?”
“Aku telah membantumu, bukan?”
“Siapa yang menyuruhmu?”
“Kamu tidak lihat aku menawarkan diri?”
“Siapa yang menyuruhmu?”
“Apa kau bodoh?”
“Pertanyaan macam apa itu?”
“Tanyakan pada dirimu kenapa kau selalu balik bertanya?”
“Katakan siapa dirimu!”
“Kita saudara, Rian.”
“Darimana kau tahu namaku?”
“Karena kita saudara. Kau pasti mengingatku, bukan?”
“Aku tidak punya saudara.”
“Berhentilah untuk berpura-pura menyendiri dan sok misterius. Kau memiliki orang lain yang peduli denganmu tapi kau tidak memperdulikannya. Kelak mereka mungkin akan bisa membantumu dalam keadaan genting.”
“Apa maksudmu?”
“Bodoh. Kurasa sudah cukup jelas bagimu untuk tahu. Aku disini bahkan terkesan seperti malaikat penyampai wahyu dari Tuhan untuk makhluk tidak berhati sepertimu.”
“Kau yang membunuhnya, jadi kau yang tidak berhati.”
“Seperti anak kecil yang mencuci tangan karena habis menangisi anak perempuan, ya? Kau tidak pantas di sebut sebagai pembunuh profesional, Rian. Lihat dirimu, kacau! Sama seperi ayah dan ibumu.”
“Kau dalam masalah!!!”
“Apa? Kita akan berada dalam masalah yang sesungguhnya nanti, Rian. Akan datang waktu yang tepat. Sekarang, kembalilah ke kota X dengan motor itu. Disini sudah tidak aman lagi. Dan ingat, kalau motornya mati isilah bensinnya. Kau tidak perlu bertindak bodoh dengan menggergaji motor hingga menjadi serbuk besi.”
“Apa?”
Dia menghilang. Manusia dengan topeng itu pergi secepat angin. Kalimat-kalimatnya sama sekali tidak seperti kalimat penutup dalam surat lamaran kerja atau surat resmi lain. Dia meninggalkan motor bebek seperti milik Rian dulu di tempat dia berdiri tadi. Rian melihat motor itu dengan mata berbinar-binar. Tidak dapat dia pungkiri kalau dia rindu motornya itu. Tak lama kemudian, suara sirine dari mobil polisi terdengar dari kejauhan dan mulai mendekat.
“Disini, Pak! Jupri tadi berlari kesini mengejar jambretnya. Lalu tidak tahu dia kemana lagi,” seorang pria yang tadi izin untuk menunggui dagangannya kembali lagi ke lokasi dimana dia dan Jupri mengucapkan kalimat-kalimat terkahir padanya.
“Lihat, ada mayat di sana!”
“Gusti Allah! Jupri meninggal!!!”
“Menurutmu, siapa pelakunya?”
“Aku tidak tahu. Tidak ada siapa-siapa disini sekarang.”
“Yang jadi pertanyaan sekarang, bagaimana caraku memberitahu anak istrinya dirumah tentang hal ini?”

CHAPTER 19
“Waking The Demon”
Helpless!
My eyes are bleeding from the fear that inside
You sealed your demise when you took what was mine!
Don’t try to stop me from avenging this world!
No voice to be heard

Waking the demon! Where’d you run to?
Waking in shadows! Watch the blood flow!
There’s not much longer so don’t try to hide
Your bodies weakening walk to the light
Those painful times so alone, so ashamed
I’m not coming back, there’s nothing to gain!

Caution!
There’s just no limit from the boundaries you push
I’ve warned you but still you just f#ck with my mind
There’s no escape from this rage that I feel,
Nothing is real

Breathe for me,
Don’t wake me from this slumber
Stay with me,
Possession taking over
Bullet For My Valentine – Waking The Demon


CHAPTER 20
“Artwork”

            Pribahasa kuno mengatakan “lebih baik tinggal di gubuk sendiri daripada di istana orang” dan itu benar untuk Rian, walaupun nilai kebenarannya hanya 70%. Sisanya, tetap saja keyakinan akan nama dan identitasnya sudah masuk ke dalam salah satu daftar nama buronan polisi. Perjalanan yang memakan waktu satu jam berhasil ditempuh dan Rian berhasil sampai dengan selamat di kota X, tempat tinggalnya.
Semuanya berlangsung begitu saja. Dia bahkan hampir tidak mempedulikan orang-orang di sekitarnya yang mengira dia gila. Bagaimana tidak, rambutnya sangat acak-acakkan karena terhempas angin di jalan. Rian tidak memakai helm. Lalu kulit wajahnya yang kusam dan kotor membuatnya semakin terlihat menyedihkan. Baju yang dikenakannya sudah robek di beberapa bagian tetapi dia sama sekali tidak peduli.
Rian mendaratkan bebeknya di tempat dia dimana hampir ingin bunuh diri karena melihat orang yang dicintainya menyatakan cinta pada sahabatnya. Walaupun tempat itu memberikan satu kenangan terpahit, tetapi dia cenderung lebih sering menyuguhkan ketenangan jiwa dengan segala aktifitas di dalamnya. Di sana, Rian langsung memesan satu porsi batagor goreng lengkap dengan es kacang merahnya. Itu adalah penganan murah meriah dan ternikmat yang dapat mengalahkan rasa sepaket Shabu, makanan Jepang yang sering dipesannya dulu.
Dia sama sekali tidak memperdulikan segala macam tatapan dan omongan orang-orang yang mulai membicarakan dirinya sejak pertama kali kakinya menapak di tempat itu. Satu yang dia fokuskan, pemandangan dari musisi jalanan yang sedang melukis jalan. Mungkin mereka telah dapat izin dari pemerintah kota makanya berani untuk melakukan seni coret-mencoret aspal tersebut. Rian pernah lihat yang semacam itu saat dia dulu browsing mengenai lukisan 3D di atas jalan raya. Seingatnya, gambar yang dia lihat dulu adalah hasil karya musisi di Rusia. Bagus sekali! Mereka semua tampak nyata dan berongga. Ada gambar yang selalu membuatnya terkesan adalah, jalan raya yang dilukis seolah pecah dan terbelah dua. Di dalamnya terdapat air mengalir deras seolah samudra luas. Disisi kanan dan kirinya tergambarkan batu-batu yang pecah dan ada warna seperti lahar magma dari dalam perut bumi yang mendesak keluar. Luar biasa! Dan sekarang, artwork di hadapannya sedang menggores-goreskan kuas cat mereka di atas jalan. Rian yakin, walaupun hasil akhir tidak akan sebaik yang mereka harapkan, tapi setidaknya kota kelahirannya itu, selain melahirkan seorang pembunuh, juga melahirkan banyak pekerja seni bertangan kuas yang siap melukis dunia dengan imajinasinya.
Sepertinya untuk menuju proses finishing dari karya tersebut akan memakan waktu sedikit lebih lama lagi. Tapi setidaknya, Rian sudah bisa menebak karya apa yang akan mereka hasilkan. Yaitu, seorang dewi Persia bernama Zenon. Dia adalah penari terbaik di zamannya. Pada gambar itu, Zenon terlihat sedang melakukan tari perut dan banyak serangga juga hewan amfibi yang keluar dari dalam tanah menonton pertunjukkan Zenon sambil minum kopi, teh, bahkan alkohol. Di situlah letak keindahan tiga dimensi dari karya para artwork kali ini.
Tepat di depan toko peralatan olahraga yang sudah bangkrut di seberang jalan pada lokasi yang sama, ada seseorang yang mendorong Rian untuk menghampirinya. Walaupun terdengar menjijikkan dan terkesan seperti menjilat ludah sendiri, tapi Rian merasa permintaan maaf adalah kata-kata terindah yang bisa dia katakan kepadanya. Anak itu duduk sendirian, merasakan angin sore meniup ubun-ubun kepalanya yang masih sedikit berasap karena kemarahan, dendam, emosi, dan kelelahan yang tertahan telah membakar kepalanya habis-habisan.
“Sendirian?”
Anak itu mendongakkan kepalanya, melihat siapa yang menegurnya. Setelah tersadar atas apa yang dilihatnya, dia terkejut dan sontak melompat bangun.
“Rian! Aku mencarimu!” dia bangun dan langsung memeluk tubuh Rian yang semakin kurus dan tidak terawat. Rian sangat kaget atas perlakuan yang dianggap sebagai jawaban atas pertanyaan sederhananya tadi. Laki-laki itu mulai menangis di pelukan Rian. Mungkin, inilah saatnya.
“Kenapa?” tanya Rian. Gadis itu sama sekali tidak membalas pelukan orang yang sedang terisak-isak di samping telinganya. Tidak ada jawaban. Rian tidak mau mengulang pertanyaannya. Fikirnya, itu semua hanya membuang-buang energinya saja. Dia hanya bisa menunggu sampai seseorang melepaskan pelukan itu dari tubuhnya. Karena lama-lama, tubuh anak itu semakin terasa berat saja.
“Ayahku,” dia melepaskan pelukannya. Akhirnya.
“Kenapa dia?”
“Dia meninggal dunia,” tangisnya terasa ingin meledak tapi sebisa mungkin dia harus menahannya.
“Pak Afif Aryana, bukan?”
“Benar. Memang kau kira aku punya ayah berapa?”
“Aku turut berduka cita.”
Dilan terdiam sesaat, masih berkutat atas sesuatu di dalam tengkorak kepalanya. Tidak ada aba-aba apapun, mereka berdua duduk di teras toko mati itu.
“Dia dibunuh.”
“Oleh?”
“Tidak tahu. Polisi sudah mencari pembunuhnya, tapi tidak ketemu. Kabarnya, dia adalah wanita.”
“Hebat sekali wanita itu.”
“Tentu saja. Jejaknya menghilang begitu saja. Aku tidak begitu yakin, karena aku tahu polisi mempunyai banyak intelijen khusus untuk menangkap pembunuh bernyawa sembilan itu. Tapi kasus ini seolah disamarkan dan perlahan menghilang. Aku tidak tahu berapa sering  perempuan jalang itu harus menjajakan dirinya agar dapat uang banyak untuk menyuap para aparat.”
“Jaga cara bicaramu, Dilan!! Dia bukan perempuan jalang, kau tahu!!”
“Apa? Darimana kau tahu?”
“Tentu saja aku tahu!”
“Pernah bertemu dengan dia sebelumnya? Katakan dimana, karena aku yang gantian akan menelan nyawanya.”
“Bagaimana kalau dia di hadapanmu sekarang?”
“Maksudnya?”
“Bagaimana kalau dia adalah aku? Si perempuan jalang yang tadi kau sebut.”
“Hahaha. Kamu orang pertama yang membuatku tertawa hari ini. Terima kasih. Hahaha!”
“Sama-sama.”
Dilan masih tertawa. Rian tidak yakin apakah dia masih menertawakan pengakuan Rian yang dianggapnya lelucon atau menertawakan hal lain yang lebih konyol. Yang bisa Rian lakukan hanyalah menikmati pemandangan di hadapannya. Dilan selalu tampak lebih tampan saat sedang tertawa lepas seperti itu. Rian selalu suka dan tidak akan pernah hilang rasanya.
“Haha. Oke-oke. Begini, aku ingin mencarinya.”
“Pembunuh itu?”
“Iya! Kau mau bantu aku, kan?”
Bisa tidak kamu berikan aku sedikit waktu untuk meminta maaf padamu dan bukan malah menjebakku dengan permohonan konyol seperti ini? Sampai nafasmu habis dan peti matimu sudah siap, kau tidak akan pernah bertemu dengan pembunuh itu jika kau masih menganggap omonganku tadi adalah lelucon. Ayahmu memang pantas mati, Dilan. Percayalah.
“Tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Aku sibuk.”
“Sibuk apa? Kau hanya hidup nomaden dan waktumu hanya habis di jalanan. Aku mohon, Rian. Kau tidak tahu bagaimana sakitnya hati ibuku melihat mantan suaminya sudah terpotong-potong walaupun dia telah menyakiti hatinya. Kau tidak tahu kan bagaimana sulitnya Fadhilla mengurus anak-anak kembarnya yang masih butuh bimbingan kedua orang tua dan sekarang semua harapan itu telah musnah? Kau juga tidak tahu kan bagaimana sulitnya aku mencari kalimat-kalimat yang mudah dicerna dengan pemahaman bocah-bocah lucu itu agar mereka mengerti dan berhenti menangis? Semua ini membunuhku, Rian. Dari kemarin aku tidak masuk sekolah juga tidak berada di rumah. Aku tidak tahan melihat semua air mata yang jatuh dari pipi wanita-wanita hebat di dalam rumahku. Apalagi Zeon dan Zionell yang suka demam tinggi di malam hari karena merindukan ayahnya. Keluargaku hancur, Rian. Hancur!!”
“Kau tidak lihat aku? Seberapa hancur keluargaku saat ini? Tidak lihat?”
Dilan terdiam. Rian mengunci semua kata-katanya dengan kunci yang tepat.
“Kau harusnya membantu ibumu dan Fadhilla, bukan lari dari kenyataan. Kau masih memiliki mereka. Ingat itu.”
“Kau benar. Tapi sulit rasanya untuk tidak membakar hidup-hidup pembunuh itu!”
“Dia sudah mati. Anggap saja dia sudah minta maaf padamu dan menitipkan ini untuk keluarga kalian,” Rian mengeluarkan satu buah amplop coklat tebal yang berisi uang jutaan rupiah. Amplop itu sepertinya sengaja diletakkan di dalam jok motor oleh seseorang berjubah hitam yang memberinya motor. Rian merasa, Dilan dan keluarganya lebih membutuhkan itu daripada dirinya. Setidaknya, walaupun tidak mengatas namakan dirinya secara langsung, Rian sudah minta maaf.
“Uang? Kau dapat darimana?”
“Dari pembunuh itu.”
“Jangan bercanda.”
“Yasudah. Kalau kau tidak mau, belikan saja es krim untuk Zionell dan Zeon.”
“Dengan uang sebanyak ini?!”
“Terserah. Aku pergi.”


CHAPTER 21
“Soldier Slide”

            “Bagaimana kemampuan saya sekarang, Sensei?”
“Setidaknya sudah lebih baik dari kemarin. Sudah hampir dua belas jam kau berlatih tanpa berhenti, itu akan menguras semua energimu.”
“Tidak, Sensei. Semua akan berjalan baik-baik saja.”
“Seberapa besar tekadmu untuk membalaskan dendam beliau?”
“Seberapa besar tekad Anda untuk berjuang sampai ke Indonesia?”
“Sebesar itukah tekadmu?”
“Apa kau mendengar nada bercanda dariku, Sensei yang terhormat?”
Sensei tersenyum.
“Beliau orang baik. Kami telah bersumpah untuk setia padanya. Kami memang tidak menuhankan beliau, tapi dialah yang memberi kehidupan kepada kami. Dia memiliki kemurahan hati yang tidak bisa dibalas dengan manisnya air susu satu telaga penuh. Saya menghormati beliau dan abu mayatnya sepenuh jiwa saya, Sensei. Dan seperti kita ketahui, Anda diutus untuk memberikan saya pelajaran-pelajaran agar saya menjadi lebih profesional dalam bidang ini. Jadi saya harap, Anda tidak perlu terlalu banyak bicara dan bertanya atas hal-hal yang di luar materi pelajaran. Semoga Anda mengerti maksud saya, Sensei.”
“Kau bahkan sudah terlihat seperti pembunuh berdarah dingin itu.”
“Darahnya hangat, Sensei. Lebih hangat dari api yang membakar amarah di kepala saya ini. Dia sebenarnya hanya pecundang dan sampah masyarakat.”
“Kau benar.”
“Tentu saja benar. Dan saya harus benar.”
“Tapi, kesombongan bisa mengalahkan sebesar apapun kemampuan yang seorang master miliki.”
“Apa sumpah setiamu pada beliau?”
“Berada di dalam satu garis lurus ataupun berliku asal tetap berada di depan beliau sekaligus di belakangnya sebagai pengikut. Melindungi dirinya dari apapun dan menjadi pion yang siap menyerahkan diri, menjadi alas kaki yang siap dipijaki, menjadi anak panah yang siap menancap pada benteng pertahanan siapapun itu. Dia yang istimewa, kami siap mati untuknya. Dia yang berkuasa, memberi secercah kehidupan untuk kami dan itu berharga. Darah ningratnya mengalir di dalam kepulan semangat kami. Hatachi Akira Hikaru XXVII yang tercinta.”
“Bagus. Dan melindunginya adalah melindungiku, satu-satunya garis keturunan beliau yang tersisa. Jadi, kau harus melindungiku dengan segenap tujuh puluh empat huruf yang kau sebutkan tadi dan jadikan itu nyata dan jangan banyak ceramah. Jangan lakukan apa yang aku tidak suka atau kau akan menyesal, Sensei tua yang terhormat.”
“Doaku menyertaimu, Nak. Ayo, lanjutkan latihan kita.”
“Apa yang lebih harus aku pertajam, Sensei?”
“Ayunan lengan kirimu atas pisaumu. Jadikannya ramah dan lembut seperti angin. Lancarkan serangan itu cepat dan tepat, seperti ilmu yang telah kau dapat dari ibu penjual nasi goreng di pinggir jalan tempo lalu.”
“Pembunuh itu juga belajar dari ibu itu, Sensei.”
“Kau lebih dahulu. Sekarang, lakukan.”


CHAPTER 22
“Party Poison”

            Sekolah dasar negeri dengan warna cat coklat tua dan muda itu memang sekolah unggulan di kota ini. Anak-anak yang belajar dan berlarian di sana sebagian besar adalah anak dari orang tua yang berkantung dalam dan bukan anak-anak yang pintar. Tapi karena didukung oleh fasilitas standar sekolah bertaraf internasional yang modern, sekolah itu akhirnya bisa menelurkan anak-anak yang berbakat dengan otak cemerlang. Terbukti mereka bisa merangkai robot atau minimal mainan mobil-mobilan elektronik yang canggih sendiri di dalam lab khusus di sana. Luar biasa. Mereka anak-anak yang beruntung, terlahir di dalam keluarga yang berkecukupan membuat kehidupan mereka ikut terangkat. Coba bandingkan dengan anak-anak yang terlahir dengan keadaan di bawah rata-rata. Otak mereka cemerlang, tapi tidak didukung oleh penyaluran media atau fasilitas yang memadai, membuat mereka semakin menjauh dari peradaban dan terkesan konservatif. Ya, sekali lagi money talks.
Sekolah itu pernah menjadi tempat bermain dan bertengkar bagi Rian dan mantan sahabatnya Dilan. Rian ingat, pernah ada seorang anak perempuan dengan bando warna merah jambu yang setiap hari dipakai olehnya, berlari sambil menangis menuju ruang guru karena kepalanya sengaja disiram oleh Rian dengan mi yang harus diseduh di dalam gelas (petunjuk penggunaannya sih begitu) hanya karena gadis malang itu tidak sengaja menumpahkan mi punya Rian. Rian langsung merampas mi milik gadis itu dan mengguyurnya di atas kepala sang pemilik. Dan Dilan datang dengan wajah tidak berdosa, ikut mengguyur anak itu dengan air dingin dengan maksud agar kepalanya tidak melepuh karena kuah panas. Kontan saja anak itu merasa dikeroyok dan langsung berlari sambil menangis ke ruang guru. Disitu puncak dimana kenakalan Rian atas semua yang sudah ditabungnya sejak kelas dua sekolah dasar. Rian dikeluarkan dari sekolah itu saat kelas lima dan Dilan yang tidak bersalah apa-apa ikut “mengundurkan diri” dari sekolah itu dan mengikuti Rian masuk ke sekolah yang lebih sederhana daripada sekolah mereka yang pertama. Di sana tidak ada anak-anak pejabat dengan game di dalam layar yang sering dibawa kemana-mana. Rian dan Dilan akhirnya bisa menerima ijazah sekolah dasar mereka di sekolah di pinggiran kota itu.
Rian memandangi sekolah itu sambil meminum es tebu yang dia beli di pinggir jalan. Dia mengingat semuanya, terutama saat dia pulang sekolah dengan menenteng botol –lebih tepat disebut termos, karena dingin atau panasnya air tidak akan berubah di dalamnya– air minum besar berwarna hijau dan tas roda bergambar mobil yang diseretnya dari depan pintu kelas hingga tempat mobil jemputan mereka biasa parkir. Dia bersama Dilan dengan tas roda bergambar tokoh Batman yang merupakan kesukaannya. Semua masih terasa indah saat itu. Tidak ada adegan berdarah sama sekali. Terkadang, Pak Fabio datang menjemput mereka berdua. Fabio suka ditemani dengan Hatachi. Oleh karena itu Hatachi sangat mengenal keluarga Fabio.
Dua orang ibu berselisih usia sekitar sepuluh tahun mengantar kedua anak mereka yang berwajah sama ke dalam sekolah itu. Rian mengenali mereka. Mereka pernah dianggap sebagai sebuah keluarga Rian ketika seluruh anggota keluarganya masih bernyawa. Tapi sekarang, mereka justru yang seolah-olah membuang Rian. Hanya anak bujangnya lah yang mati-matian membujuk Rian untuk kembali ke kehidupannya yang dulu. Rian ingin menegur mereka, atau mungkin hanya sekedar memberikan senyum tipis yang syarat akan formalitas. Namun hatinya seperti berteriak untuk jangan melakukan hal yang tidak penting itu. Dan sayangnya, Rian mengikuti kata hatinya yang kian mengeras.
Rian masih mengawasi kedua ibu itu dari kejauhan. Sebenarnya tidak bisa dikatakan mengawasi, hanya menjaga saja. Mereka adalah janda-janda yang ditinggal mati suaminya karena ulahnya. Mumpung berada di depan mata Rian, sisi malaikat dalam dirinya seolah berkata untuk menjaga orang-orang itu agar tidak ada satu orang pun yang bisa mengganggu mereka semua. Salah seorang ibu yang umurnya lebih tua dari ibu yang satunya sekilas ikut melihat Rian dari kejauhan dan kembali berpaling. Dia seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya lalu melihatnya kembali untuk memenuhi hasrat penasaran dalam dirinya. Kali ini sedikit lebih lama, mungkin fokus matanya sedikit kabur karena faktor usia. Setelah yakin atas apa yang dia lihat, dia mengajak ibu yang lebih muda dari dirinya untuk pergi, tapi sepertinya dia masih ingin berbincang-bincang dengan si kembar perempuan. Jadi, ibu itu memutuskan untuk pergi sendiri. Ternyata dia tidak pergi, melainkan menyamperi Rian yang duduk di atas sepeda motornya dengan es tebu yang tinggal setengah gelas lagi di tangannya.
“Rian?”
“Benar. Masih ingat saya, Tante Adilla?”
“Tentu saja. Apa yang kamu lakukan disini? Mengincar kami?”, pertanyaan yang terakhir itu seolah memukul Rian telak tepat di kepalanya. Niat baiknya disangka buruk oleh orang lain dan itu menyakitkan. Mereka yang beriman kuat tidak akan dengan mudahnya frustasi atas masalah kecil ini.
“Apa maksudnya? Saya sengaja kesini untuk sedikit mengingat masa merah-putih saya.”
“Maksudnya? Kamu tentu tahu maksud saya dan jangan berbohong untuk sebuah alasan klise seperti itu. Mana mungkin seorang pembunuh jahanam bisa mengingat masa-masa indah mereka. Di dalam fikiran mereka kan hanya ada darah, darah, dan darah. Benar bukan?”
Apa?? Darimana ibu Adilla tahu aku seorang pembunuh? Apa identitasku sudah tersebar?!
“Saya masih tidak megerti atas maksud perkataan Ibu.”
“Saya sendiri memang belum mempunyai bukti yang kuat untuk mengadukan kamu ke polisi atas semua yang telah kamu perbuat dan terakhir yang saya tahu adalah ayah biologis dari anak saya satu-satunya. Semua itu berjalan begitu saja di dalam otak, fikiran, dan kata hati saya. Semua seolah menganggukkan kepala dan berteriak setuju sekencang-kencangnya ketika saya membuat kesimpulan kalau kau adalah dalang dari semua ini. Kau tidak perlu membantah atau mengangguk setuju. Saya hanya ingin mengatakan atas hipotesis yang telah saya dapatkan. Dan satu hal yang perlu kamu ingat, saya haramkan kamu mendekati anak saya Dilan! Dulu memang kita adalah keluarga. Tapi ketika kamu sudah berubah menjadi monster seperti ini, tidak ada lagi kata kekerabatan antara kamu dan keluarga saya mencakup Dilan. Sudah puas bukan kamu bermain-main sambil menghabisi Afif Aryana dan membiarkan kami dalam keterpurukan yang lebih mendalam lagi? Dan itu cukup bagi kami. Saya tidak mau kami yang masih hidup ini mati dengan keadaan tercincang-cincang di tanganmu yang hina itu.”
Telak. Skor 50-0 atas kemenangan Ibu Adilla menyodorkan kalimat-kalimat yang benar-benar membuat Rian tidak bisa melangkah kemana-mana kecuali menyerahkan diri dengan pasrah. Rian benar-benar speachless. Yang dirasanya sekarang adalah kemarahan demi kemarahan yang menguasai seluruh sel-sel darahnya sehingga membuat dirinya ingin memukul seseorang dengan pukulan baseball, membiarkan tikus-tikus menggigiti pahanya, lalu menyumpal mulutnya dengan ular kobra agar dia mati saat itu juga. Dia merasa benar-benar kalah. Sangat kalah. Dia tidak percaya jika kata hati dari Ibu Adilla seratus persen benar. Semua dikatakan seolah tidak ada keraguan dan seperti dia telah melihat semua kejadian yang telah digambarkan di muka bumi ini.
“Silahkan saja kalau Ibu mempunyai kesimpulan sendiri atas masalah ini. Saya tidak yakin Tuhan itu ada atau tidak. Kalaupun dia ada, tapi anggaplah ini sebagai formalitas saja, hanya Tuhan dan saya yang tahu apakah saya benar-benar ingin mengincar kalian semua seperti yang telah ditentukan pertama kali kepada saya atau tidak. Permisi.”
Rian membuang bungkus es tebu yang masih tersisa ke atas tanah dan menghidupkan motornya lalu melaju cepat, membiarkan asap dari knalpot motor itu terhirup kedalam pernafasan Ibu Adilla. Dia tidak ingin terus menerus membantah omongan orang tua. Tapi dia sendiri juga tidak bisa harus mengiyakan atas apa yang sebenarnya dia perbuat.
Karena dendamnya masih belum terbalaskan.


CHAPTER 23
“Flashback Part 2 (Decode)”

“The truth is hiding in your eyes  and it's hanging on your tongue,
Just boiling in my blood, but you think that I can't see
What kind of man that you are? If you're a man at all
Well, I will figure this one out on my own  (I'm screaming "I love you so.")
On my own (My thoughts you can't decode).”
(Paramore – Decode)

            Malam itu berjalan sempurna sesuai rencana. Semua tidak ada yang terlewatkan. Teman-teman, kerabat dekat, dan saudara menjadi tamu spesial dalam acara itu. Balon-balon indah berwarna-warni berhasil memenuhi hampir seluruh ballroom di hotel mewah ini. Memang ini bukan pesta ulang tahun ke tujuh belasnya, hari dimana seseorang beranjak dewasa dengan segala nuansa kedewasaan yang terkesan dibuat-buat. Ini memang hanya pesta ulang tahun ke enam belasnya. Sebelum meniup lilin sebanyak enam belas batang yang berdiri tegak di atas kue tiramisu besar berbentuk tengkorak bersayap lambang band kesukaannya, dia memejamkan matanya dan berharap akan beberapa hal yang semoga saja akan tercapai.
“Ya Tuhan. Terima kasih atas berkah yang Engkau telah berikan kepada Rian di umurku yang baru menginjak enam belas tahun ini. Semua rahmat yang bisa memberikanku satu lagi kesempatan untuk berdiri di sini bersama mereka yang aku sayangi. Ibu dan Ayahku, merekalah yang luar biasa. Jadikan keindahan ini berlangsung hingga aku sampai pada hari ulang tahunku berikutnya dan jadikan ini lebih istimewa, Tuhan. Ini mungkin terdengar egois, tapi aku berharap pada-Mu, jadikanlah Dilan yang Engkau pasti tahu betapa besar rasaku ini padanya menjadi milikku selamanya. Aku sudah mengerti arti kata cinta dan aku benar-benar mencintainya, Tuhan. Jadikanlah aku dengannya, jadikan aku menjadi orang yang bisa menerima pesan berisi puisi cintanya setiap pagi aku membuka mataku, dan jadikan mimpi ini menjadi nyata, Tuhan. Amin.”
Rian membuka matanya. Semua orang telah menunggu saat-saat itu dan ... wusshhh! Api pada lilin-lilin itu padam satu per satu. Semua orang bertepuk tangan melihatnya. Musik dari disk jokey yang mengenakan baju bernuansa balon itu segera memainkan musik yang sudah dipersiapkannya dengan sempurna. Semua orang bergoyang dan bersenang-senang mengikuti irama yang menghentak seluruh detak jantung dan memacu aliran darah mereka hingga lebih bersemangat. Rian yang memakai dress hitam dengan kristal-kristal swarovski di bagian dada dan pinggang yang membuatnya sangat mempesona tidak mau ketinggalan di pesta miliknya. Dilan yang mengenakan jas hitam dengan kaos berwarna putih benar-benar terlihat santai dan kasual. Mereka berdua menghentak pesta tuan rumah dengan tarian mereka saat masih kecil. Mereka menyebutnya tari kupak-kapuk. Seperti apa bentuk tariannya? Hanya mereka berdua yang tahu.
Musik telah berganti menjadi iringan lagu Chasing Pavements dari milik artis muda berbakat asal Inggris, Adele. Tanpa aba-aba, masing-masing dari mereka meraih teman dan orang-orang disekeliling mereka untuk diajak berdansa. Rian mengehentikan tarian kupak-kapuknya dan mengambil minum. Dia sangat berharap seseoran yang bernama Dilan dengan rambut ala spike mengajaknya berdansa malam itu. Tidak ada. Dia sama sekali tidak mendengar langkah orang yang datang dari belakangnya untuk menuntun tangannya dan mengarahkannya ke lantai dansa. Yang dia dapatkan adalah, Dilan sudah memeluk pinggang Nadia dan mencengkram tangan gadis itu lembut sambil mengayunkan tubuh mereka mengikuti alunan lembut lagu dari wanita bertubuh tambun tersebut. Liontin milik Nadia terjatuh dan Dilan memungutnya lalu dipakaikan kembali di leher mulus Nadia. Liontin itu pemberian ibunya. Rian benci hal ini. Di saat semua orang berlomba-lomba untuk menghibur hatinya di malam spesialnya itu, Dilan justru dengan senang hati mengobral dan menunjukkan rasa sukanya pada Nadia. Ini tidak adil. Rian tidak mau air matanya terjatuh di dalam ruangan itu. Dia melangkahkan kakinya keluar.
I’ve made up my mind,
Don’t need to think it over if I’m wrong I’m right,
Don’t need to look no further this ain’t lust.
I know this is love but if I tell the world
I never say enough ‘cause it was not said to you
And that’s exactly what I need to do
If I in love with you ..  
 Should I give up? Or should I just keep chasing pavements
even if it leads nowhere.
Or would it be a waste, even if I knew my place, should I live it there?
Should I give up? Or should I just keep chasing pavements
even if it leads nowhere.
            Sayup-sayup nada lagu itu terdengar hingga ke luar ballroom. Rian mengikuti setiap lirik lagu itu di dalam hatinya sambil bersenandung. Sirup berwarna merah di dalam gelas beling di tangannya sedikit membuatnya lebih merasa tenang. Dia berusaha mengerti akan perasaan yang dirasakan Dilan dan Nadia walaupun hatinya sakit. Sakit sekali. Dia yang lebih dulu mengenal Dilan daripada Nadia tapi memang ini mungkin jalannya. Nadia menjadi pilihannya. Ini semua terjadi mundur sebelum Dilan benar-benar resmi menyatakan cintanya pada Nadia.
“Kenapa tidak ikut berdansa? Ini kan pestamu,” yang tidak sedang diharapkan justru datang. Dilan datang dengan aroma parfumnya yang benar-benar membuat Rian semakin merasa nyaman di dekatnya.
“Aku tidak bisa dansa.”
“Bagaimana mungkin kamu mendapatkan piala lomba dansa tingkat kabupaten jika tidak bisa berdansa? Ayolah, jangan sembunyikan perasaan sedih di balik senyummu. Angkat dan buang dia jauh-jauh. Ini pestamu.”
Kau dan ulahmu yang menghancurkan perasaanku, Dilan. Harusnya kamu lebih bisa peka membaca kode yang aku berikan padamu.
“Di mana Nadia? Tadi kamu berdansa dengannya, kan?”
“Aku meninggalkannya.”
“Ah?! Yang benar? Tega sekali kamu meninggalkan dia.”
“Tiba-tiba mood­-­ku hilang karena melihatmu tidak ikut berdansa.”
“Yang benar saja. Itu tidak mungkin,” Rian kembali menyeruput sirupnya. Ada sedikit rasa grogi yang selalu dirasakannya saat bersama Dilan.
“Iya. Aku tahu. Kau tidak mau berdansa karena tidak ada yang mengajakmu, kan?”
“Apa?! Kau fikir aku tidak laku??”
“Haha. Yasudah, ayo berdansa denganku saja.”
JEGER!! Rian seolah tertimpa durian runtuh. Sesuatu yang hampir diikhlaskannya tiba-tiba datang tanpa diundang. Undangan itu tidak salah alamat. Dan Rian benar-benar bahagia mendengar kalimat itu, walaupun dirinya hanya dijadikan pilihan terakhir untuk Dilan. Rian tahu Dilan hanya ingin membuatnya tidak murung dalam pestanya. Dilan ingin memunculkan bulan yang bersinar terang di tengah mendung malam.
Rian hanya tersenyum sebagai jawaban. Mereka berdua meletakkan gelas di atas kursi balon di sebelah mereka. Dilan menggapai tangan Rian yang dingin lalu mulai bergerak mengikuti nada dan irama yang bersumber dari dalam. Kali ini lagu dari milik Diana Ross dengan When You Tell Me That You Love Me.
“Jangan gugup begitu, dong,” Dilan menggoda Rian.
“Siapa yang gugup?”
“Ini, tanganmu dingin sekali.”
“Tadi tanganku berkeringat lalu tertiup angin. Jadi seperti ini.”
“Haha. Aku bahkan bisa mendengar detak kencang jantungmu, Rian.”
“Jangan menggodaku.”
“Hahaha. Aku tidak menggodamu. Aku hanya meledekmu. Hahaha.”
“Hahaha. Itu sama saja, bodoh.”
“Wow. Akhirnya kamu tertawa. Kamu tau, saat kamu tertawa adalah saat dimana aku melihat Ratu Sura yang sedang tersenyum.”
“Siapa Ratu Sura?”
“Ratu jaman kerajaan Persia dahulu kala. Sura artinya adalah wajah bunga. Dan itu ada di wajahmu sekarang.”
“Hahaha. Dan kau mirip Charlie Chaplin.”
“Loh? Kenapa?”
“Karena kau pintar sekali melawak. Hahaha.”
“Ah, dasar. Kapan kamu bisa menganggapku bersungguh-sungguh, Rian?”
Ada saatnya, Dilan. Mungkin ketika kamu katakan cintamu padaku dan melupakan Nadia. Itu yang aku tunggu-tunggu.
Rian terdiam di dalam fikirannya. Dia hanya bisa tersenyum. Ya, benar. Dia bisa merasakan degup jantungnya berdetak sangat kencang seperti suara dentuman bom di bawah laut. Dilan memang cinta pertamanya dan akan selamanya begitu. Tidak akan pernah berubah. Dia sangat berharap ilmu membaca mata seseorang dan Dilan meminatinya. Rian pasti akan berharap penuh agar Dilan bisa membaca matanya yang berkata lebih daripada bibirnya.
“Kenapa kamu memilih nuansa balon seperti ini di pestamu?” tanya Dilan.
“Uhmm.. karena aku suka balon dan gelembung. Hahaha.”
“Yang benar. Aku tahu pasti ada filosofi lain dari apa yang kamu lakukan, Rian.”
“Hehe. Kau cerdas. Aku menyukai balon karena mereka selalu menyuguhkan keindahan di balik setiap warna-warna cerahnya, tidak peduli itu dicoret-coret oleh anak kecil atau orang dewasa. Dia selalu bisa menjadi barang yang menyenangkan. Kehadirannya menyuguhkan keramaian dan kebahagiaan. Tapi di balik itu semua, dia cukup rapuh. Nyawanya bahkan tidak bisa bertahan lebih dari dua hari. Setelah itu dia akan pecah menjadi sobekan-sobekan kecil yang sudah tidak lagi berarti. Dia dibuang dan tidak dipedulikan setelah diajak berlari kesana dan kemari. Tapi generasinya seolah menutup mata atas apa yang menimpa keluarga sesama balon. Mereka rela dibesarkan secara paksa dengan diisi oleh angin lalu dimainkan lagi dan berakhir dengan cara yang sama dengan yang sebelumnya.”
“Dan intinya?”
“Aku tidak tahu.”
“Pasti kamu berat untuk mengatakan kalau balon-balon tersebut adalah gambaran dari dirimu. Iya, kan?”
“Tidak juga. Aku tidak mau tampak terlalu lemah dengan memposisikan balon sebagai diriku.”
“Tidak apa-apa, Rian. Aku paham dirimu. Dibalik senyum yang selalu kamu obral ke semua orang, ada luka yang tersimpan di dalam hati kecilmu. Aku tidak tahu siapa yang membuat luka itu padamu. Tapi yang jelas, jiwamu begitu dalam untuk diselami. Terlalu sulit untuk memahami karakter orang sepertimu. Tapi, setiap perumpamaan-perumpamaan yang kamu berikan semakin membuat aku mengerti akan dirimu, Rian. Kau tidak pernah cerita padaku apapun masalahmu sehingga aku tidak tahu siapa yang membuatmu rapuh seperti ini. Yang jelas, aku berjanji untuk selalu membuatmu tersenyum walau itu sulit. Aku akan paksa angin-angin kebahagiaan untuk masuk kedalam jiwa balonmu itu dan membuatmu lebih berwarna. Aku akan jaga kamu agar tidak pecah dan terluka lalu disia-siakan. Percaya padaku, Rian.”
“Terima kasih, Dilan. Kamu yang terbaik.”
Dilan kemudian memeluk tubuh yang tingginya sebahu dengan dirinya itu. Rian merasakan kenyamanan yang lain berada di dalam dekapannya. Sesuatu yang bisa membuatnya menangis dalam senyuman atau tersenyum di dalam tangisan walaupun dia sendiri kurang paham akan hal itu.
Dari balik jendela, seseorang yang memakai dress cokelat muda dengan kalung liontin pemberian ibunya dan rambut panjang yang di keriting melihat apa yang terjadi di luar ballroom. Dia tersenyum melihat orang yang dicintainya berhasil membahagiakan sahabat dari masa kecilnya di hari spesialnya.
Hanya kamu yang berhasil merapuhkan hati ini lalu membuatnya lebih kuat lagi dan itu terjadi berulang-ulang, Dilan. Aku tahu kemarahan ini terkikis oleh perasaan cinta yang sudah berkerak di dalam hatiku. Tapi aku tidak tahu harus sampai kapan aku meraskan rasa ini, rasa ikhlas karena sudah tersakiti atau kebodohan yang dipelihara sehingga dia berkembang biak dengan majunya. Mungkin nanti akan ada saat dimana kemarahan ini akan meledak, Dilan. Saat itu tidak akan ada lagi balon ataupun kulit telur. Tidak akan ada lagi Ratu Sura atau Charlie Chaplin. Yang ada hanya pertumpahan darah karena bahkan saat berada di pelukanmu seperti saat ini, aku ingin sekali membunuh orang yang membuatku seperti ini selain dirimu. Sahabatku yang satu lagi. Wanita cantik itu berhasil mendapatkan hatimu walaupun aku tidak sepenuhnya yakin. Kalau saja aku tidak mengingat akan dosa, aku pasti sudah akan membunuhnya, Dilan.


CHAPTER 24
“Out of Control”

Satu bulan kemudian ..
Malam itu sekitar pukul setengah sebelas malam, Dilan baru saja pulang dari pekerjaan barunya, menjadi seorang perawat magang di rumah sakit jiwa. Berbekal kemampuan dan pengetahuannya yang terbatas mengenai ilmu kesehatan, dia berhasil diterima menjadi asisten perawat. Di sana, dia hanya bertugas sebagai pemberi makan kepada para pasien lalu terkadang jadi petugas kebersihan jika dibutuhkan. Terkadang, dia jadi pesuruh atau office boy. Dia mulai bekerja sejak pukul setengah empat sore setelah pulang sekolah hingga pukul sepuluh malam. Melelahkan memang.
Satu-satunya alasan yang membuat dirinya nekat untuk menempuh pekerjaan yang cukup memeras tenaga dan keringatnya itu adalah tekad yang bulat untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarganya yang semakin bertambah semenjak kepergian ayahnya. Mereka tidak akan bisa terus-terusan menengadahkan tangan ke atas sebagai peminta-minta kepada para saudara dengan harapan satu liter beras atau selembar uang kertas. Dilan merasa, sebagai satu-satunya lelaki yang bisa diharapkan – mengingat umur Zionell masih menginjak tujuh tahun – sudah sepatutnya dia menggantikan posisi ayahnya dan bersusah payah mencari uang seperti yang dilakukan Afif Aryana untuk menghidupi kedua ibu dan adik-adiknya.
Semua waktunya tersita habis. Dia tidak bisa lagi bermain play station hingga larut malam di rumah temannya atau hanya sekedar touring keliling daerah tempat dia tinggal atau ngegath bersama sekumpulan anak-anak pemuja band metal apalagi berpacaran. Semua itu rela ditinggalkannya demi keluarganya. Sepulang sekolah, dia langsung ke rumah sakit dan menjalani pekerjaannya.
Hebatnya, dia berhasil menyembunyikan hal ini dari kedua ibu dan adik-adiknya apalagi saudaranya. Selama ini, paling lama Dilan pulang pukul delapan malam. Lalu bagaimana bisa dia mendapatkan izin untuk pulang hingga larut malam? Ini memang akan terdengar jahat dan juga bukan merupakan contoh yang baik untuk seorang ibu. Kedua ibunya sangat geram dengan pembunuh dari tulang punggung keluarganya. Bahkan sampai hampir mendekati waktu empat puluh hari sejak kematian Afif Aryana, mereka belum juga bisa mengikhlaskan kepergian ayah biologis dari anak-anak mereka. Oleh karena itu, mereka menyuruh Dilan untuk mencari siapa pembunuh berdarah sadis yang tega menghancurkan hidup keluarganya. Mereka mendoktrin Dilan agar mencari orang itu sama seperti kerasnya Dilan mencari Rian. Tapi, Dilan sendiri berusaha menunjukkan kalau dia adalah manusia berpendidikan yang tidak mudah begitu saja terhasut oleh emosi kedua ibunya. Dia memang geram atas kabar kematian ayahnya yang mendadak. Tapi alangkah lebih baik jika dia memakai waktu yang diberikan kedua ibunya itu untuk melakukan hal-hal yang lebih positif dan banyak mengandung maslahat daripada harus total mencari pembunuh yang difikir mereka sudah gila itu. Di samping itu, dia tetap tidak melupakan target pertamanya yaitu menemukan pembunuh ayahnya seperti amanat kedua ibunya. Rian sudah tidak lagi diperdulikannya. Terkadang memang dia merindukan senyum yang bergantung di wajah mulusnya. Apalagi pertemuan terakhir dia dengan Rian seolah seperti awal yang baik untuk kembali menjalin hubungan persahabatan antar mereka berdua.
Seperti biasa, orang-orang dirumah sudah terlelap di dalam mimpi mereka masing-masing. Dilan membuka pintu kamar ibu kandungnya, Adilla dan menatap ibunya yang wajahnya terlihat sangat lelah sekali. Dia kemudian berjalan pelan mendekati ibunya, membelai rambutnya, lalu mencium keningnya. Hanya ibunya yang dia punya sekarang dan dia benar-benar tidak mau kehilangan siapa-siapa lagi sekarang dan seterusnya. Kalaupun harus ada yang pergi, dia rela dirinya menjadi orang yang akan pergi itu asalkan jangan kedua ibunya apalagi adik-adik tirinya.
Setelah puas memandangi wajah ibunya, dia membalikkan badan ingin keluar dari kamar. Tapi, tiba-tiba dia seperti mendengar suara seseorang meloncat di dalam kamar itu. Dia menolehkan kepalanya ke belakang. Tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya masih ibunya yang terlelap sendirian. Dia kemudian memegang gagang pintu dan memutarnya agar terbuka. Kali ini lain. Dia benar-benar mendengar suara langkah kaki seseorang di dalam ruangan yang sama. Dia menoleh ke belakang dan melihat sesosok berbaju hitam dengan rambut tergerai yang diperkirakan seorang wanita, sedang memegang pisau dan ingin menusuk perut ibunya. Spontan, Dilan langsung melempar orang itu dengan kursi yang ada tepat disebelahnya saat itu sambil berteriak.
“AAARRRGGH!!!”
“Dilan!! Ada apa?? Kenapa kamu lempar-lempar kursi dan jerit-jerit begitu?? Tidak lihat sudah pukul berapa ini?!” ibu Adilla terbangun dari tidurnya karena mendengar suara kursi yang terjatuh dengan keras tepat disebelahnya dan mendapatkan anak satu-satunya dalam keadaan penuh keringat.
“Tadi ada yang mau mencoba membunuh Mama!!”
“Siapa?? Katakan!”
“Aku tidak tahu, Ma. Aku tadi melihatnya sedang bersiap-siap menusuk mama dengan pisaunya. Lalu, spontan aku melempar kursi itu ke arahnya. Tapi sekarang dia menghilang!” Dilan semakin berkeringat menceritakan apa yang dia lihat.
“Ya, Tuhan. Kamu lihat, tidak ada siapa-siapa di sini. Kamu menimpuk siapa tadi? Kamu hanya menimpuk bayangan. Sadarlah, Dilan. Mungkin kamu hanya kelelahan, sayang.”
“Tidak, Ma! Aku berani sumpah tadi aku melihat ada seorang wanita sepertinya. Dia ingin membunuh Mama!! Aku tidak mau kehilangan siapa-siapa lagi, Ma! Kehilangan Papa sudah cukup berat bagiku!! Aku tidak mau ada lagi korban, Ma!!” laki-laki itu mulai menitikkan air matanya.
“Kemari, Nak.”
Dilan menghampiri ibunya yang masih berada di tempat tidurnya. Ibunya bangun, lalu memeluk tubuh anaknya yang sudah kian besar itu sambil membelai rambutnya.
“Sayang, Mama tahu kamu benar-benar kehilangan akan sosok dan peran Papamu dalam keluarga kita yang memang sudah hancur ini. Tapi cobalah untuk mengerti dan bersikap lebih rasional. Akhir-akhir ini kamu selalu nampak kelelahan dan kacau. Kamu selalu pulang larut malam dan terlihat seperti orang sakit. Bukan hanya sekali ini saja Mama melihat kamu bersikap seolah melihat seorang pembunuh. Meja ruang tengah sampai terbelah dua karena kamu lempar dengan guci juga karena kamu melihat seseorang yang mau membunuh Zeon, kan? Maafkan Mama yang mungkin selalu menyumpal otakmu dengan kebencian-kebencian atas pembunuh Papamu dan menyuruhmu untuk mencari dia. Mungkin lebih baik Mama tidak membiarkanmu terus larut dalam kesedihan ini. Ya, kalau kamu mau kamu bisa berhenti keluar malam dan mencari pembunuh bajingan itu. Kita bisa hidup seperti dulu lagi tanpa harus membebani fikiranmu. Konsentrasilah pada pelajaran di sekolahmu, Nak.”
“Tapi aku benar-benar melihatnya, Ma,” anak itu tetap membantah. Ibu Adilla melepaskan pelukannya pada Dilan.
“Cukup, Dilan. Berhentilah keras kepala. Mama tidak mau sesuatu yang buruk semakin menimpa keluarga kita.”
“Ya, tapi..”
“Sudah cukup. Mama tidak mau berdebat kusir denganmu. Kamu tahu kan, dari dulu hanya kamu harta satu-satunya Mama. Mama tidak mau kamu tersakiti apalagi terluka. Mama selalu berdoa pada Tuhan agar mengangkat semua beban dirimu dan memindahkannya di pundak Mama. Mama ikhlas. Mama tidak mau melihat kamu hancur karena keegoisan Mama, Nak. Maafkan Mama. Sekarang lebih baik, bersihkan tubuhmu, ambil makanan di dapur, makanlah, lalu tidur. Mama tidak mau melihat kamu bangun kesiangan besok.”
“Tadi aku sudah makan, Ma.”
“Makan di mana?”
“Suatu tempat. Lihat saja ini, bajuku kotor. Sup jagungnya tadi tumpah. Untung saja sup itu tidak panas. Yasudah, Ma. Aku tidur dulu.”
Dilan mencium kening ibunya lalu keluar dari kamar orang yang melahirkannya itu. Omong-omong tentang sup jagung, sebenarnya noda itu dia dapatkan saat sedang menyuapi pasien yang menderita depresi berat. Dilan menyuapi sup jagung untuk si pasien tapi dia memuntahkannya kembali. Muntahannya terkena baju Dilan. Walaupun sudah dibersihkan dengan air, tapi sepertinya noda itu masih betah menempel saja.
Dia masih benar-benar yakin kalau dia benar melihat seorang wanita yang berkeliaran di rumahnya dan ingin menghabisi satu per satu keluarganya. Tapi yang terjadi adalah, tidak ada yang melihat orang itu. Hanya Dilan saja yang bisa melihatnya.
Ini di luar nalar, kawan.


CHAPTER 25
“Danger Line”

            Rian mau sedikit bangkit dari keterpurukan semenjak menghilang tanpa jejak selama satu bulan penuh tanpa menyeret pisau racunnya lagi ke kulit orang-orang tidak berdosa. Dia benar-benar down atas pernyataan yang dilontarkan dengan gagahnya oleh ibu Adilla satu bulan lalu. Semua itu terasa seperti membakarnya hidup-hidup di tengah permainan air dan pasir di pantai pada saat musim panas yang sejuk dan hangat. Dia pergi jauh ke atas bukit tempat seorang ibu tua yang dengan baik hati menampung Rian untuk tidur di gubuk deritanya dan Rian membunuhnya karena ingin menghilangkan penderitaan hidup ibu itu beberapa bulan lalu. Gubuk itu telah kosong. Sarang laba-laba seolah merasa gubuk itu dibangun oleh mereka sehingga mereka bisa dengan bebasnya membangun jaringan yang tersebar luas di dalam gubuk. Tikus dan kecoa juga seolah tidak mau ketinggalan mengambil peranan masing-masing dalam kepemilikan saham gubuk. Semua anggota keluarganya diboyong masuk ke dalam rumah tak berpenghuni itu.
Kali ini, uang sebesar dua ratus ribu rupiah berhasil dikantonginya kembali dari hasil menjual suara kepada orang-orang hanya dalam dua jam. Memetik gitar dan bernyanyi lagi untuk menghibur orang-orang hanya demi mendapatkan satu mangkok bakso dan air putih. Rian memang tidak pernah hilang kharismanya. Dia hanya butuh sedikit mencuci wajahnya dengan air, menyisir rambutnya, merapihkan bajunya dan membiarkan sobekan di beberapa bagian baju dan celananya agar memiliki tekstur tersendiri lalu seolah dibayar mahal, aura kecantikannya yang tersembunyi di balik sikap “gila”nya menyembul dari balik tubuhnya.
“Rian?” suara yang terasa sudah lama sekali tidak didengarnya. Suara itu memang jarang bersamanya, hanya beberapa waktu saja.
“Engg..?” Rian berusaha mengingat sesosok dengan rambut pirang yang panjang di sampingnya.
“Inget aku, nggak?” gadis itu tersenyum ramah. Dari raut wajah dan nada bicaranya, dia terkesan benar-benar ingin membuat Rian ingat akan dirinya.
“Erinda, ya?”
“Nah, benar! Apa kabar, Rian? Seperti sudah lama sekali kita nggak bertemu. Kabarnya kamu suka berkelana, ya? Berminat untuk berbagi sedikit denganku, tidak?”
“Ah, biasa saja. Aku hanya sedang mencari jati diri,” Rian menunduk. Dia sedikit malu dengan keadaannya sekarang yang benar-benar berubah satu putaran derajat penuh.
“Haha. Baiklah kalau kamu belum siap bercerita.”
Rian tersenyum. Hanya sedikit saja dari tarikan bibir tipisnya.
“Mau cari baju apa, Rian?”, Erinda kembali melanjutkan pertanyaan-pertanyaan yang semakin lama semakin membuat Rian malas menjawabnya. Rian bahkan baru sadar, tujuannya datang ke distro itu adalah untuk mencari baju baru. Dia malah tadi sempat berfikir untuk menghabisi nyawa laki-laki penjaga distro dengan gaya sok ala deathcore yang bahkan mungkin dia sendiri tidak tahu apa arti deathcore dan band-band apa saja yang menganut aliran itu. Dia sedang asyik berpacaran dengan pacarnya yang gayanya sok screamo – mencoba peruntungan dengan tatanan rambut lurus-lurus dan sedikit lancip juga meruncing tajam ke bawah, garis mata yang sedikit dipertebal dengan spidol marker hitam, dan pakaian yang Rian jamin pasti mereka meniru dengan model-model yang ada di vampirefreaks.com – tanpa memperdulikan berapa banyak orang yang masuk ke dalam tokonya dan berharap mendapat pelayanan lebih.
“T-shirt Pantera.”
“Pantera? Band metal legend yang salah satu lagunya pernah di-cover oleh Avenged Sevenfold, kan?”
“Ya. Judulnya ..”
“Walk!”
“Benar! Sejak kapan kau suka metal?”
“Aku tidak tahu, Rian. Semua berjalan begitu saja. Hahaha.”
Rian tertawa. Sedikit lebih lepas dari biasanya. Dia merasa kali ini sepertinya dia memiliki satu lagi teman yang bisa diajak berdiskusi selain pisau mautnya. Tapi tidak. Fikiran-fikiran itu segera dimusnahkannya seperti dia menggilas mayat kucing yang tadi dilewatinya di jalan dengan motornya, karena dia benar-benar tetap ingin sendiri bersama bayang-bayang kematian yang menunggu di depan matanya.
Erinda membantu Rian memilih beberapa t-shirt musik yang ada di sana. T-shirt yang bertuliskan ‘Pantera’ ada beberapa di sana dengan model dan motif gambar yang berbeda-beda. Semuanya menarik. Satu yang menjadi pilihan mereka berdua secara bersamaan saat menemukan t-shirt itu di balik pakaian yang lain. Warna dasarnya hitam dengan model lengan buntung. Tulisan ‘Pantera’-nya uppercase berwarna oranye di bagian atas. Ada gambar tengkorak memakai topi yang berwarna sama dengan tulisannya. Rian pernah lihat yang semacam itu dipakai oleh Michael Padget, lead guitar dari Bullet For My Valentine band kesukaannya. Ukuran ‘M’ dan, deal!
Celana. Rian ingin punya celana baru. Celana jeans hitamnya sudah robek-robek. Saat ini, dia benar-benar lebih terlihat seperti anak punk dengan hidup nomaden di jalanan daripada seorang metalhead apalagi pembunuh. Erinda kembali membantunya dalam memilih bawahan. Dia mendapatkan skinny jenas hijau tua, mungkin sedikit mengarah ke hijau lumut. Di bagian lutut terdapat motif “tambelan” berwarna sedikit lebih tua dari warna dasar. Rian bingung, apakah itu masih bernuansa hijau atau hitam. Tambalan itu berbentuk tanda tambah. Aah!! Celana itu hampir mirip dengan yang dipakai oleh Hayley Nichole Williams!!
“Aku pilih ini.”
Nice choise, Rian.”
Mereka berdua menuju meja kasir, ingin membayar apa yang telah mereka dapatkan. Sepertinya si pegawai penuh pesona itu masih sibuk dengan urusannya membelai-belai rambut lancip sang kekasih hati. Satu menit Rian dan Erinda menunggu di depan meja kasir tanpa ada perhatian dari kedua atau bahkan salah satu dari mereka, Rian menghampiri pasangan kesiangan itu. Tangannya sudah panas dan terasa gatal sekali ingin mengeluarkan pisaunya lalu menyuruh salah satu dari mereka menjilat dan merasakan manisnya racun darah hewan purba yang berkerak di setiap lapisan pisau tersebut. Rian tidak kuat, dia mengeluarkan pisaunya dan sesaat kemudian ..
“Woo.. wooo. Tenang, sista. Dilarang membawa masuk benda tajam ke dalam distro ini. Bisa baca tulisan di sana, kan?”
“Lalu, katakan padaku benda tajam macam apa yang ada di rambut kalian berdua!”
Diam. Mereka berdua hanya bisa saling bertatapan. Erinda seperti memberi kode dengan mengedipkan matanya kepada kedua sejoli penjalin cinta itu agar melayani Rian yang sudah ingin membayar barang belanjaannya. Rian memandang gadis dengan jepitan merah jambu itu tajam. Kalau saja tatapan itu adalah nyata, sayatan demi sayatan pasti sudah tergambar di kulit wajah gadis itu.
“Semuanya tiga ratus ribu.”
Apa??!
“Apa? Coba hitung lagi,” Rian tidak yakin. Masa iya hanya membeli celana dan kaos saja sudah menguras uang dua jam kerjanya.
“Tidak salah lagi, Tante Jagoan,” laki-laki itu menekankan suaranya pada saat menyebut ‘tante jagoan’. Mungkin dia kesal sekali dengan apa yang telah didapatkannya dari Rian tadi. Setelah dilihat, ternyata Rian hanyalah gadis miskin tak beruang.
“Memang berapa harga masing-masingnya?”
“T-shirt Pantera seratus dua puluh ribu rupiah. Skinny jeans seratus delapan puluh ribu. Jadi totalnya tiga ratus ribu.”
“Ehmm.. biar aku saja yang bayar,” dengan wajah malaikatnya, gadis berbaju hijau muda itu membayar seluruh belanjaan Rian tanpa membiarkan teman satu sekolahnya saat masih di SMA itu mengeluarkan sepeser pun.
Laki-laki yang belakangan diketahui dari ID-Card yang tidak dipakai dan dibiarkan tergeletak di atas rak yang berisi boneka Nightmare ternyata bernama “Aldi April Ashley”, membungkus barang-barang belanjaan Rian ke dalam satu tas yang lucu. Gothic tapi eksotik.
Apa? Apa tidak salah anak itu memakai nama belakang ‘April Ashley’? Aku yakin itu sama sekali bukan nama aslinya. Wajahnya saja wajah asli Cirebon. Dan sepanjang ingatan pembunuhku, itu adalah nama pemuda laki-laki keturunan Inggris yang lahir di tahun 1935 dan bertranseksual jadi wanita hingga dia menjadi super model. Hahaha. Dasar bodoh!
Mereka berdua kemudian melangkah keluar dari toko. Rian menyimpan tawa tertahan rapat-rapat di dalam hatinya. Dia tidak menyangka, betapa bodohnya anak itu memakai nama belakang seorang waria? Haha. Apa mungkin dia kira nama itu cukup bagus sehingga bisa dia pakai menjadi nama belakang tanpa peduli siapa pemilik nama atau arti dari nama itu sendiri? Konyol.
“Aku bayar segini dulu. Kau bisa tunggu aku di sini dan aku akan bayar sisanya.”
“Mau mengamen lagi?”
“Ya.”
“Haha. Tidak perlu, Rian. Kita sudah lama tidak berjumpa. Apa salahnya aku membelikanmu pakaian yang memang kebetulan tadi aku yang pilihkan untukmu tanpa melihat harganya, kan? Ambil saja lagi ini uangmu. Aku ikhlas, kok,” Erinda tersenyum. Sangat manis walaupun sedikit mirip dengan Nadia.
“Aku bukan peminta-minta.”
“Bukan begitu. Hanya saja ..”
“Terima.”
“Rian, please ..” Erinda menatap wajah Rian yang memang benar bersungguh-sungguh untuk mengganti uangnya. Dia tahu ada yang berubah dari Rian, jadi akhirnya dia memutuskan untuk menerima uang itu. Dia hanya ingin Rian bisa merasakan hasil dari menjual suaranya terbayar.
“Baiklah,” Erinda mengangguk setuju lalu menerima uang itu.
“Aku mau ganti baju dulu,”  Rian berjalan menjauh dari Erinda. Dia menuju ke warung kecil di seberang jalan yang sepertinya sudah tidak dipakai lagi.
Erinda menatap lekat Rian dari belakang. Tatapan matanya lain kali ini, tidak sehangat yang sedari tadi dipamerkannya. Dia seperti mencari-cari sesuatu dari dalam diri Rian. Entah apa. Segala sudut dari tubuh Rian ditelusuri melalui mata bulatnya. Mulai dari mata kaki hingga kepala. Tatapannya sangat teliti, seperti anak Pramuka yang diberi tugas untuk mencari sebiji jagung di dalam keruhnya busa sabun. Semakin jauh langkah Rian pergi, semakin tajam tatapan matanya. Bahkan lebih terlihat seperti mata maling yang mengawasi keadaan sekitar. Rian sendiri sudah berada di tengah jalan. Tangannya kirinya melambai-lambai dengan maksud supaya kendaraan dari arah kiri bisa lebih memelankan lajunya, ciri khas para penyeberang jalan. Lagi, tatapan itu semakin tajam, seperti elang yang siap menjaring ayam kampung masuk ke dalam sela-sela cengkraman kakinya. Dia menyipitkan matanya sebentar. Sedikit lebih fokus dan sesaat kemudian dia tersenyum. Sepertinya dia sudah mendapatkan yang dia inginkan dari hasil penajaman matanya di saat Rian melangkahkan kaki kanannya masuk ke dalam gubuk dan tepat pada titik tiga puluh meter.


CHAPTER 26
“Cryptography”

            “Saya dapatkan kodenya, Sensei.”
“Sebutkan.”
“Semuanya model huruf uppercase. Diawali dari huruf ke enam belas, kemudian huruf ke sebelas, dua garis sama panjang yang sejajar, huruf ke empat, dan huruf ke dua lima.”
“Dalam abjad?”
“Papan kotak-kotak yang tidak tak bermesin.”
“Baik. Akan kita teliti takdir anak itu sehingga kamu bisa dengan mudah menghabisi setiap titik fatalnya dengan cara dan waktu yang tepat.”
“Dan saya tidak ingin menunggu lama hasil penelitian itu, Sensei.”
“Menunggu tidak akan membuatmu mengeluarkan air mata darah.”
“Bagaimana kalau aku bosan menunggu? Empat puluh ribuku sudah keluar cuma-cuma. Ini di luar rencana!”
“Diam dan tunggu hasilnya. Kau akan bisa dapatkan lebih dari itu. Sekarang, di mana dia?”
“Sedang berganti dengan baju barunya. Menjijikkan melihatnya masih bisa bahagia seperti ini.”
“Coba untuk kontrol emosi dan sifat ke‘AKU’an mu.”
“Ya, ya. Sudah dulu, dia sudah kembali.”
Klik!


CHAPTER 27
“The Fight”

            “Ini, Pak,” Erinda memberikan selembar uang kertas bernilai dua ribu rupiah kepada seorang penjaga warung.
“Terima kasih.”
“Beli apa?” suara yang bersumber tepat di belakang Erinda membuatnya tersentak.
“Rian? Aku nggak nyangka bajunya bakal sekeren ini kalau kamu yang pake! Hebat!”
“Terima kasih.”
Erinda memandang Rian dari ujung kakinya hingga ke atas. Sempurna. Dengan t-shirt dan jeans barunya, dan gitar yang ditentengnya dia benar-benar tampak sempurna. Jiwa kelaki-lakiannya tidak dibuat-buat. Natural. Mimik dingin yang tergambar pada wajah mulusnya benar-benar gothic, lebih gothic daripada seorang Andy Sixx ataupun model-model lain di situs Vampirefreaks.com.
“Haha. Keren! Lihat dirimu. Auramu kembali, Rian. Aura Rian yang dulu! Kau cantik sekali, Rian. Aku iri padamu,”
“Kau berlebihan.”
“Haha. Lihat apa yang aku dapat, aku belikanmu air minum. Bibirmu kering. Mungkin kau dehidrasi.”
“Terima kasih,” Rian tersenyum. Bukan senyum dari hatinya, hanya basa-basi saja. Pembunuh juga bisa berbasa-basi, kan?
Erinda mengajak Rian duduk di bawah pohon besar di pinggir jalan itu, sambil menikmati mili demi mililiter air mineral yang dikemas dalam botol tersebut merayap perlahan masuk ke dalam tenggorokkan mereka. Tidak ada yang membuka pembicaraan. Semua berkonsentrasi pada fikirannya masing-masing. Rian menatap satu per satu kendaraan beroda lebih dari satu melintas di hadapannya. Bola matanya mengikuti pergerakkan benda besar bermesin itu ke arah kiri. Sesekali dia menarik nafas panjang, seolah sudah bosan dengan kehidupannya. Sedangkan Erinda, tetap tersenyum ramah. Sangat ramah. Terlampau ramah hingga membuat Rian meragukan kewarasannya. Rian tidak tahu apa yang membuat rekan di sampingnya itu terlihat sangat bersuka cita. Dia malas menanyakannya. Dia fikir itu hanya akan membuang energinya saja. Sesekali Erinda menggerakkan bola mata cokelatnya ke arah kantung celana Rian, seperti ingin mengecek sesuatu. Rian dapat merasakan pergerakkan bola mata itu sekalipun dia tidak melihatnya langsung. Rian merasa kehadiran Erinda di sampingnya seperti harimau yang berjalan pelan lalu menerkam dirinya. Dia merasa aura lirikkan bola mata Erinda sangat mengganggu dirinya. Jelas saja, apa yang tertidur di balik kantung celana Rian adalah sebilah pisau racun yang berbahaya. Sakti mandraguna satu-satunya milik Rian. Bahkan bisa dibilang itu adalah separuh jiwanya. Jadi, saat separuh jiwanya terasa diawasi, dia akan merasakannya juga.
Lirikan-lirikan mata Erinda pada saku celana Rian semakin tajam tetapi kadar ramah dari senyumnya tidak berkurang sama sekali. Semakin kesini, keramahan itu semakin berlebihan dan terlihat menyeramkan. Botol air mineral yang digenggamnya pun berbunyi karena ada tekanan yang cukup kuat hingga membuatnya sedikit penyok. Tatapannya sama seperti saat Rian menyeberang jalan untuk berganti pakaian di dalam bekas warung di seberang jalan. Rian seolah bisa merasakan sentuhan tajam lirikan itu. Tidak tahu ada energi negatif apa yang berada di antara mereka berdua. Dia bangun dari posisi duduknya. Dengan gerakan sangat cepat, dia memelintir tangan Erinda dan membuatnya tidak bisa bergerak. Di waktu bersamaan, Erinda juga bangun dan melakukan hal yang sama. Seolah mereka berdua kembar dan bisa membaca fikiran masing-masing, keduanya melakukan gerakan-gerakan bela diri yang sama dan sedikit terlatih. Rian tidak menyangka, sosok Erinda yang sangat feminim bisa membuatnya kewalahan atas serangan-serangan yang dilancarkannya. Dia tidak tahu di mana dan dengan siapa Erinda berlatih. Siapapun yang melatihnya, pasti dia orang hebat. Begitupun Erinda. Dia tida menyangka kalau ilmu bela diri yang dipelajari Rian secara otodidak bisa membuatnya kewalahan. Tidak ada yang mau mengalah selama beberapa menit perkelahian. Kedua gadis cantik berkelahi di pinggir jalan tak elak menjadi bahan tontonan masyarakat sekitar.
Berlari. Dalam waktu bersamaan, keduanya melepaskan hajaran dan berlari secepat yang mereka bisa. Tidak ada yang berada di posisi depan juga di belakang. Mereka berdua berlari dengan jarak sejajar. Kalau begini terus, tidak akan ada yang bisa kalah juga menang. Mereka berdua seperti monster wanita yang tiba-tiba berubah gahar saat kakinya tersulut api. Seolah ada yang mengomandoi, kaki mereka berlari menuju ke sebuah pembangunan pusat perbelanjaan yang sedang mengalami pembangunan. Waktu sudah hampir maghrib sehingga tempat itu kini kosong. Keduanya kembali melanjutkan perkelahian di sana. Rian memiliki basic di taekwondo dan begitupun Erinda. Beberapa kali mereka berdua melompat sangat tinggi dan berusaha melakukan tendangan melingkar. Tidak ada satu pun tendangan yang berhasil melumpuhkan lawan. Mereka sama. Sama-sama kuat!
“Siapa kamu??”, Rian mengehentikan pukulannya dan begitupun Erinda. Keringat yang sangat deras sudah keluar dari pori-pori kulit mereka yang halus. Mata mereka memerah, seperti habis disiram air cabai.
“Kau yang siapa??! Apa salahku hingga kau tiba-tiba menyerangku??”, Erinda balik bertanya.
“Kau menyerangku dalam waktu bersamaan! Itu tidak menunjukkan kalau aku yang menyerangmu duluan!”
“Kau banyak bicara, Rian! Aku sudah bisa membaca takdirmu, kau tahu!”
“Bagaimana mungkin??”
“Hahaha. Aku tantang dirimu! Coba bunuh aku sekarang!”
“Dengan senang hati.”
Rian yang memang sudah panas dan mendidih mengeluarkan pisau andalan dari sakunya. Dia tidak bisa mengontrol emosinya saat dia ditantang oleh orang lain. Dia tidak tahu kalau Erinda memancingnya agar dia mengeluarkan pisau itu dari sakunya.
Rian bergerak maju dengan cepat ke arah Erinda yang sudah pasang badan dengan tangan di belakang. Senyumnya tetap ramah tapi mengerikan. Rian tidak peduli benda macam apa yang bersembunyi di balik tangannya itu. Pisaunya dapat mengalahkan apapun.
Satu gerakan cepat yang dilancarkan Rian membuat rambut panjang yang diikat satu oleh Erinda terpotong oleh pisau Rian. Dalam waktu bersamaan pula, Rian merasa baju barunya itu tersobek di bagian perut. Sobekan itu seperti sobekan yang dibuat oleh benda tajam seperti pisau. Dan, betapa kagetnya Rian saat didapati Erinda menggenggam sebilah pisau yang sama percis dengan yang digenggamnya. Dia tidak menyangka ternyata di dunia ini ada lebih dari satu pisau yang sama dengan miliknya. Setidaknya ada dua. Miliknya dan milik Erinda. Fikirannya segera melayang pada kata-kata anak kecil yang tinggal di bawah kolong jembatan yang mengatakan bahwa ada seseorang berjubah hitam dengan tulisan China atau Jepang yang besar di belakangnya, mengambil pisau yang sama dengan dirinya dari atas batu yang ada di bawah kolong jembatan.
“K-kau??!”
“Hahaha. Kenapa? Terkejutkah kau dengan apa yang aku punya sekarang? Kau fikir kau yang paling hebat, huh? Kita memiliki pisau yang kembar, Rian. Dan takdirmu jelas ada di genggamanku sekarang! Hahaha.”
“Mati kau, perempuan jalang!”
Rian berlari cepat maju ke arah Erinda yang kepercayaan dirinya semakin meningkat setelah melihat Rian sedikit menganga atas pisau yang dimilikinya. Erinda menantang maut. Dia pun ikut maju dengan kecepatan penuh. Pisaunya sudah digenggam dengan sangat kuat hingga urat-urat tangannya timbul seolah ingin melihat panasnya pertandingan sambil diacungkan ke atas diiringi lolongan jeritan yang mengerikan. Jeritannya seperti bukan jeritan manusia. Jeritannya seperti hantu yang siap mencuri kebahagiaan setiap orang yang mendengar lolongannya.
Allahu Akbar .. Allahu Akbar .. Allahu Akbar .. Allahu Akbar ..” suara adzan Maghrib yang bersumber dari pengeras suara masjid di tempat itu telah dikumandangkan.
Suara itu berkumandang tepat saat kedua pisau gadis enam belas tahun itu ingin menembus tulang belulang satu sama lain. Tiba-tiba, ada seseorang berjubah hitam muncul dari atas langit, menutupi seluruh tubuh Erinda kecuali tangan kanannya yang sedikit tidak tertutup oleh kain hitam itu. Sedetik kemudian, Rian bisa melihat tangan itu menghilang bersamaan dengan menghilangnya orang berjubah hitam yang turut serta membawa lari bayangan di bawahnya. Rian terkejut melihat pemandangan yang jaraknya hanya setengah meter dari tempatnya berdiri. Seketika, tidak ada siapa-siapa di tempat itu kecuali dirinya dan peluh yang mengucur deras dari lubang pori-pori kulitnya. Nafasnya tersengal. Orang yang berada dengan jarak satu meter dari Rian berdiri pasti bisa mendengar bunyi detak jantungnya yang benar-benar tidak terkendali. Hampir saja pisaunya menembus tulang Erinda dan itu saat-saat yang ditunggunya. Tapi seseorang dengan jubah hitam itu muncul tidak diundang dan membawa pergi Erinda beserta amarah di dalam dirinya.
Jubah hitam itu tidak hanya jubah hitam semata. Rian sangat bersyukur berhasil membaca dengan jelas dan lengkap aksara Jepang yang tertulis besar pada bagian belakang jubah yang sebelumnya muncul saat malam hari Rian berada di salah satu lapak pasar. Tulisan itu adalah “ハタチの忠誠の誓” yang dibaca Hatachi no chūsei no chikai yang berarti: ikrar kesetiaan kepada Hatachi. Benarkah?
Satu lagi pekerjaan, kawan.
CHAPTER 28
“Psikotik”

            Dilan duduk sendiri di dalam kamarnya. Dia baru saja terbangun dari tidurnya. Tunggu. Apakah masih bisa disebut dengan kamar apabila dengan keadaan meja sudah terjungkal, gelap, bantal yang terkapar di atas lantai sehingga menyerupai keset, dan abu rokok yang bertaburan seperti virus penyakit di atas lantai kamarnya? Siapa yang bisa bertanggung jawab atas semua ini? Dilan. Hanya dia. Dia yang memiliki kamar itu.
Tiga hari sudah dia tidak berangkat kerja, tiga hari pula ibu dan seluruh keluarga juga teman-temannya mencemaskan keadaannya. Dia lebih banyak mengurung diri di dalam kamar dan hanya keluar apabila ingin buang air kecil. Itu pun hanya satu kali dalam sehari. Setiap keluar kamar, kedua ibunya selalu bertanya pertanyaan yang sama yaitu ada apa dengan seluruh noda yang tergambar di wajahnya. Dia terlihat kusam dan sangat kacau. Garis hitam dibawah matanya menebal, matanya memerah seperti maling yang habis tertangkap basah, kumis dan jenggot tipis mulai menyembul dari balik pori-pori kulit wajahnya, cambangnya mulai tidak terurus, dan rambutnya pun begitu. Walaupun hanya tiga hari, Dilan sudah hampir menyerupai seorang tua yang tersesat dan tinggal di dalam gua dan keluar setelah lima tahun kemudian.
Satu-satunya alasan mengapa Dilan tetap mengurung diri di dalam kamarnya adalah dia tidak ingin terus-terusan mengamuk seperti orang gila dan berkata sebuah hal yang sama kepada seluruh anggota keluarganya yang mereka sama sekali tidak percaya akan hal itu. Dilan selalu melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa ada seorang gadis yang melambai-lambaikan pisaunya pada salah satu anggota keluarganya, lalu dia bersiap untuk menusukkan pisau itu ke bagian tubuh calon korbannya tersebut. Dilan tidak bisa menggapainya. Maksudnya, ada hasrat di dalam dirinya untuk menggapai gadis itu, tetapi kakinya seolah beku. Jadi, yang bisa dia lakukan hanyalah melemparkan gadis itu dengan benda besar dan keras di dekatnya. Tetapi yang terjadi adalah, tidak ada tubuh gadis yang terjatuh karena ditimpuk oleh Dilan, melainkan ada benda lain yang hancur berkeping-keping akibatnya. Dan dia juga tidak jarang menjadi sasaran amukan kedua ibunya. Mereka selalu berkata bahwa tidak ada siapa-siapa di sana dan itu hanyalah halusinasi Dilan saja. Dan sifat jelek Dilan adalah, dia paling tidak suka dirinya tidak dipercaya orang.
Di dinding kamarnya, ada banyak foto dirinya, Nadia, dan Rian bersama-sama. Foto yang paling besar adalah foto dimana mereka bertiga memakai seragam SMA, mengenakan kacamata yang luar biasa besar, lalu menyengir sangat lebar. Ada lagi foto saat ketiganya berada di pesta ulang tahun ke tujuh belas Nadia. Kini, nasib foto-foto itu sudah tidak karuan. Ada yang berjatuhan di lantai dengan figura yang pecah, ada yang separuh terbakar, malah ada yang sudah terbakar semuanya. Dilan benar-benar terlihat frustasi dan kacau.
Dilan berada di atas kasurnya, mengambil posisi duduk dengan memeluk dengkulnya. Kasunya bersebrangan dengan tembok kamarnya yang masih terpampang foto dirinya dan Nadia. Hanya mereka berdua. Dilan menatap lurus foto itu dan berusaha mengingat mimpinya tadi malam.
Dalam mimpinya, dia berada di sebuah ruangan yang seluruhnya berwarna putih. Dilan mengenakan piyama tidurnya. Dia merasa lelah sekali saat itu. Bola besar besi hitam seolah menggantung di atas kelopak matanya sehingga dia ingin menutupnya saat itu. Dia sangat mengantuk di sana. Tapi sayangnya, dia sekali tidak bisa tidur. Seluruh masalah yang telah selesai di dalam hidupnya seolah kembali lagi datang dan memaksa masuk ke dalam kepalanya yang sudah penuh akan kebahagiaan. Masalah-masalah itu menang dan berhasil masuk mengalahkan seluruh kebahagiaan di kepalanya. Pada saat itu juga dia merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya. Sekujur tubuhnya berkeringat. Keringat dingin. Jantungnya berdetak lebih kencang dibanding biasanya. Wajahnya memerah. Tiba-tiba, kaki dan tangannya keram. Tubuhnya mengejang dan dia semakin tidak kuat menahannya. Dia merasa, mungkin saat itulah ajal datang menjemputnya. Selama beberapa menit dia merasakan sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya, hingga seorang gadis berbaju putih datang dan memeluknya dari belakang. Dia adalah Nadia.
“Bertahan, Dilan. Aku ada di belakangmu. Kamu harus bisa meraskan dekapanku. Aku harap ini bisa menenangkanmu. Bertahanlah, sayang,” kata Nadia lembut sambil terus memeluk tubuh kejang Dilan.
“Aku s-ud-dah t-tt-idak k-kkuat lagi!!” jerit Dilan.
“Tapi aku akan selalu kuat menahanmu, sayang. Aku selalu bersamamu walaupun aku sudah berada di tempat yang beda. Lepaskan segala lelah dan gelisahmu di sini, di pelukanku. Karena saat kamu sudah tidak merasakan sakit lagi, kamu akan kembali ke dunia nyata yang penuh dengan asap dosa dan gelisahmu akan terus menghantuimu. Rasa sakit itu hanyalah implementasi dari apa yang menjadi derita otakmu selama ini. Biarkan dia keluar semuanya, di sini. Aku menahanmu agar kamu mau memaksakan dirimu membagi rasa sakitmu padaku, sayang.”
“AAARRRGH!!”
“Bertahan, Dilan!”
Nadia mendekap Dilan lebih erat dari belakang. Nadia bisa merasakan seluruh otot tubuh Dilan yang semakin mengejang, hingga dalam hitungan detik seluruhnya kembali mengendur. Dilan kembali bisa mengatur nafasnya. Detak jantungnya berangsur normal. Tubuhnya mulai lemas. Tetapi Nadia sama sekali tidak melepas pelukannya.
“Sudah baikan?” tanya Nadia pada Dilan.
“Nadia..” Dilan menolehkan kepalanya ke belakang dan menatap Nadia jelas. Tatapannya seolah menjerit minta diberi bantuan. Sedangkan tatapan Nadia seolah berkata bahwa dia siap mendengar apapun keluh-kesah Dilan dan siap membuka kembali tangannya, membiarkan seluruh air mata Dilan tumpah menyeruah di dalam dekapannya. Nadia tersenyum hangat.
“Senang bertemu denganmu lagi.”
 “Sudah baikan?” Nadia mengulang pertanyaannya.
“Kenapa kamu harus pergi?”
“Sudah baikan?” sekali lagi Nadia mengulang pertanyaannya dengan sangat sabar.
“Ku rasa begitu.”
“Aku bisa melihatnya,” Nadia tersenyum.
“Kenapa kamu harus pergi, sih?” tanya Dilan lagi.
“Ah, kata siapa? Aku tidak kemana-mana, kok. Kamu harusnya bisa merasakan kehadiranku di dalam foto-foto di dinding kamarmu, sayang. Tapi, yang terjadi malah kamu membuang semua foto-foto itu, bahkan membakarnya. Lalu aku harus tinggal di mana, jelek?”
“Kamu berada di sana??”
“Tentu saja. Tapi kali ini, aku berada di hadapanmu,” Nadia kembali tersenyum.
“Aku resah dengan semua pemandangan yang mengangguku itu. Aku yakin aku hidup dan tinggal di dunia nyata, dan bukan dunia tiga dimensi atau dunia film. Aku juga yakin yang aku tapaki setiap hari adalah tanah yang hangat. Aku bisa merasakan sakit saat pecahan beling menyobek kulitku. Itu tandanya aku tidak bermimpi, kan? Tapi mengapa hanya aku yang bisa melihat gadis psycho itu? Sedangkan ibu, Zeon dan Zionell, atau siapapun juga tidak bisa melihatnya! Pekerjaanku di kantor juga baik-baik saja. Itu menandakan bahwa aku belum gila, kan? Tapi yang menjadi keherananku selama beberapa bulan terakhir ini adalah, mengapa aku tidak bisa sama sekali mendapatkan wajah gadis itu di kepalaku? Aku melihat sosoknya, tapi wajahnya sangat gelap!”
“Barangkali dia adalah penggemar beratmu. Hahaha.”
“Kamu dan aku tahu bahwa penggemar beratku adalah kamu,” Dilan tersenyum.
“Hey, kau kembali!”
“Kamu yang membuatku kembali, sayang. Sudah lama sekali rasanya tidak melihat tawamu, mendengar suaramu, merasakan detak jantungmu saat kamu memelukku. Aku benar-benar merindukanmu, Nadia”
“Begitupun aku, Dilan.”
“Maafkan aku karena sampai sekarang aku belum bisa mendapatkan siapa yang melakukan itu padamu,” Dilan dengan wajah bersalahnya.
“Melakukan apa?”
“Dia yang meracunimu, yang menghabisi nyawamu!”
“Haha. Aku tidak apa-apa, Dilan. Lupakan saja orang itu. Jangan jadi seperti dia, yang suka menyimpan dendam kepada semua orang. Kelak dendam itu yang akan menujahnya dari belakang. Membuat dirinya menjilat leleran darahnya sendiri.”
“Maksudmu?”
“Haha. Lupakan saja. Cukup kamu tahu saja, dia adalah tetap sahabat terbaikku. Dia banyak memberiku arti hidup selama beberapa tahun terakhir di kehidupanku.  Aku menyayanginya sepenuh hatiku. Aku tau dia selalu berusaha menjadi dirinya sendiri, terserah orang mau bilang apa tentangnya. Dia gadis hebat. Pelajaran yang aku dapat darinya adalah pelajaran yang tidak akan pernah bisa aku dapati di sekolah atau di manapun, bahkan saat aku duduk di tempat ini sekarang.”
“Dia sahabatmu??”
“Tentu saja,” Nadia mengangguk yakin.
“Sahabat macam apa yang tega membunuh temannya sendiri, hah??! Dan setelah kamu menerima semuanya, kamu masih bisa bilang kalau dia adalah tetap sahabat terbaikmu?? Malaikat macam apa dirimu ini, Nadia?”
“Hahaha. Hiperbola sekali kamu.”
“Kalau begitu, mungkin aku tahu siapa dia.”
“Katakan.”
“Rian?”
“Hahaha. Pasti kau sudah belajar cara membaca fikiran orang, kan?”
“Tidak. Aku hanya membaca matamu.”
“Kau selalu melakukannya, Dilan. Aku lemah jika kau sudah membaca mataku,” Nadia tersenyum.
“Jadi benar Rian pelakunya?”
“Dia pendendam ulung, Dilan. Kehidupannya yang keras membuat hatinya robek dan terbakar, hingga dia bahkan tidak bisa melihat abu dari hatinya tersebut. Dia menyedihkan. Dia harusnya bersamamu, bukan aku.”
“Jadi benar dia pelakunya?? Benar berarti yang dikatakan ibuku! Aku harus mencarinya, Nad!”
“Jangan! Biarkan dia bersama hidupnya menemukan ujung takdirnya sendiri. Kita tidak boleh berpura-pura menantang malaikat maut. Itu jatah pekerjaannya, sayang. Biarkan dia hidup bersama air matanya yang tertahan, atau bersama darah yang membeku di ujung jarinya, atau bersama dendamnya hingga dia merasa lelah. Aku ikhlas, kok. Dia sahabat terbaikku, Dilan.”
“Nadia benar, Nak,” suara laki-laki menyusul dari tempat yang sama.
“Ayah??”
“Iya, ini ayah. Apa kabar dirimu?”
“Hancur. Ayah, sedang apa di sini?”
“Ini tempat kami, Nak.” Pak Afif tersenyum.
“Oh, iya! Bahkan aku belum menanyakan padamu di mana kita sekarang,” Dilan menoleh ke arah Nadia. Gadis itu malah tersenyum saja.
“Nanti kita juga akan berkumpul bersama di sini, Nak. Oh, iya. Ayah lupa mengucapkan selamat ulang tahun untukmu, kan? Kalau begitu, selamat ulang tahun ya, Nak. Maaf ayah terlambat. Ini semua di luar rencana. Ayah selalu mendoakanmu untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Tidak seperti ayahmu ini.”
“Haha. Terima kasih, Ayah. Apapun kesalahan dan kekuranganmu, kau tetap yang terbaik.”
“Haha. Aku tersanjung. Bagaimana kabar ibumu?”
“Mereka berdua sebenarnya baik. Tapi menjadi tidak baik setiap melihatku keluar dari kamar dengan keadaan seperti ini.”
“Tapi mereka akan bahagia setelah melihatmu keluar dari tempat ini. Percaya pada ayah,” Pak Afif tersenyum sambil menepuk pundak anaknya.
“Bagaimana mungkin?”
“Pernah dengar Psikosis?”Pak Afif balik bertanya.
“Uhh, pernah dengar. Tapi aku tidak yakin. Bisa tolong jelaskan?”
“Nah, setelah dari sini, bersihkan dulu itu semua noda di wajahmu dan gunakan internet untuk mencari informasi tentang hal itu.”
“Lalu, apa hubungannya denganku?”
“Mungkin itu yang sedang kau alami, Nak.”
“Aku tidak mengerti, Yah.”
“Maafkan kami. Waktumu sudah habis. Kamu sudah harus pergi dari sini. Pesan terakhir ayah, kamu harus biarkan dia. Jangan terus-terusan memaksa memasukkan dia di dalam alam bawah sadarmu, karena itu akan sangat mengganggumu. Benar apa yang Nadia katakan tadi, dia dan hidupnya telah mendapatkan ujung kehidupannya sendiri. Kamu tidak perlu repot-repot mengotori lenganmu untuk mencabiknya dan membiarkan bau busuk keluar dari tubuhnya.”
“Dia juga yang melakukannya pada ayah??”
“Waktumu habis, Nak. Titip kedua ibu dan adik-adikmu. Salam sayang untuk mereka, dan cium sayang dari ayah untuk Zeon dan Zionell. Selamat tinggal.”
“Berjuang, Dilan. Aku mencintamu selalu,” Nadia melambaikan tangannya pada Dilan sebelum semuanya memudar.
Dilan berhasil mengingat semuanya. Setiap kata dan pesan yang disampaikan dua orang yang dicintainya di bumi, benar-benar mengandung makna dan arti yang sangat penting untuk kehidupannya. Dia tau kalau dia sebenarnya tidak perlu untuk mengotori tangannya dengan darah gadis berdarah dingin itu. Tapi keinginan yang kuat mengalahkan segalanya. Mimpi itu adalah jawaban dari semua pertanyaannya selama ini. Kalau saja mimpi itu bisa diulang, dia akan mengucapkan terima kasih banyak kepada Pak Afif Aryana dan Nadia yang belum sempat diucapkannya.
Dia bangkit dari tempat tidurnya dan dengan gerakan yang cepat, dia merapihkan kasurnya. Bantal, guling, dan selimut disusunnya dengan rapi. Selanjutnya lantai. Dia mengambil sapu di pojok kamarnya lalu menyapu semua remah yang bertaburan di atas lantai kamarnya. Beling dan taburan abu rokok dengan cepat disingkirkannya. Gambar-gambar poster yang separuh robek tetapi masih melekat di dinding segera dicabutnya, dibentuk gumpalan kertas besar, lalu dilemparkan ke keranjang sampah. Semua dilakukannya dengan cepat. Tidak ada yang terlewat. Ini adalah bentuk kerja keras dengan membudaki dirinya sendiri untuk membersihkan kamarnya dari hasil amukannya beberapa hari yang lalu. Hanya butuh waktu tiga puluh menit dan dia berhasil membereskan semuanya. Dilan tidak mau memakan waktu lebih lama lagi. Dia merasa waktu sangat berharga saat itu.
Setelah kamarnya lebih terlihat seperti kamar manusia yang selayaknya, dia mengambil handuk lalu masuk  ke dalam kamar mandi. Air dingin yang sangat segar benar-benar membawa hanyut seluruh emosinya yang sedari kemarin membeludak. Harum aroma shampoo dan sabun dari produk langganannya benar-benar membuatnya merasa kembali lagi menjadi seorang manusia yang waras juga normal, dan bukannya orang gila. Razor miliknya siap menumbangi seluruh jenggot, kumis, dan cambang yang berakar di wajahnya. Dalam waktu lima belas menit, Dilan sudah keluar dari kamar mandi dengan aroma wangi yang khas keluar dari tubuhnya. Dilan kembali.
Kaos bertuliskan “Kick Your Ass” dengan dasar warna putih telah membalut badan berkulit putihnya. Straight-jeans hitam menyusul sebagai bawahan. Dia memberikan sentuhan wax pada rambut lurusnya. Kali ini kembali lagi menjadi mowhawk. Parfum andalan disemprotkan ke tubuhnya, bagian depan dan belakang. Selesai, kata Dilan dalam hati.
Dia berjalan ke meja komputernya. Walaupun disebut dengan meja komputer, tapi yang bertengger di atasnya bukan komputer, melainkan benda persegi panjang dan mereka menyebutnya laptop. Tombol power ditekannya selama beberapa detik, sesaat kemudian keluar tampilan dan Dilan diminta untuk memasukkan password laptopnya. Sekitar dua puluh digit perpaduan antara angka dan huruf ditekannya dengan sangat cepat. Tombol ‘enter’ jadi sasarannya kemudian. Sedetik kemudian, dekstop windows muncul. Ada gambar band kesukaannya sebagai wallpaper, Bullet For My Valentine. Dilan segera menghubungkan laptopnya dengan internet. Google menjad sasaran.
Di kotak pencarian, Dilan mengetik kata “Psikosis” lalu menekan ‘enter’. Dia menuruti permintaan ayahnya untuk mencari makna psikosis di internet. Beberapa pilihan keluar beberapa detik kemudian. Pilihan paling atas segera di-klik olehnya.
Psikosis
Psikosis merupakan gangguan tilikan pribadi yang menyebabkan ketidakmampuan seseorang menilai realita dengan fantasi dirinya. Hasilnya, terdapat realita baru versi orang psikosis tersebut. Psikosis adalah suatu kumpulan gejala atau sindrom yang berhubungan gangguan psikiatri lainnya, tetapi gejala tersebut bukan merupakan gejala spesifik penyakit tersebut, seperti yang tercantum dalam kriteria diagnostik DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) maupun ICD-10 (The International Statistical Classification of Diseases) atau menggunakan kriteria diagnostik PPDGJ- III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa). Arti psikosis sebenarnya masih bersifat sempit dan bias yang berarti waham dan halusinasi, selain itu juga ditemukan gejala lain termasuk di antaranya pembicaraan dan tingkah laku yang kacau, dan gangguan daya nilai realitas yang berat. Oleh karena itu psikosis dapat pula diartikan sebagai suatu kumpulan gejala/terdapatnya gangguan fungsi mental, respon perasaan, daya nilai realitas, komunikasi dan hubungan antara individu dengan lingkungannya. Pada penderita psikosis umumnya ditemukan ciri-ciri sebagai berikut:
·         Mengalami disorganisasi proses pikiran
·         Gangguan emosional
·         Disorientasi waktu, ruang, dan person
·         Terkadang disertai juga dengan halusinasi dan delusi
            “Apa ini?? Apakah aku adalah orang yang mengalami Psikosis atau hanya baru gejala saja?? Apa ini yang menyebabkanku menjadi orang gila dan suka berhalusinasi??! Tidak! Aku tidak mungkin gila! Aku juga tidak boleh gila! Kalau aku gila, lalu yang akan membantu ibuku siapa?? Apa mungkin gadis dengan mata pisau yang selalu berkilau di depan mataku adalah Rian? Gadis yang selalu menghantuiku dengan seolah ingin melakukan percobaan pembunuhan terhadap anggota keluargaku yang lain? Dan apakah yang dihalusinasikan olehku adalah dirinya??”
“Kalau Rian bisa kutemukan lalu mati di tanganku, bayang-bayangnya tidak akan hinggap lagi di fikiranku. Satu-satunya jalan adalah, aku harus menemukannya dan menyelesaikan tugasku.”


CHAPTER 29
“Memo”

“Kakak! Kakak yang berbaju hitam! Kakak!”
Rian menoleh ke sumber suara. Seorang anak laki-laki berumur sekitar delapan tahun dengan kaos bergambar tokoh Batman dan menggenggam kicrikan juga bungkus permen bekas, memanggil-manggil dirinya dengan sebutan ‘kakak’ sambil melambai-lambaikan tangan. Rian malas untuk menghampiri anak itu. Dia hanya berdiam diri di tempatnya berdiri dan menunggu bocah itu menghampiri dirinya. Tidak lupa dengan tatapan dingin dan tajam disuguhkannya.
“Ada titipan untuk kakak,” anak itu menyerahkan selembar kertas yang digulung dan diikat di bagian tengah dengan pita berwarna hitam. Rian menerimanya. Ini tampak seperti undangan ulang tahun. Tapi, Rian bisa menjamin bahwa kertas itu bukan “undangan ulang tahun” biasa.
“Dari siapa?” tanya Rian hati-hati. Satu nama sudah di kepalanya. Pertanyaan yang diajukannya hanyalah formalitas untuk meyakinkan dirinya saja.
“Dia menyatakan dirinya sebagai ‘seorang gadis berbola mata cokelat’. Permisi, Kak,” anak itu segera berlari menjauh dari Rian.
Gadis berbola mata cokelat?
Rian yang masih merasakan sakit di seluruh tubuhnya akibat pertarungan imbang antara dirinya dan Erinda, membuka gulungan kertas itu. Apa yang tertulis di dalamnya, sebenarnya sudah bisa ditebak olehnya. Tidak diragukan lagi. Satu nama di kepalanya tersebut mendapat nilai A karena tebakannya seratus persen benar.
Tidak peduli apakah kau masih merasakan sakit yang sama dengan diriku atas gemulainya tarian pisau kita kemarin atau tidak. Etikat baik dari diriku hanyalah ingin mengundangmu malam ini. Datanglah ke lokasi kantor Fabio dulu dan kita akan berpesta. Jangan lupa pakai pakaian serba hitam, karena setelah itu kita akan mengadakan upacara pemakaman.
Jangan coba menghindar, karena kau telah menemui takdirmu. Semuanya telah terselip di setiap jarak antara jari-jari tanganku. Bawalah juga pisaumu. Kita akan menari bersama lagi. Hahaha.
Peluk dan cium sayang,
Erinda
“Belum lagi sembuh luka-luka ini dan dia sudah ingin membuat lubang baru? Buatlah lubang sendiri. Karena lubang itu akan diisi oleh busuknya dirimu lalu bara neraka siap membakarnya.”


CHAPTER 30
“Big Match”

            Lokasi kantor yang menyerupai rumah seluas 300 meter masih berdiri di tempat di mana batu pertamanya diletakkan hingga sekarang. Sayangnya, kondisi semuanya sangat menyedihkan. Di bagian pintu utama telah disegel dengan pita merah bertuliskan huruf-huruf Kanji yang Rian sendiri pun tidak tahu artinya. Papan yang ditumpuk lalu di pasang di depan setiap jendela, benar-benar menandakan bahwa rumah itu sama sekali belum dimasuki oleh orang lain lagi semenjak semuanya menjadi rumit. Terasnya penuh dengan sampah dan debu. Daun-daun kering dari pohon rambutan dan mangga bertebaran semaunya. Lampu di seluruh bagian luar rumah sudah pecah. Kabel-kabel beraliran listrik yang bergantung keluar seolah menggoda bagi para mereka yang putus asa untuk mengakhiri nyawanya di sana. Di beberapa sisi tembok terdapat tulisan-tulisan suara hati yang disemprotkan melalui cat pilok oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Gelap dan tidak terurus. Semua keadaan itu benar-benar membuat aura ‘hitam’ dari suatu benda mati menyembul keluar dan memperlihatkan kepada semua orang mengenai kesedihan di balik semua ceritanya. Hanya sekedar saran, seorang fotografer beraliran gothic pasti akan senang mengambil gambar di bekas kantor Fabio tersebut.
Rian berjalan memutar ke belakang rumah. Ada pintu lain di sana. Suasananya tidak segelap di bagian depan. Ada lampu bohlam 5watt yang dengan cahaya yang sangat redup menyinari hanya satu sisi ruangan saja. Rian yakin ada seseorang, atau bahkan lebih yang berada di balik tembok itu sedang menunggu kehadirannya. Sekali lagi, dia memang bukan seorang yang ahli dalam ilmu bela diri atau anggar. Tapi, aura dendam dan kematian yang selalu bercumbu dengannya membuat dirinya menjadi seorang yang lebih dari sekedar pembunuh berdarah dingin.
Suara decit pintu tua yang sangat nyaring menyambut kehadiran Rian saat tangannya yang dingin mendorong pintu itu hingga terbuka. Matanya segera bergerak ke segala penjuru ruangan dengan bau apek yang sangat menyiksa pernafasan itu. Masih sepi keadaan di sana. Tapi sepertinya pesta sudah hampir dimulai. Hanya tinggal menunggu si empunya pesta keluar dan semuanya akan berjalan kemudian.
Kakinya melangkah masuk ke dalam. Ruangan yang cukup besar juga kosong. Tidak ada barang apapun di sana. Pesta macam apa ini?, fikirnya. Rian masih mengawasi keadaan sekitar. Saat tubuhnya berbalik ingin menutup pintu, dinding yang sedari tadi di belakanginya ternyata sudah bertuliskan “HA = RN”. Tulisan itu ditulis dengan tinta merah seolah darah yang menambah kesan menyeramkan di dalamnya. Satu lagi adegan horor klasik rupanya
. Rian tampak berusaha mengingat-ingat sesuatu. Sepertinya, dia pernah melihat tulisan itu. Kemudian, dia mengeluarkan pisaunya dari dalam saku celananya. Dia menyamakan tulisan di dinding itu dengan tulisan yang sedari dulu berada di ujung gagang pisaunya. Mirip. Bedanya, tulisan di gagang pisaunya berukuran jauh lebih kecil dari tulisan di dinding. Tulisan di pisau itu bahkan mungkin memiliki font size sebesar 14 saja. Rian mengira selama ini tulisan di ujung gagang pisaunya itu hanyalah merek pisau atau bahkan kode produksi biasa. Tapi, mana mungkin pisau di jaman neneknya headbang karena Iron Maiden sudah memiliki kode produksi apalagi merek. Terlebih bahan dasar pisau itu adalah tulang belulang hewan purba.
“Kau lihat apa?” suara yang jelas sudah Rian kenal terdengar dari belakang tubuhnya. Rian segera membalikkan tubuhnya dan langsung bersiap untuk memulai lagi tarian pisau mereka. Sebelum Erinda memulai start, alangkah baiknya bagi Rian untuk mempersiapkan segalanya terlebih dahulu. Tapi Rian yakin, Erinda sudah jauh lebih mempersiapkan apapun dibanding dirinya.
“Bawa bekingan?” tanya Rian sinis kepada Erinda setelah melihat seseorang dengan jubah hitam yang sama dengan yang dikenakan Erinda malam itu, berjalan pelan dari arah belakang tubuh Erinda. Siapa dia?, fikir Rian. Orang itu pernah mengancurkan semuanya saat kedua pisau kembar mereka saling beradu untuk menembus tulang belulang satu sama lain dan menyemburkan racun jahanamnya.
“Paman Georgie. Erinda biasa memanggilku begitu.”
“Siapa yang menanyakan namamu, Pak Tua?” tanya Rian acuh.
“Sudah besar kau rupanya. Lihatlah aku dan ingatlah masa-masa saat kau masih kecil dan suka bermain di sini, di ruangan ini,” Paman Georgie membuka tutup kepalanya yang menyerupai tutup kepala seorang Dementor.
Hidung runcing ciri khas orang Kaukasoid yang pertama kali Rian lihat. Kemudian dahi yang menjorok ke depan dan tergolong lebar. Ukuran dahi yang lebih besar daripada orang Melayu pada umumnya. Alis yang sudah menipis dan mata hitamnya ternyata sudah bergerak menatap tubuh Rian dari bawah hingga atas saat tutup kepala itu dibuka. Dia tidak terlalu tua ternyata. Pantas saja masih disebut sebagai paman. Umurnya bahkan mungkin kisaran empat puluh delapan tahun atau lebih.
Rian menatap Paman Georgie tak kalah sinis dari sebelumnya. Mereka berdua beradu pandang walaupun hanya dari jarak yang cukup jauh. Rian menuruti kemauan Georgie untuk membuka kembali arsip-arsip lama di dalam kepalanya. Mulai dari apa saja yang pernah terjadi di ruangan yang cukup lebar ini.
Saat berumur tiga tahun, Rian pernah memainkan sepeda roda tiganya di dalam sini. Ada Hatachi yang membawa seorang anak perempuan yang seumuran dengannya dengan mainan boneka Barbie lengkap dengan rumahnya. Dari dulu, Rian ternyata memang tidak suka dengan boneka. Lalu, ayahnya dan seorang laki-laki Inggris dengan aksen bicara British yang membingungkan dengan topi bertuliskan “Yankee” berwarna merah menemplok di atas kepalanya, masuk ke dalam ruangan dan membawa snack ringan kesukaan anak-anak. Rian sendiri masih sibuk berkencan dengan sepedanya. Tangan besar menyambangi mulutnya lalu menyuapinya dengan keripik kentang rasa Barbeque itu. Rian kecil melihat wajahnya. Pria dewasa itu tersenyum ramah. Little Rian menoleh ke arah ayahnya. Tatapannya seolah berkata bahwa bolehkah dia menerima keripik kentang itu dari laki-laki Inggris di depannya. Ayahnya yang tentu sudah bisa membaca setiap garis mata dan bahkan di wajahnya pun tersenyum dan mengangguk setuju. Barulah setelah mendapat persetujuan dari ayahnya, Rian menerima suapan keripik kentang itu.
“Terima kasih keripik kentangnya, Pak Tua,” kata Rian setelah berhasil membongkar ingatannya.
“Lama sekali kau mengingatnya. Seharusnya aku memberimu rasa keju.”
“Aku tidak suka rasa yang asin. Seperti rasa keringat busuk mu, Pak.”
“Kau tidak harus menjilat keringatku.”
“Memang tidak. Kau yang akan menjilatnya sendiri.”
Rian langsung berlari dan melompat setinggi mungkin lalu sepatunya berhasil menggapai wajah Paman Georgie hingga dia jatuh tersungkur. Cepat sekali gerakannya. Bahkan, Georgie yang merupakan mantan pembunuh profesional karena bekerja sebagai salah satu dari anak buah Hatachi dalam menjalani bisnisnya, pun tidak dapat atau belum sempat membaca gerakan-gerakan liar Rian yang sudah di luar batas. Emosi telah sepenuhnya menguasai dirinya.
“Pamaan!!” jerit Erinda kencang. Dia bergerak membantu pamannya bangun.
“Kau mau main cepat, huh?” tanya Erinda.
“Untuk apa aku menunggumu dan kakek tua ini?” Rian bersiap lagi untuk melancarkan serangannya kepada Erinda.
“Jangan takabur, Rian. Takdirmu sudah ada di genggamanku. Mau bagaimana pun caramu melawanku, kau akan tetap mati dengan cara yang sama seperti apa yang telah digariskan di tembok itu!”
“Apa maksudmu?”
“Tidakkah kau heran bagaimana aku bisa tahu nomor pisau bedebahmu itu?”
“Senyum ramahmu beberapa hari lalu saja sudah membuatku heran.”
“Paman Georgie, ayo bangunlah! Gadis hebat ini membutuhkan penjelasan dari seorang sensei senior dan cryptographer handal seperti dirimu,” Erinda nampak gusar. Peluh menetes dari tubuhnya. Rian sendiri belum mau ambil aksi apapun. Dia masih penasaran dengan apa yang sebenarnya dimaksud oleh teman sekolahnya ini.
“Aku tidak punya banyak waktu.”
“Jangan banyak bicara! Sisa waktumu hanya ada di tanganku!” bantah Erinda kuat.
“Tenanglah. Putri Fabio ini akan aku beri penjelasan sejelas-jelasnya,” Paman Georgie dengan dibantu oleh Erinda, berusaha berdiri dan merapihkan kembali jubahnya yang terlipat di beberapa bagian.
“Tentu kau sudah tahu bagaimana kehebatan Hatachi Akira dalam memberikan pendidikan layaknya seorang penjahat profesional kepada kami, bukan? Ikrar kesetiaan kami sudah tidak hanya kami yakini dalam lisan saja. Kebaikan dan kemuliaan Hatachi membuat semua pekerjaan jahat ini terasa indah dan menyenangkan hati bila kami melakukannya.”
“Siapa yang menyuruhmu berbasa-basi?”
“Oke, tenanglah. Dari segala perbuatanmu yang seolah ingin mengambil lahan pekerjaan malaikat pencabut nyawa, pernahkah kau merasa heran mengapa dirimu tidak ditangkap oleh polisi?”
“Tidak.”
“Dasar anak sombong! Ingat siapa yang memberimu sepeda motor dan berhasil menembakkan kepala calon korbanmu dengan pistol? Dia adalah Erinda. Seseorang dengan jubah hitam dan suara seperti robot Transformer. Alasan mengapa kami melakukan itu padamu adalah, agar kamu bisa pergi dari kota itu dan melanjutkan hidupmu di kota ini hingga akhirnya kamu bertemu kami. Kami juga selalu berusaha membersihkan catatan kriminalmu dengan menyumpal perut-perut alat pemerintah itu dengan sekarung uang. Satu-satunya alasan mengapa kami melakukan hal itu adalah, kami ingin menunggu waktu yang tepat agar dirimu bisa mati di tangan yang tepat pula. Kami hanya berjalan sesuai dengan ramalan dari kode yang sudah tersedia saja. Semua terlihat jelas dan nyata. Apa yang telah kami lakukan sudah hampir berujung pada kemenangan di pihak kami. Menurut kami, apa salahnya berbuat baik sedikit demi kepuasan dan kemenangan di akhir cerita. Dan semua itu sudah berjalan mulus hingga detik ini, bukan? Hahaha.”
“Tawa iblismu membuatku ingin mencuci darah kalian dengan campuran kotoran ternak.”
“Darah kami telah dimuliakan bersama ikrar kesetiaan kepada Ayah Hatachi dan kemuliaannya! Jangan asal bicara, perempuan liar!” Erinda membuka omongan.
“Apa?! Ayah??”
“Ya. Aku, Erinda Roose Akira memang benar adalah anak kandung dari seorang mulia si perubah kehidupan dirimu dan keluargamu, Fichie! Dan aku adalah saudara sedarahmu, Rian! Hahaha.”
“Apa maksudmu??”
“Iya. Ibumu yang wanita jalang itu memiliki hubungan terlarang dengan Hatachi dan menghasilkan anak yaitu dirimu. Fabio mengira kau adalah anaknya, karena melihat istrinya hamil saat sudah menikah dengannya. Jadi, kau juga adalah anak Hatachi! Bahkan Hatachi sendiri tidak tahu kalau kau adalah anaknya.”
“Tidak mungkin! Dasar kau, si pembual setan! Aku tidak mungkin memiliki hubungan darah dengan seseorang yang mati-matian berusaha ingin membunuhku. Saudara macam apa dirimu, hah?”
“Paman Georgie menceritakan semuanya kepadaku. Hahaha. Dan, Hey! istri macam apa yang tega menghianati suaminya sendiri dengan memiliki hubungan gelap dengan musuh sekaligus rekan bisnis utama suaminya kalau bukan wanita jalang?”
“F#ck you!” Rian meludah di hadapan mereka berdua yang kemudian mengacungkan pisau racunnya dan bersiap ingin menusukkannya ke dalam tubuh Erinda. Amarah sudah menguasai seluruh dirinya.
“Tahan dirimu!” Paman Georgie berusaha menahan emosi Rian yang sudah ingin meletus.
“Aku bukan anak orang Jepang!!!” jerit Rian histeris. Kalau itu benar, berarti dia bukan darah daging Fabio yang selalu dibanggakannya.
“Memang itu kenyataannya! Sifat pendendam yang tinggi adalah bukan bawaan ibumu apalagi ayahmu. Itu adalah sifat Hatachi yang diturunkannya melalui darahmu. Kau harus percaya itu, Rian. Aku mengetahui semuanya!” jelas Paman Georgie.
“AARGGH!”
“Tenangkan dirimu, Nak! Bahkan kau belum mendapatkan penjelasan dari kode itu!”
“Jelaskan sekarang juga, Pak Tua. Sebelum keponakanmu ini menemui ajalnya.”
“Kode itu adalah ramalan kematian si pemegang pisaunya. Pengukir kode adalah orang Jepang terkutuk yang beralih aliran hingga menjadi pengikut sekte aliran setan. Penciptaan jenis-jenis huruf pada sebuah mesin canggih bernama komputer, bahkan peradaban pada abad 19 hingga 20 bahkan sudah bisa dibacanya. Dan untuk kami para cryptographer, ini adalah pemecahan kode yang cukup mudah. Kau hanya perlu mengubah kode ‘H’ ke dalam bentuk huruf Webdings dan yang lainnya ke dalam bentuk Wingdings. Kemudian yang kau dapatkan adalah ..” Paman Georgie menghentikan perkataannya. Dia membiarkan Erinda yang beraksi kemudian.
Erinda membuka jubahnya, lalu menunjukkan sesuatu yang membuat Rian sebagai manusia normal cukup merinding. Di balik jubahnya, telah dibuat beberapa gambar yang sederhana tapi menakutkan. Gambar-gambar itu adalah  HA= RN. Dan kesemua gambar itu tentu memiliki makna yang tidak main-main. Kalau benar gambar-gambar itu adalah takdir kematian Rian, sangat mengesankan sekali siapapun yang telah membuat kode-kode itu.
“Apa maksudnya?” Rian tidak sabar untuk menanyakan hal ini sedari tadi.
“Huruf ‘H’ ketika diubah ke dalam bentuk Webdings akan muncul gambar rumah. Dan, kau bisa lihat ini tempat apa? Rumah bukan? Hahaha,” Erinda tidak tahan untuk menunjukkan kepuasannya yang mungkin sudah tertahan sejak lama.
“Lanjutkan, anakku.”
“Baiklah. Kemudian beralih kepada huruf ‘A’. Apabila huruf itu diubah ke dalam jenis huruf Wingdings, akan muncul bentuk jari yang menunjukkan angka dua. Dan, siapakah pemain inti dari pertarungan kita malam ini, Rian? Aku dan kamu, bukan? Berarti, dapatkah kau simpulkan selanjutnya?”
“Lanjutkan!” Rian membentak Erinda yang sudah memunculkan wajah kepuasan serta senyum mengerikan dari dalam dirinya.
“Tanda sama dengan dan huruf ‘R’ bisa dibiarkan saja. Lalu, ubah huruf ‘N’ ke dalam jenis huruf Wingdings dan kau akan dapatkan gambar ini, tengkorak! Hahaha! Dan itu semua artinya adalah, di dalam sebuah rumah akan ada pertarungan dua orang yang menghasilkan kematian seseorang yang diawali dengan huruf R! Dan itu tepat sekali, karena si empunya pisau adalah seorang gadis yatim piatu dengan nama Rianti Ananda Fichie. Hahaha! Aku sudah lama menunggu saat-saat ini, Rian! Saat di mana aku bisa lihat semua ketakutan itu nampak jelas di dalam matamu, saat di mana aku bisa lihat orang yang paling banyak temannya di sekolah menjadi seorang yang sendirian tanpa kawan, orang yang memiliki suara indah dan selalu membuatku iri, bahkan saat kau bermain dengan sepeda roda tiga barumu itu! Ini adalah waktu yang tepat, Rian! Waktu yang tepat! Karena apapun percobaan perlakuan darimu, kau tetap akan mati dengan cara yang sama! Hahaha. Katakan padaku, apa pesan terakhirmu!”
“Kau yang akan menjilat leleran darahmu sendiri, Roose.”
“Terserah.”
Kembali, pertarungan antara kedua gadis yang masing-masing berpegang sebilah pisau racun penuh misteri beradu dengan ketegangan level siaga. Bukan pertarungan biasa, melainkan pertarungan sedarah. Pertarungan kali ini jelas lebih panas dari yang sebelumnya, karena masing-masing saling ingin membuktikan kebenaran. Erinda yang mungkin dilahirkan di dukun dan ASI pertamanya merupakan hasil dari pengolahan ajaib ramuan kembang tujuh rupa, sangat percaya akan ramalan benda purbakala beracun itu. Sekuat tenaga dia ingin membuktikan kepada Rian bahwa ramalan itu adalah benar. Sedangkan Rian sendiri, ingin membuktikan pesan terakhirnya tadi bahwa Erinda Roose benar-benar akan menjilat leleran darahnya sendiri. Dia ingin mengubur hidup-hidup semua visi dan rencana keberhasilannya tepat di depan mata Erinda sendiri. Dia tidak mau melewatkan sedikit saja kesempatan atau celah untuk menembus pertahanan Erinda yang semakin kuat.
Paman Georgie sama sekali tidak membantu kemenakannya. Dia hanya duduk bersila dari kejauhan tetapi tetap dalam ruangan yang sama, dengan tangan berada di atas pahanya seperti orang bertapa. Matanya terpejam. Sepertinya dia berusaha ingin mengoneksikan alam bawah sadarnya dengan tenaga Erinda yang sudah jatuh bangun. Bantuan magis mungkin.
“AAAARGGH!” Rian menjerit kesakitan saat dirinya terdorong ke belakang hingga menabrak tembok ketika merasakan ulu hatinya ditendang oleh kaki kiri Erinda yang menggunakan sepatu berhak tinggi dengan warna merah menyalanya.
Dendam yang sama yang dirasakan Erinda, membuat dirinya berhasil dikendalikan oleh prajurit setan. Rian tidak tahu berapa lama Erinda mempersiapkan ini semua. Yang jelas, semua persiapannya benar-benar matang. Hanya berselang waktu satu hari, Erinda berhasil menyembuhkan luka-luka hasil pertarungan pertamanya dengan Rian, serta berhasil menguasai ilmu-ilmu bela diri yang baru hingga membuat Rian kewalahan. Darah yang keluar dari kepala dan hidung Erinda cukup banyak, tapi tetap kalah banyak dengan darah segar milik Rian. Wajahnya sudah babak belur seperti habis menjadi korban kecelakaan beruntun. Secercah bayangan hitam kematian sempat singgah di bayang-bayang kepala Rian saat serangan Erinda tidak dapat dikembalikan dengan baik olehnya. Dia berusaha menyangkalnya sekuat tenaga, tetapi tetap tidak bisa. Bahkan kepercayaannya akan ramalan pada pisau itu sedikit naik level dari sebelumnya.
“Kau cantik, Rian. Tapi aku lah yang paling cantik. Kau hebat, Rian. Tapi aku tetap yang paling hebat. Lihat dirimu sekarang, kau baru saja kehilangan kecantikanmu. Darah segar itu menyapu semuanya, Rian.”
“Aku t-tidak a-kk-akan memb-bbiarkan apapun terjadi p-ppadaku!” kata Rian di tengah-tengah saat sekaratnya.
“Bagaimana mungkin? Haha. Begini saja, aku berikanmu dua penawaran. Penawaran pertama adalah kau akan aku beri kesempatan lebih lama untuk merasakan aroma dunia, tetapi sambil merasakan racun pisaumu sendiri mengalir di dalam darahmu. Kita bisa sambil berbincang-bincang, kawan. Hahaha,” tawanya disertai dengan injakan yang keras pada tangan kiri Rian yang sudah lunglai.
“AAARGH!” raung Rian yang sangat keras. Darah sudah mengalir deras di beberapa bagian tubuhnya yang sudah terluka.
“Yang kedua adalah ikuti takdirmu dan kau akan mati dengan cara yang cepat dan lebih mudah. Selesai, kan?”
“Riaan! Sudahi dulu main sepedanya. Ajak Mercy kemari sekalian. Lihat apa yang Ayah punya, Nak,” Fabio memanggil kedua putrinya.
“Mercy, kata Ayah kita harus kesana. Sepedanya ditinggal di sini saja. Nanti aku yang ambil.”
“Oke, Kak,” Mercy tersenyum. Giginya yang ompong karena terlalu banyak makan coklat dan permen terlihat dengan jelas.
Mereka berdua berjalan bertuntunan satu sama lain. Anak-anak berumur lima dan tiga tahun itu sangat terlihat bahagia. Tidak ada sedikitpun nampak raut kekhawatiran di setiap garis wajahnya. Di depan mereka, seorang ayah bernama Fabio sudah menunggu kehadiran dua bidadarinya dengan senyum lebar, melebihi senyum seorang tukang es krim yang meraih kepuasan karena baru saja selesai memberikan es krim vanilla cokelat kepada pelanggannya.
“Ayah, memang apa yang ayah punya?” tanya Rian penasaran.
“Coba kalian lihat ini,” Fabio berjongkok. Di depan kedua kakinya, ada sesuatu yang berbentuk persegi panjang berwarna coklat di atas tanah. Panjangnya tidak lebih dari satu meter saja. Tingginya hanya sekitar enam centimeter. Bentuknya sedikit bertingkat. Ada lubang berbentuk persegi di bagian depan. Di dalam lubang itu ada kait besi yang mungkin akan digunakan sebagai pegangan.
“Apa itu, Yah?” tanya Mercy.
“Pertanyaan yang bagus, Mercy. Sekarang, kalian harus memekai seperti yang ayah kenakan. Pakai mantel, sarung tangan, dan topi ini dulu sebelum mengetahuinya,” Rian dan adiknya menuruti perintah ayahnya yang memberikan mereka seperangkat baju dingin. Berbagai pertanyaan mungkin sudah berhasil dikumpulkan di kepala mereka.
“Sudah, Yah.”
“Sekarang, berhitung satu sampai tiga dan kalian akan segera mengetahuinya. Dan ayah minta, Rian yang memimpin.”
“Sampai tiga, Yah?” tanya Rian.
“Iya, sayang.”
“Tapi aku sudah bisa berhitung sampai seratus,” wajah Rian terlihat kecewa. Fabio hanya tersenyum hangat, lalu memegang kedua pipi merah anak sulungnya itu.
“Maafkan ayah, Rian. Tapi, kamu tidak keberatan kan kalau ayah minta kamu berhitung sampai tiga saja? Kasihan, Mercy sudah benar-benar penasaran,” Fabio memberi pengertian.
“Baiklah,” Rian tersenyum manis.
“Oke, aku akan mulai berhitung. Satu-dua-tiga ..”
Fabio meraih kait besi yang ada pada benda itu dan mendorongnya keatas. Terbuka. Rupanya, benda itu adalah pintu rahasia ke bawah tanah. Decak kagum segera bergaung dari mulut Rian dan Mercy. Mereka tidak menyangka, ternyata di halaman belakang rumahnya ada sebuah pintu rahasia seperti dalam film yang sering mereka tonton.
“Pintunya kereeeeen! Pinjam dari Doraemon ya, Yah?” tanya polos keluar dari mulut Rian.
“Bisa dibilang begitu,” Fabio tersenyum.
“Nah, sekarang yang paling kecil masuk duluan. Kemudian disusul dengan Rian dan ayah di paling belakang. Rian dan Ayah harus menjaga Mercy dari belakang. Dan Ayah menjaga kalian berdua. Ayo, lakukan.”
Dengan raut wajah bersemangat, Mercy melangkahkan kakinya pelan-pelan masuk ke dalam pintu itu. Kaki kecilnya menuruni satu per satu anak tangga untuk menuju ke bawah. Di hadapan mereka, ada tembok panjang yang menjulur ke bawah. Tembok itu dilapisi sesuatu yang berwarna coklat. Sepertinya peran tembok itu adalah untuk menyembunyikan apa yang ada di hadapan para pendatangnya. Rian melongoh ke bawah anak tangga. Tembok itu akan berakhir pada anak tangga ke empat dari bawah. Dan benar saja, suhu dingin segera mencuat keluar menyambut kehadiran mereka. Sebuah termometer di dinding di samping tangga menunjukkan angka 5̊ C. Suhu yang sangat pas untuk membekukan sebuah ...
“COKLAT!!” Mercy dan Rian berteriak bersamaan ketika sudah selesai berhadapan dengan tembok aneh dan di hadapan mereka kini ada lemari besar penuh coklat. Bahkan sepertinya lemari itu juga terbuat dari coklat yang sangat menggugah selera.
Keduanya segera berlari menghampiri lemari yang sudah terbuka lebar itu. Aroma coklat dari berbagai rasa dan jenis coklat bisa mereka nikmati. Rian dan Mercy bahkan bingung harus memulai dari mana. Semua ruangan berisi coklat. Ruang bawah tanah yang disulap menjadi surga coklat untuk kedua bidadari Fabio. Rian dan Mercy juga bahkan baru mengetahui kalau benda yang mereka kira tembok pada awalnya ternyata merupakan lemari coklat juga. Luar biasa.
“Aku ketemu es krim coklat!!”
“Di mana, Kak??”
“Di sini! Ayo, kemari!”
Tanpa aba-aba dari sang ayah, anak-anak tanpa dosa itu segera berlarian di dalam lemari es super besar itu. Mereka menjelajah segala sudut demi bisa menemukan apa yang mereka inginkan. Fabio tersenyum puas melihat kegembiraan anak-anaknya itu.
“Kalian lihat keranjang besar yang di sana?” Fabio menunjuk ke arah tumpukan keranjang berwarna fuchsia yang sangat manis, seperti selai arbei yang dicampur dengan buah pumpkin. Luar biasa menggoda warnanya. Anak-anak Fabio mengangguk paham.
“Masing-masing ambil satu keranjang. Lalu, isi keranjang kalian dengan coklat sebanyak yang kalian inginkan lalu bawa naik ke atas. Kita bisa makan bersama di taman. Ayah ingin merasakan hangat sinar matahari sore ini. Lagipula, berlama-lama di sini tidak baik. Nanti kalian bisa terkena hipotermia, loh. Terlebih kalau kalian melepas pakaian dingin kalian.”
“Apa itu hipotermia, yah?” tanya Rian.
“Nanti ayah jelaskan di atas. Ayo, ambil coklatnya, kawan-kawan! Mercy, keranjang khusus untukmu ada di sana.”
“Kok lebih kecil, Yah?” Mercy dengan wajah murungnya.
“Mau gigimu habis, anak cantik?”
“Ah, baiklah.”
“Coklat ..” kata Rian dengan suara yang sangat pelan dan lemah. Dia membuka matanya yang sembab. Ternyata dia baru saja bermimpi. Dia fikir, dia telah keluar dari kubangan yang rumit ini tapi ternyata belum. Erinda masih dengan gagah di depannya, menunggu Rian terbangun dari pingsan sesaatnya sambil memegang kamera digital. Gadis itu mungkin sudah kehilangan kewarasannya. Gambar-gambar Rian yang sudah hampir mendekati titik akhirnya diabadikan di dalam kamera hingga Rian terbangun.
“Apa katamu? Coklat? Kau mau coklat? Rasakan nanti kalau kau sudah di surga!” tanpa aba-aba tangan kanan Erinda yang masih menggengam pisaunya dengan sangat kuat dengan urat-urat tangan yang kembali timbul keluar, mengacungkannya tinggi-tinggi dan siap di daratkan pada perut Rian yang sudah terkapar.
“AGH!” Erinda menjerit. terdengar dua kali letusan tembakan. Darah segar mengalir deras dari dalam kepala Erinda dan perutnya. Dari bayang-bayang kabur yang diperoleh Rian, dia mendapatkan Erinda dengan mata terbuka dan mulut sedikit menganga terjatuh dan terkapar di atas lantai. Pisaunya terjatuh, dan tidak sengaja menggores lengannya. Hanya berselang beberapa detik saja dari sumber goresan, pisau yang sudah diasah itu membuat luka goresan menjadi bukan hanya sekedar luka biasa, melainkan mengeluarkan nanah serta darah yang biasa Rian lihat sehabis menyayat kulit korbannya.
“HAH?! Siapa kamu?? Lancang sekali membunuh kemenakanku dan mengacaukan semua takdir ini!!” saut Paman Georgie yang kaget bukan main saat melihat Erinda sudah tidak bernyawa lagi.
“Aku Dilan. Pembunuh yang sudah hampir mati itu biar saja mati di tanganku. Tangan anak dari seorang ayah yang telah dibunuhnya, tangan dari seorang kekasihku dan sahabatnya. Biarkan dia merasakan perihnya kematian secara perlahan, Pak.”
“Apa?? Tidak! Ini tidak mungkin!! Takdir yang telah diukirkan di sini tidak mungkin salah!”
“Kau lahir di dukun ya, Pak Tua? Wajahmu Kaukasoid, tapi fikiranmu primitif!” tandas Dilan.
“Diam kau!! Aku tidak mengenalmu!” bentak Paman Georgie pada Dilan.
Terseok-seok, Paman Georgie menghampiri tubuh kaku kemenakannya. Dia tidak menyangka kalau ilmu yang sudah diberikan kepada kemenakannya hanya akan berakhir sampai di sini saja. Kemenangan bukan berada di tangan mereka sekarang.
“Ini tidak mungkin. Pasti ada kesalahan di sini. Aku pasti salah membaca kodenya! Aku berdosa..”
Rian merayap perlahan mendekati tubuh Erinda. Tangannya bergerak menutup mata Erinda yang masih terbuka. Matanya yang sudah memar menatap wajah tak bernyawa itu lagi. Dia, saudara sedarah Rian. Dia yang berjuang ingin menghabisi nyawanya. Erinda dan Rian adalah saudara sedarah. Gadis dengan boneka Barbie yang sering main ke rumahnya dulu. Gadis yang selalu berada di pangkuan Hatachi, anak kesayangan Hatachi. Gadis yang membelikannya kaos Pantera yang menawan. Rian juga sama sekali tidak menyangka kalau mendiang ibunya tega menghianati cinta Fabio demi seorang Jepang seperti Hatachi.
Dia masih bisa mengingat bagaimana pertama kali mereka bertemu saat Rian belum tahu kalau Erinda adalah anak biologis dari Hatachi, musuh dalam selimut ayahnya. Saat itu, mereka bertemu dalam satu kelompok MOS pada saat masuk sekolah. Mereka berdua, bersama empat orang anak lain merupakan anak baru yang masuk ke sekolah itu pada tahun ajaran baru. Rian pindah dari sekolah lamanya karena menang berantem dengan teman sekelasnya yang merupakan musuh dari Nadia, sahabatnya. Dan alasan lain mengapa Rian ingin pindah satu sekolah dengan Nadia adalah karena dia ingin menjaga sahabatnya itu. Ada Dilan juga di sana. Setidaknya, itu bisa meringankan bebannya.
Dari awal Rian melihatnya, Erinda memang memiliki senyum paling ramah sedunia setelah ibunya. Dia bahkan bisa menyembunyikan segalanya di balik hangat senyumnya dan binar matanya yang bersahabat, bahkan dendam sekalipun. Erinda selalu ramah terhadap siapa saja. Petugas sekolah, ibu dan bapak kantin, teman sekelas, tukang kebun, satpam, guru, pedagang siomay, pedagang bakso dan mi ayam, penjual mainan anak-anak, semuanya. Rian sama sekali tidak menyangka kalau sifat jahat dan munfaik ayahnya –yang ternyata juga ayah biologis dirinya–, sepenuhnya bisa diturunkan kepada dirinya. Dan dia yang baru saja meninggal, bahkan ketika Rian baru saja mengetahui kalau orang yang sedarah dengannya ternyata masih tersisa. Dia sempat membayangkan kalau rasa dendam itu tidak hadir –saat para iblis belum sempat menyambangi jiwa muda mereka– mereka berdua pasti bisa menjadi saudara sedarah yang mengasyikkan. Mereka muda, cantik, cerdas, dan tangguh. Tidak akan ada adu pisau ataupun kode-kode bodoh. Satu lagi kenyataan yang menyakitkan.
Rian memegang tangannya yang lunglai karena diinjak Erinda. Dia berusaha bertahan meskipun sakit. Dilan bilang, dia akan membunuhnya. Rian tidak mungkin melawan sahabatnya sendiri, terlebih dengan kondisinya yang seperti ini. Apalagi Dilan memiliki pistol. Ini bukan saat yang tepat.
Dilan yang masih berkeringat dan tangannya bergetar karena baru kali pertama membunuh seorang makhluk hidup yang dikenalnya hanya sebatas teman sekolah saja. Dia masih terpaku melihat besi panas itu berhasil menembus kepala dan perut Erinda. Tekatnya yang kuat perlahan mulai terkikir oleh rasa takut yang menggembung di dalam dirinya. Emosi untuk kembali melakukan pembunuhan mulai berkurang. Dia merasa, dia tidak dilahirkan untuk mengambil jatah pekerjaan malaikat maut. Semua berlangsung di luar rencana. Kematian ayahnya dan Nadia adalah suatu hal yang tidak diduga. Penyakit yang dideritanya juga bukan merupakan keinginan semata. Dia menarik nafas panjang, berusaha mengontrol emosi dan detak jantungnya yang memburu. Rian mengambil kesempatan itu untuk bangun dan berjalan perlahan untuk melarikan diri.
Anehnya, Paman Georgie tidak terlihat terlalu sedih atas kematian kemenakannya. Tarikan nafas panjangnya, seolah menandakan ada rasa lega atas apa yang baru saja dilepasnya. Lega atas apa? Kematian Erinda? Yang benar saja?!


CHAPTER 31
“Gasper”

            Entah sudah pukul berapa malam itu. Yang jelas, pasti sudah lewat tengah malam. Berarti ini sudah pagi. Angin malam menjelang pagi bukan angin biasa. Rasanya sangat tajam menusuk kulit hingga ke tulang siapapun yang ditemuinya. Ini adalah waktu kekuasaan mereka, di mana saat setiap insan sedang beradu dengan kasur mereka yang empuk, bagi mereka yang alim tentu rajin melaksanakan ibadah malamnya, bagi para pekerja kantor mungkin masih berkutat dengan laptop dan kertas-kertas di atas mejanya, atau pekerja malam yang tidak mau kalah menguasai waktu malam.
Malam ..
Lalu, bagaimana dengan nasib pembunuh yang sudah hampir dibunuh dan sedang mengalami masa sekaratnya? Ya, Rian. Dia berjalan perlahan, berusaha lari dari Dilan. Kakinya terseok-seok di atas kerasnya aspal yang sudah tidak lagi panas. Lapar sudah tidak dapat lagi dirasakannya. Hanya rasa haus yang luar biasa yang terasa di tenggorokannya. Dia bahkan sempat menjilat air matanya sendiri saat mengalir melewati bibirnya.
Air mata itu mengalir melewati darah yang sudah mengering di atas kulit mulus pipinya. Tidak tahu apa yang ditangisinya. Mungkin masalah nasib dan takdir. Hatinya terasa benar-benar teriris melihat kematian Erinda tepat di hadapannya, kematian orang yang hampir menghabisi nyawanya. Ini tidak lazim. Disaat dia baru saja mengetahui bahwa ternyata masih ada di dunia ini keluarga yang bisa dijadikan tempatnya untuk berbagi, dan di saat itu pula sang keluarga yang tersisa mati-matian ingin membunuhnya.
Bagaimana mungkin seseorang berhati besi bisa meleleh seperti coklat saat melihat orang yang ingin menarik paksa nyawanya mati di tempat?
Rian bersenandung. Bibir mungilnya tidak lagi bisa bernyanyi. Bibir mungilnya sudah terluka dan darah kering menghiasinya. Rian bersenandung lagu masa kecilnya. Sebuah lagu klasik milik Johnny Mercer dan Henry Mancini di tahun 1961 berjudul Moon River yang banyak diaransemen ulang. Salah satu yang difavoritkannya adalah Moon River versi Danni Carlos. Sangat jazzy menurutnya. Ibunya suka menyanyikan lagu ini kepadanya saat menggendongnya dulu. Atau saat Rian sakit dan badannya sedikit panas. Hangat sekali rasanya. Kali ini, dia berusaha menghibur dirinya sendiri, melawan arah arus angin malam pergi menuju tempat yang tadi dimimpikannya. Berusha menghangatkan tubuhnya sendiri walaupun dia sendiri tidak sepenuhnya yakin.

Moon River ...
Moon river wider than a mile
I'm crossing you in style someday
You dream maker, you heartbreaker
Wherever you're going I'm going your way

Two drifters off to see the world
There's such a lot of world to see
We're after the same rainbow's end
Waiting 'round the bend
My huckleberry friend, moon river and me

(Moon river, wider than a mile)
(I'm crossin' you in style some day)
Oh dream maker, you heart breaker
Whereever you're going, I'm going your way

Two drifters off to see the world
There's such a lot of world to see
We're after the same rainbow's end,
Waiting 'round the bend
My huckleberry friend, moon river, and me

(Moon river, moon river)
Taman yang masih lumayan terurus –tidak sepenuhnya terurus karena ada beberapa bagian yang tidak terurus di sana– di hadapan Rian sekarang. Kakinya ternyata masih bisa diajak berkompromi untuk menapak hingga ke sana. Lokasi taman itu memang tidak jauh dari bekas kantor Fabio. Taman itu adalah milik keluarga Fichie. Taman yang di sekelilingnya tertancap berbagai macam jenis palm, lalu beberapa pohon besar dengan anggrek yang hinggap di dekatnya. Rumput Australia menjadi alas kaki bagi setiap pengunjungnya. Ada lampu-lampu taman di sekitarnya, walau ada beberapa yang sudah pecah. Kondisi taman sudah tidak secantik dulu. Daun-daun kering tidak kalah banyak dengan dedaunan kering di atas teras bekas kantor Fabio tadi. Walaupun milik pribadi, tapi taman itu di khususkan untuk umum juga.
Di ujung taman terdapat rumah kecil berukuran sekitar 5 x 7 meter. Rumah itu adalah milik salah satu karyawan Fabio yang sengaja dipekerjakan untuk mengurusi taman keluarganya. Seingat Rian, ada sebuah keluarga kecil di dalamnya. Seorang ayah yang berumur lebih kurang 48 tahun’an dan ibu yang lima tahun lebih muda dari suaminya, juga sepasang anak kembar laki-laki dan perempuan yang masih bersekolah dasar. Rian tidak yakin apakah sepeninggal Fabio, seluruh keluarga itu masih mengabdi di sini dan tinggal di rumah itu walaupun tidak ada yang menggaji. Tapi, ada keinginan lain yang tertidur di dalam tengkorak kepalanya yang membuat dia ingin berada di tempat itu.
“Permisi,” suara Rian yang sudah parau mengiringi setiap ketukan pintu.
“Permisi,” kata-kata yang sama diucapkannya beberapa kali. Ini sama saja membangunkan orang di malam hari.
“Siapa, ya?” tanya seorang perempuan dari dalam rumah dengan suara yang sedikit berat. Baru bangun tidur mungkin. Rian tidak menjawab pertanyaan wanita itu. Dia bisa merasakan langkah kaki perempuan itu mendekat pintu.
“Tunggu sebentar,” tangannya mulai menggapai gagang pintu, membuka kunci, lalu membuka pintunya.
Wanita berbaju daster dengan motif batik berwarna biru itu menatap tamu tak diundangnya beberapa kali. Sesekali dia mengucek matanya, demi meyakinkan apakah benar orang yang dia lihat ini.
“Ibu Darti ..”
“Mbak Rian?? Benarkah ini Mbak Rian??” tanya ibu Darti keheranan. Ternyata dengan wajah babak belurnya, kecantikan Rian masih bisa dikenali orang. Lagi-lagi Rian tidak menjawab pertanyaan Ibu Darti.
“Pak! Bapak! Lihat ini, ada Mbak Rian datang! Tolong bantu dia masuk, Pak! Kasihan dia kedinginan di luar!” jerit Ibu Darti dengan aksen Jawanya.
“Siapa, Bu? Mbak Rian??”
“Iya, Pak! Ayo kemari, bantu ibu!”
Langkah Pak Sudarman yang akrab dipanggil dengan Pak Darman bisa terdengar dari luar. Langkahnya menandakan bahwa dia sedang terburu-buru.
“Gusti Allah! Mbak Rian?? Kenapa keadaan Mbak seperti ini? Ayo, bapak bantu masuk. Ibu, tolong masak air hangat untuk bersihkan luka-luka Mbak Rian!” perintah Pak Darman kepada istrinya.
“Tidak usah, Pak. Saya hanya ingin minta kunci lemari saja. Kuncinya ada di bapak, kan?” tanya Rian dengan suaranya yang kian melemas.
“Ada, Mbak. Bapak masih menyimpan dan menjaga kunci itu dari orang-orang Hatachi. Kami mencari Mbak Rian selama ini. Kami tau ini semua sangat berat untuk Mbak Rian menjalaninya sendirian. Kami ingin ..”
“Saya sedang dikejar-kejar dengan orang yang ternyata ingin membunuh saya. Mana kuncinya, Pak?” Rian memotong omongan Pak Darman.
“Hah? Membunuh Mbak?? Maksudnya? Memang Mbak Rian salah apa??”
“Cerita yang panjang, Pak. Mana kuncinya?”
“Mbak Rian ndak mau masuk dulu? Pasti Mbak Rian lapar, kan? Kita bisa makan di dalam. Alhamdulillah, Bapak sudah dapat pekerjaan baru, Mbak. Kami akan sangat senang apabila Mbak Rian mau masuk dan mencicipi hasil tetesan keringat Bapak,” Ibu Darti memberikan penawaran yang sangat dibutuhkan oleh Rian sebenarnya.
“Benar sekali, Mbak. Kita juga bisa mengobati luka-luka Mbak Rian dulu,” lanjut Pak Darman.
“Saya hanya butuh kuncinya, Pak. Saya tidak mau merepotkan keluarga Bapak.”
“Uhh, baiklah kalau Mbak Rian memaksa. Mbak Rian bisa menunggu di dalam sambil Bapak ambilkan kuncinya.”
“Tidak, terima kasih.”
Pak Darman dan Ibu Darti saling melirik penuh arti. Mereka benar-benar ingin membawa Rian masuk ke dalam, memberinya makan, mengobat luka-lukanya, memberinya pakaian yang lebih layak, dan hal-hal positif lain yang dijamin Rian pasti membutuhkannya. Mereka ingin dalam seumur hidup mereka, membalas jasa anak dari seorang kepala keluarga yang bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga Pak Darman sepenuhnya sebelum kepala keluarga hebat itu diambil nyawanya oleh Tuhan.
“Baiklah kalau begitu. Tunggu sebentar, ya Mbak,”
Rian menyandarkan tubuhnya yang semakin kurus pada dinding rumah Pak Darman. Matanya terpejam, mungkin sudah tidak kuat menahan angin malam yang menghempas dirinya yang sekarat, atau mungkin tidak mau melihat taman indah di hadapannya karena takut kembali mengingat saat-saat dia dan Mercy bermain di sana. Kembali, air mata itu mengalir. Perlahan-lahan dan semakin deras. Terlalu deras hingga dia bisa mendengar suara isak tangisnya sendiri. Ini lemah. Rian tidak suka kata-kata itu. Menangis hanya untuk orang lemah. Tidur pun begitu menurutnya. Rian membuka matanya. Tangannya yang masih kuat digunakan untuk menghapus air matanya itu, karena semakin banyak dia menangis, semakin perih luka yang akan dirasakannya. Dan ini semua sudah cukup baginya. Pembalasan dendam yang berujung pada kesengsaraan.
Ya. Ketika pembalasan dendam ambil bagian dalam permainan kehidupan ..
“Mbak Rian kenapa menangis?” suara seorang anak kecil tidak berdosa menyapanya dari balik pintu. Mungkin dia anak Pak Darman yang terbangun dari tidurnya. Rian tidak menjawab pertanyaan bocah itu. Dia hanya tersenyum simpul. Dia tidak yakin apakah anak kecil itu bisa melihat senyumnya yang dingin atau tidak, setelah semua luka itu menempel di wajahnya dan penerangan pada teras yang kurang memadai.
“Senyum milik Mbak Rian memang senyum paling manis yang pernah Nanda lihat,” kata anak itu polos.
Nanda adalah anak kembar perempuan milik pasangan Pak Darman dan Ibu Darti. Nanda memiliki adik laki-laki yang lahir pada saat yang bersamaan dengannya, namanya Nathan. Dari dulu, Rian selalu tahu kalau mereka adalah anak-anak yang selalu bahagia. Walaupun dengan kehidupan keluarga yang sederhana, Nanda dan Nathan tidak pernah melupakan untuk memberi hiburan, atau hanya sekedar senyuman untuk orang-orang di sekelilingnya. Bahkan saat Nathan baru berumur 2 tahun, dengan lafal bicaranya yang masih terbata-bata, dia sudah bisa berkata “Tersenyumlah, Kak. Senyum simpul saja sudah cukup, kok. Memangnya berat bersedekah untuk diri sendiri?” ketika Mercy mendapat nilai buruk pada Bahasa Jepang. Didikan dan keadaan sejak kecil, membuat mereka menjadi anak-anak kecil yang dewasa. Bukan berarti dewasa belum waktunya atau bahkan tidak bisa menghabisi masa kanak-kanak seperti anak lazimnya. Tapi, itu lebih baik daripada sudah dewasa tapi masih berfikiran kekanak-kanakan, bukan?
Rian tidak bisa menutupi rasa senangnya dipuji oleh seorang gadis kecil berumur enam tahun yang seperti sudah lama sekali tidak dijumpainya. Nanda benar-benar mengingatkan Rian pada Mercy, walaupun umur keduanya jauh berbeda. Tidak ada yang bisa menolak kehadiran rasa cinta, rindu, kagum, sedih, bosan, senang, bingung, gelisah, curiga, dan khawatir di dalam diri setiap insan-Nya. Dan kali ini, rasa cinta, rindu, dan kagum berpadu jadi satu di dalam diri Rian kepada seorang anak kecil di depannya. Rian sama sekali bukan tipe gadis yang gila dan mudah terlena akan pujian. Tetapi, ucapan polos dari seorang anak kecil yang jarang sekali berbohong adalah keindahan tersendiri untuk dirinya. Rian tersenyum lagi. Mungkin lebih lebar dari sebelumnya.
“Kok, kamu sudah bangun?” tanya Rian.
“Nanda terbangun karena mendengar isak tangis Mbak Rian. Hehe.”
“Ya, ampun. Maafkan Mbak, ya. Nanti Mbak kasih kamu coklat. Mau?”
“Mau! Mau! Terima kasih, Mbak Rian!” seru Nanda. Dia tidak terlihat seperti anak yang baru bangun tidur. Hebat.
“Nanda, kok sudah bangun toh, nduk?” tanya Ibu Darti pada Nanda saat kembali dari dalam rumahnya, dan melihat Nanda sudah berdiri di depan pintu dan terlihat begitu senang.
“Nanda mau temani Mbak Rian di luar, Bu,” kata Nanda sambil bergerak memeluk pinggang ibunya.
“Wooh, temani? Wong kamu besok sekolah, toh. Kalau bangun malam-malam, besok pagi nanti telat. Yo wis, kamu masuk lagi ke dalam sana, lalu tidur. Nanti Ibu menyusul,” suruh Ibu Darti sambil mengelus-elus rambut ikal anaknya. Nanda masih tidak bergerak. Dia semakin aleman pada ibunya. Matanya melirik ke arah Rian penuh arti. Rian mengerti maksud itu.
“Nanda, kamu tidur aja dulu. Nanti, Mbak titip coklatnya dengan Ibu. Sekalian juga coklat untuk Nathan. Gimana?” kata Rian memberikan sebuah penawaran yang sepertinya sudah ditunggu oleh Nanda.
“Hehe. Terima kasih, Mbak. Yasudah, aku masuk dulu. Selamat malam, Mbak Rian.”
“Selamat Pagi,” jawab Rian membenarkan.
Jelas saja ini sudah pagi. Pukul satu pagi. Jawaban Rian nampak membingungkan untuk Nanda. Ilmu yang dimilikinya belum sampai pada titik di mana pengetahuan mengenai kapan waktu pagi dan kapan waktu malam. Yang diketahuinya hanyalah, apabila gelap dan ada bulan juga bintang berarti malam. Sedangkan, jika terang dan ada matahari itu pagi atau siang. Lucu memang. Tapi itulah jalan fikir seorang bocah polos. Nanda sendiri hanya menampakkan wajah kebingungannya tanpa bertanya apapun. Mungkin rasa kantuk yang memenangkan kebingungan itu sudah kembali menyerangnya.
“Hehe. Maaf, si Nanda merepotkan Mbak-nya,” kata Ibu Darti meminta maaf.
“Tidak apa-apa, Bu. Boleh saya minta kuncinya sekarang?” pinta Rian lagi.
“Ini, sekalian baju dinginnya. Semoga masih muat di badan Mbak,” kata Ibu Darti sambil memberikan satu kotak yang lumayan besar yang berisi baju dingin miliknya.
“Bawa masuk kembali baju dinginnya, Bu. Saya mau kuncinya saja.”
“Tapi, Mbak ..”
“Ini kuncinya, Bu? Terima kasih. Sekarang Ibu bisa ikut saya ke lemari. Ada yang mau saya titipkan untuk Nanda dan Nathan.”
“Aduh, Mbaknya ndak usah repot-repot. Nanda sama Nathan memang begitu. Suka latah kalau mau sesuatu. Nanti juga ndak dimakan dengan mereka, Mbak. Mubazir.”
“Tapi saya sudah janji dengan mereka, Bu. Ayo, Ibu ikut saya,” Rian menggapai tangan Ibu Darti. Ibu Darti sempat langsung terhentak kaget karena merasa tangan Rian sudah dingin sekali, seperti tangan mayat. Tapi, rasa takut Ibu Darti mengalahkan rasa ingin tahunya untuk menanyakan itu pada Rian.
“Tunggu sebentar, Mbak. Ibu fikir ndak mau diajak. Di luar dingin sekali. Ibu mau ambil sweater dulu di dalam. Maaf membuat Mbak Rian menunggu lagi, ya. Hehe.”
Keluarga baik ini terlalu baik untuk Rian bunuh. Kalau saja mereka warga sipil biasa yang telah membuat Rian menunuggu berulang-ulang, jangan tunggu sampai lima menit, pisau Rian pasti sudah menyayat tubuhnya. Tapi kali ini lain. Mungkin karena faktor kondisi Rian yang sedang tidak memungkinkan dan keluarga ini sudah menjadi seperti keluarga sendiri bagi keluarga Rian, hal itu dikurungnya rapat-rapat.
Kurang dari tiga menit, Ibu Darti kembali. Dia sudah mengenakan sweaternya. Sebuah sweater yang terlihat sangat hangat terbuat dari benang woll berwarna coklat. Setelah melihat istri dari Pak Darman itu kembali, Rian juga kembali menggapai tangan Ibu Darti, ingin menuntunnya. Dan kembali lagi Ibu Darti tersentak kaget karena dinginnya tangan Rian yang semakin dingin.
Mereka berdua berjalan lebih kurang lima meter dari rumah keluarga Pak Darman. Menggunakan mata dengan insting pembunuhnya, Rian sudah bisa melihat sesuatu yang berbentuk persegi panjang berwarna coklat di atas tanah. Panjangnya tidak lebih dari satu meter saja. Bentuknya sedikit bertingkat dengan tinggi sekitar 6cm saja. Ada lubang berbentuk persegi di bagian depan. Di dalam lubang itu ada kait besi yang mungkin akan digunakan sebagai pegangan. Beberapa jam lalu, Rian berhasil memperoleh gambar benda itu di dalam mimpinya. Semua gambar dan tokoh di dalam mimpinya beberapa jam lalu adalah bagaikan air putih yang membasahi dan melewati kerongkongan Rian, sangat bekerja dan ampuh untuk membuat seluruh kebahagiaan dalam dirinya bangkit lagi. Mereka adalah alasan mengapa Rian masih bertahan hingga detik ini. Bersama ibunya juga, mereka adalah alasan mengapa Rian masih bisa lolos dari maut hingga detik ini. Di dalam alam bawah sadarnya, telah tertancap cinta dan kasih sayang dari seorang ayah keturunan Spanyol dan seorang ibu asli Yogyakarta dan  sangat susah untuk mencabut tancapan itu. Walaupun kini dia tahu bahwa ayah yang sebenarnya adalah Hatachi, tapi dia sama sekali tidak memperdulikannya.
Menggunakan kunci yang diperolehnya tadi, Rian membuka gembok yang sangat dingin itu. Perlu diketahui bahwa, lemari itu adalah lemari paling rahasia milik keluarga Fichie. Yang mengetahui kehadiran lemari itu hanyalah keluargnya dan keluarga Pak Darman. Bayangkan, apabila Hatachi mengetahuinya juga. Mungkin lemari ini juga sudah dihancurkannya.
Ceklik! Suara gembok terbuka, terdengar cukup keras di tengah-tengah nafas memburu mereka berdua. Rian melepaskan gembok itu dari tempatnya. Tangannya meraih kait besi yang tadi digembok lalu mendorongnya ke atas hingga terbuka. Aura dingin luar biasa dari dalam lemari rahasia itu segera menyeruak ke luar disertai aroma coklat berbagai macam merek mahal yang sangat nikmat. Rian tersenyum. Aroma ini yang dari tadi dia nantikan. Aroma ini juga yang tadi hadir dalam mimpi di tengah-tengah masa sekaratnya.
“Mbak Rian yakin ndak mau pakai baju dinginnya?” tanya Ibu Darti sekali lagi. Rian diam tanpa menjawab sepatah kata pun. Dia hanya bergumam.
Rian memejamkan matanya. Dalam bayangannya, dia melihat sekelibat gambaran saat ayahnya mempersilahkan Mercy untuk masuk duluan, lalu disusul oleh Rian dan Fabio di belakang mereka. Rian membuka matanya. Seolah mendapat petunjuk, dia menuruni kakinya yang mulai kembali gemetar karena kedinginan. Selangkah demi selangkah, perlahan tapi pasti. Rasa rindu terhadap ruangan ini dengan segala kenangan di dalamnya telah memenuhi seluruh ruang di hatinya. Ibu Darti tetap menunggu di atas. Dia terus memanggil-manggil Rian sambil berkata, “Hati-hati, Mbak Rian” dan itu berulang-ulang. Tapi Rian sama sekali tidak perduli. Indera pendengarannya telah tertutup oleh dinginnya suhu di dalam lemari itu.
Tumpukan keranjang berwarna fuchsia yang sangat manis, seperti selai arbei yang dicampur dengan buah pumpkin telah berada di hadapan Rian sekarang. Dia kembali memejamkan matanya yang pada bagian kelopak sudah mulai mengerut karena suhu dingin yang luar biasa. Rian mungkin tidak menyadari, bahwa suhu pada lemari saat itu adalah mencapai hingga 4̊ C.
Ya, Rian kembali menutup matanya.
Kembali ada sekelibat gambaran yang menggetarkan hatinya. Dua orang kakak beradik berlarian mengitari seluruh isi lemari raksasa ini, dengan menenteng-nenteng keranjang dengan warna menggoda, yang setiap keranjang sudah terisi banyak sekali coklat dari berbagai rasa dan warna, tampak di dalam matanya. Senyum yang tidak lagi bisa mereka sembunyikan, terobral kemana-mana. Suara tawa polos dan lugu bisa Rian dengar sekarang. Suara Mercy dan dirinya. Semua ada di dalam kepalanya, dan dia bisa melihat semuanya.
Rian membuka matanya lagi. Sepi. Tidak selalu apa yang dibayangkan menjadi kenyataan. Itu kata kuncinya. Dengan langkah yang mulai gontai, dia mengambil satu keranjang berwarna fuchsia. Kakinya yang gemetar, mengantarkan Rian pada sisi lain dari lemari yang terisi permen coklat berwarna-warni dan dengan bentuk yang cantik-cantik. Rian meraup hampir dua baris permen yang langsung dimasukkannya ke dalam keranjang. Di samping rak permen coklat, ada es krim coklat juga coklat batang dengan variasi yang berbeda-beda. Ada coklat vanilla, coklat rasa pisang, coklat rasa mangga, es krim coklat dengan potongan buah-buahan, es krim coklat dengan kacang, coklat karamel, es krim coklat dengan taburan permen dan biskuit, coklat dengan aroma kulit pohon oak, dan masih banyak lagi yang hampir semuanya adalah barang import dan barang produksi sendiri. Rian kembali memasukkan seluruh es krim itu ke dalam keranjang hingga keranjang itu penuh. Rian ingin tersenyum. Tapi sepertinya, dingin menekan paksa otot-otot wajahnya hingga dia tidak bisa berekspresi apa-apa.
Kali ini, Rian tidak melangkahkan kakinya, melainkan menyeretnya. Dia memaksa tangannya yang mulai lunglai untuk menenteng keranjang penuh berisi beragam variasi coklat itu naik kembali ke atas. Dia merasa, seluruh sendi-sendi tulangnya mulai lemah dan kaku. Seperti orang lumpuh saja. Bayangkan, sebuah lemari dengan suhu 4̊ C, ditambah dengan suhu alami dingin tengah malam, seorang gadis yang hampir sekarat masuk ke dalamnya tanpa mengenakan mantel atau apapun yang bisa menghangatkannya. Gadis itu benar-benar sekarat.
“Ya, Allah! Mbak Rian!” Ibu Darti melihat Rian yang berusaha menaiki anak tangga namun kesusahan. Tanpa diperintah siapapun, Ibu Darti menuruni anak tangga untuk masuk ke dalam lemari dan menghampiri Rian yang sudah hampir koleps. Mulutnya sudah menganga, seperti orang berusaha mencari oksigen untuk bernafas. Bibirnya mulai membiru. Rian seperti mayat hidup.
“Masya Allah, Gusti! Mbak Rian kenapa seperti ini?? Ayo, Mbak. Ibu bantu Mbak naik ke atas,” Ibu Darti langsung melingkarkan tangan kiri Rian di pundaknya. Namun, Rian menepisnya.
“Tidak usah. Ibu bawa keranjang ini saja ke atas. Ini semua untuk Nanda dan Nathan. Saya belum makan apa-apa di sini,” kata Rian dengan suara yang gemetar.
“Jadi, maksudnya Mbak Rian masih mau di dalam sini?? Dengan kondisi Mbak yang seperti ini??” tanya Ibu Darti meyakinkan.
“Hmm,” Rian hanya bergumam.
“Mbak Rian! Tolong kali ini jangan tolak penawaran Ibu untuk membantu Mbak. Ibu takut Mbak kenapa-kenapa. Ibu tidak mau sesuatu yang tidak diinginkan terjadi dengan Mbak. Kita bisa naik ke atas dan biarkan Ibu mengurusi Mbak Rian. Mbak Rian ini sudah sangat lemas. Memangnya Mbak Rian sudah ndak bisa merasakan bagaimana kondisi tubuh Mbak sendiri?”
Tentu saja bisa. Aku bahkan sudah merasa di beberapa bagian tubuhku sudah tidak dialiri darah lagi. Aku merasa, aliran darah di dalam tubuhku ini perlahan-lahan membeku. Aku sudah tidak bisa merasakan ujung-ujung jariku lagi. Rasanya hampa, seperti orang tidak punya tangan. Saat menenteng keranjang itu saja, aku hanya mengandalkan instingku. Saat aku melihat pergelangan tanganku masih utuh, saat itu pula aku merasa masih bisa menggunakannya. Tapi dinginnya keranjang fuchsia itu sudah tidak bisa aku rasakan lagi.
“Ambil ini, Bu. Bawa naik ke atas dan tinggalkan aku sendiri di sini. Aku belum makan coklat yang di sana itu,” dengan tubuhnya yang sudah lemas dan gemetar, dia menggerakkan tangannya ke arah kanannya. Ada setumpuk coklat lain di sana.
“Ayolah, Mbak. Kita naik ke atas!”
“Ibu tidak bisa memaksa saya!” bentak Rian. Tampak Ibu Darti terkejut atas bentakkan yang baru saja diterimanya. Dia tidak menyangka, di saat sudah lemas seperti itu ternyata Rian masih bisa membentak orang lain yang punya niat baik untuk membantunya. Atau lebih tepatnya, menyelamatkan nyawanya.
“Uh, mafkan Ibu.”
“Saya hanya tidak ingin merepotkan keluarga Ibu. Maafkan saya.”
Ibu Darti terdiam. Sebagai sosok yang termasuk dekat dengan keluarga Rian, dia sudah berhasil menganggap Rian sebagai keponakan, atau bahkan anaknya sendiri. Dia sudah benar-benar mengetahui bagaimana tingkah Rian dan adiknya saat mereka masih kecil. Sudah sekitar sepuluh bulan mereka tidak lagi bertemu, dan saat Ibu Darti kembali bertemu dengan Rian, dia sudah mendapatkan Rian dengan kondisi yang mencemaskan. Bagaimana bisa dia tinggal diam? Bagaimana bisa jiwa kemanusiaannya tidak tergerak untuk merangkul Rian dan mengobati luka-lukanya di dalam rumahnya yang sempit, sedangkan orang lain saja tentu akan dibantunya? Ini adalah pergolakkan batin luar biasa di dalam diri Ibu Darti. Ingin rasanya dia meminta bantuan suaminya untuk membujuk Rian. Namun sayang, tidak lama setelah Rian datang, Pak Darman tadi dipanggil oleh ketua RT untuk membantu mengantarkan seorang warga yang mau melahirkan.
“Tidak apa-apa, Mbak. Kalau Mbak butuh bantuan, teriak saja. Ibu tunggu Mbak di atas. Dan, uhmm.. terima kasih atas keranjang ini, Mbak. Anak-anak Ibu pasti suka.”
“Terima kasih, Bu.”
Air mata sudah menumpuk di pelupuk mata Ibu Darti. Perasaan sensitifnya benar-benar menolak untuk meninggalkan Rian sendirian di dalam lemari es besar itu. Dia sama sekali tidak tega melihat kondisi Rian yang menyedihkan. Walaupun coklat-coklat di sini rasanya manis, tentu tidak semanis perasaan yang akan didapatkannya apabila Rian mau ikut dengannya naik ke atas.
“Hati-hati, Mbak,” Ibu Darti memeluk tubuh Rian yang semakin dingin lalu menumpahkan air matanya yang tertahan. Dia bisa mengingat semua kebaikan Rian dan keluarganya pada dirinya dan keluarganya. Semua itu tidak akan terbalas dengan apapun.
“Ibu sangat terpukul mendengar kejadian tragis yang menimpa keluarga kalian, dan Ibu tidak mau sesuatu yang buruk terjadi pada Mbak Rian dan Ibu membiarkannya saja. Ibu mau, satu kali dalam hidup Ibu untuk bisa membalas sedikit saja jasa keluarga kalian. Itu saja,” lanjut Ibu Darti dalam dekapannya dengan Rian.
“Aku akan baik-baik saja, Bu,” jawab Rian singkat. Dia sama sekali tidak membalas pelukan Ibu Darti. Dia tidak bisa merasakan kedua tangannya lagi.
Ibu Darti melepas pelukannya yang erat dari Rian. Dia tidak berani menatap mata anak itu yang sudah terisi penuh dengan luka. Dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa Rian akan baik-baik saja di bawah sini. Ibu Darti menarik nafas panjang. Dengan perasaan yang tertekan, dia menenteng keranjang penuh coklat itu lalu setengah berlari naik ke atas dan keluar tanpa melihat balik ke arah Rian.
Aku akan baik-baik saja.


CHAPTER 32
“The Big Brown Chocolatte Coffin”

            Pandangan matanya mulai kabur. Tapi setidaknya, dia masih bisa melihat warna kulit tubuhnya yang semakin berwarna abu-abu. Pucat. Dia juga merasa detak jantungnya kian melemah. Kepalanya juga sedikit pusing. Tapi tujuannya masuk ke dalam lemari besar ini belum tercapai. Ingat, ini bukan ajang untuk pamer kekuatan atau keberanian. Rian sudah cukup kuat dan berani dalam menekan dan medorong jauh jiwa kemanusiaannya saat mengiris jari-jemari para korbannya.
            Rian menyeret kakinya yang semakin terasa lumpuh sedikit lebih dalam ke sisi lain dari lemari itu. Melalui mata bulatnya, dia bisa melihat berbagai macam coklat kesukaannya seolah melambai-lambaikan tangan memanggil namanya, lalu menari bagaikan penari salsa yang anggun sangat menggoda Rian untuk segera melahap mereka semua. Rian tersenyum. Senyumnya lebih lebar dari sebelumnya. Senyum yang dinanti banyak orang, karena dengan senyum itu dia semakin terlihat luar biasa manis. Sayang, tidak ada orang lain di dalam ruangan itu yang bisa melihat senyum menawannya.
Kulit tangannya yang sudah keriput karena hawa dingin berhasil menyentuh salah satu rak lain di dalam lemari itu. Rak yang terbuat dari kayu pohon Casuarina yang dicat berwarna coklat menggoda, juga dipernis dengan pernis khusus agar awet dalam suhu yang dingin dan dalam waktu yang cukup lama. Dia mendekatkan tubuhnya pada dinding rak itu, seperti seorang yang kelelahan karena habis lari maraton. Dadanya kembang kempis, seperti orang yang kehabisan nafas. Selama beberapa saat dia mengatur nafasnya agar bisa kembali normal. Tapi, nampaknya hal itu adalah sulit.
Sesusah inikah rasanya bertahan dalam keadaan sekarat? Sumpah, aku hanya ingin sepotong coklat saja.
Rian memaksakan dirinya untuk mengambil sepotong permen coklat untuk dinikmatinya. Namun, tangannya yang gemetar nampaknya tidak cukup kuat untuk mengambil satu potong coklat pun. Hampir setiap batang permen coklat yang sudah menempel di kulit tangannya terlepas begitu saja tanpa mampu dia mengenggamnya. Tangannya yang gemetar benar-benar menghambat waktu untuk setiap kudapan manis itu masuk ke dalam perut Rian. Semuanya terjatuh. Kalau saja mereka adalah makhluk hidup, Rian pasti sudah membinasakan semua dengan pisaunya.
Rian masih terus berjuang untuk mendapatkan sepotong saja permen coklat dari dalam lemari besar itu. Kali ini dia memakai cara lain. Kalau tangannya yang gemetar tidak bisa meraih satu potong coklat pun, mungkin apabila dia menggunakan mulutnya langsung adalah cara yang tidak buruk. Oleh karena itu, dia mendorong kepalanya sedikit ke depan. Aroma khas coklat segera menusuk hidungnya, membuatnya semakin bergairah untuk memakan coklat-coklat itu apabila dia bisa. Rian kemudian membuka mulutnya yang juga gemetaran karena hawa dingin yang luar biasa. Dia sedang berusaha mengigit coklat itu langsung masuk ke dalam mulutnya. Cara ini juga ternyata tidak semudah yang dia fikir. Justru lebih sulit. Ukuran rak dalam lemari itu tidak sebanding dengan kepala Rian yang jauh lebih besar. Rian harus berusaha mendorong kepalanya lebih dalam lagi agar bisa menggapai coklat yang letaknya memang agak ke dalam sisi rak. Kalau saja tadi dia langsung menggunakan cara ini, dia mungkin sudah mendapatkan coklat yang terletak pada sisi luar rak itu sebelum coklat-coklat itu terjatuh di lantai. Dapat! Rian berhasil mengigit salah satu batang permen coklat rasa klasik dengan aroma hujan. Ya, salah satu coklat yang paling laris di desa asal Fabio berada. Rian sangat menyukai aroma khas hujan, dan itu ada di depannya sekarang. Lebih tepatnya, di giginya.
Rian ingin menikmati coklat kesukaannya ini perlahan-lahan. Dia ingin setiap detik yang dilewatinya bersama coklat itu adalah detik-detik berharga. Oleh karenanya, cara pertama yang dia tempuh untuk menikmati coklat itu adalah dengan menghirup aroma kenikmatan coklat itu dalam-dalam, lalu menjilatnya dengan posisi tetap di dalam mulutnya. Lidahnya bergerak-gerak menjilati permukaan coklat yang sudah masuk ke dalam mulutnya itu. Matanya terpejam. Penghayatannya dalam mengapresiasi karya manusia yang satu ini adalah luar biasa. Dia bisa membawa pergi seluruh coklat itu bersamaan dengan aliran darahnya, menuju otak dan jantungnya. Makanya Rian selalu rindu dengan setiap potong coklat yang terhampar di sana.
Namun, tiba-tiba ...
“AAARGGH!” Rian menjerit sekuat tenaga. Coklat yang ada di dalam mulutnya itu terjatuh ke lantai, bahkan pada saat dia belum menggigitnya.
“NOOO!!” Rian kembali menjerit saat melihat coklat yang didapatnya dengan susah payah itu terjatuh begitu saja.
“AAARGGH!!!!” dia kembali menjerit. Tangannya yang sudah lunglai berusaha memegang apa saja yang ada di sekitarnya dengan tujuan untuk menopang tubuhnya.  
Rian merasakan sakit yang luar biasa pada kedua kakinya. Otot-otot pada kakinya yang berkontraksi membuat kedua kakinya menjadi menegang dan kaku. Sakit yang dia rasakan adalah seperti urat dan otot dalam kakinya dijepit lalu ditarik selama berulang-ulang. Tangannya ternyata tidak juga cukup kuat untuk menopang tubuhnya, menyebabkan tubuh Rian melorot ke bawah. Rian menjerit kesakitan berulang-ulang. Kakinya luar biasa sakit. Tangannya hanya bisa meremas-remas paha dan betis pada kakinya dengan tujuan agar rasa sakit itu berkurang. Tetapi ternyata tidak sama sekali.
“TOLOOOONG!!” jerit Rian sekuat tenaga. Dia benar-benar kesakitan.
Kaki ini harus dimusnahkan!!!
Tangannya merogoh-rogoh setiap saku pada celananya. Dia mencari pisau andalannya. Dia ingin memotong kakinya agar rasa sakit luar biasa itu hilang. Hilang untuk selamanya. Dia tidak mau acara makan malamnya terganggu oleh hal sekecil apapun.
“Tidak ada! Di mana dia??!” ucap Rian gusar ketika didapati tidak ada benda tajam itu lagi di sakunya.
“Arrrgggh! Toloooong!”
Dia bahkan semakin gusar ketika rasa sakit itu tidak hanya muncul pada kakinya, melainkan otot-otot pada lengan kirinya pun ikut berkontraksi. Detak jantungnya pun semakin melemah. Kulit putihnya sudah benar berubah menjadi abu-abu pucat. Dia bahkan bisa merasakan tempat di sekelilingnya seolah berputar. Dia juga tidak henti-hentinya menjerit sekuat tenaga, berharap orang di luar sana bisa mendengarkan teriakannya. Rian ingat apa yang dikatakan Ibu Darti, bahwa beliau masih menunggu Rian di atas. Rian hanya butuh teriak dan Ibu Darti akan membantunya jika ada hal-hal darurat. Tapi nyatanya, sampai Rian sudah tidak bisa berteriak lagi, dia tidak mendapat bantuan apapun dari atas.
“Tolong ..” Rian sudah tidak bisa berteriak lebih kencang lagi.
Kali ini seluruh tubuhnya berkontraksi. Dia mengalami kejang yang luar biasa. Detak jantung dan respirasinya benar-benar lemah. Mungkin hanya sekitar 3 sampai 4 kali pernapasan dalam satu menit. Tekanan darahnya pun juga mungkin melemah. Tubuhnya perlahan-lahan mulai kaku. Pupil matanya berdilatasi. Hipotensi akut dan nafasnya yang sangat lamban, bahkan cenderung tidak kelihatan sedang dialaminya. Rian tidak sadarkan diri dan kritis.
CHAPTER 33
“The Body of The Dead Man”

            Sepasang suami istri berjalan terburu-buru di pinggir jalan komplek perumahan yang masih sepi. Jelas saja, saat itu masih pukul empat pagi. Mereka tidak menggunakan motor yang menjadi satu-satunya alat transportasi milik mereka, yang sekaligus juga sarana mata pencaharian keluarga mereka. Jiwa sosial sang suami yang mendorong dirinya untuk sengaja meminjamkan motor mereka kepada suami dari tetangganya yang sedang melahirkan di rumah sakit. Raut wajah kecemasan jelas betul tergambar di wajah paruh baya mereka. Sesekali mereka membunyikan buku-buku jari mereka untuk memecah kesunyian. Kaki mereka bergerak dengan cepat. Suami itu terkadang merangkul bahu istrinya yang tidak berhenti menangis. Mereka benar-benar dilanda kecemasan. Cemas yang luar biasa.
“Sudah, Ibu ndak usah menangis. Kalau Ibu menangis terus, Bapaknya jadi ikut cemas. Berdoa saja semoga Mbak Rian baik-baik saja.”
“Bagaimana bisa Ibu tenang, Pak? Tadi Ibu dengar Mbak Rian jerit-jerit dari dalam, sedangkan saat ibu mau coba masuk, gemboknya goyang dan malah menutup sendiri hingga pintunya terkunci. Ibu benar-benar panik, sampai kunci gembok yang sudah ibu masukkan itu tidak bisa lagi ibu putar ke kanan dan ke kiri. Ibu paksa agar gembok itu bisa terbuka. Tapi yang terjadi malah kunci itu patah di dalam gembok dan ibu tidak bisa mengeluarkannya, Pak!” Ibu Darti kembali meraung-raung.
“Iya, Bu. Ibu tadi juga sudah cerita dengan Bapak, kan? Masa kita harus bercerita hal yang sama berulang-ulang sepanjang jalan? Sekarang, Ibu lebih baik tenang. Coba kalau ibu sudah dibiasakan tenang, pasti ibu jadi tidak panik dan kunci gembok itu tidak akan patah.”
“Loh? Bapak kok jadi menyalahkan ibu seperti ini?” Ibu Darti menghentikan langkahnya lalu menatap Pak Darman dengan mata sedikit melotot.
“Kok berhenti jalannya, Bu? Sudah, marahnya nanti lagi saja. Ini soal hidup dan matinya Mbak Rian. Bapak juga khawatir, jadi kita berdoa saja. Kita sebentar lagi sampai. Ayo, Bu!” Pak Darman menarik tangan istrinya, lalu digenggam di dalam genggaman tangan beruratnya. Dia menuntun istrinya untuk berjalan sedikit lebih cepat. Tidak jarang mereka berlari untuk semakin mempercepat langkah mereka.
Lima menit kemudian, mereka berhasil sampai di depan pintu lemari besar dalam tanah milik keluarga Fabio itu. Pak Darman segera mencari batu besar untuk menghancurkan gembok berukuran besar itu. Kakinya bergerak cepat dengan mencarinya tengah-tengah taman. Tidak dapat. Lalu, dia berlari ke belakang rumah. Juga tidak dapat. Istrinya yang seudah meraung-raung membuatnya semakin kebingungan dan kalap. Pak Darman akhirnya masuk ke dalam rumah lalu mengambil linggis. Dapat. Keringat di wajahnya sudah mengalir deras sekali, seperti orang yang habis kerja bangunan. Berulang kali dia memukul-mukul gembok dengan linggis, namun hasilnya nihil. Rasa cemas dan panik milik istrinya dan dirinya yang bercampur menjadi satu, membuat konsentrasi akan segala hal musnah sudah.
“Ada apa ini, Pak?” suara itu datang dari seorang pria muda yang lumayan tampan. Dia datang bersama seorang pria Kaukasoid yang berumur sekitar empat puluh delapan tahun lebih.
“Kalian ini siapa?? Tolong jangan ganggu saya! Saya sedang sibuk menyelamatkan nyawa seseorang!” tanya Pak Darman lantang dengan mata melotot kepada ke dua orang itu, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Saya Dilan dan ini Paman Georgie. Anda Pak Darman, benar?”
“Benar! Mau apa kalian ke sini? Kalau mau beli tanah taman itu nanti saja.”
“Tidak, Pak. Kami mau cari seorang gadis bernama Rian.”
Mendengar kalimat itu, Pak Darman segera menghentikan pekerjaannya menghancurkan gembok. Matanya menatap kedua orang itu bergantian. Mata yang kelopaknya sudah dibanjiri peluh itu menatap mereka penuh harap. Dia benar-benar membutuhkan tenaga tambahan. Apalagi Dilan dan Paman Georgie mencari Rian. Niat apapun itu, baik atau jahat, yang ada di dalam fikiran Pak Darman intinya mereka pasti ingin menemukan Rian. Tapi yang terjadi adalah Rian masih terjebak di dalam lemari itu. Tidak ada lagi suara jeritan dari dalam. Hal itu semakin menambah kecemasan mereka semua.
“Rian ada di dalam. Kalian harus bantu saya untuk menghancurkan gembok ini agar bisa membawanya keluar!”
Paman Georgie sepertinya paham akan kekhawatirkan yang tergambar sangat jelas pada wajah tak berdaya Pak Darman. Dia segera bertindak cepat dan menunjukkan kalau dia adalah orang yang benar-benar terlatih. Paman Georgie mengeluarkan sebilah pisau racun dari sakunya. Dia menarik nafas panjang sebelum melakukan aksinya. Dan ... woop! Hanya dengan satu sabetan dari pisau racun yang tajam, akhirnya gembok itu bisa terbuka, bahkan hingga terbelah dua. Ini hanya membutuhkan tiga detik saja kawan. Bandingkan dengan perjuangan Pak Darman. Ini juga hanya soal bagaimana cara menggunakan trik yang benar, juga meningkatkan konsentrasi. Pak Darman sendiri juga hanya bisa terpaku melihat kebolehan Paman Georgie itu.
Pak Darman mendorong ke atas pintu lemari itu. Hawa dingin segera mencuat ke atas menyambut kedatangan mereka semua. Sedikit terpancar wajah kekaguman dari dalam raut muka Paman Georgie atas rancangan Fabio untuk anak-anaknya. Ya, satu-satunya tempat yang tidak diketahui mereka semua. Dilan sendiri pernah masuk ke dalam lemari itu dan ikut menikmati coklat bersama Rian. Hanya masa lalu.
Satu per satu dari mereka menuruni tangga licin itu. Dilan yang pertama kali masuk, disusul oleh Paman Georgie, lalu Pak Darman dan Ibu Darti tetap menunggu di atas. Keinginannya untuk ikut turun jelas dihadang oleh ketiga laki-laki itu, apalagi suaminya. Pak Darman tidak ingin istrinya kenapa-kenapa. Baru beberapa detik masuk saja Dilan dan Pak Darman sudah merasa sedikit gemetar karena kedinginan. Mereka hanya menggunakan jaket biasa yang tidak cukup kuat untuk menahan rasa dingin yang akan menyerang tubuh. Lain hal dengan Paman Georgie yang mungkin sudah terbiasa dengan suhu seperti itu di negara asalnya.
“Lemari ini cukup luas. Kita harus berpencar untuk mencari Rian. Siapapun yang menemukannya, segera teriak. Karena Rian benar-benar harus diselamatkan. Dan ingat, kita harus bergerak cepat. Suhu dingin di sini bisa membuat kita terkena hipotermia,” ujar Dilan memberi komando tanpa ada yang menyuruhnya memberi komando.
“Tapi, nampaknya kita tidak perlu berpencar. Dia ada di sana,” ucap Paman Georgie dengan suara datarnya.
Tangannya menunjuk ke arah pukul sebelas. Dua pasang mata yang lain segera mengikuti arah jari telunjuk Paman Georgie. Benar saja. Sebuah sisi lain dari lantai pada lemari itu sudah dipenuhi coklat yang berantakan. Dan di atas mereka semua, ada seonggok tubuh yang terbujur kaku. Tubuh itu tampak sangat dingin, didukung dengan warna kulitnya yang benar-benar pucat. Rambut dari tubuh itu tergerai bebas di atas lantai. Bagian kaki kanan dan tangan kiri tubuh itu berwarna sedikit kebiruan. Mengerikan. Perlahan tapi pasti, fikiran-fikiran yang sedari tadi dihilangkan mereka semua itu mulai menampakkan dirinya ke atas permukaan. Wajah cemas itu berangsur-angsur berubah menjadi wajah ketakutan. Inikah akhir dari semua kecemasan itu?
Kaki-kaki gemetar mereka perlahan mendekati tubuh itu. Namun lain dengan Dilan. Langkah kakinya adalah langkah yang paling cepat, bahkan cenderung berlari. Dia berlari, namun tetap kontrol kendali keseimbangan tubuhnya karena lantai tempat itu cenderung licin. Dia merasa tubuhnya berkeringat. Keringat dingin. Dia merasa seolah potongan lain dari jiwanya telah pergi. Rasa itu persis sama seperti pada saat hari di mana Nadia pergi meninggalkan dunia ini.
Dilan sampai pada titik akhir di mana dia tidak harus menembakkan timah panasnya kesana kemari. Dia telah sampai tepat di hadapan tubuh kaku Rian. Kakinya gemetar. Dia terduduk lemas di samping tubuh Rian. Semua amarah dan dendam yang disimpannya benar-benar telah hilang, terbawa bersama semua nafas yang berhasil dihembuskannya.
Mata gadis itu tertutup rapat. Daerah lingkar mata itu tampak sedikit lebih hitam dari daerah wajah lainnya. Mulutnya juga tertutup rapat, lebih rapat saat dia masih bisa tersenyum dan melihat matahari pagi. Kali ini, Dilan benar-benar tidak bisa mendengar cerita apapun dari Rian. Dilan tidak akan bisa lagi mendengar nyanyian-nyanyian Rian yang selalu berdengung di telinganya setiap kali dia merindukannya. Dilan tidak akan lagi bisa mendengar tawa besar dan lepas dari bibir mungil sahabatnya. Ya, Dilan benar-benar bisa mengingat semuanya. Semua kenangan pahit dan manis. Kenangan saat Rian melempar jauh sate padang pemberiannya. Semua senyum dingin yang selalu dipamerkannya beberapa waktu terakhir. Semuanya, tanpa terkecuali. Bahkan saat menatap wajah Rian yang tanpa ekspresi itu lagi, kepala Dilan seolah memutar kembali film kisah mereka berdua. Semua itu benar-benar menyisahkan rasa sakit.
Dilan menangis memeluk tubuh itu.
CHAPTER 34
“Final Episode (The Secret)”

            Tempat itu menjadi benar-benar ramai di waktu yang menunjukkan sekitar pukul lima pagi. Beberapa mobil polisi dan ambulans diparkir pada salah satu sisi lain dari lahan kosong itu. Orang-orang berseragam lengkap kepolisian bolak-balik sambil mencatat data-data yang dibutuhkan sebagai bantuan untuk penyelidikan. Pita kuning sebagai batas tempat kejadian perkara sudah terpasang mengitari pintu lemari itu hingga ke arah taman sedikit. Ada dari mereka yang berpakaian serba putih keluar dari mobil ambulans yang tidak kalah sibuknya dengan yang lain. Ada juga yang berpakaian bebas, namun berkutat pada satu-satunya tubuh mati di sana. Orang-orang menyebutnya sebagai tim forensik. Semua penyelidikan dilakukan di tempat, saat itu juga. Georgie meminta agar mereka tidak menghambat semuanya. Para warga sekitar yang mungkin tidak ada kegiatan di hari itu, menyempatkan waktu mereka untuk menengok ke tempat kejadian. Mereka ternyata juga ingin ikut berpartisipasi dalam meramaikan suasana.
Di sisi lain, Dilan yang duduk menyendiri menjauh dari keramaian. Mungkin tidak sendiri, tapi bersama gitar Rian yang tidak sengaja ditinggalkannya saat pertarungan pertama dirinya dengan Erinda. Paman Georgie mengamankan gitar itu dan Dilan memintanya kembali.
Dirinya benar-benar terpukul. Ibu Adilla sangat mengkhawatirkan dirinya. Dia menyuruh anak bujangnya itu pulang, namun perintah itu ditanggalkannya. Oleh karena itu, ibu tirinya, Fadhilla berinisiatif untuk mengantarkan makanan dan minuman untuk Dilan. Tapi sampai sekarang, makanan itu belum sama sekali tersentuh oleh jari-jarinya.
Pandangannya kosong. Dia benar-benar kehilangan seorang Rian yang jagoan, pemberani, dan lucu. Rian yang cantik, cerdas, dan memiliki suara emas. Tangan Dilan bergerak mengambil gitar milik Rian dan menimangnya di atas pangkuannya. Dilan tidak memainkannya. Dia hanya mengelus-elus gitar itu hangat. Gitar yang warnanya sudah cukup pudar dan di beberapa bagian terdapat cipratan darah kering. Entah darah siapa saja. Bahkan mungkin salah satu cipratan darah tersebut adalah darah ayahnya, Afif Aryana.
“Hey, boleh bergabung?” Paman Georgie yang sudah berganti pakaian casual menghampiri Dilan.
“Silahkan,” jawab Dilan singkat dengan tidak memalingkan pandangannya sedikit pun dari gitar milik sahabatnya itu.
Paman Georgie pun ikut duduk di sampingnya. Beberapa saat keduanya terdiam. Sesekali, Paman Georgie melirik anak muda di sebelahnya itu. Wajah Dilan tampak tidak jauh beda dari wajah seorang mayat. Wajahnya sedikit pucat. Mungkin karena belum makan dari malam, juga ditambah dengan suasana dingin yang terus menyergap mereka semua. Garis hitam di bawah matanya bisa terlihat ketika wajahnya tersorot lampu atau berada di bawah sinar matahari. Dilan juga tidak menunjukkan ekspresi apapun. Air matanya sudah habis sejak pertama kali dia menemukan mayat Rian di dalam lemari itu. Paman Georgie menghela nafasnya panjang.
“Dia anak yang baik,” Paman Georgie membuka omongan.
“Benar, karena dia berasal dari keluarga yang baik pula. Keluarganya dimusnahkan oleh sekelompok orang yang dengki, iri, jahanam, dan liar. Keserakahan, kemunafikan, sifat agresif yang jahat, dan jiwa tidak mau kalah menguasai diri sekelompok orang itu tanpa terkecuali. Termasuk semua pengikutnya. Tidak cukup mereka menghabisi keluarga Rian, Rian yang baik hati dan ceria itu pun juga ingin dibunuhnya. Dan orang itu adalah saudara sedarahnya sendiri. Namun yang terbodoh adalah, ada orang tua yang menjadi dalang dari semua aksi saudara Rian itu. Orang tua yang tidak tahu diri. Bagaimana mungkin ada orang tua yang membiarkan kemenkannya membunuh saudaranya sendiri? Dan orang tua itu ikut menyukseskan semuanya. Luar biasa,” ungkap Dilan panjang lebar. Sebuah sindiran tajam rupanya. Paman Georgie paham benar maksud anak muda di sampingnya itu. Dan tujuannya merapatkan posisi duduk ke dekat Dilan adalah untuk mejelaskan semuanya. Dia tidak akan membuang waktu.
“Kau tahu, selalu ada alasan di balik semua aksi ...”
“Dan di balik semua aksi buruk, pasti ada iblis besar yang mendukung di belakangnya,” Dilan memotong perkataan Paman Georgie yang dinilai membuang-buang waktunya.
“Hmm ...” Paman Georgie bergumam. Dia kembali menarik nafas dalam untuk menenangkan dirinya sendiri sekaligus mengumpulkan semua keberaniannya untuk menceritakan yang sesungguhnya kepadan Dilan. Dia juga masih tetap ingin kontrol emosi agar tidak meledak-ledak di depan Dilan.
“Aku menemukan sesuatu pada gitar temanmu itu.”
“Berhubungan dengan orang tua Inggris yang dungu, kah?”
Oke. Paman Georgie kembali mengehla nafas. Dia menganggap pertanyaan Dilan yang tadi itu adalah pertanyaan uji kesabarannya saja. Orang Inggris selalu dikenal dengan sosok yang misterius, pintar, pandai menyimpan rahasia, klasik, dan bermartabat. Dan kali ini, dengan beraninya seorang anak tujuh belas tahun berkata seperti itu tepat di depan wajahnya? Jiwa ketimurannya yang sudah mulai mendarah daging membuat dirinya semakin bisa tahan emosi atas ejekan tersebut.
“Tidak tidak. Ini tentang kisah asmara kalian,” sangkal Paman Georgie.
“Apa? Kalian? Maksudmu aku dan Rian? Kami bahkan tidak pernah menjalin hubungan asmara atau apapun,” sanggah Dilan. Kelihatannya, Dilan mulai tertarik dengan topik yang satu ini. Georgie jelas bisa memanfaatkan rasa penasaran Dilan untuk memberinya kesempatan menceritakan yang sesungguhnya.
“Uhmm.. Aku tidak tahu tentang hal itu.”
“Lalu, apa maksudmu bicara seperti itu? Mau menggugah rasa penasaranku agar mau memberikanmu kesempatan untuk menjelaskan kisah dongeng jahanammu? Jangan harap, British!”
“Bisa tidak kau lebih bisa menghargaiku sedikit? Aku ini orang tua. Bukankah di negaramu ini kalian diajari bagaimana cara menghargai orang yang lebih tua?”
“Tentu saja. Tapi bukan orang tua sepertimu!” bentak Dilan. Matanya menatap tajam pada Paman Georgie. Tatapan menantang.
“Kalau sikapmu begitu terus kepadaku, kau tidak akan pernah mendapatkan informasi mengenai bagaimana berharganya kisah kalian berdua di mata Rian. Dan kau juga perlu tahu tentang rahasia pada pisau mereka. Tentang kode rahasia itu. Aku beri kau waktu sepuluh detik saja untuk berfikir.”
Dilan menunduk dan terdiam sejenak. Dia memang benar-benar tidak habis fikir tentang orang tua macam Paman Georgie yang sudah sinting mungkin. Tapi, informasi-informasi yang tadi disebutkan Paman Georgie adalah informasi yang sangat dia butuhkan. Setidaknya hanya untuk mengobati rasa penasaran dia saja. Karena walaupun dia sudah dapatkan informasi itu, dia sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Semua orang yang mewarnai kisahnya selama ini sudah tiada. Hanya kedua ibu dan adik-adik tirinya saja.
“Oke, waktumu habis. Masih banyak urusan di luar yang menantiku,” kata Paman Georgie sambil bergerak bangun dari tempat duduknya.
“Katakan segera. Aku tidak mau terlalu menghabiskan banyak waktu dengan orang sepertimu,” ucap Dilan menahan kepergian Paman Georgie. Pria yang umurnya hampir setengah abad itu menatap Dilan sejenak. Dia jadi teringat dengan kemenakannya Erinda yang memang sedikit egois. Sifat keAKU’an mereka memang sepenuhnya menguasai jiwa muda mereka.
“Berikan gitar itu padaku,” Paman Georgie meminta gitar yang sedari tadi ditimang-timang oleh Dilan. Dilan kemudian memberikannya walaupun dengan dahi berlipat sepuluh.
Paman Georgie memasukkan tangannnya ke dalam soundhole pada gitar itu. Dia tampak merogoh sesuatu. Sesuatu yang ditempelkan pada sisi lain di dalam ruang beraroma kayu itu. Posisi menempel yang sedikit ke dalam membuat Paman Georgie sedikit kesusahan. Dia memasukkan tangannya sedikit lebih dalam. Dari pergerakan tangannya, Dilan bisa melihat bahwa Paman Georgie sedang mengorek-ngorek sesuatu. Dilan tetap mengawasi setiap pergerakan Paman Georgie. Dia tahu, dirinya sedang berhadapan dengan seorang anak buah penjahat yang pastinya juga jahat. Orang jahat.
“Dapat,” Paman Georgie menarik tangannya keluar. Dilan melihat apa yang didapatkan Paman Georgie dari dalam lubang gitar itu. Sepotong kertas berukuran sedang.
“Apa itu?”
“Lihat saja sendiri,” Paman Georgie memberikan apa yang digenggamnya kepada Dilan. Dilan menerimanya.
Apa yang Dilan lihat adalah sebuah gambar yang menyeramkan. Dilan tahu, foto-foto itu memang sengaja ditempel Rian pada gitarnya, namun ditempelkan pada sisi luar gitar. Sekarang, nasib foto-foto itu sudah sama menyedihkannya dengan nasib Rian. Foto-foto itu adalah foto Rian bersama keluarganya, juga foto Rian bersama Nadia dan Dilan. Mereka adalah tokoh-tokoh utama yang mewarnai kehidupan Rian semasa hidupnya. Kedua foto itu ditempelkan pada sepotong kertas dengan ukuran sedang, dan tangan Rian menjalar di atas permukaan foto-foto itu dengan menggambarnya.
Coretan dari crayon berwarna oranye digambarnya pada bagian depan foto keluarganya.  Mungkin maksudnya adalah gambar api. Lalu, setiap kepala anggota keluarga dicoret dengan warna merah maroon. Itu adalah darah yang diperoleh saat kulit kepala mereka dikupas oleh orang-orang Hatachi. Mata dan bibir yang menunjukkan ekspresi senyuman diganti oleh Rian dengan ekspresi ketakutan. Rian juga menggambar sosok tubuh besar berwarna hijau, bermata sipit, dan bertanduk seperti setan, sedang tertawa puas sambil memegangi perut buncitnya.
Adapun coretan lain pada foto yang lain pula. Foto Rian bersama Nadia dan Dilan. Foto mereka bertiga sedang berdiri di atas tembok perbatasan rumah Nadia. Foto itu diambil dengan angle dari bawah. Mereka semua merangkul pundak satu sama lain dengan posisi Dilan yang di tengah. Latar belakangnya berupa langit biru yang dihinggapi awan putih yang bergumpal, sangat indah dipandang. Dan, Rian berhasil merusaknya.  
Tepat di belakang Nadia, langit biru itu dirubah menjad langit berwarna hitam. Lalu, Rian menggambar botol bergambar tengkorak yang menandakan kalau itu adalah racun. Botol itu dalam posisi terbuka dan menumpahkan cairan putih tepat di atas kepala Nadia. Rian juga mencoret-coret wajah Nadia dengan berbagai umpatan dalam bahasa Inggris. Dan yang paling mengejutkan Dilan adalah, tulisan yang terdapat di balik foto itu. Tulisan itu berbunyi:
Sampai racun pada pisau ini habis, aku tidak akan berhenti membunuh. Membunuh mereka yang telah menghancurkan seluruh hidup dan harapanku, atau hanya mencoba melakukan perlawanan, atau hanya ingin mencoba-coba, atau apapun yang ingin kubunuh. Dan jangan pernah mencoba menghentikanku untuk membalaskan dendam kepada dunia ini. Tapi maaf, aku tidak akan pernah membunuh orang yang kucintai. Sesakit apapun mereka melukai hatiku. Keluargaku, dan Dilan.”
“Sulit dipercaya,” Dilan menekuk gambar itu, menggumpalnya, lalu meremasnya. Kertas itu kini harus merelakan nasibnya berada di tangan Dilan.
“Aku juga begitu. Dia adalah anak yang baik dan aku jelas tahu benar hal itu. Sifat jahat Hatachi menurun benar ke dirinya. Saat aku mengetahui kalau Erinda bersaudara dengan Rian, segala cara telah ku tempuh untuk menggagalkan rencana Erinda dalam menghabisi nyawa Rian. Tapi semuanya gagal. Erinda malah mengancam akan menghabisi nyawa keluargaku di Jepang. Perlu kau tahu, walaupun aku adalah seorang jahat, aku juga punya hati. Perbuatan jahatku didasari atas kebutuhanku untuk memberi makan keluarga. Dan adalah sebuah kesengajaan untuk aku menyalahi pembacaan kode pada pisau itu.”
“Maksud Anda?”
“Ini pisau Erinda. Bisa keluarkan pisau Rian dari sakumu?” pinta Paman Georgie pada Dilan. Anak Afif Aryana itu menuruti perintah Georgie dengan mengeluarkan pisau Rian dari dalam sakunya.
“Sebenarnya, kode “HA = RN” yang ada pada  pisau Rian sebenarnya adalah kode ajal milik Erinda. Sedangkan kode “R N T” pada pisau Erinda adalah kode kematian milik Rian. Memang sulit dipercaya jika kematian makhluk Tuhan bisa diprediksi dari kode pisau bangkai. Tapi itu adalah fakta.”
“Uhmm.. Bisa kau jelaskan arti dibalik kode “R N T” itu?” tanya Dilan.
“Tentu. Ganti saja huruf R dengan jenis huruf Webdings, dan ganti huruf N dan T dengan huruf Wingdings di Microsoft Word. Nanti yang akan kau dapatkan adalah, sebuah gambar gedung atau rumah sebagai pengganti huruf R. Dan huruf N akan mendapatkan gambar tengkorak, sedangkan huruf T akan bergambar butiran salju. Maksud dari gambar itu adalah, bentuk kematian yang akan diperoleh Rian adalah saat dia berada di dalam sebuah gedung atau rumah dan mati dalam keadaan kedinginan. Dan nyatanya terbukti, dia mati karena Hipotermia,” jelas Paman Georgie. Dilan tampak kagum atas penjelasan itu. Bagaimana mungkin seorang nenek moyang bisa mengerti jenis-jenis huruf pada Microsoft Word sedangkan komputer pun belum ditemui pada saat itu?
“Jadi, yang Erinda tahu dirinya akan mati dalam suhu dingin?”
“Benar. Oleh karena itu, saat malam dia selalu memakai jubah hangat miliknya. Begitupun saat hujan turun. Sebisa mungkin dia selalu menghadang dingin mencabut nyawanya. Tapi aku percaya, setiap manusia tidak akan pernah bisa menghadang kematian,” kata Paman Georgie. Kalau boleh jujur, Dilan sangat menyukai dua kalimat terakhir Georgie tadi. Dilan terdiam sesaat, merenungkan apa yang telah dikatakan Georgie padanya.
“Lantas, yang kau jelaskan pada Rian dan Erinda tentang maksud dari kode pada pisau Rian itu adalah di dalam sebuah rumah akan ada pertarungan dua orang yang menghasilkan kematian seseorang yang diawali dengan huruf R. Sedangkan Erinda, bukanlah nama yang memiliki huruf berawalan R.”
“Erinda Roose. Nama yang seharusnya adalah Roose Erinda. Saat Erinda mengetahui bahwa arti kode pada pisau Rian adalah seperti itu, dia segera memutuskan untuk mengganti namanya menjadi Erinda Roose. Beberapa dokumen telah berganti nama menjadi Erinda Roose, walaupun belum semuanya. Konyol sekali. Itu adalah cara lain darinya untuk menghalangi kematian. Dan benar saja, seorang pahlawan telah berhasil memasukkan proyektil itu ke dalam tubuh Erinda,” Paman Georgie tersenyum kecil sambil sedikit melirik ke arah Dilan yang juga tersenyum.
“Pertama kali menembak, huh?” tanya Paman Georgie.
“Iya.”
“Kau berbakat.”
“Haha, tidak. Aku dilahirkan bukan untuk hal itu.”
“Bagus. Lalu, apa alasanmu datang ke tempat itu sambil membawa pistol?” kini giliran Paman Georgie yang bertanya.
“Aku dimimpikan oleh ayahku dan Nadia. Mereka berkata bahwa orang yang membunuh mereka adalah Rian. Sebelum dimimpikan mereka, aku juga selalu melihat bayangan perempuan berbaju hitam yang selalu mencoba untuk mencelakai seluruh anggota keluargaku yang tersisa. Sangat sulit dipercaya kalau semua itu hanya halusinasi dan aku ternyata mengidap psikosis. Sangat memalukan di saat aku sedang bekerja menjadi seorang asisten perawat di rumah sakit jiwa dan aku ternyata adalah orang gilanya. Mungkin kebiasaan untuk menyimpan masalah sendirian adalah salah satu penyebabnya.”
“Rumit sekali. Aku turut prihatin.”
“Terima kasih.”
“Mungkin kau masih menderita gejalanya saja. Tenang, masih ada kesempatan untuk sembuh.”
“Aku harap begitu.”
Keduanya terdiam. Paman Georgie menarik nafas panjang penuh kelegaan. Setidaknya, dia telah menceritakan semua rahasia itu pada Dilan. Dengan diceritakannya hal itu, Georgie berharap Dilan dapat lebih bisa menerima kematian Rian tanpa perlu menyalahkan diri sendiri.
“Oh, iya. Tugasku di Indoenesia kini telah selesai. Besok aku harus kembali ke Jepang dan memperbaiki semuanya. Mungkin bisa dimulai dengan mengerjakan pekerjaan yang mulia. Aku harap, kau bisa jaga dirimu dan keluargamu. Kau harus belajar jadi sosok seorang ayah yang bertanggung jawab. Ibu dan adik-adikmu akan bangga padamu. Percayalah,” kata Paman Georgie sambil menepuk bahu Dilan.
“Akan ku coba,” jawab Dilan tersenyum.
“Baiklah. Ada urusan lain yang harus aku selesaikan bersama semua polisi itu. Satu hal lagi, jangan pernah menjadi orang yang rasisme dan sukuisme, ya.”
“Haha. Maafkan aku.”
Paman Georgie tersenyum lalu bangun dari tempat duduknya dan pergi.


CHAPTER 35
“My Heart”

          Acara pengajian untuk mengenang seratus hari wafatnya Rian baru saja selesai. Acara itu diadakan di kediaman Pak Darman dan keluarganya. Mereka yang meminta hal itu, karena mereka ingin memberikan penghormatan terakhir kepada keluarga Rian yang sudah sangat baik kepada mereka. Suasana haru masih menyergap rumah itu walaupun Rian sudah pergi sekitar tiga bulan lebih. Meskipun tidak banyak jamaah yang diundang, tapi kekhusyukkan doa bisa dirasakan oleh setiap jamaah yang hadir.
Dilan masih merasakan keringat mengalir di tubuhnya, karena baru saja selesai membantu Pak Darman dan beberapa warga lingkungan sekitar membereskan kembali rumah Pak Darman yang sedikit berantakan. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk memilih duduk sendiri sambil membawa gitar Rian di tengah taman dan merasakan angin malam mengeringkan peluh di tubuhnya.
Jari-jarinya mulai menari di atas keenam senar gitar itu. Petikan-petikan suara gitar bisa terdengar merdu saat dimainkan olehnya. Sesekali dia bernyanyi, namun kadang hanya bermain tanpa mengeluarkan suara. Dia merasa, gitar itu bisa bernyanyi lebih dari dirinya.
            Dilan masih asik dengan lagu dan permainan gitarnya. Tiba-tiba, dia merasakan angin yang berhembus perlahan tepat di belakang tubuhnya. Dilan merasakan hal itu dan menghentikan permainan gitarnya. Dia merasa, angin itu seolah mengalir perlahan dan berhenti tepat di samping kanannya. Kemudian angin itu terasa berputar cukup kencang dan tidak pergi, tetap di samping kanan Dilan. Tidak dapat dipungkiri, bulu kuduknya berdiri ketika merasakan hal yang janggal tersebut.
            “Hey!”
“AAAAAAAAAAAA!!” jerit Dilan.
“Kenapa? Aku ganggu kamu, ya?”
“R-rr-riaaan?? K-kkamu Rian??” tanya Dilan sambil mengucek matanya. Dia sama sekali tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Sosok Rian yang memakai baju santai berada di sampingnya. Sosok orang yang sudah pergi seratus hari lalu.
“Iya, benar. Hehe. Maaf, ya mengejutkan kamu,” kata Rian santai sambil tersenyum.
“Kau tersenyum??”
“Iya. Ada yang salah?”
“Hahaha. Tentu saja tidak, idiot! Aku kira aku tidak akan pernah bisa lihat senyuman manis kamu itu lagi. Kau kembali Rian! Aku melihat Rian yang dulu di dalam dirimu sekarang!”
“Hahaha. Ini hanya sementara saja, bodoh. Dalam keadaan seperti ini, kau masih bisa merayu juga? Luar biasa. Tapi tenang saja, Dilan. Aku tidak akan pernah lagi termakan dengan harapan dan rayuan bodohmu itu.”
“Aku tidak merayumu. Hanya perlu kau tahu saja, Rian. Banyak orang yang tidak tahu bagaimana cara memahami diri mereka sendiri. Dan aku sering mengalami hal itu. Aku bahkan tidak paham kepada siapakah yang harusnya aku berikan cinta. Aku tahu pilihanku untuk memilih Nadia adalah salah. Tapi kalau kau menganggap aku mengacuhkanmu adalah salah besar, Rian. Kau tahu, hati kecilku selalu ingin mendahuluimu daripada Nadia. Ingat saat kita pergi main arung jeram dan perahu karet itu terbalik? Siapa yang aku selamatkan duluan? Kamu, kan? Dalam mengartikan cinta, mungkin aku tidak sefasih dirimu. Caramu menghabisi nyawa Nadia adalah cara yang sangat terburu-buru. Belum tentu juga aku dan Nadia bisa awet. Aku baru menyadari, rasa sakit ini lebih bisa terasa saat aku ditinggal dirimu dibandingkan saat ditinggal Nadia. Aku mencintaimu, Rian.”
“Wow! Terima kasih, Dilan. Tapi semuanya sudah terlambat. Dan, tujuan aku kesini adalah bukan untuk membicarakan hal itu, kau tahu.”
“Lalu untuk apa?”
“Aku mau bernyanyi bersamamu. Ingat lagu yang kita nyanyikan saat kamu pergi berlibur ke Lombok dan aku tidak bisa ikut karena terkena cacar?”
“Ah, tentu saja! Hahaha. Ini hanya halusinasiku saja atau Rian benar-benar disampingku? Kalau memang benar, mimpi apa aku semalam bisa bernyanyi dengan hantu? Hahaha.”
I am finding out that maybe I was wrong
That I've fallen down and I can't do this alone
Stay with me, this is what I need, please?

Sing us a song and we'll sing it back to you
We could sing our own but what would it be without you?

I am nothing now and it's been so long
Since I've heard the sound, the sound of my only hope
This time I will be listening

Sing us a song and we'll sing it back to you
We could sing our own but what would it be without you?

This heart, it beats, beats for only you
This heart, it beats, beats for only you
This heart, it beats, beats for only you
My heart is yours
This heart, it beats, beats for only you
My heart is yours
(My heart, it beats for you)

This heart, it beats, beats for only you (It beats, beats for only you)
My heart is yours (My heart is yours)
This heart, it beats, beats for only you (Please don't go now, please don't fade away)
My heart, my heart is yours (Please don't go now, please don't fade away)

(Please don't go now, please don't fade away) My heart is yours
(Please don't go now, please don't fade away) My heart is yours
(Please don't go, please don't fade away)
(Please don't go now, please don't fade away) My heart is...

Paramore – My Heart

0 comments:

Posting Komentar